You are herePerkotaan / Usahakanlah Kesejahteraan Kota
Usahakanlah Kesejahteraan Kota
Ketika saya sedang mengemudi dua puluh menit jauhnya dari lingkungan rumah saya, mobil saya memasuki dunia lain. Dua puluh menit bukanlah suatu jarak yang begitu jauh secara geografis, tetapi jarak tersebut bisa terlihat seperti melewati dunia yang lain secara kultural. Lingkungan saya sendiri (yaitu Yudea saya) secara kultural tidak asing bagi saya; pemandangannya dan suara-suaranya dan ritmenya masuk akal bagi saya. Saya mengenal orang-orang di sini, dan orang-orang mengenal saya. Akan tetapi, hanya berjarak dua puluh menit jauhnya dari rumah saya terdapat suatu tempat yang sangat berbeda -- kota St. Louis.
Seperti halnya Yesus meminta murid-murid-Nya untuk melangkah menyeberangi batasan kultural yang memisahkan Yudea dan Samaria, begitu pula Allah memanggil setiap kita (pada titik tertentu) untuk menyeberangi pembatas-pembatas kultural terdekat kita sendiri (di mana pun mereka berada) dan terlibat dalam pekerjaan Allah di antara mereka yang berbeda dengan kita. Di dalam dunia saya sendiri, hal ini berarti turut terlibat di dalam pekerjaan Allah di kota tersebut.
Murid-murid Yesus tadinya merasa tidak yakin dengan Samaria. Mereka telah dididik seumur hidup mereka untuk menghindari Samaria, dan oleh karenanya bahkan gagasan untuk melangkah ke daerah Samaria membuat kaki misional mereka gemetar di dalam sepatu bot misional mereka. (Murid-murid pernah bertanya kepada Yesus apakah mereka dapat menurunkan bola api dari langit ke atas desa orang Samaria.) Kita pun tidak jauh berbeda saat ini. (Orang Kristen Aman dengan mengunci pintu-pintu mobilnya ketika sedang mengemudi di dalam kota, contohnya.) Ketika sudah membahas tentang perkotaan, segudang hal klise, stereotip, prasangka, dan peringatan-peringatan yang diberikan untuk maksud baik dapat berkombinasi dengan keragu-raguan kita untuk membuat kita merasa mual dengan pekerjaan Allah di perkotaan.
Kebutuhan Akan Kemurahan Hati Perkotaan
Dahulu ada suatu waktu, beberapa dekade yang lalu, ketika orang-orang Kristen yang waspada mulai menyadari populasi global bergeser menuju ke pusat perkotaan. Negara-negara yang lebih miskin memimpin jalan; para fakir miskin, karena putus asa mencari pekerjaan, mulai berdatangan ke megakota seperti Calcutta, Mexico City, dan Sao Paulo. Akan tetapi, seluruh dunia selebihnya tidak ketinggalan jauh; karena berbagai alasan yang saling terkait, populasi dunia kita sedang bergerak menuju perkotaan. Orang-orang Kristen mulai membicarakan, secara bijak dan benar, tentang "ladang misi yang baru" yang direpresentasikan oleh kota-kota kita.
Hal ini terjadi beberapa dekade yang lalu. Sekarang ini, barangkali, lebih cocok untuk menyebut kota sebagai ladang misi yang jelas dan tidak terelakkan. Kota-kota di mana saja sedang bertumbuh, merepresentasikan lebih banyak inci persegi dunia ini dari pada sebelumnya. Bahkan, jika Anda melihat kepada di mana orang-orang berada, kota merupakan inci persegi yang penting secara tidak proporsional dan strategis bagi umat Allah untuk dilayani.
Perkotaan adalah ladang misi dengan kebutuhan-kebutuhan dan peluang-peluang yang unik. Kebutuhan-kebutuhan tersebut sedikit jelas: sekolah-sekulah yang kekurangan dana, gedung-gedung tua yang meluruh, ketunawismaan, kemiskinan, pengangguran, ketegangan rasial. Peluang-peluangnya pun hampir mencengangkan: Orang-orang dalam jumah besar di suatu tempat yang kecil, arus pengungsi dan imigran yang kuat dari berbagai belahan dunia, gereja yang beraneka ragam dan kreatif. Kota adalah sebuah wilayah yang hidup yang di dalamnya Allah bekerja secara aktif.
Tidak ada sesuatu yang baru tentang hal ini. Allah selalu tertarik dengan perkotaan. Sejak zaman Adam, Hawa, Kain, dan Habil tersandung keluar dari Taman Eden dan membentuk kota-kota, Allah telah mengikuti umatnya ke sana. Allah membuat umat-Nya sendiri mendirikan kota-kota pengungsian, dan pekerjaan penyelamatan-Nya di dalam kota-kota ditemukan di seluruh isi Alkitab. Umat Allah tidak hanya mendirikan kota Yerusalem, tetapi Allah menggunakannya sebagai gambaran dari penggenapan yang sempurna akan kerajaan-Nya, ketika Yerusalem yang Baru turun dari Surga. Kekekalan kita, ternyata, tidak akan kita habiskan di tempat berlibur di daerah pedesaan yang terisolasi, melainkan di sebuah kota -- Kota Allah.
