You are hereArtikel / Bagaimana Pandemi Membuka Pintu bagi Penginjilan
Bagaimana Pandemi Membuka Pintu bagi Penginjilan
Alur cerita Barat kira-kira seperti ini: -Pada hari kita dilahirkan, itu adalah diri kita yang paling murni, sebenarnya, dan jujur. Namun, kemudian kita dikacaukan oleh figur otoritas — orang tua, guru, dan terutama agama. Jadi, misi kita dalam hidup adalah jujur pada diri kita sendiri. Jangan dengarkan apa yang dikatakan orang lain kepada Anda. Beranilah. Jadilah yang sebenarnya. Bersikaplah otentik. Hanya Anda yang tahu siapa diri Anda sebenarnya. Pada akhirnya, Anda harus melakukan apa pun untuk bahagia."
Ada keuntungan dari jalan cerita ini. Kita bisa tinggal di kota yang kita pilih, bukan desa tempat kita dibesarkan. Kita bisa memilih pekerjaan yang kita inginkan, bukan pekerjaan yang kita warisi dari Ayah dan Ibu. Kita bisa memilih pasangan kita, bukan yang Ayah dan Ibu pilih untuk kita.
Ini adalah alur cerita tentang individualisme, kebebasan, dan kendali yang kuat.
Akan tetapi, COVID-19 mengungkap kekurangan alur cerita ini, bukan? Kita tidak bisa hidup sebagai individu; kita membutuhkan tanggung jawab sosial. Kita tidak bebas; kita pernah mengalami lockdown. Dan, kita tidak memiliki kendali; sebaliknya kita menghadapi ketidakpastian.
Rencana kita untuk tahun 2020 terkoyak, dan kita belum bisa merencanakan apa pun untuk tahun 2021. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, apalagi tahun depan. Tidak ada yang pasti lagi. Kita hanya memiliki kemungkinan.
Akan tetapi, kemungkinan yang meresahkan ini — dan dekonstruksi pandemi dari alur cerita Barat — adalah kesempatan Injil. Dunia terguncang dengan cara baru dan mencari jawaban di tempat baru. Alur cerita yang lebih aman dan memuaskan dibutuhkan, dan orang Kristen harus membagikannya.
Untuk Apa Kita Bebas?
Sampai saat ini, jalan cerita sekuler adalah jalan cerita yang "lebih baik". Kita berkata pada diri kita sendiri bahwa tidak ada Allah. Akibatnya, akuntabilitas moral juga tidak ada. Kita bisa melakukan apa pun yang kita mau. Kompensasinya? Juga tidak ada tujuan. Akan tetapi, kita berkata pada diri kita sendiri bahwa kita bisa menentukan tujuan kita sendiri.
Tiba-tiba, dengan COVID-19, keberadaan Allah mungkin bukan hal yang buruk. Allah memberi kita dasar untuk akuntabilitas moral. Dan, itulah yang telah kita bicarakan pada tahun 2020 — akuntabilitas moral — dengan #BlackLivesMatter (gerakan menuntut perlakuan yang adil dan manusiawi terhadap kelompok Afro-Amerika di AS - Red), #MeToo (gerakan anti kekerasan dan pelecehan seksual - Red.), dan kebutuhan untuk memakai masker.
Salah satu rekan saya, yang melakukan pelayanan Kristen di kampus-kampus, berkata bahwa beberapa tahun terakhir ini sangat membuahkan hasil. Banyak siswa telah menjadi Kristen. Salah satu faktornya adalah bahwa mahasiswa tiba di kampus dengan kebebasan yang belum pernah terjadi sebelumnya; tiba-tiba mereka tidak memiliki guru dan orang tua yang memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan. Akan tetapi, mereka tidak tahu untuk apa mereka bebas. Karena mereka tidak punya tujuan atau arah. Mereka tidak memiliki kemudi.
Namun, jika Allah itu ada, begitu pula tujuan.
Alur Cerita yang Lebih Baik
COVID-19 mengungkapkan bahwa kita memiliki dua pilihan alur cerita.
Alur cerita #1 mengatakan tidak ada Allah. Kita hanyalah atom dan molekul, hanya satu dari banyak spesies kehidupan di planet ini. Alam semesta tidak peduli dengan Anda. Virus datang dan pergi. Spesies datang dan pergi. Pandemi ini hanyalah salah satu dari banyak peristiwa pasang surut alam semesta ini. Itu tidak ada artinya. Itu tidak ada gunanya.
Alur cerita #2 mengatakan bahwa Allah itu ada. Dia mengasihi Anda, menciptakan Anda, dan menyelamatkan Anda. Dia mengutus Putra-Nya untuk menjadi salah satu dari kita. Yesus mati untuk kita dan sekarang hidup untuk kita. Kita juga bisa hidup untuk-Nya dan menjadi bagian dari misi-Nya untuk membawa kasih, belas kasihan, dan keadilan. Bahkan jika kita tidak dapat melihat mengapa Allah mengizinkan pandemi terjadi, kita dapat percaya Dia memiliki tujuan yang baik di baliknya.
