You are hereArtikel Misi / Keberhasilan Melayani Mereka yang Berkekurangan

Keberhasilan Melayani Mereka yang Berkekurangan


Belum cukup jelas mengapa penginjilan yang diintegrasikan dengan kegiatan sosial itu bisa begitu efektif. Namun, faktanya memang demikian.

Karena itu, mari kita melihat beberapa sebab yang masuk akal atas meningkatnya jiwa-jiwa yang diselamatkan ketika pada situasi yang tepat penginjilan dilakukan berbarengan dengan kegiatan sosial.

Ada dua alasan dasar mengapa seorang misionaris harus merasa terdorong untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Pertama, membantu mereka yang membutuhkan adalah salah satu tugas orang Kristen yang paling fundamental dan salah satu tindakan yang paling konsisten ditekankan dalam Alkitab. Ayat-ayat di bawah ini dengan baik menunjukkan penekanan yang dimaksud itu. Dan saya harap Anda akan menyempatkan diri untuk membaca dan merenungkan ayat-ayat ini.

Contoh-Contoh Alkitabiah -- Tanggung Jawab Orang Kristen untuk Membantu Memenuhi Kebutuhan Orang Lain yang Membutuhkan

Mazmur 41:1
Amsal 11:25, 14:21, 14:31, 22:9, 29:7, 28:27, dan 31:8-9
Yesaya 10:1-2 dan 58:6-7
Matius 5:16, 25:40, 7:12, dan 10:8
Markus 12:44
Lukas 3:11, 6:38, 9:48, 11:41, dan 12:33-34
Kisah Para Rasul 20:35
Roma 12:8, 12:13, dan 12:20
2Korintus 9:7
Galatia 5:6, 6:2, dan 6:9-10
1Timotius 6:18-19
Ibrani 13:16
Yakobus 2:15-17
1Yohanes 3:17

Ted Engstrom, Presiden World Vision, menjelaskan proses kegiatan sosial sebagai "sesuatu yang harus disertakan dalam ketaatan kita untuk `menjangkau seluruh dunia`."

Kedua, kegiatan sosial memberikan peluang yang paling besar bagi pertobatan, khususnya di negara-negara yang tertutup terhadap jangkauan misi. Hal itu dapat membantu menjangkau banyak orang yang terancam untuk hidup dan mati tanpa mengenal Kristus. Karena kita memiliki kesempatan untuk menjangkau, meski hanya untuk beberapa saat, bagian-bagian dunia yang biasanya tidak dapat dijangkau oleh para misionaris.

Dalam bukunya "Beyond Hunger Art", Beals menulis,

Bekerja bersama "misi baru", dengan misionaris yang sudah biasa melakukan kegiatan sosial, saya melihat pintu yang dulunya tertutup kini terbuka lebar .... Saat kasih Tuhan terinkarnasi sekali lagi dalam daging dan darah anak-anak yang dikasihi-Nya, memberikan "segelas air" menjadi sebuah kesaksian yang penuh kuasa bagi orang Kristen.

Hal itu cocok sekali dalam situasi di mana terdapat banyak pengungsi yang mengungsi karena suatu bencana. Perang, kemiskinan, banjir, dan keadaan hancur, semua itu menciptakan sebuah tingkat ketidakpuasan dengan kondisi sosial mereka sebelumnya yang akhirnya membuka hati dan pikiran mereka pada suatu tingkat yang jarang terjadi. Saat mereka telantar, keterikatan mereka dengan latar belakang mereka seperti terlepas; mereka menjadi bersedia untuk mempertimbangkan kepercayaan lain (misalnya kekristenan) yang dalam situasi tertentu, mungkin dianggap sebagai hal yang asing bahkan sampai mereka tidak mau memikirkannya sebelumnya.

Lebih lagi, kegiatan sosial memungkinkan kita untuk memperlihatkan Tubuh Kristus yang di dalamnya terdapat kasih dan kerja sama yang baik. Situasi kegiatan sosial di daerah bencana menyatukan komunitas Kristen sebagai teladan, yang dalam banyak kasus, terdiri atas penginjil yang terlatih dan anggota-anggota gereja yang terbaik. Orang-orang yang mereka bantu merasakan perlakuan istimewa dari orang Kristen yang sangat konsisten dengan pengajaran alkitabiah, menciptakan sebuah kesaksian yang meyakinkan bagi Kristus.

