You are herepenjangkauan / Dasar-Dasar Pekerjaan Misi

Dasar-Dasar Pekerjaan Misi


Sekilas, Perjanjian Lama sepertinya tidak banyak berbicara tentang misi, namun lebih sering mengisahkan tentang perang yang brutal dan pembantaian terhadap berbagai bangsa penyembah berhala. Juga, Perjanjian Lama tampaknya hanya menyisakan sedikit ruang bagi pengampunan, dan sepertinya belum siap memberkati bangsa-bangsa penyembah berhala dengan pemberitaan Kabar Baik. Dunia penyembahan berhala kerap kali digambarkan sebagai ancaman dan godaan bagi bangsa Israel, daripada sebagai tempat Allah menyatakan keselamatan-Nya. Sifat Israel yang sangat mudah tergiur dengan agama-agama bangsa kafir dan tunduk pada berhala-berhala yang disembah bangsa-bangsa di sekitar mereka, justru membangkitkan pertentangan yang keras serta membangun tembok pemisah yang menjulang tinggi.

Misi keselamatan

Namun, jika kita mengamati Perjanjian Lama secara saksama, jelaslah bahwa masa depan bangsa-bangsa justru menjadi bagian terbesarnya. Perjanjian Lama sangat sering membahas masa depan bangsa-bangsa itu, serta menaruh perhatian pada keselamatan yang akan menjadi milik mereka. Hal ini tidak mungkin berarti sebaliknya, sebab mulai dari halaman awal sampai halaman akhir, Alkitab menunjukkan perhatiannya kepada bangsa-bangsa dan kepada penyingkapan rencana keselamatan ilahi, sambil terus-menerus menyinggung tentang seluruh dunia. Dasar-dasar misi yang terdapat dalam Perjanjian Lama mempertimbangkan hal-hal berikut ini (kita tidak akan menyinggung kitab-kitab nubuatan karena mereka memunyai tempat yang unik dalam sejarah pewahyuan):

  1. Kita harus menunjukkan bagaimana Alkitab kerap mengacu pada seluruh bumi dan mereka yang mendiaminya sebagai ciptaan Allah. Pemikiran ini sangat akrab di telinga kita, sehingga kita tidak memakainya sebagai prinsip yang penting dalam doktrin misi. Tetapi, Kejadian 1:1 merupakan dasar Amanat Agung yang terdapat dalam Matius 28:19-20. Simaklah apa kepercayaan bangsa-bangsa tentang asal mula bumi. Dalam mitos kuno suku-suku Asia, Afrika, dan bagian dunia lainnya, disebutkan bahwa mereka adalah suku bangsa yang berasal langsung dari para dewa, dan mereka terhubung dengan dunia yang mereka diami. Dalam konsep ini, tidak ada ruang bagi bangsa lain. Kejadian 1:3, Kejadian 10, serta pernyataan Paulus bahwa Allah "telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi" (Kisah Para Rasul 17:26), memegang peranan yang sangat penting dalam bidang pelayanan. Karena, bagian-bagian tersebut tidak menyatakan bahwa suku atau ras tertentu memunyai hakikat yang lebih tinggi daripada yang lain. Bagian Alkitab tersebut membuka pandangan dunia yang berbeda dengan pandangan bangsa-bangsa lain.
  2. Gagasan penciptaan secara tidak langsung menyiratkan yuridikasi Allah di seluruh dunia (Mazmur 24; Mazmur 33:13). Walaupun tampaknya Allah menyerahkan bangsa-bangsa kepada nasib mereka, pada kenyataannya tidaklah demikian. Bangsa-bangsa lain juga merupakan subjek perhatian-Nya; Dia juga adalah Hakim Adil mereka. Di dalam Kitab Mazmur, tertera dengan jelas betapa seringnya bangsa-bangsa turut dipanggil untuk mengenal dan menaati Allah, dan betapa lengkap kesaksian para nabi tentang bangsa-bangsa di sekitar Israel. Allah tidak mengabaikan bangsa-bangsa dalam keadilan-Nya; namun Dia membutuhkan ketaatan dan pertanggungjawaban atas kemurtadan dan kemerosotan mereka.
  3. Alasan ini jugalah yang menjadi dasar dilarangnya penyembahan kepada allah-allah lain. Para nabi acap kali menekankan bahwa allah-allah bangsa lain adalah dewa (Yeremia 10:10). Karena Alkitab sungguh-sungguh percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan, maka terdapat misi di sini (Ulangan 4:39).
  4. Pengkhususan Israel tidak mengubah situasi ini. Namun, pengkhususan sementara itu diperlukan untuk menggenapi rencana keselamatan ilahi; pemisahan itu akan dihapuskan oleh Tuhan pada waktunya nanti. Ketika Abraham dipanggil dari Ur, dia diyakinkan bahwa oleh Abraham "semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 12:3) Dan janji yang sama ditegaskan ulang dalam kaitannya dengan keturunan Abraham (Kejadian 22:18). Kesadaran Israel akan pemisahan yang bersifat sementara ini tidak akan pernah dilupakan; hal inilah yang justru menjadi awal dari nubuat tentang keselamatan bangsa-bangsa.
  5. Yang terutama di sini adalah struktur perjanjian yang unik dalam agama Israel. Bangsa-bangsa penyembah berhala di sekitar Israel, menganggap diri mereka kurang lebih serupa dengan dewa-dewa yang mereka sembah. Dewa-dewa mereka dianggap sebagai penjaga yang melindungi dan pemberi kehidupan. Dewa-dewa itu berinkarnasi dalam bangsa-bangsa, sehingga ketika suatu bangsa menaklukkan bangsa lain, itu berarti mereka juga menaklukkan dewa-dewanya. "Di manakah dewa Hamath dan Arpad? Di manakah dewa Sefarvaim, Hena, dan Ivva?" Begitu Rabeshekah menyindir di depan gerbang Yerusalem. Bangsa-bangsa penyembah berhala menyembah sifat yang dikandung dalam kuasa dewa-dewa mereka. Raja-raja mereka bisa mendewakan diri mereka sendiri karena merasa memiliki kuasa ilahi.

