You are hereArtikel Misi / Gereja Bertumbuh di Tengah Penganiayaan

Gereja Bertumbuh di Tengah Penganiayaan


"Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk PERCAYA KEPADA KRISTUS melainkan juga MENDERITA UNTUK DIA." (Filipi 1:29) < http://sabdaweb.sabda.org/?p=Filipi+1:29 >

Misi yang Berorientasi pada Injil

Belum lama berselang di RRC, salah satu ladang kekristenan yang paling tandus di dunia, telah dibuka sebuah China Mission Center (CMC). [Pdt. Stephen Tong diundang sebagai pengkhotbah utama pada hari pembukaan.] CMC ini didirikan sebagai perwujudan dari kesatuan tindakan serta keyakinan untuk bersama-sama bekerja bagi suatu misi dunia, misi yang berorientasi pada pekabaran Injil. Oleh Injil, manusia didorong dan dikuatkan untuk bekerja. Kunci keberhasilan penginjilan yang efektif adalah memiliki dasar firman Tuhan yang kokoh dan penguasaan teologi yang mantap. Pada setiap generasi, kita yang terpanggil untuk melayani harus mengulangi lagi Amanat Agung yang sudah diberikan oleh Yesus Kristus.

Dunia yang Belum Cukup Diinjili

Para ahli misiologi mengatakan bahwa dari lima milyar penduduk dunia dewasa ini, hanya 20% yang beragama Kristen, 80% belum mengenal Kristus, dan 70% penduduk tinggal di tempat-tempat yang sulit dicapai oleh para penginjil sehingga tugas penginjilan harus dikerjakan oleh orang-orang Kristen setempat. Banyak negara telah menutup pintu untuk kekristenan dan penginjilan, tetapi dunia belum tertutup untuk Injil, belum tertutup pintu untuk pekerjaan Roh Kudus melalui anak-anak Tuhan setempat.

RRC adalah salah satu negara seperti itu. Di antara penduduk dunia yang belum terjangkau oleh Injil, 27% tinggal di RRC; dan dari 1,1 milyar penduduk daratan RRC, hanya 50 juta yang Kristen. Sepuluh tahun yang lalu, dunia luar sedikit sekali mendengar tentang apa yang terjadi di RRC. Berdirinya pusat riset mengenai gereja di RRC telah membuat dunia mengerti dan mengetahui apa yang terjadi selama tiga puluh tahun setelah komunis mengambil alih kekuatan politik di Cina. Satu hal yang mengagumkan adalah bahwa gereja di sana bukannya menjadi mati, melainkan bertumbuh berpuluh-puluh kali lipat. Setelah hasil penelitian itu diumumkan kepada dunia, seluruh dunia menjadi kagum; suatu kekaguman yang penuh sukacita dan banyak yang imannya dikuatkan serta didorong kembali. Sekarang tujuan penelitian itu telah diubah, tidak saja untuk mempelajari apa yang sudah terjadi, tetapi juga memobilisasi dunia supaya memfokuskan perhatian pada bagaimana bisa menolong orang Kristen di Cina.

Seorang sejarawan mengatakan bahwa dalam 15 -- 20 tahun yang akan datang, pintu untuk penginjilan di RRC akan terbuka lebar dan RRC akan menjadi ladang penuaian terbesar sepanjang sejarah manusia. Ladang ini sudah tersedia untuk dituai, tetapi yang mengerjakan terlalu sedikit. Karena ladang itu begitu besar, seluruh dunia diperlukan untuk pekerjaan itu. Semakin giat Anda terjun dalam menginjili orang lain dan melatih diri bagi pelayanan itu, semakin besar pula kemungkinan Tuhan memakai Anda untuk berbagian dalam penginjilan di RRC serta tempat-tempat lain di dunia.

Sejarah Singkat Pertumbuhan Gereja di RRC

Banyak pelajaran penting dapat kita petik dari apa yang terjadi dalam sejarah gereja di RRC. Salah satunya ialah bukti bahwa betapa pun besar penganiayaan politik terhadap gereja, gereja bisa terus berkembang.