Apalagi, kesaksian itu dikuatkan oleh persepsi bahwa pemerintah sepertinya mendukung kekristenan, bahkan di negara-negara yang biasanya menentang kekristenan. Dampak toleransi orang Kristen yang besar terhadap masyarakat sering kali tidak bersifat sementara. Kegiatan sosial memungkinkan kita untuk menunjukkan kasih, unsur nonpolitis, dan maksud baik dalam cara-cara yang mungkin membuat pemerintah daerah dan nasional menjadi lebih terbuka terhadap misionaris-misionaris Kristen nantinya. Namun setidaknya, saat kegiatan sosial dilakukan, para pengungsi merasakan kebebasan untuk belajar dari orang-orang Kristen tanpa retribusi pemerintah.

Dalam situasi tersebut, hasil penginjilan bisa jadi sangat mengejutkan. Pada 1980, saya mengunjungi kemah penampungan pengungsi, Khao-I-Dang, yang menampung para pengungsi perang Kamboja di wilayah perbatasan Thai. Ada sekitar 130.000 pengungsi di sana. Dari jumlah itu, pada awalnya hanya ada delapan keluarga yang Kristen. Namun, pertobatan segera terjadi dalam waktu ratusan hari. Saya menyaksikan penyembahan dinamis yang dilakukan oleh orang-orang percaya di sana, dan memiliki hak istimewa untuk berkhotbah, baik dalam gereja mereka maupun dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.

Dalam sebulan, orang Kristen yang ada di Khao-I-Dang tumbuh menjadi 20 ribu orang. Mengapa penjangkauan di sana bisa mencapai sebuah keberhasilan?

Penyebabnya adalah "jembatan" yang tercipta karena krisis spiritual para pengungsi atas hilangnya anggota keluarga, harta benda, dan budaya. Jelas, orang-orang itu menjadi terbuka terhadap jawaban yang diungkapkan dengan cara yang lebih baik. Orang-orang yang sinis mungkin mengatakan bahwa pertobatan para pengungsi itu hanyalah suatu cara agar mereka mendapat kemudahan dalam hal keimigrasian ke Amerika Serikat. Tentu saja hal itu mungkin terjadi, namun jumlah orang yang seperti itu sama sekali tidak sebanding dengan besarnya jumlah orang-orang yang datang kepada Kristus di Khao-I-Dang dan kemah-kemah pengungsi lain yang telah saya kunjungi.

Saat saya meninjau penelitian pertobatan dalam kemah-kemah pengungsi di seluruh dunia, ada sejumlah faktor keberhasilan yang muncul secara konsisten saat terjadi tingkat pertobatan yang tinggi.

  1. Kualitas dan Dedikasi Staf Kristen Untuk staf, pekerjaan dalam kemah pengungsi adalah pekerjaan yang berat dan berlangsung lama. Agar berhasil memberikan dampak spiritual terhadap para pengungsi yang telah kehilangan segalanya itu, mereka harus menunjukkan dedikasi tingkat tinggi sebagai saksi Kristen.

  2. Kemampuan Bergaul yang Baik dengan Pemerintah Banyak kemah pengungsi berdiri karena alasan politis, karena itu aparat pemerintah daerah dan nasional sangat turut campur dalam kemah itu. Dalam situasi seperti itu, organisasi Kristen harus mengembangkan keterampilan untuk bekerja bersama para aparat setempat. Sering kali kompromi diperlukan. Untuk itu, jelas diperlukan keahlian diplomatis dan kemampuan untuk bergaul bersama pemerintah, menghormati hak mereka untuk mengendalikan saat terjadinya situasi yang sulit.

  3. Keterampilan Menginjili Karena para pengungsi cenderung terbuka terhadap Kristus, para misionaris harus cukup kompeten dalam menginjili untuk memberikan gambaran kekristenan yang jelas dengan cara yang tepat untuk memuaskan kebutuhan para pengungsi. Pendekatan akademis tidak tepat; para pengungsi mencari jawaban, bukan suatu tantangan intelektual yang baru.

