JIM XXXXXX -- MISIONARIS UNTUK SUKU SAWI
Jim Xxxxxx berumur 13 tahun ketika ayahnya meninggal dan ibunya adalah
seorang Kristen yang taat. Memasuki usia remaja, tanpa figur seorang
ayah membuatnya terombang-ambing oleh lingkungan, sehingga akhirnya
ia terjerumus ke lembah kelam: narkotika. Hari-hari dilaluinya
tanpa kedamaian. Dunia obat bius begitu menjeratnya sampai ia harus
meringkuk dalam penjara. Namun Allah dengan kasih-Nya yang begitu
besar menjamah Jim, sehingga ia masuk ke dalam rencana-Nya. Allah
membawa Jim pada suatu rencana agung yang belum pernah terpikirkan
sebelumnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan
menjadi seorang misionaris, apalagi ke tempat yang begitu jauh, yang
sering disebut sebagai ujung bumi: Irian! (sekarang Papua, red.)
Perjalanan misinya dimulai ketika ia menjadi mahasiswa di sebuah
seminari di California, USA, setelah pertobatannya. Sebenarnya Jim
hanya ingin belajar satu tahun, tetapi entah karena apa setelah satu
tahun dilewati di seminari itu ia meneruskan lagi sampai empat
tahun. Pada tahun ketiga ia belajar, ada sebuah jemaat di Oregon,
USA, yang gembalanya baru kembali sebagai misionaris selama 30 tahun
di Thailand. Jim bekerja sama dengan misionaris itu selama 2 bulan.
Dalam waktu yang singkat itulah Tuhan menaruh visi untuk pelayanan
misi sedunia ke dalam hati Jim. Setelah menyelesaikan tahun keempat
ada praktek pelayanan ke luar negeri. Jim dikirim ke Korea Selatan
dan Jepang. Tujuan praktek pelayanan ini adalah mencari peneguhan
supaya para mahasiswa tahu pasti kemana mereka harus melayani. Jim
berada di Korea selama satu bulan dan di Jepang selama satu bulan.
Selama di Korea, Jim merasa senang melihat gereja yang berkembang
pesat. Namun panggilan Tuhan belum datang ketika ia berada di Korea.
Ketika berada di Kyoto, kota pusat penyembahan berhala di Jepang,
Jim suatu malam berdoa semalam suntuk dan aa berkata kepada Tuhan,
"Tuhan, saya tidak suka tinggal di negeri asing. Saya tidak suka
makan makanan yang aneh. Saya tidak bisa berkomunikasi karena bahasa
mereka lain. Saya tidak mampu. Saya tidak akan bisa menjadi seorang
misionaris." Dan Tuhan menjawabnya dengan tegas, "Jim, engkau tidak
bisa menjadi misionaris, tetapi Aku bisa menjadikan engkau seorang
misionaris."
Mulai saat itu Jim sadar dan tidak mau bergantung pada kemampuan dan
keinginannya sendiri. Ia hanya ingin bergantung kepada kemampuan dan
kehendak Allahnya. Ia merasa punya kepastian bahwa akan datang
harinya dimana Tuhan akan membawanya keluar dari Amerika dan
melayani di luar negeri. Ia tahu pintu akan dibukakan dan itu pasti
terjadi.
Sekembalinya dari Jepang, Jim bersama istrinya kembali ke bangku
kuliah untuk belajar Linguistik (Ilmu Bahasa) dan Misiologi selama
satu tahun di Fuller Seminary, L.A./Pasadena. Ini adalah persiapan
yang akan dipakai untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa suku
terasing di Irian Jaya. "Saya mau melakukan pelayanan di mana orang
lain tidak mau melakukannya. Dimana ada ladang pelayanan yang tidak
diinginkan orang lain atau tidak bisa dilaksanakan orang lain, saya
akan masuk ke sana." kata Jim. Sebab itu Jim dan istrinya bertanya
kepada teman-temannya di mana ada suku yang belum diinjili dan
belum ada kontak dengan dunia luar. Akhirnya ia memutuskan untuk
pergi ke suku Sawi di pedalaman Irian Jaya. Suku Sawi terbagi
menjadi dua bagian, yaitu bagian utara dan bagian selatan. Pelayanan
misi di bagian selatan telah dirintis oleh Don Richardson, sementara
kontak dengan bagian utara sangat kurang. Di suku Sawi utara inilah
Jim dan istrinya masuk sebagai misionaris pertama sampai hari ini.
