WAHANA VISI INDONESIA
Sejak tahun 2003 Wahana Visi Indonesia (WVI) mengembangkan Area
Development Project (ADP) di salah satu kota di Indonesia.
"Hati-hati ya," ucapan tersebut keluar dari mulut mungil Esterlita
(9), ketika kami meninggalkan rumahnya yang berlantai kayu dan
berdinding papan rapuh. Bangunan miring yang nyaris rubuh itu
menjadi saksi bisu keakraban yang terbangun antara kami dengan
keluarga kecil tanpa ibu rumah tangga tersebut.
Diiringi tatapan polos sarat kegembiraan, anak suku B ini tidak
mampu membendung keriangannya menggenggam biskuit dan penganan yang
kami beli tidak jauh dari rumahnya. Kami sengaja singgah di warung
tersebut untuk membeli oleh-oleh bagi Esterlita dan kedua
saudaranya, Cecilia (11) dan Donatus (5).
Berbeda dengan kakaknya, Esterlita tidak termasuk dalam program anak
santun ADP di kota S. Program anak santun yang dikembangkan WVI baru
bisa menjangkau sang kakak. Dibayangi kesulitan ekonomi, ia
bersekolah tanpa kepastian akan masa depannya di bangku sekolah.
Calok (32), sang ayah, hanyalah peladang yang bergantung pada curah
hujan. Penghasilan dari memanen padi yang dilakukannya setahun
sekali, tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Karena itu ia
menjadi buruh penoreh karet yang dilakoni sejak kecil.
Dalam sehari, Calok menoreh tujuh kilogram karet. Karena menoreh di
kebun orang lain, dia harus menyetor 30% hasilnya kepada pemilik
kebun. Sisanya 70% untuk dirinya. Kalau dalam sehari dia memperoleh
tujuh kilogram dan harga perkilogramnya Rp 8.000, Calok hanya
memperoleh Rp 39.200 dari total Rp 56.000. Jumlah tersebut
ditukarkan di warung yang tak jauh dari rumahnya dengan beras,
minyak goreng, garam, mecin, dan sedikit ikan asin. Sisanya
digunakan untuk kebutuhan di hari lain. Dalam sebulan ia hanya bisa
bekerja dua belas hari untuk menguras getah karet.
Ketika kami singgah di rumahnya pada bulan Desember 2005, tepat
pada musim hujan, Calok baru saja kembali dari menoreh getah karet.
Sesuatu yang jarang dilakukan penoreh karet. Idealnya menoreh karet
dilakukan pada saat batang pohon karet kering. Memang malam harinya
hujan menyiram Dusun B. Batang karet yang dibasahi hujan tidak baik
untuk ditoreh. Tapi tidak adanya penganan di rumah memaksa kepala
rumah tangga itu pergi menoreh.
Kehidupan keluarga ini memang sangat memprihatinkan. Kemiskinan
memaksa sang ibu empat tahun lalu meninggalkan keluarga mengadu
nasib ke Malaysia. Dengan perantaraan calo-calo tenaga kerja yang
mudah ditemui di setiap desa, ia sampai ke negeri jiran melalui
beberapa "tangan". Dari rencana dua tahun hingga sekarang, ibu tiga
anak itu belum kembali.
Upaya Calok untuk mengetahui nasib ibu anaknya kandas di hadapan
calo yang memang sudah tidak tahu lagi rimba komoditas yang
diekspornya. Sang calo yang bisa mendadak bersikap garang itu sudah
mengantongi Rp. 300 ribu hanya untuk menginformasikan kepada agen
adanya peminat ke negeri jiran. "Yah, mau gimana lagi. Saya tidak
tahu harus cari ke mana," ucap Calok pendek.
Calok tidak sendiri. Orang-orang yang senasib dengan dirinya mudah
ditemui di setiap desa. Istri menjadi tenaga kerja sementara suami
menjaga anak dan bertani di ladang.
SEKOLAH PERCONTOHAN
Dalam mengurai carut-marutnya permasalahan penduduk, ADP kota S
tidak habis-habisnya menemui masalah yang tak berujung. Sejak
kehadirannya pada tahun 2003, ADP yang beroperasi di 2 daerah
tingkat dua ini telah merekrut 2.011 anak untuk disantuni.
Upaya ADP tidak hanya berkutat pada santunan semata. Kualitas
pendidikan seperti materi pelajaran, buku paket, dan fasilitas
sekolah termasuk guru mendapat perhatian serius.
Sejak tahun lalu, ADP telah mengembangkan SD Subsidi (SDS) sebagai
sekolah percontohan. Sekolah yang bernaung di bawah sebuah yayasan
Katolik ini memperoleh bantuan fasilitas pendidikan. "Kami juga
sudah membangun pendopo yang juga digunakan masyarakat sekitar,"
kata T, project manager ADP kota S.
Pihak ADP juga telah mengirim sejumlah guru SDS untuk mengikuti
studi banding di kota P. Di kota tersebut Kepala Sekolah SDS, Y
memperoleh pengetahuan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
yang mengacu pada standar UNICEF.