Sejak daratan RRC jatuh ke tangan komunis pada tahun 1949, kesulitan dan kesengsaraan mulai menyerang kekristenan. Pada waktu itu, ada 20.000 gedung gereja, 6.000 misionaris, 10.000 penginjil dari RRC sendiri, dan ada 2.000 pendeta yang sudah ditahbiskan. Hampir semua denominasi besar terwakili di RRC. Mereka telah bekerja seratus tahun untuk memenangkan satu juta orang Kristen. Tetapi selama sepuluh tahun pertama komunis berkuasa, semua gedung gereja dan semua yang kelihatan secara lahiriah dihancurleburkan. Semua sekolah teologi/seminari serta rumah sakit Kristen ditutup, dan semua penginjil luar negeri diusir oleh pemerintah.

Pada tahun 1959, semua gereja ditutup, kecuali beberapa gereja yang dipercayai oleh pemerintah dan menjadi alat pemerintah. Pada tahun 1955, pendeta-pendeta yang setia kepada Tuhan dan melawan komunis ditangkap dan dipenjarakan. Pada tahun 1958, banyak pendeta yang setia kepada Tuhan mulai mundur dari pekerjaan Tuhan. Semua gereja di desa-desa dan di kota-kota kecil ditutup dan mereka mengalami kesulitan yang luar biasa. Bagaimana kebaktian bisa berlangsung jika gereja sudah ditutup dan para pendeta dipenjarakan? Bagaimana pengabaran Injil dilaksanakan jika sekolah teologi ditutup, penginjil-penginjil tidak ada lagi dan Kitab Suci disita serta dibakar oleh komunis?

Di dalam kesulitan dan kekecewaan itu, beberapa orang Kristen berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil dan mulai berdoa kepada Tuhan. Di situlah gereja rumah tangga mulai bergerak. Pada tahun 1966, revolusi kebudayaan meletus di RRC, dan semua orang Kristen dikejar-kejar untuk dianiaya luar biasa. Orang Kristen dihina dan dibawa ke tempat-tempat latihan yang sulit, mereka harus bekerja berat, diarak di jalan-jalan untuk dipermalukan.

Di sebuah kota kecil, Kitab-kitab Suci orang Kristen disita dan dikumpulkan sehingga menjadi suatu bukit kecil. Komunis memaksa orang Kristen di tempat itu untuk berlutut mengelilingi bukit tumpukan Kitab Suci itu dan mengaku bersalah. Lalu mereka menyulutkan api dan membakar habis semua Alkitab itu. Orang-orang Kristen itu tidak boleh meninggalkan tempat sehingga panas api melukai wajah mereka.

Pada waktu itu, banyak orang bunuh diri karena tidak tahan terhadap tekanan hidup, termasuk juga orang Kristen. Pendeta-pendeta yang sudah berkompromi dengan komunis tidak sanggup lagi bertahan dengan iman mereka. Mereka naik ke sebuah gedung berlantai tiga lalu terjun dan mati. Banyak guru Injil wanita dipukul sampai mati di gereja mereka sendiri. Peristiwa penganiayaan yang diderita orang Kristen begitu banyak sehingga tidak dapat diceritakan satu per satu. Tetapi melalui beberapa tahun penganiayaan, orang Kristen di RRC mendapat suatu pelajaran yang sangat berharga, sebagaimana dikatakan Rasul Paulus dalam Filipi 1:29; melalui penderitaan, orang Kristen mengerti bahwa kita tidak hanya dipanggil untuk memercayai Yesus Kristus, tetapi juga dipanggil untuk menderita bagi Dia.

Terlalu banyak kekristenan murahan diberitakan di dunia. "Percayalah pada Yesus Kristus, maka engkau akan selamat"; cuma itu lalu selesai. Orang Kristen boleh masuk surga, menikmati segala kenikmatan di dunia ini. Memang benar dengan percaya kepada Yesus Kristus, kita akan selamat dan diberkati oleh Tuhan, tetapi itu baru separuh kebenaran saja. Masih ada separuh lagi, yaitu bagaimana menjadi murid-murid Kristus yang sejati. Kita dianugerahi Tuhan tidak hanya untuk percaya, tetapi juga untuk menderita bagi Kristus.