Perkotaan secara strategis penting bagi gereja mula-mula ketika Injil disebarluaskan dari pusat perkotaan ke pusat perkotaan yang lain (Yerusalen, Antiokia, Efesus, Atena, Roma) dan kemudian dari sana ke daerah pedesaan di sekitarnya. Ketertarikan Allah yang bersemangat bagi para fakir miskin, para janda, para pengembara, dan para gelandangan tentu saja berdampak di dalam dunia perkotaan bertindak sebagai tempat berkumpulnya orang-orang semacam itu.
Maka dari itu, kota selalu merupakan ladang misi yang penting dalam berbagai cara. Ada kebutuhan dan peluang yang besar di perkotaan, dan oleh karenanya bukan suatu kejutan bahwa Allah dapat ditemukan tepat di jantung kota-kota tersebut, mencurahkan kemurahan hati-Nya yang penuh kasih bagi orang-orang di tempat itu. Kota telah menjadi, dan terus menjadi, bagian yang penting dalam pekerjaan Allah di dunia ini. Hal ini memberikan dampak yang tidak terelakkan bagi para Orang Kristen Misional.
Peranan Orang Kristen Misional di Perkotaan
Sejak Paulus dan Petrus di Palestina dan Asia Kecil abad pertama, sampai ke Paus Gregory di Roma abad ke-6, sampai ke William Booth di London abad ke-20, sampai ke Bunda Teresa di Calcutta abad ke-21, umat Allah terlibat di dalam pekerjaan Allah di perkotaan. Akan tetapi, bukan hanya para murid, paus, dan orang-orang suci saja yang dipanggil untuk pekerjaan semacam itu -- di mana pun Allah sedang bekerja di dalam sebuah kota, Anda menemukan orang-orang misional-Nya terlibat di dalam pekerjaan tersebut.
Setelah tahun pertama saya di perguruan tinggi, saya diundang untuk menghabiskan dua minggu menghidupi dan mempelajari "sisi lain" Tacoma. Universitas saya terletak di antara perumahan kelas menengah-atas di satu sisi Tacoma, tetapi Proyek Urban Tacoma ini terletak di sisi lain Tacoma. (Sisi yang diceritakan kepada saya sebagai sisi yang tidak aman.) Kami pindah ke dua apartemen yang kumuh, dan saya mulai melihat dengan mata kepala sendiri apa yang telah dilihat Paulus, Gregory, dan Booth: pekerjaan Allah yang hidup dan memusingkan di perkotaan, dan seperti apa rasanya terlibat di dalam pelayanan perkotaan. Ternyata, pelayanan perkotaan bukanlah tentang kekejangan kesukarelaan yang sekali lalu selesai; hal itu adalah tentang menjadi seorang Kristen Misional -- mata, tangan, kaki, hati, dan jiwa -- di tengah-tengah kota.
Dengan Mata yang Terbuka, para Orang Kristen Misional mau untuk melihat melampaui stereotip-stereotip dan graffiti untuk mempelajari apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam kota tersebut. Mata yang Terbuka tidak dapat melihat banyak dari jalan raya, oleh karena itu Orang Kristen Misional mengurangi kecepatan dan mengemudi di jalan-jalan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, membaca surat harian dengan lebih teliti dan mendengarkan cerita-cerita dari mereka yang tinggal di perkotaan. Bukannya secara samar-samar mengeluh pada masalah-masalah yang telah menjadi stereiotip di perkotaan, Orang Kristen Misional menggali lebih dalam, mencoba mengenal orang-orang yang nyata dan mencari tahu -- secara rinci -- tentang kegelapan dan kebusukan di dalam kota.
Kemudian, mereka menggunakan Tangan Pelayan mereka. Orang Kristen Misional tidak datang ke kota dengan tujuan utama untuk memimpin dan mengajar dan menjadi pahlawan, tetapi untuk melayani -- untuk menggunakan tangan mereka untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan orang lain, membasuh kaki yang mungkin saja lebih kotor daripada kaki yang mereka gunakan untuk menangani. Mereka melakukannya bahkan jika pelayanan tersebut membawa mereka ke bagian-bagian kota yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, bagian-bagian kota yang pernah mereka dengar tentangnya dan telah diberitahukan untuk dijauhi sebisa mungkin, bagian-bagin kota di mana mereka barangkali untuk yang pertama kalinya menjadi minoritas. Mereka melangkah ke depan dengan Kaki yang Siap, mau mengikuti Allah ke mana pun Dia bekerja.
