You are herePenginjilan / Misi Allah adalah Misiku

Misi Allah adalah Misiku


By admin - Posted on 07 June 2018

Ditulis oleh: Roma

Berbicara mengenai misi Allah, saya teringat sewaktu pertama kali saya kuliah di satu Sekolah Teologi. Saya mengikuti OSPEK (Orientasi Studi Pengembangan Kampus) bersama dengan teman-teman saya yang lainnya. Nah, saat itu kami diberi hafalan tentang ikrar setia. Ada frasa dalam ikrar tersebut yang mengatakan tentang "misi Allah". Maksudnya adalah, saat kami menjalani panggilan Tuhan dalam perkuliahan, kami harus siap dibentuk dalam segala aspek dan pembentukan itu tetap berorientasi terhadap misi Allah. Saya menghafal ikrar tersebut, tetapi saya tidak menghidupinya. Saya juga belum mengerti apa itu misi Allah, dan mengapa Dia harus memanggil saya menjadi teman misi-Nya.

Berjalannya waktu, saya mulai paham maksud Tuhan memanggil saya. Saya perlahan-lahan mulai mengerti apa itu misi Allah dan mengapa saya harus mengerjakan misi itu. Saat duduk di semester 6, saya akhirnya mendapatkan mata kuliah misiologi yang dibawakan oleh seorang dosen saya yang juga adalah seorang misionaris. Dia juga merupakan seorang pemimpin dalam sebuah lembaga misi, yang menyebar di berbagai wilayah di Indonesia (Aceh, Kendari, Palembang dll). Sepanjang mengikuti perkuliahan dari beliau, saya merasa sangat sedih karena saya orang yang melankolis. Hal yang membuat saya sedih ialah saya merasa saya sudah membuang waktu saya selama ini. Saya makan, tidur, sekolah dan sebagainya, tetapi saya tidak berbuat sesuatu bagi orang lain. Saya terlalu egois karena hanya memikirkan diri saya sendiri. Saya baru sadar, bahwa orang lain juga membutuhkan keselamatan. Mereka butuh Injil, mereka butuh kasih Allah, dan mereka juga butuh hidup yang kekal. Terlebih saat dosen kami memberikan sebuah ayat dari kitab Roma 10:14-15, itu membuat saya lebih menyesal lagi. Dan, akhir dari mata perkuliahan itu, kami ditantang untuk bermisi. Jadi, kami bukan hanya ikut kelas dan mendengar teori-teori misi, kami juga ditantang untuk melakukan praktek. Sekitar 21 orang, yang dibagi dalam beberapa kelompok (2-3 orang per kelompok) berangkat ke Yogyakarta. Selama 3 hari kami di sana, kami diperlengkapi secara teori dan setelah itu kami menyebar di Yogja untuk menyampaikan Injil Allah. Di situ saya merasa takut sekali, karena saya takut ditolak atau bahkan mungkin saja bisa dipukul. Namun, teman yang sekolompok dengan saya menguatkan saya kembali. Saya tidak tahu mengapa mereka sangat berani, atau mungkinkah dalam hati kecilnya sebenarnya mereka juga merasa ketakutan? Kami pun memberitakan Injil di Malioboro kepada beberapa orang di sana. Respons mereka berbeda-beda. Ada yang hanya mendengar, ada yang menolak, tetapi ada juga yang menerima. Yang saya syukuri ialah saya mulai berani ketika bersaksi tentang Injil. Pastinya itu bukan karena kekuatan saya sendiri, melainkan kuasa Allah melalui Roh-Nya yang memampukan saya.

