You are hereArtikel Misi / Dasar Alkitabiah Pelayanan Lintas Budaya

Dasar Alkitabiah Pelayanan Lintas Budaya


Penjelmaan Yesus Kristus dan Kontekstualisasi

Penjelmaan atau inkarnasi Yesus Kristus merupakan puncak penyataan Allah kepada manusia. Dalam Perjanjian Lama "Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada ... kita dengan perantaraan nabi-nabi" (Ibrani 1:1). Zaman dahulu Allah bersabda kepada umat-Nya melalui nabi-nabi-Nya. Namun, "... pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, ...." (Ibrani 1:2). Yesus Kristus, Anak Allah dan Firman yang kekal itu "... telah menjadi manusia dan diam di antara kita...." (Yohanes 1:14)

Gambar: etnis

Dalam inkarnasi Yesus, Allah melintasi jurang pemisah antara surga dan dunia ini. Ia menjembatani kesenjangan antara alam gaib dan alam semesta ini. Ia melakukan semua ini untuk menyatakan diri-Nya kepada kita. Seperti tertulis dalam Yohanes 1:18 "Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, ... Dialah yang menyatakan-Nya." Kata "menyatakan-Nya" secara harfiah berarti "menafsirkan" atau "meriwayatkan". Yesus Kristus adalah penafsir Allah yang sempurna.

Di sini kita melihat cara Allah sendiri untuk mengontekstualisasikan firman-Nya. Yang Mahamulia, yang Mahaagung, dan yang Mahasuci menjadi sama dengan kita. Pribadi kedua dari Tritunggal mengambil rupa manusia bagi diri-Nya sendiri, mengambil segala sesuatu berhubungan dengan kemanusiaan yang sempurna, sehakikat dengan kita sebagai manusia (Ibrani 2:14). Ia menyesuaikan diri dengan kita supaya kita dapat memahami siapa Allah itu sebenarnya. Allah kita adalah Allah yang rindu menampakkan diri-Nya kepada kita dengan cara yang relevan.

Meskipun demikian, sebagai manusia Ia hidup tanpa dosa. "Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa" (Ibrani 4:15b), sebab "di dalam Dia tidak ada dosa" (1 Yohanes 3:5). Oleh karena itu, kita melihat bahwa penyataan Allah dalam inkarnasi itu relevan dan tetap murni. Puncak kerinduan Allah untuk berkomunikasi dengan manusia diwujudkan dalam kehadiran-Nya sendiri di antara manusia. Ia yang Mahasuci bersedia memasukkan diri-Nya ke dalam kebudayaan manusia. Ia bahkan menjadi manusia sejati yang berkomunikasi dengan masyarakat lindungan-Nya sesuai dengan bahasa dan kebudayaan mereka.

Sebenarnya tujuan kontekstualisasi sama dengan tujuan inkarnasi Yesus. Sama seperti Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui kebudayaan Yahudi, demikian juga kita ingin menyatakan Allah kepada suku-suku yang belum mengenal Yesus melalui kebudayaan mereka. Oleh karena itu, kontekstualisasi merupakan suatu prinsip ilahi yang diwujudkan dalam penjelmaan Yesus. Inkarnasi Yesus tidak hanya memberi teladan kepada kita, tetapi juga memerintahkan kita untuk mengikuti teladan-Nya: "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian Aku mengutus kamu!" (Yohanes 20:21)

Sidang di Yerusalem dan Kontekstualisasi

Persoalan yang terjadi pada sidang jemaat di Yerusalem dalam Kisah Para Rasul 15 mengungkapkan persoalan-persoalan yang biasanya muncul dalam pelayanan lintas budaya: hubungan antara kebudayaan dan Injil. Dan, keputusan yang diambil oleh jemaat yang mula-mula merupakan suatu dasar yang kokoh untuk pelaksanaan kontekstualisasi.

Hal yang dibahas dalam sidang di Yerusalem merupakan arti Injil yang sebenarnya. Mereka menggumuli syarat-syarat untuk keselamatan: "Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di situ, 'Jikalau kamu tidak disunat menurut adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan.'... 'Orang-orang yang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa'" (Kisah Para Rasul 15:1,5). Oleh karena itu, menurut golongan orang-orang Yahudi: Injil + Sunat = Keselamatan.

