PANGGILAN IRIAN JAYA
Saya dibesarkan dalam suasana pertengkaran dan kebencian yang
diciptakan oleh ayah saya yang belum lahir baru. Saya sangat
menyayangi ibu saya, untuk itulah saya tidak dapat menerima cara
ayah yang sangat kasar dalam memperlakukan ibu dan saya. Pernah
suatu saat, saya diikat pada tiang bendera, lalu dicambuk dan
dilarang makan. Terlebih lagi, pada kesempatan lain, saya ditombak
dengan lembing, pernah juga saya diparang, dan hampir saja dibunuh.
Semua pengalaman ini membuat saya menaruh perasaan dendam pada ayah.
Saya trauma dan berjanji tidak akan kembali lagi ke rumah.
Perasaan dendam yang sangat dalam telah menimbulkan kebencian
terhadap ayah. Setelah tamat dari bangku SMP, saya ingin mendaftar
sekolah tentara, hanya supaya dapat memiliki senjata yang hendak
saya pakai untuk menembak mati ayah saya. Harapan untuk menjadi
tentara tidak terpenuhi, sebab sewaktu saya tamat SMP tidak ada
penerimaan prajurit baru. Lalu, saya lari meninggalkan rumah
orangtua dan pergi ke kota Biak. Di sana, saya mencoba untuk
mendaftar SMA Kristen, namun tidak diterima sebab pendaftaran telah
ditutup. Hanya ada satu sekolah yang masih mau menerima murid baru,
yaitu Sekolah Pendidikan Guru Agama Kristen (SPGAK) di Biak.
Di sekolah ini saya belajar memahami Firman Tuhan dan mengerti
tujuannya, namun kebencian dan sakit hati saya terhadap ayah tidak
dapat hilang. Saya sendiri jatuh bangun dalam dosa -- suka mabuk,
merokok, dan senang berkelahi. Saya belajar Firman Tuhan hanya
karena kebetulan materi itu menjadi pelajaran wajib di SPGAK. Namun,
hati saya sendiri jauh dari kebenaran Firman Tuhan.
Tamat dari SPGAK, saya melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Teologia
selama empat tahun. Pengalaman selama empat tahun tidak jauh lebih
baik dibanding waktu di SPGAK. Sebab, kehidupan mahasiswa di STT
tersebut begitu bebas. Para mahasiswa bisa mabuk-mabukan, merokok,
dan sebagainya. Saya sendiri berjanji, tidak akan pulang ke rumah
orangtua saya, sebelum ayah bertobat atau meninggal.
Setelah tamat dari STT, saya tidak mau diutus kepada jemaat untuk
melayani. Sebab saya menyadari betapa saya tidak layak untuk
melakukan pelayanan tersebut. Saya memutuskan untuk tinggal di
kampus. Kemudian, Sinode mengutus saya untuk mengikuti training
motivator di Sukabumi, Jawa Barat selama delapan bulan. Saya senang
sekali, sebab saya beranggapan bahwa dengan begitu saya semakin
pergi jauh dari ayah saya. Tetapi, toh akibatnya saya tidak
mengalami damai sejahtera, hati nurani selalu menuduh saya sebagai
orang berdosa yang tidak layak untuk melayani Tuhan. Saya tetap
menolak untuk berdamai dengan ayah saya. Saya berkeras hati untuk
tidak kembali ke Irian Jaya, karena itu saya diutus untuk melayani
di Bangka, Mentawai, dan Kalimantan Timur. Selama melakukan
pelayanan, saya tidak pernah merasa sejahtera, bahkan saya mengalami
penderitaan fisik dan kerohanian saya semakin merosot.
Setelah tiga tahun melayani sebagai motivator, saya kembali ke
Jakarta untuk menghadiri reuni. Saya memiliki kesempatan untuk
mengikuti Institut Pendidikan Kepemimpinan yang diadakan oleh
Persekutuan Evangelisasi Anak (PEA) di Bandung. Pada kesempatan
itulah, saya menemukan jati diri saya sebagai orang berdosa yang
dikasihi oleh Allah. Hal tersebut saya lihat berdasarkan praktik
pelayanan terhadap anak-anak.
Pada institut tersebut, para peserta dituntut untuk menjelaskan
unsur-unsur Injil berdasarkan 1 Korintus 15:3,4 bahwa: "Kristus
telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia
telah dikuburkan dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang
ketiga, sesuai dengan Kitab Suci". Itulah saat pertama di mana saya
kagum dan terpesona dengan kabar suka cita tersebut. Sebab
saya tahu bahwa Yesus telah mati untuk saya ketika saya masih
berdosa (Roma 5:8). Karena Allah mengasihi saya yang berdosa ini,
sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal untuk datang
ke dunia dan mati di kayu salib hanya untuk menebus dosa-dosa saya.