    Situasinya sangat berbeda dengan di Israel. Allah menjalin hubungan dengan Israel secara istimewa, dalam sebuah perjanjian. Akan tetapi, hubungan itu tidak lantas menjadikan-Nya sama dengan bangsa Israel. Yehovah dapat menghukum bangsa pilihan-Nya dengan menyerahkan mereka kepada para musuhnya, menghantam mereka dengan wabah penyakit dan kelaparan dalam murka-Nya, serta membuat mereka merintih di bawah perbudakan selama bertahun-tahun, tetapi Dia tidak menderita kekalahan apa pun. Namun, di tengah-tengah kebutuhan dan kebingungan yang dialami umat-Nya, Allah membuktikan diri-Nya sebagai Yang Mahakudus Allah Israel, sebagai pribadi yang mengayomi umat-Nya sepanjang zaman dengan kesetiaan yang tiada taranya.

    Pelayanan misi hanya bisa dilaksanakan di dalam konsep perjanjian. Agama-agama penyembah berhala mengizinkan adanya penaklukan paksa; allah bangsa penakluk dipaksakan kepada bangsa yang ditaklukkan. Dalam lingkup agama penyembah berhala seperti inilah, Nebukadnezar menjatuhkan hukuman mati bagi orang-orang Yahudi yang diasingkan di Babel jika mereka melanggar perintahnya untuk menyembah berhala. Dunia yang didiami oleh para dewa, dalam pengertian agama penyembah berhala, dipercaya sebagai sisi lain yang suci dari dunia yang kita tinggali ini. Sinkretisme mungkin juga terjadi di antara agama-agama penyembah berhala. Suatu bangsa bisa mendapati bahwa allah-allah yang mereka sembah, ternyata identik dengan dewa yang disembah bangsa lain, tetapi dikenal dengan nama yang berbeda. Namun, yang mustahil ditemukan dalam agama-agama penyembah berhala, adalah usaha yang tulus untuk membawa bangsa lain beriman kepada allah mereka, melalui kesaksian rohani. Usaha seperti ini hanya dapat dilaksanakan di dalam perjanjian. Jika Yehovah adalah Allah Israel karena perjanjian-Nya dengan Israel, maka kita dapat melihat bahwa bangsa-bangsa lain, suatu saat juga akan diikutsertakan dalam perjanjian tersebut. Israel tidak memunyai pengakuan tersendiri atau khusus tentang Allah; posisi istimewa mereka hanyalah karena berkat kasih karunia Allah. Israel tidak lebih baik daripada bangsa-bangsa lain, mereka hanya mendapat kehormatan dan tanggung jawab yang lebih besar. Pembedaan tersebut terdapat dalam fakta bahwa melalui bangsa Israel, suatu hari nanti, bangsa-bangsa lain juga akan menerima keselamatan dari Allah Israel.

