DAVID LIVINGSTONE
Penjelajah dan Utusan Injil
MAHASISWA KEDOKTERAN
David Livingstone dilahirkan tahun 1813 di tengah-tengah situasi
gencarnya Revolusi Industri di Inggris. Rumahnya terdiri atas satu
ruangan berhadapan dengan pabrik pemintalan kapas -- pabrik tempat
di mana ia bekerja empat belas jam sehari sejak usia sepuluh tahun.
Meskipun demikian, hal itu tidak mengendurkan semangatnya untuk
menuntut ilmu. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti
sekolah malam. Membagi waktu antara bekerja dengan belajar tidaklah
mudah. Namun David bisa mengatasi kesulitan-kesulitan selama
mengenyam pendidikan. Sambil bekerja, ia membaca buku-buku yang
ditaruhnya di atas pemintal benang tempatnya bekerja. Ia mengalami
pertobatannya di usia belasan tahun. Namun, karena keluarga tidak
menganggap pendidikannya sebagai prioritas, maka dia baru memulai
kuliahnya di Anderson`s College tahun 1836 di Glasgow. Dia belajar
tentang misiologi dan pelayanan medis.
Setelah membaca suatu seruan mengenai dibutuhkannya utusan Injil
dalam bidang kedokteran di Cina, yang ditulis oleh utusan Injil
berkebangsaan Jerman, Karl Gutzlaff, Livingstone memantapkan
pilihannya untuk dilatih menjadi dokter untuk pelayanan misi.
Pendidikan medis dan teologi di Glasgow membuatnya diterima oleh
London Missionary Society (LMS) pada tahun 1838 untuk mengikuti
pelatihan lebih lanjut. Akan tetapi, karena pecahnya Perang Candu
yang pertama, pelayanan ke Cina ternyata menjadi tidak memungkinkan
untuk dilakukan. Walau demikian, berkat kedekatan hubungannya dengan
Robert Moffat (1795 - 1883), yaitu utusan Injil LSM terkenal di
Afrika Selatan (dan kelak menjadi ayah mertua Livingstone), pemuda
Skotlandia inipun terdorong untuk menjadi relawan yang diutus
melayani di bagian Selatan benua Afrika.
Livingstone memulai kariernya sebagai utusan Injil di pangkalan
Kuruman, tempat Moffat bertugas, pada tahun 1841. Begitu mulai, dia
dengan segera bergerak lebih jauh ke pedalaman untuk mencari orang-
orang yang belum terjangkau Injil. Dari tahun 1843 sampai tahun 1853
ia bekerja di antara suku Tswana, tetapi hanya satu jiwa yang dapat
dimenangkannya, yaitu Seehele, kepala suku Bakwera -- sebagai hasil
jerih payahnya. Sasaran Livingstone semakin terpusat pada wilayah
yang jauh lebih ke Utara, di kedua sisi Sungai Zambesi. Di daerah
ini penduduknya lebih padat dan berada di luar jangkauan para petani
Boer yang berasal dari Selatan; lebih dari itu semua, Sungai Zambesi
menawarkan kemungkinan terbukanya jalur untuk perdagangan yang
`sah`, yang dipercayai oleh Livingstone sebagai satu-satunya
kekuatan yang dapat menghalau perdagangan budak dari daerah itu.
Awalnya, ia memutuskan untuk berusaha menembus ke arah Barat laut,
ke pantai Atlantik, dengan harapan akan menemukan jalur lain menuju
Afrika tengah yang tidak melintasi daerah orang Boer yang
memusuhinya. Setelah menempuh suatu perjalanan dengan keberanian
yang sangat menakjubkan, Livingstone tiba di pantai di Luanda pada
bulan Mei 1854. Karena kecewa dengan jalur pantai barat ini, ia
tidak hanya maju kembali mengikuti jejaknya sendiri, tetapi ia
bahkan menyusuri tepi Sungai Zambesi sampai ke muaranya di Samudera
Hindia. Ia tiba di sana pada bulan Mei 1856 setelah menempuh
perjalanan sejauh 2500 mil.
PAHLAWAN NASIONAL
Livingstone kembali ke Inggris pada bulan Desember 1856 dan
mendapatkan dirinya disambut meriah sebagai pahlawan nasional.
