You are hereArtikel / Ini Aku, Tuhan, Utuslah Aku!
Ini Aku, Tuhan, Utuslah Aku!
Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!"
- Yesaya 6:8
Yesaya bertemu dengan kekudusan TUHAN, dia memandang TUHAN yang kemudian membuka visinya untuk melihat dirinya yang najis dan dunia yang membutuhkan terang kasih ilahi (Yes. 6:1-8). Sebelum bertemu dengan kekudusan Tuhan, Yesaya banyak menulis, "Celakalah ini, celakalah itu ..." seperti tercatat dalam pasal-pasal sebelumnya. Ia merasa dirinya benar dan yang lain salah tanpa ada beban dan visi untuk menjangkau keluar. Namun, ketika Yesaya bertemu dengan kekudusan TUHAN, ia yang najis bibir menyadari siapa dirinya, berseru, "Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir ...." (Yes. 6:5). Seseorang yang belum pernah bertemu secara pribadi dengan TUHAN Allah dan kekudusan-Nya selalu merasa dirinya benar. Pembenaran diri yang terefleksi dalam kenajisan bibirnya selalu mencari-cari kesalahan orang lain, menuding, dan menghakimi orang lain. Kekudusan TUHAN akan menyucikan bibir najis yang hanya memaki, memfitnah, menambah krisis menjadi penderitaan yang mengiris hati orang lain dan sesama Tubuh Kristus. Kekudusan TUHAN akan membuat seseorang dapat berkaca melihat kehinaan dan kekotoran dirinya sendiri. Kekudusan TUHAN adalah cermin yang paling tajam untuk berkaca. Orang yang belum pernah berkaca kepada kekudusan-Nya hanya akan melihat: celaka dia, celaka itu, celaka ini. Cermin kekudusan TUHAN akan membuat kita bertekuk lutut dan berkata, "Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, penuh dengan dosa lidah yang menyakiti hati orang lain yang belum percaya, hati sesama anggota Tubuh Kristus, dan bahkan orang-orang urapan Tuhan."
Kekudusan TUHAN akan menelanjangi dosa najis bibir yang menyerang legalitas urapan Tuhan atas hamba-hamba-Nya karena iri hati dan dengki atau kebiasaan buruk menggosipkan orang lain, tidak ada waktu untuk membicarakan lnjil, tetapi kelebihan waktu untuk bergosip ria.
Celakalah orang-orang demikian jika tidak bertobat! Miryam dan Harun iri hati terhadap Musa dan mengata-ngatainya karena Musa lebih dipakai oleh Tuhan. Mereka kemudian dihajar TUHAN dengan penyakit kusta (Bil. 12). Terkena penyakit kusta berarti tidak tahir dan tidak layak untuk melayani-Nya. Firman TUHAN mengingatkan,
"Jangan mengusik orang-orang yang Kuurapi." (Mzm. 105:15)
Akhirnya, setelah proses penyucian TUHAN di hadapan cermin kekudusan-Nya, mata kita terbuka melihat dunia yang perlu jamahan kasih-Nya.
Setelah seseorang disucikan di hadapan kekudusan TUHAN, ia akan dimampukan mendengar panggilan TUHAN,
"Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" (Yes. 6:8)
Kerinduan untuk menjadi saluran berkat akan mengalir dengan melimpah, dan dengan segenap hati seseorang dapat berkata, "Ini aku, utuslah aku!" Inilah respons yang asli dari seorang yang mengalami kehadiran TUHAN, yang mengubah hidupnya. Pertobatan, keinsafan akan dosanya, merendahkan hati di hadapan TUHAN disertai dengan suatu penyerahan hidup yang berlandaskan dari kerinduan menyenangkan Allah. Orang tersebut akan mengatakan, "Ini aku, TUHAN. Utuslah aku!" dan bukannya berkata, "Ini aku, utuslah dia."
Allah menantikan perkataan ini, dan dunia menantikan penyerahan ini. Dari krisis yang berkepanjangan, akan terbit terang yang gilang-gemilang dengan perkataan dan penyerahan ini, entah kita mendapati bahwa kita dipanggil untuk menjadi utusan Injil atau sebagai orang yang mengutus dan mendukung pekerjaan misi.
Betapa sulit untuk sampai kepada realisasi dari perkataan ini, yang diucapkan tidak hanya sebagai hiasan bibir melalui nyanyian dan ratusan bacaan. Jutaan orang percaya mengatakannya, tetapi siapakah yang dapat sungguh-sungguh mengatakan bukan hanya dengan bibir saja, melainkan dengan segenap hati, dan hidupnya berani berkata, "Ini aku! Utuslah aku!" dan ... melangkah dengan tindakan nyata?
"Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya menjadi pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri."
(Yak. 1:22)
Cerita tentang Pipa Saluran
Tumpukan besi-besi bekas yang berkarat, yang dikumpulkan tukang loak dari berbagai fungsi, bentuk, dan tempat, didekati seorang pandai besi yang ingin membeli besi-besi tua itu untuk dijadikan berbagai peralatan, yaitu rel kereta api dan pipa saluran air. Ketika pandai besi menyampaikan tujuan kedatangannya, sebongkah besi yang karatan berkata, "Saya bersedia dibentuk menjadi rel kereta api." Bongkah lain yang lebih karatan berkata, "Saya bersedia menjadi pipa saluran air PAM."