  6. Israel merupakan bangsa yang sejarahnya dapat dilihat oleh bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya, yang sadar bahwa Allah sedang bekerja di tengah-tengah bangsa itu. Sering kali dalam Perjanjian Lama, Israel memohon kepada Allah untuk menganugerahi mereka kelepasan, agar bangsa-bangsa lain menyaksikan dan memuliakan Allah Israel. Israel sadar bahwa mereka terus-menerus hidup di bawah pengawasan dunia pada zaman itu. Kejadian ini dinyatakan dalam ratapan Musa setelah melihat Allah menghukum bangsa Israel karena menyembah patung lembu emas (Keluaran 32:12). Kemudian, sesudah Allah menjatuhkan hukuman yang keras, Musa berkata, "maka bangsa-bangsa yang mendengar kabar tentang Engkau itu nanti berkata: oleh karena TUHAN tidak berkuasa membawa bangsa ini masuk ke negeri yang dijanjikan-Nya dengan bersumpah kepada mereka, maka Ia menyembelih mereka di padang gurun." (Bilangan 14:16) Keluhan yang sama disebutkan dalam Ulangan 9:28. Dan sesudah bangsa Israel mengalami kekalahan di kota Ai, Yosua menyerukan bahwa bangsa sekitar Israel akan mengepung mereka dan melenyapkan mereka (Yosua 7:9). Dan, Hizkia berdoa ketika Sanherib menyerang tembok Yerusalem, "Maka sekarang, ya TUHAN, Allah kami, selamatkanlah kami dari tangannya, supaya segala kerajaan di bumi mengetahui, bahwa hanya Engkau sendirilah TUHAN." (Yesaya 37:20) Ketika orang-orang Israel yang taat berdoa dalam Mazmur 67 agar Allah senantiasa bermurah hati kepada bangsanya dan memberkati mereka, dia menambahkan, "Supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa." (Mazmur 67:2).

    Perjanjian Lama sangat sering membahas masa depan bangsa-bangsa itu, serta menaruh perhatian pada keselamatan yang akan menjadi milik mereka.
    1. Facebook
    2. Twitter
    3. WhatsApp
    4. Telegram

    Israel berada dalam sebuah kesan bahwa sejarah mereka terbentuk di dalam kontak dengan bangsa-bangsa lain. Allah tidak hanya menggunakan sejarah Israel untuk menyentuh bangsa-bangsa disekitarnya, tetapi juga seluruh dunia. Kekalahan dan kemenangan Israel, kebesaran dan penaklukannya oleh bangsa lain, pembebasan ajaib yang diterimanya, dan penderitaan berat yang ditimpakan ke atasnya merupakan bagian dari rencana Allah untuk dunia. Allah mengulurkan tangan-Nya kepada seluruh dunia melalui peristiwa-peristiwa tersebut. Dan hebatnya, Israel sangat sadar akan posisi mereka yang unik.