Prestasi geografisnya merupakan sesuatu yang belum pernah dicapai
sebelumnya, dan hal ini terlaksana karena suatu alasan yang sesuai
dengan semangat penginjilan di Inggris -- yaitu dihapusnya
perdagangan budak yang dibenci itu dari benua Afrika. Namun
demikian, sambutan publik ini menyelubungi suatu perbedaan pandangan
yang serius di antara Livingstone dan LMS, yang telah timbul jauh
sebelum Livingstone kembali. Livingstone membicarakan rencana
kembali ke Afrika untuk "mencoba merintis jalan untuk perdagangan
dan kekristenan". Karena menyadari bahwa LMS tidak akan membantunya
untuk terlibat dalam penjelajahan dan perdagangan, Livingstone
membiarkan berlanjutnya negosiasi dengan Pemerintah Inggris mengenai
penunjukannya sebagai konsul Inggris. Pada bulan Oktober 1857 ia
memberitahukan kepada LMS bahwa perjalanan kembalinya ke Afrika
tidak lagi memerlukan bantuan organisasi tersebut, dan pada bulan
Maret tahun berikutnya ekspedisi Zambesi berangkat berlayar di bawah
pimpinan Livingstone.
Ekspedisi ini ternyata merupakan bencana. Dalam perjalanan lintas-
Afrika ini, Livingstone telah terburu-buru membuat kesimpulan yang
keliru, ia mengira bahwa Sungai Zambesi dapat dilayari seluruhnya.
Ia juga terlalu memandang ringan riam-riam di Cabora Bassa.
Ketidakmungkinan riam-riam ini untuk dilayari kapal-kapal uap telah
menghancurkan gagasan Livingstone untuk menjadikan Sungai Zambesi
sebagai jalur utama penginjilan dan perdagangan ke pusat benua
Afrika. Sebagai gantinya, ia berpaling ke Sungai Shire, yang
mengalir di sebelah utara dari Sungai Zambesi menuju Danau Malawi,
yang ternyata berada di ujung sungai tersebut. Tanah di ujung
selatan danau ini tampaknya berpenduduk cukup padat dan dapat
dimanfaatkan untuk budi daya kapas; kehadiran perdagangan Kristen di
sana mungkin dapat mematahkan sebagian besar perdagangan budak di
Afrika Timur pada sumbernya. Sebelum gagasan tersebut terlaksana,
pemerintah Inggris memanggil pulang rombongan ekspedisi ini pada
tahun 1863. Demikianlah salah satu episode yang paling menyedihkan
dalam hidup Livingstone, yang ditandai dengan perselisihan terus-
menerus antara Livingstone dengan rekan-rekan seperjalanannya, dan
mencapai puncaknya dengan kematian istrinya, Mary, pada bulan April
1863.
Sambutan terhadap Livingstone di Inggris ketika ia pulang untuk
kedua kalinya pada tahun 1864-1865 jauh lebih dingin daripada tahun
1856-1858. Pemerintah Inggris telah kehilangan antusiasmenya yang
mula-mula terhadap rencana-rencananya. Ia kembali ke Afrika untuk
terakhir kalinya sebagai konsul yang tidak dibayar, dengan
menyandang wewenang yang sekedar nama saja. Tahun-tahun terakhirnya
dilalui dengan menjelajahi wilayah yang belum pernah dilewati antara
Danau Malawi dan Tanganyika. Selama bertahun-tahun, sangat sedikit
kabar mengenai keberadaan dan keselamatannya yang dapat diketahui
dunia luar.
Berbagai rombongan ekspedisi diutus untuk mencari Livingstone.
Rombongan yang dipimpin oleh wartawan ternama H.M. Stanley mungkin
yang paling banyak dipublikasikan dan paling berhasil. Pertemuan
Stanley dengan Livingstone pada bulan November 1871, diikuti dengan
berita kematiannya yang menyedihkan di Chitambo pada 1 Mei 1874,
semua ini mengokohkan anggapan bahwa sekali lagi Livingstone
merupakan legenda, lambang kepahlawanan dari semangat yang mendorong
penginjilan sebagai inti dari kekristenan pada zaman Victoria.
MENEMBUS MITOS
Beberapa gagasan Livingstone kedengarannya usang dan eksentrik.