Mereka merasa bahwa tidaklah cukup kalau orang Yunani hanya percaya kepada Yesus saja; mereka juga harus mengikuti adat-istiadat orang Yahudi. Namun, Paulus dan Barnabas tidak setuju dengan rumusan ini: "Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu." (Kisah Para Rasul 15:2a) Menurut golongan Paulus: Injil + 0 = Keselamatan

Kenyataan yang sebenarnya ialah bahwa kita diselamatkan oleh iman karena kasih karunia Allah (Kisah Para Rasul 15:7,9,11,14). Sidang di Yerusalem meneguhkan pendapat Paulus dan Barnabas bahwa kita diselamatkan oleh Injil dan hanya Injil saja. Orang Yunani tidak harus menjadi seperti orang Yahudi atau mengikuti adat-istiadat Yahudi untuk memperoleh keselamatan. Persoalan yang dibahas pada sidang di Yerusalem dapat digambarkan sebagai berikut. Golongan orang Yahudi percaya bahwa orang Yunani harus menjadi seperti orang Yahudi untuk memperoleh keselamatan.

Golongan Paulus percaya bahwa baik orang Yahudi maupun orang Yunani diselamatkan hanya oleh iman. Mereka tidak usah meninggalkan kebudayaan atau adat-istiadat mereka untuk diselamatkan, asalkan mereka mau bertobat dan percaya kepada Yesus. Tersirat dalam keputusan ini ialah suatu kebebasan yang diberikan kepada setiap suku untuk mengungkapkan Injil itu dalam sarana kebudayaannya sendiri. Kita tidak hanya diselamatkan tanpa mengikuti adat-istiadat asing, tetapi juga boleh beribadah tanpa mengikuti adat-istiadat asing.

Jadi, bagaimana orang dari latar belakang Kristen diselamatkan? Apa yang harus dilakukannya kalau ia ingin diselamatkan? Ia harus bertobat dan percaya kepada Yesus. Bagaimana dengan orang dari latar belakang bukan Kristen? Apakah orang dari agama lain harus mengikuti adat kekristenan tradisional untuk diselamatkan? Tidak. Semua orang diselamatkan hanya oleh iman. Renungkan implikasinya. Apakah orang Sunda harus mengikuti adat dan tradisi Batak kalau ia ingin diselamatkan? Tidak! Apakah orang Jawa harus mengikuti adat dan tradisi Tionghoa kalau ia ingin diselamatkan? Tidak! Namun, tanpa disadari justru itulah yang terjadi, dan setiap gereja di Indonesia dipengaruhi oleh adat Barat (karena kekristenan dibawa ke Indonesia oleh penginjil yang memasukkan adat mereka sendiri), selain oleh adat suku mayoritas anggota.

Kalau demikian halnya bagaimana caranya supaya orang dari latar belakang bukan Kristen dengan adat/tradisinya dapat percaya tanpa mengikuti adat atau tradisi suku lain? Kita harus mendirikan jemaat-jemaat baru. Kita harus membentuk dan mengembangkan adat dan tradisi yang alkitabiah, tetapi sesuai dengan adat serta tradisi petobat baru. Sesuai dengan keputusan sidang di Yerusalem dan agar kita dapat menjangkau sebanyak mungkin orang di Indonesia, kita harus berusaha mendirikan jemaat-jemaat baru, jemaat-jemaat yang "berakar di dalam Kristus dan erat berhubungan dengan kebudayaannya."

Paulus di Athena: Penyampaian Injil yang Kontekstual

Dalam Kisah Para Rasul 17:22-34 ada suatu pemaparan yang menerangkan penyampaian Injil yang kontekstual. Pada waktu itu Rasul Paulus menginjili orang-orang terpelajar di kota Athena. Pada waktu itu, kota Athena merupakan pusat para sarjana, cendekiawan, ilmuwan, dan filsuf, sehingga kota ini terkenal sebagai kota untuk orang berpendidikan tinggi dan pola berpikir maju. Rasul Paulus mulai menginjili orang Athena di rumah ibadat Yahudi serta di pasar dengan cara bertukar pikiran dan bersoal jawab dengan siapa saja yang bersikap terbuka. Akhirnya Paulus diundang ke Areopagus, badan cendekiawan yang berfungsi seperti Majelis Ulama Indonesia (Kisah Para Rasul 17:16-21).

