You are hereArtikel Misi / Aspek-Aspek Komunikasi Lintas Budaya (2)
Aspek-Aspek Komunikasi Lintas Budaya (2)
Keputusan yang Tidak Mudah Diambil
Banyak gereja merencanakan kegiatan sepanjang hari pada Hari Kemerdekaan atau pada hari-hari libur lainnya. Oleh karena itu, khususnya pada Hari Kemerdekaan, orang-orang Kristen tidak hadir dalam kegiatan-kegiatan yang penting di tengah-tengah masyarakat. Banyak orang Kristen berpendapat bahwa bergabung bersama saudara-saudara seiman dan melakukan kegiatan-kegiatan di gereja pada hari libur lebih penting daripada ikut berpartisipasi bersama para tetangga dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh lingkungan setempat. Mereka tidak mau mengecewakan saudara-saudara seimannya di gereja. Akibatnya, orang Kristen dianggap tidak tertarik kepada lingkungan dan tetangganya atau mereka tidak berjiwa nasionalis. Karena hari-hari libur umumnya merupakan waktu untuk menjalin hubungan sosial bersama para tetangga, orang-orang Kristen dianggap tidak tertarik untuk menjalin ikatan ketetanggaan yang akrab. Jadi hilanglah kesempatan untuk menjadi garam!
Orang-orang Kristen banyak yang tidak menghargai pentingnya berpartisipasi dalam lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Maka dari itu mereka dianggap tidak ramah atau bahkan dianggap anti sosial. Teman-teman kita, sebaliknya, memberikan kesan bahwa mereka lebih memerhatikan lingkungannya dan orang-orang di sekitarnya. Kebanyakan kegiatan diawali dengan doa dalam bahasa Arab. Ketidakhadiran orang Kristen hanya meneguhkan pemikiran yang salah bahwa Yesus bukan untuk mereka. Ada juga hari-hari yang digunakan untuk kerja bakti. Kegiatan-kegiatan itu sering jatuh pada hari Minggu pagi. Apakah mereka sengaja membuatnya bertepatan dengan waktu kebaktian gereja? Tidak selalu. Hal itu hanya disebabkan karena hari Minggu adalah satu-satunya hari libur bagi kebanyakan orang Indonesia. Itu merupakan hari bagi sebagian besar orang Indonesia melakukan kegiatan-kegiatan sosial bersama.
Tidakkah lebih baik absen satu kali di gereja sekalipun pada kebaktian Minggu pagi demi menjangkau orang-orang yang tersesat, sesuatu yang diperintahkan dalam firman Allah? Ini mungkin kedengarannya radikal, tetapi mengapa jadwal kebaktian Minggu pagi dan jadwal kegiatan-kegiatan lainnya tidak diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan orang-orang Kristen berpartisipasi dalam kegiatan lingkungannya demi menjangkau orang-orang itu yang tersesat? Yesus sering bertindak berlawanan dengan tradisi agama supaya dapat meluangkan waktu bersama orang-orang yang tersesat (Matius 9:9-13). Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan seperti itu. Jika kita ingin berhasil dalam memenuhi panggilan Allah, yaitu menjalin hubungan yang penuh perhatian dengan orang-orang yang masih tersesat, maka kita harus membatasi waktu yang kita pakai untuk melakukan hal-hal lainnya. Kita memang diperintahkan untuk tidak meninggalkan pertemuan dengan orang-orang percaya lainnya (Ibrani 10:25), tetapi kita juga diperintahkan untuk memberitakan Injil kepada dunia. Kita harus melakukan kedua-duanya. Karena itu kita perlu meminta kepada Allah agar Ia memberi tuntunan.
Kasih Berarti Mengatakan "Tidak" Kepada Diri Sendiri
Paulus dengan jelas mengajar kita bahwa kita harus melakukan apa saja yang diperlukan untuk memenangkan orang yang tersesat (1 Korintus 9:22). Jika sebaiknya kita tidak makan daging, maka kita harus rela melakukannya (1 Korintus 8:9-13). Kasihlah yang menjadi alasannya (1 Korintus 13). Karena Paulus merujuk pada daging, marilah kita berbicara tentang daging babi/anjing. Makan daging babi/anjing sangat menjijikkan bagi orang lain. Daging babi/anjing dianggap makanan haram. Anjing sebagai binatang peliharaan tidak dapat disetujui oleh sebagian tetangga yang beragama lain, walau sebagian lainnya tidak keberatan. Tidak ada dari mereka yang mau dijilat oleh anjing. Orang Kristen yang hendak menjalin hubungan dengan mereka harus memerhatikan masalah itu. Jika Paulus mengatakan bahwa lebih baik tidak makan daging sama sekali daripada menimbulkan pertentangan, tidakkah kita seharusnya mempertimbangkan untuk tidak makan daging babi dan tidak memelihara anjing? Jika hal itu terlalu memberatkan Anda, bagaimana kalau Anda tidak makan daging babi bila sedang berada dekat teman-teman Anda, dan menyembunyikan anjing Anda di suatu tempat sehingga mereka tidak merasa jijik?