Dalam masa revolusi kebudayaan, ada seorang guru yang dipukul hingga hampir mati. Ia menderita luar biasa. Setelah dipukul, ia diikat dengan rantai lalu diarak di jalan-jalan kota itu. Kemudian ia diikat di sebuah pohon dan dijemur di bawah terik matahari, setiap hari selama musim panas. Anak-anak kecil, murid-muridnya sendiri, disuruh meludahi dan menendang badannya. Selama satu bulan penuh ia dipermalukan sedemikian dan baru kemudian dibebaskan. Karena ia begitu kecewa dan tidak ada muka lagi untuk menghadapi murid-murid yang telah menganiayanya, ia memutuskan untuk bunuh diri. Pada saat kekecewaannya memuncak, ia berdiri di sebuah jembatan dan melihat air di bawahnya. Saat ia akan meloncat, anaknya yang berumur delapan tahun berteriak, "Ayah ... Ayah, jangan loncat ...! Saya tahu Ayah telah menderita semua ini untuk Kristus!" Saat itu ia sadar, lalu memeluk anak perempuannya dan mencucurkan air mata. Ia mengaku dosa di hadapan Tuhan karena imannya yang terlalu kecil. Melalui mulut anaknya itu, ia mengerti bahwa ia tidak hanya diberi anugerah untuk percaya, tapi juga untuk menderita bagi Dia. Justru melalui kesengsaraan yang demikian, gereja dan orang-orang Kristen memahami arti panggilan Tuhan dan iman mereka menjadi bertumbuh. Mereka mengerti apa arti pengharapan di dalam Kristus.

Iman yang Dibangkitkan

Pada tahun 70-an, di tengah-tengah perjalanan revolusi kebudayaan, gereja mulai berkembang lagi. Gereja pada waktu itu bagaikan padang pasir yang tandus karena banyak orang Kristen ketakutan dan tidak berani menyatakan iman mereka. Tetapi sebagian di antara mereka yang sudah mengalami kuasa Tuhan, sekali lagi mengaku nama Tuhan. Seorang pemuda Kristen menyalakan tekadnya kembali dengan mengunjungi keluarga-keluarga Kristen dan mengajak mereka keluar dari ketakutan: "Mari kita berbakti kembali, jangan berhenti berbakti! Jangan berhenti berdoa! Mari kita mulai lagi!" Lalu ia berkeliling mengunjungi setiap desa di provinsi itu sehingga muncul istilah "penginjil keliling". Jumlah yang dimulai dari 5 orang menjadi 10, 15, 20, dan terus bertambah.

Ketika Mao Zedong meninggal dunia, RRC sudah penuh dengan gereja-gereja bawah tanah. Pemerintah komunis tidak hanya melarang mereka mengadakan pertemuan-pertemuan tetapi juga tidak memperbolehkan mereka mengaku percaya kepada Yesus Kristus. Jika kelompok-kelompok doa itu ditemukan polisi, mereka diusir. Di tengah pengejaran itu, mereka hanya bisa berdoa, "Tuhan, kasihanilah kami." Bagaimana Tuhan menjawab dan menguatkan mereka?

Pada waktu itu, ada keluarga komunis yang memunyai dua ekor babi. Babi di sana besar sekali artinya. Seekor babi berarti gaji seorang pekerja selama satu tahun. Suatu hari, babi keluarga itu mati seekor, dan hari berikutnya babi yang kedua mati. Sang istri marah-marah dan memukul suaminya sambil berkata, "Jangan lagi menganiaya orang Kristen, babi kita mati semua." Suaminya menjawab, "Ya ..., ya ..., saya berjanji tidak lagi menganiaya orang Kristen, tidak lagi mengganggu gereja."