Paulus mulai memberitakan Injil dengan cara memuji mereka atas kesungguhan mereka dalam beribadah: "Hai orang-orang Athena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa." (ayat 22b) Ia mulai mendekati mereka dengan cara yang sepositif mungkin dan berusaha menghindari konfrontasi. Setelah memuji mereka, ia menemukan suatu jembatan supaya pesan yang disampaikan dapat mencapai sasaran dan sekaligus relevan bagi para pendengarnya: "Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mazbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu." (ayat 23)

Perhatikan bahwa Paulus menjadikan sebuah mazbah -- bukan sebuah patung berhala -- sebagai titik tolak. Rupanya, Allah yang berdaulat sudah mempersiapkan orang Athena untuk menerima Injil melalui mezbah ini. Paulus kemudian menyatakan bahwa tugas dan tujuannya ialah memperkenalkan Allah yang tidak dikenal oleh mereka. Setelah itu, Paulus menerangkan tentang Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara manusia (ayat 24-27). Kemudian dalam ayat 28 ia memakai jembatan lain. Ia mengutip syair mereka: "Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga."

Kelihatannya Paulus percaya bahwa setiap kebudayaan atau agama memunyai unsur-unsur kebenaran sehingga ia berani mengutip puisi orang-orang Yunani yang disejajarkan dengan firman Allah. Ia mengutip supaya berita yang disampaikan itu dapat diterima dan dipahami sehingga Injil yang disampaikan menjadi relevan. Namun, pendekatan kontekstual ini bukan saja dimaksudkan untuk menyesuaikan diri saja, melainkan juga untuk hidup di bawah hukum Kristus, yaitu menantang hal-hal yang tidak sesuai dengan firman Allah supaya Injil tetap murni. Akhirnya, Paulus mengakhiri penyampaian ini dengan tantangan tentang pertobatan, penghakiman yang akan datang, dan kebangkitan Yesus (ayat 30-31). Respons terhadap pemberitaan Paulus ini bermacam-macam. Ada yang mengejeknya, ada yang ingin mendengar lagi, serta ada beberapa yang percaya (ayat 32-34).

Ada satu hal lain yang menonjol dan harus ditekankan di sini. Penyampaian kontekstual ini berpusatkan kepada Allah dan bukan kepada Anak Allah. Paulus tidak keberatan kalau langkah awal dari pendekatannya berpusat kepada Allah. Ia merasa tidak perlu langsung menyinggung soal Yesus atau Anak Allah. Ia ingin memaparkan Injil langkah demi langkah dan penekanannya selalu sesuai dengan konteksnya. Misalnya, di Indonesia adalah lebih tepat kalau kita lebih berpusat kepada Allah dalam pemberitaan Injil kita. Walaupun pada akhirnya kita harus berani menantang semua orang supaya bertobat dan percaya kepada Yesus, tetapi adalah lebih bijaksana dan alkitabiah kalau penginjilan kita berpusat kepada Allah.

Sama seperti Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui kebudayaan Yahudi, demikian juga kita ingin menyatakan Allah kepada suku-suku yang belum mengenal Yesus melalui kebudayaan mereka.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Ada ayat-ayat lain yang menunjang pendekatan yang berpusat kepada Allah. Kadang-kadang Injil disebut sebagai Injil Allah (2 Korintus 11:7, 1 Tesalonika 2:2,8,9), jemaat disebutkan sebagai jemaat Allah (1 Tesalonika 2:14, Kisah Para Rasul 20:28), dan Allah disebutkan sebagai Juru Selamat kita (1 Timotius 1:1, Titus 1:3; 2:10; 3:4). Marilah kita mulai lebih bersikap kontekstual dalam pemberitaan kita. Marilah kita berusaha meniru teladan Rasul Paulus yang rajin mencari dan menemukan jembatan-jembatan baru untuk penginjilan. Marilah kita dengan penuh semangat menyampaikan Injil yang relevan dan tetap murni.