Beberapa tahun yang lalu, sebuah kelompok jemaat melakukan pendekatan terhadap satu kelompok pemuda dari kelompok etnis lain. Orang-orang ini cukup terbuka kepada Injil sebagai hasil kesaksian seorang pendeta awam yang berasal dari kelompok etnis yang sama. Gereja itu merencanakan suatu kegiatan pada hari libur dan mereka mengundang kelompok pemuda ini. Kaum wanita di gereja itu telah mempersiapkan makanan. Segala sesuatu berjalan dengan baik sampai mereka duduk untuk makan. Pada saat itulah mereka mengetahui bahwa daging yang dipersiapkan untuk mereka adalah daging babi. Mereka tidak memakannya. Sejak itu mereka tidak pernah lagi berhubungan dengan gereja itu. Hilanglah segala kesempatan untuk bersaksi lebih jauh lagi. Ada satu gereja di daerah kami yang ditutup oleh pemerintah karena keluhan dari tetangga-tetangganya. Saya tahu, ada gereja-gereja yang ditutup atau tidak diberi izin walaupun tidak melakukan apa-apa yang menyinggung tetangga-tetangga mereka. Tetapi dalam perkara ini gereja tersebut telah memanggang daging babi di luar gedung gereja mereka. Reaksi para tetangga menunjukkan betapa hal itu menimbulkan syak di hati mereka. Tidakkah lebih baik bagi gereja tersebut untuk tidak melakukan kegiatan itu? Karena kesalahan itu, tidak ada lagi gereja di daerah tersebut.
Mungkin orang-orang Kristen akan bertanya, "Apakah kita tidak berhak makan daging babi di gedung milik gereja kita jika kita mau?" Tentu saja kita berhak. Tetapi hukum kasih lebih tinggi daripada hak kita. Yesus, sebagai contoh, memiliki hak yang tinggi, tetapi Dia tidak mempertahankannya (Filipi 2:6). Kasih mendorong Yesus untuk tidak memakai hak itu. Ia bertindak demikian demi kita. Kita pun harus melakukan hal yang sama demi memenangkan teman-teman kita. Penyesuaian lain yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana kita berpakaian, khususnya wanita. Saya tidak menganjurkan wanita Kristen memakai penutup kepala walaupun di beberapa tempat di Indonesia ada yang memakainya. Tetapi wanita-wanita Kristen hendaknya tidak memakai rok mini, baju ketat, atau pakaian-pakaian lain yang tidak sopan. Bagi tetangga-tetangga kita, hal itu seperti mengiklankan kerendahan moral kita. Dapatkah Anda membayangkan apa yang mereka pikirkan ketika melihat wanita yang memakai rok mini pergi ke kebaktian Kristen? Mereka berpikir bahwa orang Kristen tidak memerhatikan moral. Mode telah menjadi lebih penting daripada pendapat umum. Jika kita memberi kesan yang tidak pantas melalui pakaian kita, bagaimana mungkin kita dapat berbicara kepada mereka tentang Allah yang kudus?
Hal lain yang layak dipertanyakan apakah laki-laki perlu memakai dasi ke gereja? Mengapa orang yang memimpin kebaktian harus memakai dasi dan jas? Mengapa laki-laki diharapkan memakai pakaian barat ke gereja? Khususnya pendeta! Di banyak gereja, memakai kemeja batik dapat diterima. Bagaimana kalau laki-laki memakai sarung dan peci? Di banyak tempat, sarung dan peci adalah pakaian Indonesia. Hal-hal seperti itu memerlukan kebijaksanaan. Seorang Kristen memakai sarung dan peci pada hari-hari khusus seperti Idul Fitri. Teman-teman menganggap perbuatan itu sangat menghormati mereka. Di daerah lain, seorang Indonesia, apalagi orang barat, yang dikenal sebagai orang Kristen mungkin sama sekali dilarang memakai peci. Karena itu, kenalilah para tetangga Anda dan temukan sendiri apa yang dapat diterima oleh mereka. Isu-isu yang berhubungan dengan apa yang halal dan apa yang haram juga berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Sulit untuk memberi penuntun yang jelas. Setiap orang percaya harus bersikap hati-hati. Hindarilah kesan-kesan negatif. Perhatikan tetangga-tetangga Anda untuk mengetahui apa yang mereka lakukan dan mengapa. Kita harus aktif berbicara kepada mereka untuk mengetahui bagaimana gaya hidup kita memengaruhi mereka.
