You are heree-JEMMI No.39 Vol.09/2006 / Sepupu Sedang Bekerja Keras di Antara Orang Hitam Afrika
Sepupu Sedang Bekerja Keras di Antara Orang Hitam Afrika
Sejak tahun 2002, selain mengajar di Sekolah Alkitab di Cape Town, Afrika Selatan dan bertandang ke rumah beberapa teman orang Melayu di Cape Town -- nenek moyang mereka berasal dari Indonesia dan datang ke Afrika tiga setengah abad lalu -- Tuhan memimpin saya untuk masuk ke kampus-kampus juga. Di sana saya bekerja sama dengan beberapa organisasi mahasiswa Kristen yang melayani di kampus, seperti PERKANTAS di Indonesia.
Saya senang berada di antara para mahasiswa, ngobrol dengan mereka, memberi "kuping lebar-lebar" untuk mendengarkan pergumulan mereka serta dengan jeli berusaha menangkap "kata kunci" dari percakapan itu, agar dengan kata kunci itu obrolan bisa dikembangkan ke arah yang lebih terfokus: ...bahwa hanya dengan takut akan Tuhan, kita akan beroleh hikmat dan pengetahuan yang bermanfat untuk kerajaan Allah.
Tidak jarang pembicaraan menjadi macet, sampai kepada nama yang ajaib Tuhan Yesus Kristus, sehingga harus dengan halus lagi melanjutkan obrolan tersebut, jika sang mahasiswa masih sudi mendengar. Jika dia kelihatan tidak tertarik lagi, tidak boleh dipaksakan dengan topik yang sama, tetapi dicoba dengan topik lain untuk menjembatani komunikasi.
SAKILE MENJADI ABDULLAH
Mahasiswa yang paling banyak bergabung dengan "PERKANTAS" kami, tempat saya terlibat, adalah para mahasiswa berkulit hitam Afrika. Tadinya saya mengharapkan lebih banyak bertemu dengan kulit sawo matang yang disebut Coloured (baca: kalet) karena mereka inilah yang pada umumnya beragama sepupu. Tetapi ternyata mereka tidak mau bergabung dengan para mahasiswa yang berkulit hitam. Saya bertanya pada Tuhan, mengapa Tuhan hanya memperhadapkan saya kepada mahasiswa berkulit hitam, yang menurut saya adalah orang Kristen? Saya mau mencari mereka yang terhilang.
Suatu hari Tuhan menjawab doa tersebut. Ketika itu saya memimpin sebuah seminar tentang perkembangan sepupu melalui dunia kampus, politik, dan ekonomi. Pada akhir seminar, saya menantang mahasiswa untuk melihat kenyataan apa yang sedang terjadi di komunitas tempat tinggal mereka.
Beberapa mahasiswa kemudian datang kepada saya menceritakan bahwa di permukiman mereka telah terjadi pengubahan agama melalui pemberian beasiswa dan bantuan makanan. Setiap orang yang menerima pertolongan ini, harus menandatangani penggantian nama menjadi nama-nama yang lazimnya digunakan oleh nama-nama sepupu. Sakile menjadi Abdullah, Lindiwe menjadi Khadizah, dan sebagainya. Melalui daftar nama-nama baru ini, akhirnya saudara sepupu kita ini berhak mendirikan tempat ibadah mereka di permukiman tersebut. Demikianlah strategi mereka untuk merebut orang-orang kulit hitam di Afrika Selatan. Selain itu, juga melalui pernikahan dengan sepupu dari latar belakang negara- negara Afrika lainnya yang merantau ke sini. Melalui kenyataan ini, saya semakin dikuatkan untuk meningkatkan pelayanan pemahaman Alkitab di antara mahasiswa berkulit hitam.
TERLALU TUA MENJADI MAHASISWA
Pengalaman yang sering kali tidak enak ialah ketika mahasiswa yang baru saya dekati bertanya, "Siapa Anda? Apa yang Anda kerjakan di sini?" Mereka bertanya ini karena saya kadang berbicara dengan bahasa mahasiswa, tetapi wajah dan penampilan saya sudah terlalu tua untuk setara dengan mereka. Kemudian arah percakapan yang sering kali saya arahkan selalu ke arah yang serius dan religius. "Kamu siapa dan apa pekerjaanmu?" Sungguh tidak gampang. Jika berterus terang tentang "pekerjaan", tembok pemisah akan segera berdiri. Jika saya berkata saya sedang belajar,... ya, tetapi saya bukan mahasiswa. Lalu saya ini siapa? Inilah yang sering menggelitik di hati.
Tuhan kemudian membuka jalan. Tahun ini saya boleh mendaftar sebagai mahasiswa. Kehadiran saya dengan status baru di kampus kali ini membuat saya menjadi lebih percaya diri untuk bertemu dengan mahasiswa yang belum saya kenal. Jika mereka bertanya, "Kamu siapa dan sedang apa?" jawaban saya, "Saya mahasiswa". Mereka langsung berkata, "Kamu mahasiswa pasca sarjana?" Melalui pintu ini, jalan pun terbuka bagi saya sebagai mahasiswa senior yang membimbing mahasiswa yunior. Komunikasi menjadi lebih aman dan lancar.
Membagi waktu dengan keluarga dan tantangan keuangan yang meningkat, itulah yang menjadi pokok doa. Terima kasih atas dukungan doa yang saya dan keluarga butuhkan.
Bahan diambil dan diedit dari sumber:
Judul buletin | : | Buletin Terang Lintas Budaya, Edisi 65/2006 |
Penerbit | : | YPI Indonesia |
Halaman | : | 3 |
Situs | : | http://www.wec-indo.org/ |
- Printer-friendly version
- 5418 reads