Bagaimana seorang budak perempuan kecil bisa dipakai Allah untuk
menyatakan kasih-Nya kepada orang-orang yang belum mengenal Dia di
kota Malagasy? Ikutilah sebagian kutipan kisah tentang "Budak
Perempuan Cilik" berikut ini, yang diambil dari salah satu
kesaksian dalam buku "Alkitab di Seluruh Dunia: 48 Kisah Nyata",
karya Grace W. McGavran dengan judul asli "Stories of the Book of
Books", yang diterbitkan oleh Lembaga Literatur Baptis.
Budak Perempuan Cilik yang Pandai Membaca (Pulau Malagasy, 1882)
Satu abad yang lalu, di sebuah pulau besar yang jauh dari kepulauan
Indonesia, seorang anak perempuan kecil sedang menangis tersedu
sedan. Pantas saja ia menangis! Coba bayangkan: Si Upik baru saja
diculik dari rumah orang tuanya. Ia ditangkap oleh orang-orang kejam
yang memperbudak manusia. ... --dipotong-- ....
Ketika pagi itu tiba, si Upik diberi sehelai jubah baru yang
sederhana. Rambutnya pun disisir rapi. Si penjual budak sudah pandai
membuat barang dagangannya kelihatan menarik di mata calon pembeli!
Sekali-sekali ada orang yang menanyakan si Upik, yang duduk di bawah
naungan sebuah pohon besar dengan perasaan sedikit takut dan sedikit
mengharap-harap. Tetapi mereka selalu terus pergi setelah mendengar
harga yang ditawarkan itu, walau ada juga orang yang sempat
berkomentar dengan berbisik: "Cantik sekali! Mungkin ia akan laku
juga semahal itu."
Sebelum sang surya naik tinggi di atas cakrawala, datanglah sebuah
tandu yang indah, diusung oleh empat budak laki-laki. Budak yang
kelima memagang menaungi seorang wanita muda yang berbaring di atas
usungan itu; pakaiannya sangat mewah. Wanita yang kaya-raya itu
mengamat-amati setiap budak yang dipertontonkan kepadanya.
Kekuatiran dan kesedihan budak-budak itu tidak dihiraukannya. Rupa-
rupanya ia menganggap seorang budak itu sama seperti seekor anjing
kesayangan saja. Hanya ada satu budak yang kelihatan tidak sedih.
Itulah si Upik. Ia begitu tertarik akan penampilan wanita kaya itu
sehingga ia memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Belum pernah
ia melihat seorang wanita dengan pakaian sebagus itu!
"Gadis yang itu!" Sang penumpang tandu menunjuk kepada si Upik.
"Kelihatannya cerdik, lagi cantik. Suruh dia berdiri!"
Sebelum si Upik insaf apa yang terjadi, jual beli itu sudah selesai.
Sekarang ia telah menjadi milik wanita muda yang kaya-raya itu. Di
tempatnya yang baru, si Upik dengan cepat dan lancar dapat belajar
cara-cara melayani majikannya. Majikannya ternyata sangat baik hati.
Perempuan kaya itu merasa senang, terutama karena gadis cilik yang
baru dibelinya itu tidak pernah menangis lagi, dan tidak pernah
bermuram durja.
Namun kadang-kadang si Upik merasa kesepian. Pada saat-saat
demikian, bila tidak ada tugas, ia suka pergi menyendiri dan duduk
di bawah sebuah pohon yang besar di taman. Dari dalam jubahnya ia
mengambil sebuah buku yang selalu ia bawa serta. Lama ia duduk
sambil membaca buku kecil itu.
Buku kecil itu adalah buku yang kebetulan dibaca pada saat ia
diculik. Tanpa disadari ia tetap menggenggam buku itu ketika ia
ditangkap dan diseret oleh para perampok. Kini buku kecil itu
menjadi harta si Upik yang paling berharga: Isinya tak lain ialah
Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Malagasy (yang mirip sedikit
dengan bahasa Indonesia). Di dalam rumah tangga majikannya itu tidak
ada seorang Kristen pun kecuali si Upik. Juga tidak ada seorang pun
di antara mereka yang dapat membaca, sang majikan juga tidak. Namun
budak-budak yang buta huruf itu senang mengintip pada saat-saat si
Upik pergi menyendiri. Dan mereka pun senang mendengar si Upik
membaca, karena ia selalu membaca dengan bersuara, sesuai dengan
kebiasaan pada zaman itu. Tidak lama kemudian, setiap pelayan di
rumah tangga itu mengetahui bahwa si Upik memiliki sebuah Buku
kecil, dan bahwa ia pandai membaca isinya.
Pada suatu hari yang panas, sang majikan berjalan-jalan di taman
untuk menikmati buaian angin sejuk. Sayup-sayup terdengar olehnya
suara orang. Karena ingin tahu, ia menghampiri tempat dari mana
suara itu terdengar. Tampaklah si Upik sedang duduk di bawah pohon,
asyik membaca. "Ha! Sedang apa kau Upik?" tanya majikannya. "Sedang
menghafal cerita, ya?" Dengan hormat si Upik berdiri. Mula-mula ia
hendak menyembunyikan Buku kecil itu, tetapi kemudian
diperlihatkannya. "Tidak, nyonya besar. Aku sedang membaca Kitab
Suci." "Membaca? Sungguh kau dapat?" tanya sang majikan. "Sungguh,
nyonya besar," jawab si Upik seraya menganggukkan kepalanya. "Ayah
yang mengajarku membaca."
Budak-budak yang lain sedang mengintip peristiwa itu dari jauh,
dengan hati yang berdebar-debar. Apakah majikan mereka akan marah?