Harapannya untuk menghapuskan perdagangan budak dengan cara
memperkenalkan perdagangan resmi bahan-bahan mentah dari Afrika
kepada para industriawan Eropa, mencerminkan pengaruh intelektual
masa mudanya yang khususnya didapat dari gagasan ahli filsafat
ekonomi berkebangsaan Skotlandia, Adam Smith. Usaha-usaha
Livingstone untuk menggabungkan pekerjaan penginjilan di Afrika
tengah dengan perdagangan Eropa tidak membuahkan hasil. Setelah
kematiannya, keyakinan terhadap rumusan utusan Injil dari awal zaman
Victoria ini mengenai "perdagangan dan kekristenan" sedikit demi
sedikit memudar.
Livingstone berkeyakinan bahwa Allah bekerja melalui setiap jenis
aktivitas manusia -- dalam penemuan-penemuan wilayah geografis atau
hubungan dagang -- sama halnya dalam ruang lingkup kekristenan yang
kuat untuk membawa pergerakan sejarah menuju suatu "penyempurnaan
yang gemilang" saat dimana pemerintahan Kristus akan mencapai
puncaknya. Pandangannya tersebut merupakan wawasan kristiani yang
khas pada zaman Victoria dalam hal optimisme rasionalnya. Meskipun
begitu, wawasannya yang luas dalam bidang penginjilan juga selalu
mengingatkan jemaat gereja pada masa-masa yang kurang meyakinkan,
bahwa pertobatan dalam Kristus memang membawa dampak terhadap
kehidupan ekonomi dan budaya suatu masyarakat.
EKSPANSI DALAM PENGUTUSAN INJIL
Satu hal yang lebih relevan dengan masa kini ialah tuntutan
Livingstone yang tidak berubah, yaitu bahwa semboyan dalam strategi
penginjilan seharusnya bukanlah konsolidasi (penggabungan),
melainkan ekspansi (perluasan). Ia mengritik LMS yang memusatkan
sumber-sumber pengutusan Injilnya pada gereja-gereja yang sudah
mapan di wilayah koloni di Semenanjung Afrika Selatan, sementara
sejumlah besar orang-orang yang tinggal di bagian lebih utara
diabaikan. Ia mengingatkan bahwa politik konsolidasi yang kuat
menyebabkan timbulnya gereja-gereja yang didominasi oleh para utusan
Injil: "pengawasan yang terus-menerus dan pengendalian yang tidak
berkesudahan akan melemahkan para malaikat." Laju pertumbuhan
gereja-gereja Afrika, debat Livingstone, berbanding terbalik dengan
jumlah utusan Injil yang ditempatkan di antara mereka.
Dalam beberapa hal, sebenarnya, Livingstone telah merintis teori
pertumbuhan gereja modern. Ia membenarkan strateginya untuk terus
mendesak maju melewati suku Tswana dan menginjili suku-suku di
sekitarnya sebagai "satu-satunya cara yang memberi harapan yang
rasional, sehingga bila orang-orang tersebut mau berpaling kepada
Allah, mereka akan datang secara berkelompok."
Menyadari bahwa tingkat penerimaan terhadap kekristenan di antara
sebagian besar orang Afrika pada saat itu sangatlah rendah, ia
mendorong agar usaha-usaha penginjilan dipusatkan bukan demi
memperoleh pertobatan-pertobatan dari penduduk yang terpencil dalam
suatu wilayah terbatas yang telah ditaburi benih Injil dengan baik,
tetapi melalui penyebaran yang seluas-luasnya mengenai kebenaran dan
prinsip-prinsip kristiani sehingga tercipta suatu kondisi yang
memungkinkan seluruh suku untuk berpaling kepada Kristus.
Menurut David Livingstone, tidak akan mungkin memperoleh hasil
tuaian penginjilan yang besar jumlahnya tanpa didahului usaha yang
sungguh-sungguh untuk menabur pada lahan yang seluas-luasnya. Dan
dengan pandangan itulah, seluruh usaha penginjilannya tersebut
dilakukan. Gereja-gereja Protestan di wilayah Afrika sub-Sahara
yang sebagian besar didirikan setelah masa-masa penjelajahan
Livingstone, sekarang merupakan gereja-gereja yang terkuat di dunia.
Livingstone meyakini dirinya telah dipimpin oleh Allah untuk
"membuka" Afrika bagi penginjilan. Lebih dari seabad setelah
kematiannya, terbukti ia memang benar.
Bahan diedit dari sumber:
Judul Majalah | : | Sahabat Gembala, Aug 1995 |
Judul Artikel | : | David Livingstone |
Penulis | : | Brian Stanley |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup -- Gereja Kemah Injil Indonesia |
Halaman | : | 24 - 28 |
e-JEMMi 47/2005