Menghindari Pertentangan
Bukan rahasia lagi, kekristenan dan Islam sudah sejak dahulu bertentangan. Orang-orang Islam dan orang-orang Kristen saling menyerang, saling menganiaya, dan saling membunuh. Tidak ada gunanya di sini untuk menentukan pihak mana yang lebih banyak menyerang, atau pihak mana yang orang-orangnya paling banyak mati syahid. Yang nyata pertentangan itu terus berkepanjangan dan sulit diatasi. Hal itu terasa ketika kita menyadari bahwa mereka perlu mendengar Injil. Saya hendak memaparkan dua hal lainnya yang harus dihindari.
Pertama, hindarilah perkataan yang menentang nabi mereka. Kita percaya bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Manusia sempurna yang pernah hidup. Al-Qur'an sendiri meneguhkan bahwa Yesus tidak pernah berdosa (QS 19:19). Nabi mereka adalah manusia biasa. Al-Qur'an memberi kesan bahwa dia berdosa (QS 47:19). Hal ini sesuai dengan kebenaran Alkitab bahwa tidak ada seorang pun kecuali Yesus yang tidak berdosa (Ibrani 4:15 dan Roma 3:23). Walaupun demikian, sedikit sekali manfaatnya bila kita meninggikan Kristus tetapi merendahkan nabi mereka. Kehidupan Kristus tidak bercela. Dia akan dimuliakan sekarang dan selamanya. Akan lebih bermanfaat kalau kita menunjukkan hormat kepada pendiri agama itu. Bukankah orang-orang Kristen tidak berharap akan diserang oleh kelompok mayoritas? Kita pun hendaknya tidak menyerang mereka.
Kritik terhadap nabi lain biasanya menimbulkan kemarahan. Kalau seseorang menjadi marah, maka mereka tidak dapat berpikir jernih. Mereka tidak akan bersikap terbuka terhadap cara baru untuk mempertimbangkan pendapat-pendapat. Apakah benar bila kita mengakui nabi mereka sebagai nabi bagi suku-suku Arab? Dia diutus untuk menyampaikan pesan. Dia memanggil mereka dari kekafiran untuk percaya kepada Allah Pencipta. Dia berusaha membela hak orang yang miskin dan tertindas. Dia juga mengerti banyak mengenai Mesias. Pada kenyataannya, dia menyebut Isa Almasih, yaitu Yesus Kristus, sebagai yang paling ditinggikan di dunia ini dan yang akan datang (QS 3:45). Saya menganggap itu sebagai peranan seorang nabi. Mengingat hal itu, orang Kristen seharusnya tidak merendahkan nabi itu. Isi Al-Qur'an itu sendiri sering dipakai oleh Allah untuk mengarahkan orang-orang agar mereka percaya kepada Kristus. Karena itu, kita juga boleh menyebut nabi mereka sebagai nabi yang dipakai Allah.
Kedua, Al-Qur'an adalah buku yang dikritik oleh orang-orang Kristen. Orang Kristen tidak menganggap Al-Qur'an diwahyukan Allah. Sekali lagi, sama seperti halnya menyerang nabi mereka bukan merupakan hal yang produktif, demikian pula tidak efektif bila kita menyerang Al-Qur'an. Entah mereka membaca Al-Qur'an atau tidak, tetapi mereka bergantung kepadanya secara emosional sebagai bagian hakiki dari imannya. Usaha-usaha orang Kristen untuk mengubah pandangan mereka mengenai Al-Qur'an hanya akan lebih mengobarkan peperangan yang sudah sejak lama terjadi. Lebih berguna kalau kita memakai titik-titik persamaan antara Alkitab dan Al-Qur'an sebagai jembatan bagi mereka. Paulus "gusar" ketika menyadari adanya praktik-praktik dan kepercayaan yang salah di Athena (Kisah Para Rasul 17:16). Namun dia memakai prasasti dari salah satu altar kafir itu untuk memberitakan Injil (Kisah Para Rasul 17:23). Demikian pula, kalau kita mengarahkan mereka pada kesamaan-kesamaan Al-Qur'an dan Alkitab, itu bukan berarti kita sepenuhnya menerima Al-Qur'an sebagai firman Allah. Titik-titik persamaan itu dapat menekankan kebenaran Allah yang tertera di dalam Alkitab.
