ADA SUKACITA DI YOGYA
Suatu Jumat malam di Yogyakarta ada sekitar 150 lebih mahasiswa
berkumpul di suatu tempat. Mereka melambaikan tangan, menggoyangkan
kaki, sambil melantunkan lagu-lagu rohani. Mereka adalah anggota
dari JOY Fellowship yang bertujuan untuk menyatakan Injil kepada
sesama mahasiswa dari universitas-universitas lain di Yogyakarta.
Yogya memiliki sekitar 70 universitas dengan 180.000 mahasiswa
(1999). Mereka memenuhi kota dan memadati jalan-jalan di Yogya yang
semakin memperjelas pentingnya pelayanan bagi mahasiswa. Hal inilah
yang menjadi alasan mengapa OMF mengirim Chang Nam dan Sylvia Son
untuk melayani di Yogya pada awal tahun 1992. Sesudah mengikuti
sekolah bahasa, Chang Nam mendapat pekerjaan untuk mengajar
akuntansi di Universitas Duta Wacana. Kemudian dia mulai mencari
cara-cara untuk mengenal para mahasiswanya di luar ruang kuliah.
Namun untuk merintis dan terlibat dalam pelayanan mahasiswa tidaklah
secepat perkiraannya dan bulan-bulan berlalu dengan usaha-usaha yang
belum menampakkan hasil. Suatu hari beberapa mahasiswa Kristen
menjumpainya dan memintanya untuk mengajari bahasa Inggris. Chang
Nam berasal dari Korea, dan bahasa Inggris merupakan bahasa kedua
baginya. Namun di mata para mahasiswa, Chang Nam adalah dosen asing,
jadi dia pasti menguasai bahasa Inggris. Melihat kesempatan ini,
Chang Nam mengundang para mahasiswa itu ke rumahnya. Lalu dia
mengundang seorang misionaris Amerika dan kelompok kecil itu memulai
"pelajaran bahasa Inggrisnya" dengan menggunakan Alkitab sebagai
buku pegangan. Kelompok pemahaman Alkitab tersebut yang dimulai
akhir tahun 1992 berkembang dengan cepat dan beberapa kali pindah ke
tempat persekutuan yang lebih besar.
Sementara itu, Chang Nam dan Sylvia sedang belajar menyesuaikan diri
dengan budaya-budaya setempat. Orang-orang Korea, termasuk keluarga
Chang Nam, sangat peka dengan posisi dan kedudukan sampai mereka
tiba di Indonesia. Anak-anak mereka tidak pernah mendengar seorang
pun penduduk Indonesia yang memanggil ayah mereka dengan namanya.
Namun, hal itu biasa dilakukan oleh mahasiswa Indonesia. Orang-orang
Korea akan siap untuk berkonfrontasi dengan seseorang yang telah
melakukan kesalahan atau yang telah menyinggung mereka, tetapi
orang-orang Indonesia merasa sangat malu saat mereka kehilangan
muka. Para mahasiswa Indonesia di kampus menolong Chang Nam untuk
mengatasi kendala-kendala budaya ini terutama saat dia berjuang
untuk mengajar dengan bahasa Indonesia yang dipelajarinya sendiri.
Pada retreat pertama, persekutuan tersebut menamakan diri mereka JOY
Fellowship (J=Jesus, O=Others, Y=Yourself). Mahasiswa-mahasiswa dari
berbagai propinsi yang berkemampuan untuk memimpin persekutuan itu
mulai bermunculan. Chang Nam memberi tambahan pelatihan kepada
mereka. Sementara itu beberapa mahasiswa dari Sulawesi, Sumatera,
Jawa, dan Bali yang mengambil jurusan manajemen, ilmu komputer,
akuntansi, dsb. dipilih menjadi pengurus persekutuan. Mereka
bertugas untuk merencanakan program, mengatur kelompok-kelompok sel,
dan membuat/melakukan program-program outreach. Namun persekutuan
ini tidak selalu berjalan mulus. Ada saatnya Chang Nam melihat
persekutuan ini mulai pecah karena kurangnya visi. Chang Nam secara
perlahan mulai menanamkan visi baru bagi persekutuan ini yaitu
memberitakan Injil kepada para mahasiswa di Yogya. Chang Nam juga
mengajarkan kepada mereka agar memiliki mentalitas "bersedia
diutus".
Meskipun terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada saat
itu, setengah lusin pemimpin mahasiswa, setelah mereka lulus, segera
mencari kerja dan mengumpulkan dukungan untuk menjadi pekerja full-
time. Beberapa di antara pekerja full-time itu baru saja lulus
kuliah. Yeni, sarjana arsitektur dari Sumbawa, memimpin pelayanan
musik. Sarah, sarjana pertanian, memimpin pelayanan kelompok sel.
Nanda, lulusan seminari teologi dari Sumba, bertanggung jawab
terhadap pelayanan outreach kampus. Jusak, yang kuliah di jurusan
manajemen dari Magelang sedang mengembangkan sebuah yayasan legal
sehingga JOY Fellowship dapat menjadi sponsor bagi seorang
misionaris luar negeri untuk datang ke Indonesia.
Setiap Jumat malam, mereka mengadakan persekutuan dalam
bahasa Inggris dan menarik minat para mahasiswa yang ingin sekali
memperdalam bahasa Inggris. JOY Fellowship mengadakan acara bincang-bincang, retreat kepemimpinan, drama, kesenian, dsb. yang menarik
banyak mahasiswa untuk mendengarkan Injil. Chang Nam mengatakan,
"JOY Fellowship menginginkan tiga hal menjadi ciri persekutuan ini:
- Kami ingin menularkan semangat kekristenan yang kami miliki.
- Kami adalah orang-orang Kristen yang kontemporer.
- Kami adalah orang-orang Kristen yang berkomitmen.
Tidaklah mengejutkan jika JOY fellowship mempunyai mimpi-mimpi
besar. Mereka rindu suatu saat nanti akan ada JOY Fellowship di
berbagai kota di Indonesia. Mereka telah menetapkan target 700
mahasiswa menjadi anggota persekutuan, dan mereka memperkirakan akan
membutuhkan 25 pekerja full-time.
Saat ini Chang Nam mulai mendapat dukungan dari alumni JOY
Fellowship. Kebanyakan di antara mereka telah enggan mengikuti
persekutuan setelah lulus kuliah. "Tali persahabatan dengan teman
bisa terputus. Namun persahabatan dengan Allah akan kekal
selamanya." kata seorang lulusan dalam acara reuni alumni JOY
Fellowship.
Diterjemahkan dan diedit dari sumber:
East Asia's Millions
OMF International, 1st Quarter 1999
e-JEMMi 11/2003