Ataukah merasa geli saja? Namun, kedua dugaan itu meleset. Apa yang
mereka dengar kemudian? "Dapatkah kau mengajarku membaca, Upik?"
tanya sang majikan. "Dapat, nyonya besar! Dengan senang hati," jawab
si Upik. Pelajaran membaca itu segera dimulai. Karena tidak ada buku
lain, Kitab Perjanjian Baru milik si Upik menjadi buku pelajaran. Si
Upik mulai dengan cerita-cerita yang diajarkan oleh Tuhan Yesus,
seperti misalnya cerita domba yang hilang dan cerita orang Samaria
yang murah hati. Kata demi kata sang majikan belajar membaca
perumpamaan-perumpamaan itu. "Sangat menarik!" serunya. "Cerita-
cerita ini amat indah. Tetapi ... siapakah Tuhan Yesus itu?"
Maka pelajaran membaca yang berikutnya diambil dari Kitab Injil
Lukas, pasal 2. Budak cilik itu menolong majikannya membaca tentang
kelahiran Yesus pada malam yang ditaburi bintang-bintang. Mereka
membaca tentang para malaikat yang menyanyi dan memuliakan Tuhan,
tentang sinar surgawi yang turun menerangi palungan Sang Bayi Kudus.
Si Upik melanjutkan membaca tentang peristiwa-peristiwa yang indah
itu. Pasal demi pasal, pelajaran demi pelajaran, si Upik membacakan
cerita Tuhan Yesus, termasuk ajaran-ajaran-Nya, penyaliban-Nya, dan
kebangkitan-Nya. Si Upik pun meneruskan cerita itu dengan membacakan
perbuatan-perbuatan para pengikut Tuhan Yesus setelah Hari
Pentakosta. Sang majikan, beserta semua budaknya yang cukup dewasa,
terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Belum pernah mereka
mendengar cerita yang demikian! Bukan hanya itu saja: Wanita
bangsawan itu mulai mengundang teman-temannya untuk berkumpul di
rumahnya pada waktu senja. "Aku mempunyai seorang budak baru,"
katanya, "seorang gadis kecil. Anehnya, ia dapat membaca. Buku
miliknya sendiri memuat cerita-cerita yang sangat menarik, serta
ajaran-ajaran yang belum pernah kudengar. Ayo datang dan mendengar
Upikku membaca!"
Lambat laun Kabar Baik itu mulai meresap ke dalam hatinya. Pada
suatu hari wanita yang kaya-raya itu berkata, "Upik, letakkan dulu
Bukumu dan jelaskan kepadaku bagaimana caranya aku dapat menjadi
pengikut Tuhan Yesus." Hal ini tidak mengherankan si Upik. Siapa
yang tidak mau mengikut Tuhan Yesus, demikianlah pikirannya. Siapa
yang tidak mau berbakti kepada Allah Bapa, yang begitu mengasihi
kita sehingga Ia mengutus Tuhan Yesus untuk menjadi Juruselamat
kita! Namun si Upik jadi terheran-heran juga pada suatu hari semua
budak dipanggil menghadap majikan mereka. "Kalian sudah tahu,"
katanya dengan lambat, "bahwa aku telah menjadi pengikut Tuhan
Yesus. Oleh karena itu, aku tidak boleh lagi memperbudak sesamaku.
Kalian semua merdeka." Merdeka! Para budak itu hampir-hampir tidak
mempercayai apa yang mereka dengar. Sungguh suatu hari yang diliputi
kebahagiaan! Beberapa di antara mereka segera pulang ke kampung.
Yang lainnya lebih suka tetap tinggal pada majikan mereka sebagai
pegawai bayaran.
Dengan sangat gembira si Upik pulang ke rumah orangtuanya.
Kedatangannya kembali itu membawa kebahagiaan yang tiada taranya
bagi orangtuanya. Tetapi kemudian secara sukarela si Upik kembali
lagi kepada sang majikan yang sangat dikasihinya. Mereka berdua,
diiringi oleh bebarapa pembantu, pergi jauh ke suatu tempat di mana
ada utusan-utusan Injil. Di sana mereka memohon agar penginjil-
spenginjil dikirim ke kota mereka di pulau Malagasy, untuk mengajar
dan membimbing orang-orang Kristen yang baru. Utusan-utusan Injil
yang datang dari negeri jauh itu merupakan jawaban atas permohonan
doa mereka. Tetapi iklim di pulau Malagasy itu asing bagi para
penginjil. Mereka dijangkiti penyakit, dan satu persatu meninggal.
Akhirnya keadaan kembali seperti semula: tidak ada yang memimpin dan
mengajar pengikut-pengikut Tuhan Yesus yang baru itu. Namun sang
majikan tidak putus asa. Dengan Alkitab di tangannya, ia mulai
membaca dan berdoa serta mengharapkan pimpinan Roh Kudus. Lalu
dengan sikap yang tenang dan gigih, ia sendiri mengajar setiap orang
yang rela berguru kepadanya. Lambat laun di kota Malagasy itu
tumbuhlah suatu jemaat Kristen yang banyak sekali anggotanya.
Hingga kini orang-orang Kristen yang tinggal di kota Malagasy masih
suka bercerita dengan bangga: "Semuanya itu terjadi oleh karena
seorang budak perempuan kecil yang kesepian membaca Kitab Perjanjian
Barunya dengan suara keras, dan oleh karena seorang wanita muda yang
kaya-raya terbuka hatinya untuk menerima ajaran Firman Allah serta
melaksanakannya dalam hidupnya sendiri!"
Kesaksian selengkapnya dari kisah ini dapat anda baca dalam Situs
Cerita Misi di alamat:
==> http://www.sabda.org/misi/cerita/
==> http://www.sabda.org/misi/cerita/cerita04.htm