Allah sedang bekerja secara tak henti-hentinya dan bersemangat. Ketika Orang Kristen Misional terlibat di dalam pekerjaan Allah di perkotaan, hal itu memengaruhi hati mereka yang penuh kasih, menyebabkan rasa sakit dan menimbulkan tangis ketika mereka memasuki penderitaan orang lain. Sebagaimana yang kesaksian dari banyak orang Kristen tunjukkan kepada kita, bekerja bersama Tuhan di dalam kota memengaruhi jiwa Anda -- membuat Anda melekat kepada Tuhan, mengubahkan Anda, mengantarkan Anda ke dalam semacam sukacita yang kuat yang tidak bisa didapatkan dengan hanya terjun ke dalam kota demi konser dan permainan.
Lima Hal yang Perlu Diingat Saat Melayani di Perkotaan
- Anda harus memasuki kota dengan kerendahan diri dan kasih karunia.
- Anda memerlukan rekan-rekan di kota.
- Orang-Orang adalah yang Menggantikan Stereotip.
- Anda dapat bermurah hati kepada orang-orang secara individu.
- Anda dapat mengejar perubahan dan pembaharuan sistemik.
Merupakan godaan yang umum bagi sebagian dari kita yang pergi ke kota demi pekerjaan Tuhan untuk membawa bersama-sama dengan kita suatu sikap menyombongkan diri dan mendakwa yang hampir tidak kentara. Kita masuk dengan menunggangi kuda putih, yakin bahwa kita dapat menjadi pahlawan. Kemudian kita mengerutkan hidung kita atas betapa "salahnya" segala sesuatu yang dilakukan di kota tersebut. Akan tetapi, ternyata kesombongan dan pendakwaan bukanlah sikap masuk yang baik. Sebaliknya, kita perlu memasuki kota dengan kerendahan diri dan kasih karunia, siap untuk belajar dan diajar sebanyak yang akan kita ajarkan.
Pada suatu musim panas, saya dan beberapa teman pindah ke East Palo Alto, California, untuk membantu menjalankan sebuah program bimbingan belajar sepanjang musim panas. Anda mungkin pernah mendengar tentang Palo Alto -- rumah dari Universitas Stanford dan lingkungan pinggiran kota yang murni. Kami pindah ke East Palo Alto, yang hanya terletak di sisi lain jalan raya -- dan berjarak satu dunia jauhnya. Ketika kami pertama kali menelusuri EPA (East Palo Alto), saya terkejut dengan pemandangan sebuah mobil yang terbakar di suatu sisi jalan (Apakah daerah ini adalah medan perang?) dan terbungkam oleh pemandangan suatu sekolah menengah yang terbengkalai yang digunakan sebagai dapur makanan (Apakah ada orang lain yang mengerti ironi dari hal ini?). Saya merasa sedikit takut, dan -- saya harus mengakuinya sembari menengok kembali ke belakang -- cukup sombong.
Separuh jalan melewati musim panas, saya berlari melawan batasan-batasan diri saya dan kurangnya pemahaman saya. Saya mulai menyadari bahwa mungkin anak-anak di EPA memiliki lebih banyak hal untuk diajarkan kepada saya dari pada yang saya bayangkan. Pergeseran yang merendahkan diri ini diperkuat pada suatu sore ketika seorang polisi menepikan mobil saya dalam perjalanan saya kembali dari pusat bimbingan belajar. Saya sedang mengemudikan minivan kami dan saya sangat yakin saya sudah berhenti di rambu berhenti yang terakhir, tetapi ketika polisi tersebut meminta saya keluar dari mobil, saya mulai bertanya-tanya dan ketika dia meminta saya untuk berbalik dan menghadap ke minivan, saya tahu bahwa saya terlibat dalam penggeledahan saya yang pertama seumur hidup. Akan tetapi, pada saat itu polisi tersebut hanya menunjuk ke atas mobil -- di mana terdapat satu kotak besar yang penuh dengan es loli. Saya menaruhnya di atas sana ketika memasukkan barang-barang ke dalam mobil dan langsung mengemudi dengan kotak tersebut masih ada di atas sana. Saya tersipu malu ketika polisi tersebut berkata, "Apakah itu milik Anda?".
"Ya."
"Apa yang sedang Anda lakukan dengan es loli di EPA?"
"Saya datang ke sini untuk menjalankan sebuah program bimbingan belajar, untuk mengajar anak-anak," saya merespon.
Polisi tersebut melihat ke arah saya, melihat ke atas ke kotak tersebut dan mengangkat bahunya dan menggelenglah kepalanya. "Siapa yang mengajar siapa?" (dalam bahasa Inggris: Who's teaching who?") katanya. Dan dengan kalimat itu dia berjalan pergi.