Ada seorang pemimpin komunis yang mendapat kesulitan lebih besar lagi. Setelah menghujat Allah, tiba-tiba lidahnya keluar dan tidak bisa lagi ditarik masuk. Ia menjadi tersiksa, tidak bisa makan, tidak bisa berkata-kata, dan tidak bisa tidur sehingga ia pergi ke dokter. Dokter mengatakan ia belum pernah menghadapi penyakit seperti itu. Pada saat itu, ada seorang Kristen di klinik yang mendengar pembicaraan mereka. Lalu ia berkata, "Saya kira penyakit seperti itu tidak dapat disembuhkan dokter, engkau harus pergi kepada orang Kristen, mungkin akan sembuh." Komunis itu menjadi sangat jengkel, tetapi ia pergi juga ke seorang tua-tua Kristen dan menceritakan masalahnya. Jawab tua-tua itu, "Memang engkau sudah menghujat Tuhan, sekarang dihukum Tuhan, bukan? Kami tidak mau mendoakan engkau kecuali engkau bertobat. Mau bertobat?" "Ya ..., ya ...," kata komunis itu. "Tapi itu tidak cukup, engkau harus percaya pada Yesus Kristus. Kalau engkau tidak percaya Dia, kami berdoa pun engkau tidak akan disembuhkan. Mau percaya Yesus Kristus?" Dengan lidah yang terjulur ia menjawab, "Ya ..., ya ...." Maka mereka menumpangkan tangan atas orang itu dan berdoa. Di tengah-tengah doa yang belum selesai, lidahnya sudah kembali normal. Komunis itu pun menjadi Kristen dan bergabung dengan gereja.

Gereja Dibangunkan oleh Doa

Apakah hikmah dari kasus-kasus itu? Di tengah keadaan tanpa pertolongan sama sekali, orang Kristen tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berdoa; dan Tuhan menjawab. Itulah sebabnya dalam masa revolusi kebudayaan, gereja justru makin berkembang dan terus bertumbuh. Tidak ada senjata lain kecuali doa! Mereka mengalahkan penganiayaan dan membangunkan iman melalui doa. Setelah Mao Zedong meninggal dunia, kita melihat gereja dibangunkan secara luar biasa di seluruh Tiongkok. Di setiap kota dan desa kecil di Tiongkok Utara, kita dapat menjumpai sebuah gereja. Ada satu kota yang pada tahun 1949 hanya memunyai 4.000 orang Kristen, sekarang memunyai 160.000 orang Kristen. Ada satu desa nelayan yang memunyai tiga ratus orang Kristen setelah seorang pendeta bekerja di sana selama sepuluh tahun. Pendeta itu ditangkap pada tahun 1960. Setelah dibebaskan, ia kembali ke desa itu dan menjumpai 20.000 orang Kristen di sana.

Bagaimana gereja di RRC berkembang melalui keadaan seperti itu? Pada waktu sadar, kita mati dan bangkit bersama Kristus, gereja pun bangkit oleh kuasa Roh Kudus. Gereja bertumbuh pada saat kita sadar bahwa Kristus Tuhan ada di dalam gereja itu.

Tahun 1961 kebangunan rohani besar terjadi di RRC. Tetapi seiring perkembangan itu, banyak pula bidah dan aliran sesat muncul dalam gereja. Ada orang yang mengaku diri sebagai Kristus. Ia memunyai 12 murid dan 12 anak dara yang melayani dia sehingga orang tuanya pun harus merendahkan diri di bawahnya. Muncul juga nabi-nabi palsu yang menjalankan perzinahan. Padahal penganiayaan masih terus dilakukan oleh pemerintah.

Bagaimana gereja mengatasi masalah-masalah tersebut? Saat itu dibentuklah suatu pertemuan besar yang dihadiri utusan-utusan dari enam puluh desa. Mereka berkumpul selama satu minggu, kemudian mengambil keputusan mengucilkan tujuh pengajar sesat dan orang-orang yang berzinah. Mereka menulis surat untuk diedarkan di desa-desa itu. Maka pada waktu itu, gereja di RRC mulai belajar bagaimana mereka harus menjalankan disiplin rohani.