Y yang telah mengabdi di bidang pendidikan sejak tahun 1971 kemudian
membagi pengetahuannya kepada guru-guru di sekolahnya. "Bermitra
dengan ADP, kami mengumpulkan guru-guru di Kecamatan S untuk
bersama-sama menelaah dan memahami pembelajaran aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan. Dengan menerapkannya, penerapan KBK akan
mulus."
Bantuan lain dari ADP yang sangat membantu sekolah yang dipimpinnya
adalah pengadaan tenaga pendidik. Sekolah yang didirikan tahun 1919
itu sejatinya memiliki lima guru. Dengan bantuan ADP, mereka
memperoleh tambahan dua guru yang dibiayai ADP dan satu guru lagi
yang dibiayai bersama oleh yayasan dan ADP. Sebulannya mereka
menerima Rp. 520.000. Angka itu memang masih jauh di bawah standar
upah minimum provinsi.
Selain memberikan bantuan kepada anak santun, anak nonsantun juga
tidak luput dari bantuan. Setiap anak santun memperoleh sepuluh
buku, satu tas, satu pasang seragam sekolah untuk setiap semester,
dan sepatu untuk digunakan satu tahun. Sedangkan kepada anak
nonsantun diberikan tiga buku setiap semesternya. "Kami berharap
tidak ada kecemburuan. Istilah kami, anak santun memberkati anak
nonsantun," jelas Thomas.
ADP juga berencana mendukung pengadaan buku-buku bacaan untuk
perpustakaan. Selama ini perpustakaan yang disesaki empat rak baru
dari ADP masih berisi buku-buku tahun 1970-an yang terlihat lusuh
dengan sampul yang terkelupas.
Bantuan ADP tidak melulu buku dan pelajaran. Di SDN 10 kota S,
misalnya, ditemui instalasi air bersih yang tengah dibangun.
Instalasi separuh jadi itu berupa mata air yang dipermanenkan dengan
semen dan disambung dengan pipa ke WC sekolah. Sebelumnya, saat
pelajaran akan dimulai anak-anak bergotong-royong mengangkut air
dari lembah ke dataran tempat mereka bersekolah.
Di sekolah yang ditempuh dua jam dari kota S ini, ADP menyantuni 56
anak. Jumlah tersebut belum termasuk rekrutmen untuk tahun 2006.
SEKOLAH TANPA KEPASTIAN
ADP kota S sendiri bertekad untuk tetap mendampingi anak santun yang
ingin melanjutkan sekolahnya, meskipun dalam program disebutkan jika
pendampingan hanya pada pendidikan tingkat dasar.
Keinginan anak untuk sekolah dan maju sudah menjadi cita-cita
masyarakat Dayak. Suku terbesar yang mendiami Pulau Kalimantan ini
sebetulnya terbuka dengan kemajuan. Terutama jika berkenaan dengan
nasib anak-anaknya.
Sehari-hari Cecilia, puteri sulung Calok yang duduk di kelas 5 SD
Baban Rancang ini terpaksa mengambil tanggung jawab sang ibu.
Memasak, mencuci, dan mengasuh Donatus sudah dilakoninya sejak pagi.
Ia berbagi tugas membersihkan rumah dengan Esterlita yang tengah
duduk di kelas 2 SD. Keduanya juga bersama-sama berjalan kaki sejauh
tiga kilometer ke sekolah yang dapat ia tempuh selama kurang lebih
satu jam.
Esterlita tidak tahu dari mana biaya sekolahnya didapat. Yang dia
tahu, dia ingin belajar terus dan meraih cita-cita. "Aku ingin jadi
guru," katanya sambil tertawa lepas. Cita-cita itu diperolehnya
ketika melihat sosok ibu guru di sekolahnya. Mungkin pada sosok itu
ia melihat ibunya yang mungkin tidak akan dijumpainya lagi. Matanya
memancarkan keriangan yang teduh kala menangkap kilatan cahaya dari
kamera. Di dalam mata itu tersimpan kekelaman. Kekelaman dari sosok
anak yang terpaksa dewasa sebelum waktunya.
Dia tidak tahu sampai kapan sang ayah mampu membiayai sekolahnya. Ia
hanya berharap rekrutmen program santun ADP berikutnya bisa
menjaringnya. Dengan demikian, sepatu, seragam, tas, buku, pensil,
seperti milik kakaknya bisa dimilikinya juga. Pendapatan sang ayah
sudah pasti tidak mencukupi biaya sekolahnya. Apalagi untuk
mengantarkannya sampai pada cita-cita.
Dibutuhkan kasih dan kepedulian dari sesama yang mau memercayakan
bantuannya melalui WVI. Itu sudah cukup menyunggingkan senyum masa
depan pada Esterlita-Esterlita lain di wilayah pelayanan WVI.
"Datang lagi ya!" teriaknya dari jauh.
Bahan diambil dan diedit dari sumber:
Judul majalah | : | Bahana, Pebruari 2006 Vol. 178 | |
Judul artikel | : | Program Anak Santun Tingkat Kualitas Belajar | |
Penulis | : | Robby Repi | |
Penerbit | : | Andi, Yogyakarta | |
Halaman | : | 51 - 52 | |
e-JEMMi 22/2006
|