Saya merasa malu. Saya ingin memanggilnya dan membenarkan tata bahasanya (seharusnya "Who's teaching whom?"), tetapi saya mengambil kotak saya yang penuh dengan es loli yang meleleh itu, kembali masuk ke dalam mobil dan berhadapan dengan kebenaran yang indah: Saya punya banyak hal untuk dipelajari. Sikap rendah diri dan kasih karunia inilah yang diperlukan kapan pun Anda melangkah ke dalam suatu budaya baru demi pelayanan. Kita melangkah masuk sebagai pembelajar, mengenali batas-batas kita. Kita melihat ke sekeliling kita, bukan untuk mengkritik dan menggelengkan kepala kita, tetapi untuk mencari rekan dan pelajaran.
Meskipun barangkali cara yang paling wajar adalah untuk menyebut pelayanan kita di kota dengan istilah 'pelayanan' (Saya pergi ke kota untuk melayani), sama cocoknya juga untuk menyebut bahwa kita pergi untuk bekerja di kota untuk belajar (Saya pergi ke kota untuk diubahkan). Untuk mengetahui lebih banyak tentang sikap masuk yang kritis ini, bacalah "Theirs Is the Kingdom: Celebrating the Gospel in Urban America" (Merekalah yang Empunya Kerajaan Sorga: Merayakan Injil di Perkotaan Amerika - Red.) oleh Robert Lupton. Buku tersebut merupakan bacaan yang ringan, dan saya tidak akan merekomendasikan Anda menurunkan tangan ke dalam pelayanan perkotaan tanpa mengetahui karya klasik sederhana yang ditulis dengan baik ini.
Bilamana mereka yang berasal dari luar kota merasa terpanggil untuk melayani di dalam kota, mereka perlu mencari rekan. Pelayanan lintas budaya -- bahkan jika letaknya hanya berjarak dua puluh menit dari jalanan rumah Anda -- itu kompleks dan rumit. Rekan pelayanan lintas budaya yang sejati adalah karunia dari Allah; mereka membantu kita belajar, mengerti, dan melayani dengan cara komunal yang lebih efektif. Pelayanan lintas budaya tanpa seorang rekan di dalam budaya tersebut adalah resep malapetaka. Oleh karena itu, setiap waktu dan energi yang dihabiskan untuk mencari rekan yang baik selalu layak/bernilai.
Pada tahun 1999, saya mulai mencari seorang rekan di Denver. Keluarga saya dan selusin mahasiswa dari Boulder sedang mencoba untuk menghabiskan musim panas tahun 2000 di dalam kota Denver, dan saya diutus untuk mencari seorang rekan untuk waktu di sana nanti. Elias dan saya menemukannya sejak awal. Dia adalah seorang misionaris dari Cili yang datang ke Amerika Serikat untuk melayani di Sun Valley, sebuah lingkungan yang tertantang secara historis yang dikelilingi oleh jalan raya-jalan raya yang berjarak sejauh satu lemparan batu dari Denver Bronco's Mile High Stadium. Elias adalah seorang pendeta di satu-satunya gereja di dalam Sun Valley dan tertarik untuk menemui dan mendengar apa yang sedang saya pikirkan.
Kami makan siang di restoran Meksiko terdekat, dan separuh jalan di makan siang tersebut saya merasa bahwa kami telah menemukan rekan kami. Yang masih perlu dilakukan hanyalah memikirkan rinciannya, pikir saya, sembari saya memesan "Mexican Coke" yang kedua di konter.
Akan tetapi, Elias terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan kepada saya: Apa maksud saya ketika saya berkata "kemitraan"? Siapa yang akan memutuskan pelayanan apa yang akan kita kerjakan di Sun Valley? Bagaimana kita menentukan jadwalnya? Pelatihan semacam apakah yang akan murid-murid dapatkan sebelum menginjakkan kaki di Sun Valley? Apakah kita hanya tertarik untuk musim panas saja dan tidak ada yang lain? Pertanyaan-pertanyaannya memundurkan saya sedikit sampai ke tumit saya lagi. Apakah saya sudah melakukan sesuatu yang membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap saya? Apakah hal ini merupakan perhatian orang Cili untuk hal-hal rinci yang saya tidak terbiasa dengannya?
Setelah pertemuan kami yang ketiga untuk mendiskusikan kemitraan yang mungkin, menjadi jelas bagi saya: sebagai seorang pendeta di kota, dia secara terus-menerus didekati oleh gereja-gereja dan kelompok-kelompok Kristen pinggiran kota yang bermaksud baik untuk "berbuat kebaikan di kota." Akan tetapi, banyak dari mereka tidak benar-benar tertarik kepada suatu kemitraan atau kepada Elias atau bahkan kepada kota. Kebanyakan mereka tertarik untuk melakukan perbuatan baik mereka -- secepat dan semurah mungkin. Elias telah melihat orang-orang kaya "menggunakan" orang-orang miskin untuk mengais-ngais kegatalan filantropis mereka sendiri, dan itulah alasan dari banyak pertanyaan tersebut.