Pandai besi mengatakan bahwa untuk menjadi keduanya, mereka harus dibeli dulu dari si tukang loak, lalu harus melewati proses yang menyakitkan. Pertama, mereka harus meninggalkan kemapanan yang nyaman di tempatnya sekarang. Mapan, tetapi tidak berfungsi apa-apa, bahkan karat telah melekatkan mereka satu dengan yang lain dan sulit dipisahkan. Kedua, mereka harus dibersihkan dari karat-karat dan ditempa, dibakar, dan dilebur menjadi alat seperti yang pandai besi itu kehendaki. Dibakar, dipukul, digosok, dan dibentuk sesuai dengan kemauan dan keinginan si pandai besi itu. Itu suatu proses yang tidak mudah. Mereka pun bersedia. Akan tetapi, si pandai besi menambahkan, "Untuk menjadi saluran PAM, prosesnya ekstra keras dan sakit karena ada proses untuk membentuk bagian dalam yang tidak kelihatan." Bongkah besi berkarat, yang ditawarkan menawarkan diri untuk menjadi pipa PAM, menyatakan kesediaannya.
Setelah mengeluarkan uang untuk membeli besi-besi tua yang tak berguna itu dari tukang loak, mulailah proses yang menyakitkan itu. Dua bongkah besi bekas diangkat keluar dari kemapanannya -- dari kebiasaan dan budayanya. Ditarik dari akarnya. Diangkut ke satu tempat lain yang khusus, lalu dibakar, dibersihkan dari kotoran-kotoran dan karat yang menutupinya.
Akan tetapi, pembentukan masih harus berjalan. Bongkah besi yang diperuntukkan menjadi saluran air, di mana bagian dalamnya kasar dan kotor, perlu dibersihkan lagi. Bagian dalam itu sebenarnya tidak tampak, tidak kelihatan dari luar, dan tidak ada yang tahu. Akan tetapi, seperti sebuah saluran air, jika bagian dalamnya tersumbat, air yang disalurkan akan mandek. Pipa yang berwujud besi seperti pipa, tidak berfungsi sebagai pipa. Atau, jika bagian dalam pipa itu kotor, air yang disalurkan akan keluar menjadi air yang kotor. Proses penghalusan dan pembersihan bagian dalam itu begitu menyakitkan.
Begitu pula dengan "bagian dalam" kehidupan kita. Dosa-dosa yang tersembunyi, kenajisan, ambisi-ambisi pribadi, semua harus dikorek, digosok, dan dibersihkan. Proses itu begitu rumit dan sulit sekali. Akan tetapi, jika si besi pasrah dalam proses itu sehingga kemudian menjadi pipa besi yang dalamnya berlubang cukup dan bersih, air dapat mengalir melaluinya bersih memancar sampai ke tempat tujuan dan menjadi berkat di rumah-rumah dan memberi kehidupan, pengairan mengairi taman-taman yang membawa keindahan dan tanah pertanian yang menghasilkan buah bagi orang banyak.
Begitu pun Tuhan Yesus, Pandai Besi Yang Agung, dengan mata kasih-Nya yang jeli melihat kita sebagai onggokan besi bekas yang karatan, yang tidak ada gunanya. Dibelinya kita dengan darah-Nya yang mahal. Dibentuknya kita sesuai dengan maksud dan rencana-Nya yang indah bagi kita. Ironisnya, sering kali kita merasa nyaman dan lengket dalam kemapanan "zona kenyamanan" yang kotor. Dipanggil-Nya kita melangkah keluar dari zona kenyamanan dan kemapanan yang semu itu. Zona yang penuh hiasan kata dan nada teologi dan misi yang tanpa langkah nyata. Untuk dipakai menjadi alat yang lebih berguna, seperti pipa saluran air, memerlukan proses yang lebih berat lagi. Namun, pada akhirnya, onggokan besi yang tidak berguna itu bisa menjadi saluran berkat, mengalirkan Air Kehidupan kepada dunia ini. Pipa yang kokoh itu sanggup melewati berbagai macam jenis medan, bahkan sering kali tidak kelihatan karena "dipendam dalam tanah" atau "di bawah jalan" atau "dalam rawa-rawa kotor". Sungguhpun begitu, Air Kehidupan tetap mengalir di dalamnya tanpa merembes keluar dan terkontaminasi oleh kotoran dunia ini sehingga kesejukan surgawi terasa segar membasahi persada, dan segala dahaga dipuaskan dengan Air Kehidupan itu. Soli Deo Gloria!
Diambil dari: | ||
Judul buku: | : | Hati Misi |
Judul artikel | : | Ini Aku, Tuhan, Utuslah Aku! |
Penulis artikel | : | Bagus Surjantoro |
Penerbit | : | ANDI Offset |
Halaman | : | 141--147 |
- Login to post comments
- 13070 reads