Tanggal 28 Juli 1988 adalah saat yang tak akan pernah saya lupakan
selama hidup saya. Saat di mana saya menyadari bahwa saya adalah
orang berdosa. Sungguh indah saat itu, suasana yang sulit dilukiskan
dengan kata-kata yang paling indah. Sebab, selama 20 tahun saya
berjanji untuk tidak akan menangis lagi karena kebencian yang sangat
dalam terhadap ayah saya. Selama 20 tahun, saya menghindari Allah
Bapa karena segala dosa saya. Namun pagi itu, tanggal 28 Juli 1988
Tuhan berbicara kepada saya: "Hai anak-Ku apakah engkau ingin
menangis? Menangislah di pangkuan-Ku, sebab Aku ini Allah yang
mempedulikan engkau."
Mazmur 51:1-15, menggugah hati saya untuk merindukan hadirat Tuhan.
Saya percaya bahwa Roh Kudus berkarya bagi keselamatan saya pada
saat saya membaca bagian Firman Tuhan itu. Saya mengakui bahwa saya
telah berdosa terhadap Bapa di surga, juga terhadap ayah saya. Di
pagi yang indah itu, ada suatu kerinduan yang mendalam di hati saya
kepada ayah dan terlebih pada ibu saya. Saya merasakan kekuatan yang
sungguh luar biasa yang tidak dapat saya lawan. Hati saya luluh dan
mau menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadi saya. Karena
itulah, saya bisa mengampuni ayah saya. Sejak saat itu, saya
mengambil keputusan untuk tidak membenci ayah lagi. Saya berjanji
untuk pulang kembali ke rumah orangtua dan menemui sanak saudara
saya.
Puji Tuhan atas anugerah-Nya, saya menikah dengan Louisa, pada
tanggal 7 Juni 1990 di Gereja Jemaat Kristus Indonesia (GJKI),
Bandung dan pada bulan Agustus 1993, saya pulang bersama istri dan
putri kami, Naomi, menemui ayah dan ibu serta sanak saudara saya.
Saya meminta maaf kepada ayah dan menceritakan bagaimana saya telah
diselamatkan dari dosa. Ayah saya bertobat juga karena kebenaran
Firman Tuhan yang telah mengubah hidup saya dan beliau membuka hati
untuk menerima Yesus. Beliau menyesal telah melukai hati anak-
anaknya. Saya tidak lagi membenci ayah dan saya rindu untuk kembali
melayani Tuhan di antara orang-orang Irian Jaya. Saya bersyukur pada
Allah sebab Ia telah mengobati luka hati saya dan tidak membiarkan
saya larut dalam dosa, sebab Ia mengasihi saya dan telah rela
mengorbankan diri demi saya. Dengan demikian, saya bisa menikmati
persekutuan kasih bersama Dia di dunia ini.
Saya tidak lagi takut untuk melayani jemaat, sebab saya tahu bahwa
dosa saya sudah diampuni. Yesus telah mati untuk menggantikan saya
untuk menerima hukuman. Saya tidak pernah takut lagi menghadapi
kematian karena Yesuslah yang membuat saya menang atas maut.
Saya sudah diselamatkan, maka saya rindu menyatakan berita suka cita
ini kepada setiap anak dan kepada setiap pemuda yang menderita
karena tekanan batin akibat sikap orangtuanya. Hanya di dalam Tuhan
Yesus Kristus ada kedamaian, kepastian keselamatan, serta keberanian
untuk mengampuni. Di Irian Jaya ada banyak anak yang sedang
menderita akibat perlakuan orangtua yang kurang menghargai anak
mereka. Selain itu, masih banyak anak yang perlu dididik sesuai
dengan pengajaran Alkitab.
Pengalaman di masa lalu selalu mengingatkan saya untuk mendidik anak
dengan baik berdasarkan kasih. Saya juga terbeban terhadap orangtua
terutama para bapak yang kurang menghargai anak-anaknya, sehingga
menimbulkan frustasi serta kebencian. Akibatnya, anak bertumbuh
secara tidak wajar.
Pengalaman di masa lalu telah mengajar saya untuk menghargai serta
mengasihi istri saya di depan anak-anak saya, supaya mereka bangga
mempunyai seorang ayah yang baik. Saya mendapat berkat melalui
seorang istri yang baik, baik budi, serta dikaruniai seorang anak
yang baik budi dan mengasihi Tuhan. Kami semua senang melayani Tuhan
di mana saja Tuhan mengutus kami. Itulah tanda suka cita bersama
Tuhan Yesus. Semua pengalaman ini, saya nikmati sebagai anugerah
Tuhan yang semata-mata karena kasih-Nya kepada saya. Saya bersyukur
punya Allah yang Maha Kasih seperti Tuhan Yesus
* Penulis adalah hamba Tuhan yang didukung selama satu tahun oleh
GKI Monrovia, Los Angeles (USA) untuk pelayanan di Nabire, Irian
Jaya.
Sumber:
Judul Buletin | : | Newsletter GKI Monrovia, Th. IX, No. 5/Mei 1995 |
Judul Artikel | : | Panggilan Irian Jaya |
Penulis | : | Septinus Asyerem |
Hal | : | 1 - 3 |
e-JEMMi 31/2004