Kemitraan lintas budaya tidaklah cepat atau mudah atau tanpa rasa sakit untuk dikembangkan. Akan tetapi, hal itu penting. Elias dan saya menikmati relasi empat tahun yang intens dengan keluarga kami tinggal bersama-sama selama dua musim panas. Pada waktu itu, Elias dan saya saling belajar dari satu sama lain, saling mengaku, dan saling memaafkan. Kami mengambil keputusan bersama-sama, berbagi kepemimpinan dan mengevaluasi kemitraan kami secara rutin. Kelompok-kelompok kita dari luar kota tidak dapat melakukannya sendiri. Untuk mengetahui lebih banyak tentang tarian menarik untuk mencari seorang mitra dan memelihara kemitraan yang sehat di kota ini, bacalah dengan teliti "Linking Arms, Linking Lives: How Urban-Suburban Partnerships Can Transform Communities" (Menghubungkan Tangan, Menghubungkan Kehidupan: Bagaimana Kemitraan Perkotaan-Pinggiran Kota Dapat Mengubah Komunitas - Red.) yang ditulis oleh suatu komunitas negarawan bijak pelayanan perkotaan, Ronald J. Sider, John M. Perkins, Wayne L. Gordon, dan F. Albert Tizon.
"Saya takut berjalan di pusat kota; para orang muda di kota begitu. . ." "Orang-orang kulit putih tidak mengerti; mereka selalu memikirkan tentang. . ." "Para gelandangan membuat saya marah; mereka perlu. . ." Setiap kali Anda melintasi budaya, Anda secara tidak terelakkan membawa bersama Anda stereotip tentang mereka yang berbeda dengan Anda. Murid-murid Yesus membenci orang-orang Samaria dan tidak diragukan lagi mengetahui segala jenis "lelucon orang Samaria." Diperlukan teladan secara gamblang dari Yesus dan dorongan Roh Kudus untuk membuat mereka bahkan melangkah ke daerah Samaria. Diperlukan kuasa yang mendamaikan dari Injil untuk mengatasi stereotip seumur hidup, membuatnya menjadi mungkin bagi Paulus untuk menyatakan "Dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu" (Kolose 3:11).
Berita buruknya adalah, kita semua membawa stereotip dan karikatur orang lain bersama kita ke mana-mana. Kita semua sedikit rasis dan kelasis. Berita baiknya adalah, stereotip punya cara untuk dengan cepat meleleh di bawah kehangatan persahabatan. Saya mengenal sebuah kelompok pelajar Kristen dari Montana yang melakukan perjalanan tahunan melalui pegunungan Rocky. Perjalanan mereka mau tidak mau membawa mereka luruh melalui Denver, yang membuat beberapa dari mereka merasa grogi. Denver merupakan tempat yang besar dibandingkan dengan Bozeman, Montana. Anda tidak akan menemukan banyak gelandangan atau anak-anak jalanan di Bozeman. Jadi, segala sesuatu yang diketahui kelompok orang Kristen ini tentang para gelandangan dan anak-anak jalanan murni berdasarkan pada stereotip (yang banyak didapat dari film), dan "pengetahuan" ini membuat mereka merasa gelisah bilamana mereka berjalan melewati Denver.
Akan tetapi, beberapa pelajar ini memutuskan untuk pindah ke Denver untuk musim panas sebagai bagian dari salah satu Denver Urban Partnerships (Kemitraan Urban Denver - Red.) kami. Mereka pindah tepat ke dalam kota dan bermitra dengan Scum of the Earth Church (Gereja Sampah Dunia - Red.), sebuah gereja dalam kota yang kreatif yang anggotanya juga termasuk orang-orang tuna wisma dan anak-anak jalanan. Melalui interaksi demi interaksi, mereka mulai menemui "para gelandangan." Sembari berkumpul di Sox Place (sebuah tempat penampungan untuk anak-anak tunawisma), sembari bermain papan luncur di pusat kota, sembari menyajikan makanan sebelum pelayanan ibadah di Scum, mereka bertemu dengan orang-orang yang nyata. Mereka berjabat tangan dan tertawa pada lelucon-lelucon dan mengobrol dengan santai. Mereka mendengar cerita-cerita dan menceritakan cerita mereka sendiri. Dengan cara ini stereotip mereka digantikan dengan relasi. Mereka bukan hanya tidak lagi takut pada Denver, beberapa orang dari tim tersebut apda akhirnya pindah ke sana dan melayani di antara para orang tunawisma semenjak saat itu. (Jika Anda penasaran, Pastor Mike Sares telah menulis sebuah buku tentang Scum yang berjudul "Pure Scum: The Left-Out, the Right-Brained and the Grace of God" (Sampah Murni: Yang Ditinggalkan, yang Berotak Kanan, dan Kasih Karunia Allah - Red.) .)