Permintaan untuk mengirimkan para penginjil ke provinsi-provinsi lain terus mengalir. Maka mereka berkumpul, berpuasa, dan berdoa untuk mengambil keputusan pergi atau tidak. Kemudian ditunjuk dua belas orang Kristen terbaik dan paling berbakat untuk pergi kira-kira seribu kilometer ke provinsi lain dengan berjalan kaki. Provinsi Sichuan adalah provinsi yang berpenduduk kira-kira satu juta jiwa dan mereka belum mengenal Kristus. Dalam satu bulan itu, ada enam belas gereja didirikan. Tetapi setelah satu bulan itu, hampir semua penginjil tersebut ditangkap oleh komunis. Mereka diikat dengan tali pada ibu jari tangannya, kemudian digantung di atap rumah sehingga seluruh berat badannya tergantung pada ibu jari. Mereka dipukul dan diikat, lalu dipaksa untuk berlutut tiga hari tiga malam di atas ubin yang dipasangi kerikil-kerikil tajam yang menusuk lutut mereka. Demikianlah mereka menderita karena Injil untuk mengatakan nama Yesus dan memberitakan Kabar Kesukaan kepada orang lain. Ada yang dipenjarakan dan baru tahun lalu dibebaskan. Sekarang orang Kristen di wilayah RRC Tengah sedang mengalami aniaya luar biasa.

Strategi Pengabaran Injil yang Lahir dari Keadaan Tertekan

Belajar dari pengalaman-pengalaman itu, pada tahun 1985 di provinsi utara diadakan suatu program pelatihan untuk orang Kristen selama seminggu, berupa latihan hidup kerohanian. Dari pengalaman dalam penganiayaan itu, mereka menemukan tujuh pokok penting dalam strategi pengabaran Injil.

  1. Mengabarkan Injil adalah memberitakan keselamatan di dalam Yesus Kristus, supaya orang yang percaya bertobat dan diselamatkan.

  2. Menempuh jalan salib; berani menderita sengsara bagi Kristus.

  3. Mengenali ajaran-ajaran palsu dan teologi yang tidak benar.

  4. Membangunkan dan menguatkan gereja. Sesudah Injil diberitakan, iman orang-orang yang baru percaya perlu dikuatkan dan dipupuk supaya menjadi jemaat yang kuat.

  5. Menumbuhkan dan mendewasakan hidup kekristenan mereka yang sudah percaya.

  6. Bersekutu dengan gereja-gereja di sekitarnya. Jika sudah ada 30 -- 50 gereja, mereka berkumpul dan membentuk satu sinode. Dari sepuluh sinode kecil, mereka membentuk satu sinode besar.

  7. Mengirimkan orang-orang Kristen berbakat yang mau mengabarkan Injil ke daerah-daerah yang belum mengenal Injil. Sekarang sudah diadakan program tiga tahun untuk melatih orang-orang Kristen untuk menjadi hamba Tuhan yang baik. Setelah tiga tahun itu, mereka dikirim secara berpasangan untuk mengabarkan Injil dengan didampingi seorang hamba Tuhan yang lebih berpengalaman.

Rahasia mengalahkan penganiayaan dan kesulitan ialah jalan salib mengikut Yesus. Ini tidak gampang, tetapi umat Kristen di RRC sudah belajar bahwa mereka dipanggil dan dikaruniai tidak hanya untuk percaya pada Yesus Kristus, tetapi juga menderita untuk Dia. Bagi Kristus, jalan salib adalah jalan menuju kemuliaan. Kita dipanggil untuk mengikuti jejak-Nya.

Diambil dan diedit seperlunya dari:

Judul majalah : Momentum, edisi 3, Bulan Oktober 1987
Judul artikel : Gereja Bertumbuh di Tengah Penganiayaan
Penulis : Dr. Jonathan Chao
Halaman : 10 -- 15

e-JEMMi 45/2007