Kristologi dan Kontekstualisasi

Persoalan yang paling penting dalam teologi, pelayanan, dan penginjilan ialah jawaban terhadap pertanyaan ini: "Siapakah sebenarnya Yesus Kristus itu?" Cara yang paling tepat untuk menjawabnya ialah dengan mengerti dan merenungkan nama-nama sebutan Yesus. Yesus digelari macam-macam sebutan, misalnya Nabi, Mesias (Almasih), Firman, Imam, Guru, Juru Selamat dan lain-lain. Mengapa demikian? Ada dua alasan.

Pertama, alasan teologis, yaitu pengertian tentang Yesus begitu kaya dan mendalam sehingga satu atau dua sebutan saja tidak cukup. Yesus ialah satu oknum atau pribadi yang luar biasa, yang tidak dapat dipahami dari satu segi. Sebagai Nabi, Ia bersabda kepada kita; sebagai Gembala, Ia membimbing kita; sebagai Juru Selamat, Ia menyelamatkan kita; dan sebagai Raja, Ia memerintah dalam kehidupan kita. Paulus menggarisbawahi alasan teologis dengan melukiskan Injil yang disampaikannya sebagai "kekayaan Kristus yang tidak terduga" (Efesus 3:8).

Kedua, alasan misiologis, yaitu para rasul dan penginjil yang mula-mula memakai banyak nama sebutan supaya berita yang disampaikan relevan dan dapat dipahami. Misalnya, sebutan "Imam Besar" hanya dipergunakan dalam kitab Ibrani saja untuk melukiskan Yesus sebab kitab Ibrani dikarang khusus bagi orang Yahudi. Dan menurut pola berpikir orang Yahudi konsep "Imam" begitu bermakna sehingga sebutan "Imam Besar" benar-benar membantu orang-orang Yahudi mengerti siapakah Yesus sebenarnya.

Pengakuan pertama dalam Injil juga menggambarkan alasan misiologis ini. Pengakuan dan pemberitaan bahwa "Yesus adalah Mesias" (atau Kristus; Markus 8:29; Lukas 9:20; Kisah Para Rasul 5:42; 9:22; 17:2-3; 18:5, 28; 1 Yohanes 2:22) muncul dalam konteks Yahudi karena mereka memiliki harapan agugn dalam Mesias. Selama berabad-abad orang-orang Yahudi telah menantikan dan merindukan Mesias yang akan datang sehingga penyampaian Yesus sebagai Mesias begitu relevan dan menyentuh hati orang Yahudi.

Meskipun demikian, pemberitaan Yesus sebagai Mesias tidak begitu berarti bagi orang Yunani. Sebaliknya, pengakuan kristologis, "Yesus adalah Tuhan" (Kisah Para Rasul 10:36; 11:20; Roma 10:9; Filipi 2:11; 2 Korintus 12:3; 2 Korintus 4:5) begitu relevan dan bermakna bagi orang Yunani sehingga lebih sering dipakai dalam konteks Yunani. Pengakuan ini "menjadi jembatan bagi kekristenan untuk memasuki dunia yang berbahasa Yunani, memasuki dunia orang kafir, dan memasuki dunia proselit (orang-orang bukan Yahudi penganut agama Yahudi).

Dr. V.H. Neufeld menyimpulkan penelitiannya tentang pengakuan-pengakuan orang Kristen yang mula-mula sebagai berikut: "Kristus-homologia" (pengakuan bahwa Yesus adalah Kristus) lebih relevan bagi orang Yahudi ... Kyrios-homologia (pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan) lebih berarti terutama bagi orang Yunani." Ada lebih banyak bukti lagi tentang kristologi dan kontekstualisasi. Misalnya, Injil Yohanes pasal satu sangat kaya kristologinya. Dalam pasal ini Yesus sedikitnya dilukiskan dalam 13 nama sebutan: Firman, Allah (ayat 1); Terang (ayat 4); Manusia, Anak Tunggal Bapa (ayat 14); Yesus Kristus (ayat 17); Anak Domba Allah (ayat 29); Anak Allah (ayat 34); Rabi/Guru (ayat 38); Mesias/Kristus (ayat 41); Anak Yusuf (ayat 45); Raja Orang Israel (ayat 49); Anak Manusia (ayat 51)