  4. Merelevansikan Nilai-Nilai Budaya Akhirnya, misionaris harus mampu menyajikan kekristenan dalam suatu metode yang cocok dengan budaya asli para pengungsi. Para pengungsi harus merasa bahwa Kristen adalah agama mereka, yang memiliki Tuhan yang benar-benar memahami kebutuhan mereka.

Manfaat lain dari kegiatan sosial adalah dampaknya bagi gereja-gereja lokal. Jika sebuah gereja telah berdiri di tempat yang kita bantu, kita bisa merancang sebuah sistem distribusi yang bisa memperlengkapi gereja itu, meningkatkan pelayanan dan pretisenya.

Dalam situasi ini, organisasi sosial berfungsi sebagai fasilitator bagi gereja lokal. Kita bisa membantu gereja dan misi yang ada untuk menuntaskan pelayanan mereka dalam menjangkau orang-orang non-Kristen dengan menyediakan komoditas pangan, dana yang dibutuhkan, dan tenaga ahli.

Organisasi sosial juga dapat berfungsi sebagai perantara atau katalis. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan relasi kita untuk "memberikan kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka" (Ams. 31:9), mendorong First World Vision untuk datang dan membantu.

Hasilnya adalah sebuah kesatuan Tubuh orang-orang percaya di dunia yang lebih antusias dan efektif, dengan keterlibatan orang-orang Kristen dalam pelayanan simbiosis yang pada akhirnya akan membawa semakin banyak jiwa yang hilang kepada Kristus.

Saat kami mencoba memikirkan masa depan, kami menemukan kesempatan yang tidak berbatas untuk melayani dalam konteks kebutuhan manusia. Global 2000, salah satu sumber paling komprehensif yang memperkirakan situasi dunia masa mendatang, memperkirakan bahwa memasuki tahun-tahun di depan, dunia akan menjadi lebih padat, lebih terpolusi, ekologi semakin tidak stabil, dan lebih rentan akan beragam bencana.

Lebih dari setengah milyar manusia akan menjadi semakin kelaparan, dengan hampir tiga belas juta manusia diperkirakan akan mati kelaparan dan karena hal-hal lain yang timbul sebagai dampak dari kelaparan di tahun-tahun sebelumnya.

Setiap menitnya, kelaparan merenggut 24 nyawa, 18 di antaranya adalah anak-anak. Sejumlah 35 ribu orang mati karena kelaparan setiap harinya.

Meskipun beberapa pihak berpendapat bahwa kelaparan dunia akan semakin buruk, namun tidak ada kesepakatan yang pasti akan hal ini. Faktanya, beberapa sumber memperkirakan bahwa jumlah orang yang kelaparan akan berlipat ganda pada tahun 2000.

Saya menegaskan bahwa masalah mengenai bagaimana kita menanggapi kebutuhan besar yang diperlukan sesama kita jauh lebih penting daripada membicarakan apa yang mungkin terjadi pada masa depan. Faktanya, 35.000 orang -- kebanyakan anak-anak -- mati setiap harinya karena kelaparan. Selain itu, bencana alam, perang, dan penyakit mematikan semakin mengkhawatirkan. Begitu juga dengan penderitaan yang mungkin terjadi secara tiba-tiba akibat perkembangan nuklir dalam dunia militer.

Sebagai orang Kristen, kita harus terus menanggapi hal ini sebaik mungkin selama kita masih hidup dan sampai Yesus datang kembali. Pertanyaan yang sebenarnya -- dan fokus kita -- adalah bagaimana kita dapat menanggapi kebutuhan-kebutuhan itu sembari terus melaksanakan Amanat Agung? (t/Dian)

Diterjemahkan dari:

Judul buku : God`s New Envoys
Judul bab : Special Strategies To Reach The Suffering
Penulis : Tetsunao Yamamori
Penerbit : Multnomah Press, Oregon 1987
Halaman : 112 -- 117

e-JEMMi 40/2007