Sejak hari itu, saya mulai memberanikan diri untuk bersaksi tentang Injil. Jika saya tidak berani berbicara langsung, saya akan memberikan traktat yang saya ambil dari kampus. Saat berangkat pelayanan, saya dan teman pelayanan saya sering membawa traktat. Di dalam bus, kami menempatkan traktat itu di kursi-kursi yang masih kosong. Pernah suatu kali di dalam bus, kami menempatkan traktat di kursi kosong. Saat ada yang duduk di kursi tersebut, traktatnya dibuka dan langsung dibuang keluar bis. Sedih juga rasanya, tetapi kami hanya berdoa supaya orang tersebut mengalami kasih Allah. Pernah juga kami berkunjung ke sebuah rumah jemaat. Nah, tetangga dari jemaat itu adalah orang yang belum percaya Yesus. Kami akhirnya ambil kesempatan tersebut untuk memberitakan Injil. Saat saya menceritakan kabar baik itu, Ibu tersebut mendengar dan sepertinya merespons perkataan saya. Saya sangat bersyukur, Ibu itu bisa menerimanya. Beberapa kali kami sering datang ke tempat ibu itu untuk proses follow up. Namun, untuk setelah kesekian kalinya kami datang, ibu itu malah bersembunyi dan tidak mau lagi bertemu dengan kami. Ternyata alasan ibu itu ialah karena dia takut kepada anaknya. Anaknya tahu bahwa kami membagikan kisah Injil kepada ibunya sehingga anaknya menjadi marah dan tidak menerima kami lagi. Sekalipun begitu, saya bersyukur bahwa Injil itu sudah kami ceritakan. Meski upaya kami diterima atau justru ditolak, kami tetap bersyukur Injil sudah kami ceritakan kepada banyak orang.

Sampai saat ini, saya sering memberitakan kabar baik ke beberapa orang. Walaupun kadangkala saya merasa takut, tetapi saya percaya Tuhan memberikan kekuatan dan hikmat-Nya menyertai saya. Saya juga memiliki beberapa teman seangkatan dengan saya yang menjadi misionaris di beberapa tempat Indonesia. Mereka sering bercerita tentang bagaimana kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi di ladang misi. Ada begitu banyak penolakan, cacian, bahkan nyawa mereka sering menjadi taruhan di dalam pelayanan misi. Saya bersyukur sekalipun saya tidak terjun langsung dalam pelayanan misi mereka, saya selalu mendoakan mereka dan pelayanan mereka. Saya merasa saya mengerjakan bagian saya dalam doa. Dan, itu menjadi satu kekuatan tersendiri bagi mereka. Beberapa kali teman saya (yang melayani di ladang misi) curhat betapa sulitnya mereka dalam melayani jiwa-jiwa yang dijangkau itu. Saya membayangkan jika saya berada di posisi mereka, mungkin saya tidak akan sanggup dan kemungkinan saya juga akan lari. Namun, setiap kali mereka curhat, saya selalu memberi dorongan dan semangat kepada mereka, agar mereka tetap semangat di dalam pelayanan. Saya sering membagi pokok doa mereka kepada teman-teman saya yang lain agar kami bisa bersama-sama mendoakan mereka. Dan, bersyukur, sampai saat ini mereka tetap berada di ladang misi dengan penuh sukacita dan semangat. Itu semua berkat doa kepada Tuhan. Doa yang dari iman, besar kuasanya.

Visi dan misi itu saling berkaitan. Untuk mencapai sebuah visi diperlukan sebuah misi. Dan, salah satu misi saya sejak saya mengalami pertumbuhan iman dari Tuhan, saya rindu aktif di dalam doa untuk mendoakan teman-teman saya, hamba-hamba Tuhan, bahkan semua orang-orang yang terjun langsung ke lapangan misi. Ada yang di pulau terpencil, suku terabaikan, desa-desa yang terasing, bahkan orang-orang yang belum pernah mendengar Injil sekalipun, mereka semua membutuhkan dukungan doa. Saya bersyukur bukan hanya saya yang berdoa. Staf di tempat saya bekerja, melayani, dan belajar ternyata juga adalah para pendoa. Di tempat saya bekerja sekarang, saya semakin dikuatkan untuk terus berdoa bagi semua utusan misi. Setiap hari ada pokok doa yang saya dapatkan untuk mendoakan orang-orang misi, orang-orang teraniaya, bahkan orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Saya sangat bersyukur untuk kemurahan Tuhan di dalam kehidupan saya. Terpujilah Allah pencipta langit dan seluruh isinya. Sekali lagi, segala kemuliaan dan keagungan saya persembahkan kepada Bapa yang di surga. Tuhan Yesus memberkati.