  7. Semua peristiwa yang dialami oleh bangsa Israel itu hanya dilihat dari sudut pandang teosentris. Kata-kata yang mengandung belas kasihan jarang terdengar bagi bangsa-bangsa yang tidak memunyai kesempatan mengenal Allah. Kemuliaan Yehovah, bukan kebutuhan para penyembah berhala, adalah tema utama kehidupan bangsa Israel. Mereka telah terlibat dalam konflik yang sangat keras dengan bangsa-bangsa penyembah berhala di perbatasan wilayah mereka. Selain itu, Israel merasakan ancaman dan godaan dari dunia penyembahan berhala dalam kehidupan sehari-hari mereka, sehingga mereka memunyai ketakutan yang kudus terhadap elemen kuasa kegelapan yang terdapat dalam penyembahan berhala. Israel mengenal kesombongan yang menakutkan dari kuasa kegelapan itu, keberdosaan dan kekejiannya yang mengerikan, sebab mereka telah melihat sendiri kengerian yang sebenarnya dari kuasa kegelapan itu (Mazmur 9:19-20). Bangsa Israel tidak digerakkan oleh kepedulian yang mendalam kepada bangsa-bangsa lain melalui belas kasihan, tetapi melalui keinginan mereka menjelaskan kepada seluruh dunia bahwa Yehovah adalah Tuhan, Allah yang benar. Israel dapat menghadapi apa pun juga, bahkan penjajahan dan pengasingan bila perlu, asalkan penyembah berhala tidak berpikir bahwa Yehova sudah tidak memiliki kuasa untuk melepaskan umat-Nya. Mereka dapat melihat kerajaan dunia dihancurkan menjadi puing-puing, asalkan seluruh manusia di bumi mengerti bahwa Allah Israel yang Kuduslah yang menjatuhkan penghakiman itu, sebab hanya Israel saja yang peduli akan Allah, ya, hanya mereka saja yang peduli kepada Allah.
  8. Berbagai ungkapan dari Mazmur yang memanggil bangsa-bangsa untuk memuliakan Tuhan harus dilihat dengan cara ini. "TUHAN itu Raja, maka bangsa-bangsa gemetar."(Mazmur 99:1) "Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak-sorai!" (Mazmur 47:1) Ungkapan-ungkapan tersebut bukanlah khotbah misi, ungkapan tersebut mungkin bahkan tidak pernah didengar oleh seorang penyembah berhala sekalipun. Akan tetapi, kesaksian yang kerap terulang itu, bangsa Israel mengingatkan diri mereka sendiri bahwa bangsanya hidup di tengah-tengah bangsa lain. Selain itu, urusan Allah dengan Israel juga melibatkan bangsa-bangsa lain yang masih terikat dalam belenggu pemujaan berhala yang fatal. Israel lebih terkesan terhadap dirinya sebagai sebuah bangsa yang berdiri sendiri, daripada terhadap potensi mereka untuk masuk ke dalam dunia pada zamannya untuk melakukan pelayanan misi. Mereka tahu bahwa waktu untuk melakukan hal itu belum tiba. Namun, ketika mereka dalam derita penawanan setelah perang, banyak orang Israel yang mengerti bahwa Allah akan menggunakan cara keras itu untuk membuat nama-Nya dikenal di antara orang-orang kafir. Orang-orang Israel tersebut belajar untuk tidak takut, tetapi berdoa, menyadari bahwa kesejahteraan mereka berada dalam kesejahteraan bangsa Babel (Yeremia 29:7). Dengan kekuatan yang tak mengenal rasa takut, Daniel menjadi saksi keagungan Yehovah di depan pemimpin para raja yang memerintah Babel dan Persia. Selain itu, seorang anak perempuan kecil Israel yang menjadi budak dipakai oleh Tuhan untuk membawa tuannya mengenal apa yang dapat dilakukan oleh Allah Israel yang Kudus terhadapnya (2 Raja-raja 5:1-3). Dari sini, tampak bahwa di balik kebencian Israel terhadap penyembahan berhala, api pelayanan misi di antara orang-orang Israel tidak pernah padam. Bahkan, apinya dapat membakar luas jika Allah membawa Israel dalam kontak yang lebih dekat dengan para penyembah berhala, melalui pukulan keras dari kesusahan yang mereka lewati.

Jika kita merenungkan hal-hal di atas, maka jelaslah bahwa pewahyuan Allah dalam Perjanjian Lama mengandung prinsip-prinsip dasar tertentu yang mengutarakan konsep misi. Konsep misi bukanlah hal yang asing dari keseluruhan pemaparan kitab ini, namun mereka berjalan secara harmonis dengan keseluruhan Kitab Suci, yang dapat dimengerti pada waktu Allah. Kelemahan moral dan rohani Israel memang memperlambat perkembangan mereka. Serta, Israel sendiri terlalu condong ke dalam praktik-praktik penyembahan berhala, untuk menjadi saksi yang jelas bagi dunia saat itu. Namun, rencana Allah tetap terjaga murni; dan akan datang saatnya, Allah menghancurkan tembok pemisah itu. Dan, jalan pun akan terbuka bagi seluruh penjuru dunia. (t/Uly)

Diterjemahkan dari:
Judul buku : An Introduction to the Science of Missions
Judul asli artikel : The Foundations of Mission Works
Penulis : J. H. Bavinck
Penerbit : Presbyterian and Reformed Publishing Co., New Jersey
Halaman : 11 -- 17
Sumber : e-JEMMi 45/2012