Hiasan-Hiasan Kristen
Masalah lain yang harus dihindari berhubungan dengan apa yang sangat disayangi oleh setiap orang Kristen: salib Kristus. Salib merupakan batu sandungan bagi teman-teman kita, walaupun itu merupakan lambang keselamatan bagi orang Kristen (1 Korintus 1:23-24). Sayang sekali, bagi mereka, salib telah menjadi simbol orang kafir sejak zaman Perang Salib. Tentara-tentara Kristen dalam Perang Salib menghiasi perisai mereka dengan salib sementara mereka membantai desa-desa Islam. Kalau orang-orang Kristen memakai kalung salib atau menggantungkan salib di dinding rumah mereka, secara otomatis mereka menyebabkan banyak dari mereka merasa syak. Di sinilah kita harus hati-hati. Kenyataan tentang salib, yaitu bahwa Yesus telah datang ke dunia dan mati, akan selalu sulit untuk diterima oleh orang-orang yang belum percaya. Itu merupakan batu sandungan. Tetapi itu merupakan inti Injil dan tidak boleh dipudarkan dengan cara apa pun. Sayang sekali, lambang salib telah dimuati dengan kesan-kesan negatif dan dipandang sebagai bagian dari kebudayaan Kristen Barat yang mereka tolak. Sering kali [hiasan salib] menjadi penghalang komunikasi antara orang Islam dan orang Kristen. Kenyataan bahwa Yesus sudah mati di kayu salib itulah yang harus kita pegang erat-erat, bukan kalung salib atau hak untuk menghiasi rumah kita dengan cara yang menyenangkan diri kita sendiri.
Jika kalung salib atau penjepit dasi berbentuk salib yang kita pakai menghalangi kita untuk didekati oleh tetangga kita, kita seharusnya tidak memakainya. Jika salib yang tergantung di dinding rumah kita menghalangi mereka mengunjungi rumah kita, kita harus memindahkannya. Pasti ada cara lain yang lebih tepat untuk menyatakan diri sebagai pengikut Kristus daripada dengan menunjukkan salib. Misalnya, cara yang lebih baik untuk menunjukkan bahwa Anda pengikut Yesus adalah dengan mengasihi tetangga kita. Jika lambang salib membuat syak teman-teman kita, jika hal itu menutup kesempatan bagi mereka untuk mendengar Injil, maka kita perlu membuat perubahan. Hal lain yang mungkin juga tidak berkenan ialah gambar tangan yang sedang berdoa, Yesus yang rambut-Nya pirang dan yang mata-Nya biru, yang sedang membawa anak domba; gambar-gambar Kristen Barat tradisional lainnya juga mungkin menimbulkan akibat yang sama. Haruskah kita malu menjadi orang Kristen? Tentu saja tidak. Namun kita harus ingat bahwa hiasan-hiasan Kristen di rumah kita dapat menjadi penghalang bagi teman-teman kita.
Sebutan
Kita harus hidup dengan memerhatikan masalah-masalah itu. Kita harus terus bertumbuh menjadi semakin peka terhadap tetangga-tetangga kita. Seorang yang tersinggung tidak akan mendengarkan kita. Bahkan istilah "Kristen" sudah mengandung arti negatif sehingga sering tidak produktif bagi kita untuk menyebut diri "orang Kristen" kepada mereka. Orang-orang percaya mula-mula disebut sebagai pengikut-pengikut Kristus atau pengikut Jalan Tuhan (Kisah Para Rasul 9:2). Kata "Kristen" ditemukan tiga kali di dalam Alkitab (Kisah Para Rasul 11:26; 26:28 dan 1 Petrus 4:16). Istilah itu semula dianggap sebagai penghinaan, tetapi istilah itu sekarang sudah menjadi lambang kehormatan bagi orang-orang yang menerima Kristus sebagai Tuhan. Namun, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, istilah itu mengingatkan mereka akan kekejaman tentara Kristen dalam Perang Salib -- peperangan antara denominasi gereja, atau boleh dikatakan antara partai politik barat.
Kalau ditanya, penulis lebih suka memperkenalkan diri sebagai "pengikut Isa Almasih". Sebutan itu biasanya akan menimbulkan beberapa pertanyaan yang dapat menjadi titik tolak pembicaraan tentang Kabar Baik. Hal itu dinilai positif sebab Isa adalah nama Islam untuk Yesus. Pada suatu kesempatan, ketika ditanya apa artinya menjadi pengikut Isa, saya dapat memberitakan seluruh Injil kepada mereka. Sebutan lain yang positif adalah "Nasrani". Ini juga merupakan istilah yang artinya orang Kristen. Istilah itu dapat ditemukan di dalam Al-Qur'an.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | Sedapat Mungkin |
Judul artikel | : | Aspek-Aspek Komunikasi Lintas Budaya |
Penulis | : | P. Agusman |
Penerbit | : | Tidak dicantumkan |
Halaman | : | 20 -- 45 |
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 8164 reads