Pelayanan lintas budaya memaksa gereja mula-mula untuk menghadapi stereotip dan kemunafikannya, dan hal itu pun memaksa kita untuk melakukan hal yang sama. Introspeksi diri yang teliti dan kejujuran yang rendah hati di wilayah ini penting untuk kita semua. Aturan berdasarkan pengalaman: jika Anda pernah mendapati diri Anda mengklaim sesuatu tentang "orang-orang tersebut," berhentilah dan tanyakan kepada diri Anda sendiri jika Anda dapat menyebutkan tiga saja dari "orang-orang tersebut." Jika Anda tidak dapat melakukannya, Anda mungkin perlu untuk menarik pernyataan Anda dan barangkali berpikir tentang melakukan perjalanan Anda sendiri -- bahkan jika perjalanan tersebut menuju tempat yang hanya berjarak dua puluh menit jauhnya.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai proses yang indah ini, Anda mungkin ingin membaca "More than Equals: Racial Healing for the Sake of the Gospel" (Lebih dari Setara: Penyembuhan Rasial demi Injil - Red.) oleh Spencer Perkins dan Chris Rice. Dalam proses saya sendiri sebagai orang kulit putih, saya juga menemukan buku "Being White: Finding Our Place in a Multiethnic World" (Menjadi Orang Kulit Putih: Menemukan Tempat Kita di Dunia yang Multietnis - Red.) oleh Paula Harris dan Doug Schaupp sangat membantu.
Ketika melayani secara lintas budaya, mau tidak mau kita akan merasa tidak pada tempat kita yang seharusnya dan tidak yakin tentang apa yang harus dilakukan dari waktu ke waktu. Anda mengantri di dapur sup membagikan makanan, tidak yakin apakah Anda perlu membuat kontak mata dengan para tamu atau tidak. Seseorang datang kepada Anda dan menanyakan tentang kembalian, dan Anda merasa ragu. (Apakah saya harus bermurah hti dan memberikan apa yang diminta orang-orang pada saya. . .atau apakah hal ini akan melukai mereka di kemudian hari jika saya memberikannya?) Momen-momen keragu-raguan ini wajar -- belajar memang seperti itu. Belajar bagaimana melayani di kota memang memerlukan waktu. Akan tetapi, ketika Anda mengambil langkah yang bersifat sementara ke dalam pelayanan perkotaan, ada satu tugas yang Anda akan selalu dapat terlibat di dalamnya: bermurah hati kepada orang yang berdiri di dekat Anda.
Steve telah pergi ke pertandingan St. Louis Cardinals dengan putranya Brendan selama bertahun-tahun. Dan dia telah dimintai uang banyak kali sembari berjalan di dekat Busch Stadium untuk melihat sebuah pertandingan. Akan tetapi, pada suatu hari Minggu malam beberapa tahun yang lalu, setelah Cards memenangkan pertandingan, ada sesuatu yang berbeda. Steve telah mendengarkan khotbah dari Matius 25 pagi itu ("segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku," ay. 40). Ketika Steve berjalan persis melewati seorang pria yang meminta uang, dia tidak dapat melupakan kata-kata dari Alkitab tersebut. Akan tetapi, dia tidak yakin tentang mana hal yang benar untuk dilakukan. Dia hanya mengetahui sedikit tentang "para tunawisma" di St. Louis, dan dia bukanlah seorang ahli lintas budaya. Akan tetapi, Steve merasa disodok oleh Allah untuk bermurah hati pada orang yang berdiri di depannya tersebut.
Jadi, Steve memberikan kepada pria tersebut dua dollar. Suatu tindakan yang sederhana. Tidak memerlukan banyak waktu, tetapi nyata dan praktis. Tindakan itu merupakan tindakan bermurah hati. Satu pengalaman tersebut membuat Steve bertanya-tanya lebih banyak tentang bagaimana rasanya menjadi tuna wisma dan perbedaan yang dapat dihasilkan oleh pemberian makanan secara sederhana. Maka dari itu, dia mulai mencari mitra di kota dan menetapkan diri dalam sebuah relasi yang sedang berlangsung dengan The Bridge Homeless Ministry di pusat kota St. Louis.