Meninggalkan budaya hidup Amerika merupakan pergumulan sendiri bagi
Jim Xxxxxx. Menurutnya situasi di Amerika atau Jakarta sangat berbeda
dengan Irian Jaya. Pelayanan di Jakarta itu terlalu enak, terlalu
mudah untuk bergantung pada orang lain. Tapi pelayanan di hutan
belantara Irian Jaya, tinggal seorang diri dengan keluarganya di
tempat terpencil, kepada siapa akan bergantung selain kepada Tuhan
saja? Itulah sebabnya sejak semula Jim sudah menyiapkan mentalnya.
Sekali berangkat ke Irian Jaya, ia memutuskan dan "membakar semua
jembatan" yang dapat mengantarnya kembali ke Amerika.
"Ada orang mau menjadi misionaris untuk jangka waktu satu atau dua
tahun, ada juga yang sampai empat tahun. Saya perhatikan, di tempat
tugas yang terpencil itu mereka selalu rindu kembali ke tempat asal,
selalu berpikir kapan kembali ke keluarga dan teman-teman? Saya
yakin untuk menjadi misionaris seseorang harus putus hubungan dengan
kampung halamannya, seperti membakar jembatan dan kapal-kapal
sehingga tidak bisa kembali pulang. Kalau ada kesempatan untuk
kembali, itu semata-mata dari Tuhan, tetapi kita harus siap untuk
pergi dan pergi terus tanpa berpikir untuk kembali," kata Jim yang
sekarang fasih berbahasa Indonesia dan sudah 20 tahun hidup di
antara suku Sawi.
"Saya banyak mendengar tentang kegiatan misi jangka pendek (short-
term mission), yang mereka sebut sebagai "misi kunjungan". Itu baik
dan dapat sedikit menolong. Tetapi untuk menghasilkan pekerjaan yang
besar dan bertahan lama harus ada orang yang mau bertahan hidup lama
di suatu wilayah dan tinggal terus-menerus di sana dan menyatu
dengan masyarakat setempat. Itulah yang saya lakukan untuk
menghilangkan identitas Amerika saya. Saya menyatu dengan suku Sawi
untuk mengambil nilai-nilai hidup mereka, untuk saya jadikan nilai-nilai hidup saya sendiri," ungkap Jim.
Jim mengaku banyak membaca buku-buku tentang Irian sebelumnya,
tetapi pada waktu terjun ke medan pelayanan, ternyata keadaannya
banyak berbeda, dan lebih berat daripada apa yang ditulis orang.
"Saat kami turun dari pesawat yang membawa kami, semua orang
mengerumuni kami dengan keheran-heranan. Tubuh kami diraba-raba dan
akhirnya kami dibawa ke perkampungan mereka. Rupanya mereka sudah
menyiapkan sebuah pesta untuk menyambut kedatangan kami. Untuk
menghormati kami sebagai tamu, mereka memberikan makanan khas, yaitu
ulat sagu yang harus kami makan hidup-hidup!" katanya sambil
memperagakan cara memasukkan ulat yang menjijikkan itu ke dalam
mulutnya.
Lebih lanjut Jim menceritakan awal-awal pelayanannya di sana. "Kami
tahu di sana sering terjadi perang suku, tetapi tidak tahu kalau
pada hari pertama kami datang ada perang sungguhan di depan mata
kami. Kejadian itu sangat mengejutkan kami." Ternyata Jim dan
istrinya tidak satu kali saja menghadapi peperangan semacam itu.
Setiap minggu selama tahun-tahun pertama pelayanan mereka selalu
terjadi perang suku. Tantangan lain datang bagi pasangan yang pada
waktu itu baru menikah ini adalah saat Jim terserang malaria dan
hampir mati. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali, sehingga
sampai ia lupa sudah berapa kali ia terserang penyakit berbahaya
yang hampir merenggut nyawanya itu.
"Jadi, yang terpenting adalah hubungan pribadi dengan Tuhan.
Hubungan yang erat setiap hari dengan Tuhan. Hidup melayani di
perkotaan banyak mendapat dukungan dari orang lain. Kalau anda
sedang merasa "down", anda dapat datang ke gereja dan mendengarkan
khotbah yang bagus dari gembala yang menguatkan. Atau bila anda
sedang kecewa, anda dapat memutar kaset-kaset rohani dan anda
dikuatkan. Tetapi hidup di hutan seperti kami, tidak memiliki
hiburan apa-apa. Hanya diri sendiri bersama Tuhan." tambahnya.
