TUHAN MATI DI KAYU SALIB UNTUK ORANG BERDOSA
Saat merayakan Paskah, kita mengingat bagaimana penderitaan Tuhan di
kayu salib untuk umat manusia yang berdosa. Bagi banyak orang,
penyaliban dan kebangkitan Kristus adalah sesuatu yang begitu sering
didengar di gereja sehingga sudah menjadi hal yang biasa. Padahal
ini merupakan peristiwa luar biasa yang menjadi pusat pemberitaan
Kabar Baik dalam misi. Mari kita renungkan lagi apa yang terjadi di
bukit Golgota.
Setelah sampai di bukit yang terkenal di luar kota Yerusalem itu,
para prajurit menanggalkan pakaian Yesus, kecuali kain lenan. Dalam
persiapan pemakuan tangan dan kaki-Nya, punggung-Nya direbahkan ke
tanah untuk disalibkan. Luka-luka cambukan di tubuh-Nya sobek
kembali dan terkontaminasi dengan tanah kotor. Para tentara kemudian
merentangkan kedua tangan-Nya, mengambil sebuah paku yang besar, dan
memakunya dengan sebuah paku tunggal di antara tulang pergelangan
tangan-Nya. Pemakuan pada kedua pergelangan tangan ini akan mengenai
syaraf median yang dapat menyebabkan rasa sakit yang luar biasa di
kedua tangan-Nya.
Setelah itu, Yesus diangkat bersama dengan patibulum untuk disatukan
dengan tiang tegak; kedua kaki-Nya disatukan, lalu tulang kaki-Nya
dipaku untuk memberikan suatu "pijakan" atau "tumpuan" sehingga
menopang-Nya untuk melakukan pernafasan. Dalam usaha mempercepat
kematian korban penyaliban, para tentara biasanya mematahkan kedua
kaki korban sehingga tidak dapat mengangkat tubuhnya untuk bernafas.
Sesudah pemakuan selesai, tubuh-Nya tergantung agak longgar ke bawah
karena pengaruh gaya gravitasi bumi dan tangan-Nya yang terentang
kuat menahan berat. Pernafasan yang pas-pasan didapatkan dengan
mengangkat tubuh melalui dorongan kaki-Nya dan mengendurkannya
dengan menekuk siku tangan berkali-kali. Pengenduran siku ini akan
menyebabkan perputaran pada pergelangan tangan-Nya yang dipaku. Hal
ini menyebabkan rasa sakit yang luar biasa sehingga dapat
menghancurkan syaraf median. Itu sebabnya pendarahan terus terjadi
selama penyaliban. Naik-turunnya tubuh dalam setiap respirasi
menyebabkan luka-luka cambukan di tubuh-Nya bergesekan dengan tiang
salib yang kasar. Menarik nafas merupakan suatu penderitaan dan
kesakitan yang luar biasa bagi-Nya, namun justru di saat itulah
Kristus mengucapkan tujuh perkataan-Nya.
Para tentara dan orang banyak yang berkumpul di situ terus mengejek
Yesus sepanjang siksaan penyaliban. Hal ini menunjukkan bahwa salib
bukan hanya alat untuk menyiksa dan menghukum mati seseorang, tetapi
juga sebagai alat untuk mempermalukan orang tersebut di depan umum.
Lalu, pada jam dua belas siang, terjadi kegelapan yang meliputi
seluruh daerah itu dan berlangsung sampai kira-kira jam tiga sore.
Kemudian Yesus berseru dengan suara nyaring, "Sudah selesai," (Yoh.
19:30) lalu Ia menyerahkan nyawa-Nya (Luk. 23:45).
Karena orang Yahudi tidak menginginkan mayat tergantung di salib
sebelum matahari terbenam, mereka meminta Pilatus untuk mempercepat
kematian dari ketiga orang yang disalibkan. Tetapi ketika mereka
menghampiri Yesus dan melihat bahwa Dia sudah mati, kedua kaki-Nya
tidak dipatahkan. Sebagaimana prosedur yang berlaku, seorang
prajurit menikam rusuk-Nya, kemungkinan dengan tombak infanteri, dan
seketika mengalir darah dan air dari tubuh-Nya. Mereka tidak akan
mengambil risiko dengan membiarkan korbannya tetap hidup karena
konsekuensinya sangatlah berat. Oleh karena itu, mereka harus
memastikan kematian orang yang tersalib itu sebelum diturunkan dari
tiang salib. Dan saat itu, Yesus memang sudah mati.
Dia bersedia menderita dan melakukan semua ini bagi kita, orang yang
berdosa; membukakan pintu bagi kita kepada Allah Bapa di surga.
Karya Tuhan ini ditujukan bagi manusia dari latar belakang apa saja.
Inilah Kabar Baik yang diberitakan lewat misi sedunia.
Sumber diedit dari:
Nama Buletin | : | Buletin Terang Lintas Budaya, Edisi 52/2001 |
Halaman | : | 3 |