Steve adalah seorang anggota gereja saya, Bonhomme, di pinggiran kota St, Louis dan sekarang telah merekrut beberapa keluarga untuk bergabung dengannya secara rutin membagikan makanan kepada para tuna wisma di The Bridge. Tindakan bermurah hati yang sederhana, sekali dalam seminggu. Setahun sekali, Steve dan orang-orang lain di Bonhomme mengatur semacam pesta makan malam bistik besar. Lusinan orang dari Bonhomme menyumbangkan daging bistik, burger, hot dog dan es krim, dan menuju ke The Bridge untuk datang ke pesta yang besar. Orang-orang dari pinggiran kota ini bukanlah ahli dalam merawat para tuna wisma (orang-orang di The Bridge lah yang ahli). Namun, mereka melakukan sesuatu yang kuat dan praktis: bermurah hati kepada orang-orang secara individual. Entah kita menawarkan telinga yang mendengar, sebuah senyuman, gendongan punggung, makanan yang sederhana atau suatu momen dari waktu kita, kita dapat bermurah hati kepada seseorang yang sedang berdiri di dekat kita. Hal itu adalah sebagian dari apa artinya menjadi misional di perkotaan.
Penggambarannya sedikit sederhana dan menjadi klise karena penggunaan yang berlebihan, tetapi hal itu mengilustrasikan suatu pelajaran yang penting: Suatu kelompok mengunjungi suatu sungai dan dikejutkan ketika mereka melihat seorang bayi sedang hanyut dalam arus sungai. Mereka bergegas membentuk rantai manusia dan menarik bayi tersebut dari sungai. Akan tetapi, mereka menyadari ada lebih banyak bayi yang terhanyut di sungai. Oleh karena itu, mereka menceburkan diri ke dalam sungai dan secara heroik menyelamatkan bayi-bayi itu dari sungai. Hal ini terus berlanjut selama beberapa waktu sampai seorang wanita berpisah dari kelompok tersebut dan mulai berjalan ke hulu. "Apa yang kau lakukan?" teman-temannya berteriak kepadanya. Dia tidak berhenti berjalan tetapi berteriak menjawab dengan bahunya, "Aku akan pergi untuk melihat siapa yang melemparkan bayi-bayi ini ke sungai!" Sementara kita dapat selalu menceburkan diri kita untuk bermurah hati kepada orang-orang, Allah terkadang mungkin memanggil kita untuk "berjalan ke hulu" dan mengejar perubahan secara sistemik.
Becka adalah salah satu anggota dari petualangan sepanjang musim panas kami yang pertama di Denver. Dia berada di sana ketika kami mengundang kelompok pelajar pertama tersebut untuk bergabung dengan kami dalam bermitra dengan Elias di Sun Valley. Dia berada di sana ketika kami berkerumun di dalam suatu ruangan sekolah minggu yang tua dan panas, untuk melakukan pelatihan tentang bagaimana melintasi budaya dengan kasih karunia dan kerendahan hati. Dia bersandar dengan Alkitabnya ketika kami duduk di kursi-kursi lipat memelajari tentang hati Allah bagi orang-orang miskin. Dia berada di sana ketika kami memulai membimbing anak-anak yang energetik dan terkadang menantang di Sun Valley Youth Center, bermurah hati pada anak-anak di dalam kelompoknya. Becka melakukan segala sesuatu yang saya harapkan: belajar dari Elias dan yang lainnya, memberi cara pandangnya ditantang, bermurah hati pada anak-anak di lingkungannya. Akan tetapi, pada suatu malam dia melakukan sesuatu yang tidak saya perkirakan.
Kami baru saja selesai pembelajaran Alkitab dari kita Amos. Kami sedang berkumpul di meja lipat yang murah di kantor gereja dan baru saja memperhatikan amarah Tuhan terhadap ketidakadilan dan panggilan bagi umatnya untuk membasmi ketidakadilan. Studi Alkitab ini, diikuti oleh beberapa data statistik dasar tentang ketidakadilan di kota, menyebabkan semua orang meratapi nasib kota tersebut. Hal ini saya perkirakan dan, jujur saja, saya harapkan. Akan tetapi, Becka (biasanya yang paling pendiam) memukulkan tangannya ke meja, melihat ke arah saya dan berkata, "Jadi, siapa yang akan kita panggil?"
Tadinya saya tidak yakin dengan apa yang sedang dia bicarakan. Kemudian dia melanjutkan: "Siapa yang akan kita panggil? Adakah kantor kota yang bisa kita hubungi? Mereka perlu mengetahui bahwa ada ketidakadilan di kota mereka. Kita perlu melakukan sesuatu tentang hal ini." Insting saya adalah untuk menahan kenaifannya, tetapi kemudian saya menyadari bahwa dia sedang menanyakan pertanyaan yang sangat baik. Merupakan satu hal -- satu hal yang cukup indah dan penting -- untuk bermurah hati pada orang-orang; merupakan hal yang lain untuk mengejar perubahan dan pembaharuan secara sistemik. Becka menginginkan untuk berjalan ke hulu dan melihat siapa yang melemparkan bayi-bayi ini ke dalam air. Dan instingnya sepenuhnya adalah alkitabiah.