Mengabarkan berita keselamatan kepada suku Sawi tidaklah mudah.
Bertahun-tahun Jim dan istrinya mengajar mereka untuk percaya kepada
Tuhan Yesus, tetapi tidak satupun yang mau percaya. Sementara itu
istri Jim bekerja di poliklinik, menolong orang-orang yang sakit.
Kebanyakan orang-orang Sawi itu sakit borok di kaki, sampai
kelihatan tulangnya. Dengan penuh kasih mereka diobati atau disuntik
dan didoakan. Ajaib, dalam waktu dua tiga hari penyakit itu sembuh.
Perjuangan Jim tidaklah sia-sia. Ia baru berumur 24 tahun bersama
istri tercintanya ketika mereka masuk ke pedalaman hutan belantara
Irian demi keselamatan "saudara-saudaranya", suku Sawi, di Irian
bagian selatan. Apa yang ia tabur, kini sudah berbuah. Oleh
pertolongan Tuhan saat ini berdiri tujuh sidang jemaat suku Sawi.
Jim Xxxxxx mengungkapkan bahwa setelah enam bulan ia baru bisa
berkomunikasi dengan bahasa Sawi dan setelah satu tahun ia lebih
lancar lagi, sehingga ia dapat menjelaskan hal-hal rohani. Setiap
hari ia bersama laki-laki Sawi pergi berburu ke hutan dan istrinya
juga masuk ke hutan bersama para wanita Sawi untuk mencari sagu.
Dengan cara itu ia menjadi cepat menangkap bahasa Sawi sampai ia
dapat menyelesaikan penerjemahan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Sawi. Pada saat ini ia sedang menerjemahkan Alkitab
Perjanjian Lama bersama-sama orang-orang Sawi dan Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI).
Ketika ditanya apakah pergumulan terberat yang dialami selama berada
di Irian, Jim menjelaskan, "Sebenarnya ini adalah rahasia. Mungkin
orang lain melihat misionaris itu orang yang kuat secara rohani. Itu
tidak benar! Ada pergumulan berat ketika iblis mencobai dengan
perasaan ditinggalkan. Kami melayani di tengah-tengah hutan Irian
dan tidak ada kontak dengan orang-orang luar. Orang-orang di gereja
asal kami tidak tahu apa yang terjadi dengan kami. Orang-orang di
Jakarta atau tempat-tempat lain melupakan kami, walaupun kami
kirimkan pokok-pokok doa mengenai pelayanan kami tapi mereka lupa
berdoa bagi kami. Kami sendirian. Tuhan mengijinkan iblis mencobai
dengan perasaan itu. Tidak ada orang atau organisasi yang
memperhatikan kami. Sebab itu banyak misionaris yang pulang ke
negerinya karena patah semangat."
Sampai hari ini Jim Xxxxxx sudah 20 tahun tinggal bersama keluarganya
di tengah-tengah saudara-saudaranya, suku Sawi. Mereka berkata bahwa
Irian adalah tanah airnya dan dia telah menyatu dalam hidup dan
budaya Sawi. Dalam pelayanannya, Jim berusaha menerapkan pelayanan
terpadu, pelayanan secara utuh yang meliputi roh, jiwa dan tubuh. Ia
tidak hanya mengajarkan hal-hal rohani, tetapi ia juga membuka
sekolah untuk memberantas buta huruf, mengajarkan kursus peternakan,
pelayanan kesehatan, proyek air bersih dll. Jim yakin apabila mereka
menerima keselamatan maka hal itu akan mengubah semua kehidupan
mereka.
Meskipun suku-suku terasing di pedalaman Irian seperti suku Sawi
ditinggalkan dunia modern, tetapi mereka tetap diperhatikan Allah.
Ia telah mengirimkan hamba-Nya untuk menyelamatkan mereka. Ia yang
telah menciptakan suku-suku bangsa, Ia pula yang akan menyelamatkan
mereka dengan cara-Nya sendiri.
Kesaksian ini adalah kiriman dari:
Rusli Kurniawan <rusli_kurniawan@>
[Kepada Sdr. Rusli; terima kasih banyak untuk kirimannya. Kami yakin
banyak pembaca e-JEMMi dibangkitkan semangatnya untuk berdoa terus
bagi para misionaris setelah membaca kesaksian yang anda kirimkan
ini.]
e-JEMMi 12/2002