Alur cerita kedua memungkinkan kita untuk hidup dalam ketidakpastian, percaya bahwa ada orang lain di belakang kemudi yang tahu ke mana tujuan bus itu. Alur cerita pertama, sementara itu, seperti berada di dalam bus tanpa pengemudi — dan tanpa cara mengendalikan kemudi.
Tidak apa-apa untuk Tidak Baik-baik saja
Sampai sekarang, kita hanya punya satu cara untuk menceritakan kisah Barat kita: "Saya baik-baik saja, dan Anda harus menerima saya apa adanya." Kedengarannya bagus, tapi, seperti yang diamati oleh Will Storr secara berlawanan dalam "Selfie: How the West Became Self-Obsessed", hasilnya adalah tingkat stres, kecemasan, depresi, dan bunuh diri yang sangat tinggi di Barat. Alur cerita -- Saya tidak apa-apa -- ini telah mengarah pada budaya perfeksionisme yang tak terduga. Kita sekarang harus membuktikan kepada diri kita sendiri, dan kepada semua orang, bahwa kita benar-benar baik-baik saja. Jika kedengarannya melelahkan, itu karena memang demikian.
Meskipun begitu, dengan Yesus, kita dapat mengganti ini dengan: Saya tidak baik-baik saja, dan itu tidak apa-apa. Yesus menerima saya apa adanya." Tentu saja, ada lebih banyak pada cerita ini: Allah juga menempatkan Roh-Nya di dalam kita, dan setiap hari Dia membuat kita semakin menjadi orang yang Dia inginkan. Akan tetapi, bersama Yesus kita tidak membutuhkan foto Instagram yang sempurna, pernikahan yang sempurna, kartu Natal yang sempurna.
Yesus tidak meminta kita untuk berpura-pura kita sedang mengatasinya. Tidak ada tekanan untuk selalu tenang. Faktanya, justru sebaliknya.
Selama isolasi pandemi, banyak teman yang memposting tentang aktivitas lockdown mereka — membuat roti sourdough, memanggang sandung lamur, mempelajari sebuah alat musik. Akan tetapi, kita hanya perlu meihat lebih jauh dari apa yang kelihatan di permukaan untuk menemukan ketakutan dan disfungsi di bawah lapisan tersebut.
Yesus tidak meminta kita untuk berpura-pura kita sedang mengatasinya. Tidak ada tekanan untuk selalu tenang. Faktanya, justru sebaliknya. Dia ingin kita menyadari bahwa kita pada dasarnya tidak baik - baik saja terpisah jauh dari Dia. Kita tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri atau membuktikan diri kita — dan itu adalah hal yang melegakan.
Jelajahi Berbagai Titik Masuk
Saya ingat pernah mendengar Tim Keller menjelaskan dalam khotbahnya dari Kisah Para Rasul 16 bahwa setidaknya ada tiga titik masuk emosional yang berbeda ke dalam Injil.
Kita melihat Lydia yang memakai argumen masuk ke dalam Injil. Dia berdiskusi secara logis dengan Paulus
Paulus, dan Allah membuka hatinya untuk percaya.
Kita juga melihat gadis pelayan yang dirasuki roh jahat. Dia memiliki perjumpaan kuasa dengan Yesus dan dibebaskan.
Dan, kemudian kita melihat kepala sipir penjara. Dunianya benar-benar berantakan saat penjaranya hancur akibat gempa bumi. Jika para tahanan melarikan diri, itu terlalu memalukan baginya. Dia akan bunuh diri. Namun, kemudian dia melihat Paulus dan Silas. Dia menginginkan kedamaian yang mereka nikmati.
Sampai sekarang, sebagian besar orang Kristen Barat telah menginjili dengan cara yang sama seperti kita menginjili Lydia. Kita menggunakan logika: pembicaraan publik, diskusi, forum. Akan tetapi, COVID-19 menawarkan cara untuk menjelajahi dua titik masuk lainnya.
Banyak teman kita yang seperti gadis pelayan. Mereka takut pada yang tidak terlihat. Akan tetapi, mereka dapat menemukan kebebasan di dalam Yesus yang memiliki kuasa atas yang tidak terlihat dan tidak diketahui. Teman-teman kita yang lain seperti kepala sipir penjara. Hidup mereka berantakan karena COVID-19. Mereka kehilangan bisnis, karier, aliran pendapatan. Namun, mereka bisa melihat, di dalam Yesus, ada cara hidup yang membawa damai.
Bencana global seperti pandemi mengekspos kelemahan kita dan kerapuhan narasi dominan kita. Tahun ini kita menimbun kertas toilet dan menjadi lebih kecanduan pada kejahatan. Paradigma nyaman kita telah dihancurkan dan keburukan sifat manusia terungkap.
Kita tidak suka menjadi siapa kita di tahun 2020. Namun, di dalam Yesus kita dapat menemukan kekuatan sejati, kebebasan sejati, dan kedamaian sejati. Pandemi telah mengungkapkan banyak titik masuk emosional pada kisah Yesus yang lebih baik. Saatnya memanfaatkan mereka. (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | The Gospel Coalition |
URL | : | https://www.thegospelcoalition.org/article/pandemic-opens-doors-evangelism/ |
Judul asli artikel | : | How the Pandemic Opens Doors for Evangelism |
Penulis artikel | : | Sam Chan |
- Login to post comments
- 807 reads