Allah berteriak melawan ketidakadilan dan memanggil umat-Nya untuk mengejar keadilan. Hal ini termasuk segala sesuatu mulai dari memberdayakan yang tertindas sampai mempertanyakan sistem-sistem yang berat sebelah sampai melawan kebijakan-kebijakan dan hukum-hukum yang tidak adil. Sembari kami melayani di kota, hal ini adalah sesuatu yang pada akhirnya kami mendapati diri kami sendiri merenungkannya. "Practical Justice: Living Off-Center in a Self-Centered World" (Keadilan Praktis: Hidup di Luar Pusat di Dalam Dunia yang Egosentris - Red.) oleh Kevin Blue adalah tempat yang bagus untuk memulai mencari jawaban. Blue adalah seorang Kristen yang mendalam yang menulis dari pengalamannya selama bertahun-tahun di kota. Bukunya yang membantu ini berdasar teologis dan praktis sempurna.
Melayani di Kota
Sebagaimana Yeremia memanggil orang-orang buangan untuk "mengusahakan kesejahteraan" kota ke mana mereka dibuang, banyak orang Kristen juga dipanggil untuk mencari tahu tentang dan terlibat di dalam pekerjaan Allah di perkotaan pada masa kini. Bagi sebagian dari kita yang bukan dari kota, panggilan ini mungkin akan berlawanan dengan beberapa insting kita yang lebih dalam. Orang Kristen aman, sukses, dan bahagia mendapati hanya sedikit alasan untuk terlibat di dalam pekerjaan Allah di sana. Bagi sebagian dari kita yang berasal dari kota, panggilan ini mungkin berlawanan dengan insting kita juga: rasa sakit dan kekacauan kehidupan dan pelayanan perkotaan cukup untuk menggoda kita meninggalkan kota.
Kita melihat godaan ini diungkapkan di Mazmur 55. Pemazmur telah melihat kota dengan Mata yang Sadar: "Sebab aku melihat kekerasan dan perbantahan dalam kota! Siang malam mereka mengelilingi kota itu di atas tembok-temboknya, dan di dalamnya ada kemalangan dan bencana; penghancuran ada di tengah-tengahnya, di tanah lapangnya tidak habis-habisnya ada penindasan dan tipu" (ay. 9-11). Dan godaannya adalah untuk meninggalkan kota: "Sekiranya aku diberi sayap seperti merpati, aku akan terbang dan mencari tempat yang tenang, bahkan aku akan lari jauh-jauh dan bermalam di padang gurun" (ay. 6-7).
Ah, padang gurun. Kehidupan masyarakat pedesaan. Kehidupan pinggiran kota yang tenang. Namun demikian. . . Namun demikian. . . Allah juga bekerja di perkotaan. Hal ini memiliki dampak bagi para Orang Kristen Misional yang juga terlibat di dalam pekerjaan Allah di dunia ini -- bahkan jika hal itu terjadi di kota. Apakah pemazmur melarikan diri dari kota? Pada akhirnya, tidak. Sebaliknya, dia berteriak meminta bantuan kepada Allah. "Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah" (ay. 22).
Melayani bersama Allah di kota menyebabkan Orang Kristen Misional berteriak kepada Allah dengan cara yang sama. Merupakan suatu paradoks bahwa beberapa dari momen-momen tersakit dan membingungkan di dalam hidup saya adalah ketika saya terlibat di dalam pekerjaan Allah bersama umat Allah di kota, namun beberapa momen yang terindah dan menggembirakan di dalam hidup saya adalah pada saat yang sama. Selalu relasi saya dengan Allah seperti tersambung ketika melayani di kota.
Ketika Orang Kristen Misional pergi dan bergabung dengan Allah di kota, hal itu menyebabkannya bertumbuh dan diubahkan. Hal itu memberikan pandangan sekilas yang berharga tentang karya penebusan yang begitu indah memilukan hati, begitu rendah hati dan berkuasa, sehingga kita diubahkan untuk selamanya. Hal itu membawa relasi lintas budaya yang diberkati dengan orang-orang Kristen dewasa yang tinggal di kota. Melayani di kota mengajarkan kita lebih banyak tentang diri kita sendiri, Allah kita, dan kota. Terkadang Orang Kristen Misional perlu mengikuti saran dari pemazmur dan bukannya mengembangkan sayap dan terbang menjauh dari kota, melainkan berdoa kepada Allah dari jantung kota yang sangat Dia kasihi. (t/Odysius)
Diterjemahkan dari:
Judul buku | : | Go and Do: Becoming a Missional Christian |
Judul bab | : | Urban Mercy |
Judul asli artikel | : | Urban Mercy |
Penulis | : | Don Everts |
Penerbit | : | InterVarsity Press, USA, 2001 |
Halaman | : | 144 -- 157 |
- Login to post comments
- 3006 reads