Mengapa demikian? Nama-nama sebutan ini menyampaikan "kekayaan Kristus yang tidak terduga". Perhatikan bahwa Yohanes tidak terpaku kepada satu nama sebutan saja ketika menceritakan tentang Yesus. Demikian juga dalam pemberitaan Petrus. Waktu Petrus menginjili orang Yahudi ia memakai nama-nama sebutan yang paling relevan, yang tidak bertentangan dengan pola berpikir orang Yahudi. Dalam Kisah Para Rasul 3:11-20 Ia melukiskan Yesus sebagai: Hamba (ayat 13), Yesus (ayat 13), Yang Kudus dan Benar (ayat 14), Pemimpin kepada hidup (ayat 15), Mesias (ayat 18).

Kita dapat mengambil hikmat juga dari percakapan Yesus dengan perempuan Samaria. Walaupun percakapan ini dilakukan dalam waktu yang singkat, hal itu masih merupakan satu ilustrasi yang praktis tentang penginjilan dan proses pengertian si penerima. Pada mulanya perempuan ini mengakui bahwa Yesus adalah "nabi" (Yohanes 4:19). Lalu, setelah mendengarkan Yesus lebih lama ia sadar bahwa Yesus adalah "Mesias" (Yohanes 4:25-26, 29). Kemudian, sesudah Yesus mengajar selama dua hari di situ, orang-orang Samaria mengakui bahwa Yesus adalah "Juru Selamat Dunia" (Yohanes 4:39-42).

Gambar: kontekstual

Jelas dalam cerita ini pengertian perempuan Samaria tentang Yesus makin lama makin jelas. Gelar "Mesias" lebih kaya dan berarti daripada gelar "nabi", sedangkan gelar "Juru Selamat Dunia" lebih luas dan mendalam lagi. Demikianlah proses kontekstualisasi itu! Begitu banyak nama sebutan Yesus dipakai dalam Perjanjian Baru. Mengapa gereja-gereja kita cenderung memakai hanya beberapa nama sebutan saja? Nama-nama sebutan Yesus Kristus, Tuhan Yesus, dan Anak Allah ialah sebutan yang paling disenangi umat Kristen di Indonesia. Padahal, justru gelar-gelar tersebut bertentangan dengan ajaran agama orang bukan Kristen yang ada di sekitarnya.

Meskipun akhirnya kita harus memberitakan "seluruh maksud Allah" (Kisah Para Rasul 20:27), tetapi adalah lebih bijaksana, lebih berhasil, dan lebih alkitabiah kalau kita memulai penyampaian Injil kita dengan mengetengahkan nama-nama sebutan yang paling relevan dan mudah dipahami. Misalnya, gelar "Nabi" dan "Mesias" merupakan dua gelar yang dapat berfungsi sebagai jembatan untuk menjangkau orang luar. Agama mayoritas di Indonesia mengakui bahwa Yesus (dalam bahasa Arab, Isa) adalah nabi. Juga, dalam Kitab Suci mereka, Isa digelari "Almasih", (Mesias dalam bahasa Arab). Kebanyakan pemeluk agama mayoritas di Indonesia belum mengerti apa artinya sebenarnya dari "Almasih". Walaupun demikian, karena nama sebutan ini terdapat dalam Kitab Suci mereka, maka lebih baik kalau kita memulai dengan nama sebutan yang ada dan menjelaskan artinya kepada mereka. Inilah cara yang dipakai dalam Perjanjian Baru.

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa kristologi dalam Perjanjian Baru begitu meneguhkan pentingnya pelaksanaan kontekstualisasi.

Download Audio

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku : Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi
Penulis : Budiman R.L.
Penerbit : Tidak dicantumkan
Halaman : 14 -- 29