HAI DUNIA, GEMBIRALAH!
Aku menyesal karena telah berjanji kepada Ny. Saunders, koordinator
bazar Natal tahunan. "Bersediakah kamu menyumbang sebuah door prize
tahunan, sayang? Mungkin salah satu dari pohon Natalmu yang
terkenal," ia membujuk dengan mata bersinar. "Kami berharap dapat
menghasilkan banyak uang untuk pementasan Santa Klaus bagi keluarga-
keluarga yang berkekurangan. Kamu tahu, tak ada yang lebih menarik
daripada sebuah door prize yang luar biasa untuk menarik para
pembelanja datang ke sebuah bazar," katanya.
Tiga bulan sebelumnya, permintaan Ny. Saunders yang sederhana
mungkin tidaklah terlalu merepotkan. Karena kini waktunya hanya
tinggal tiga minggu, tugas yang belum terlaksana itu sekarang
menggantung di atas kepalaku seperti dahan beku yang rapuh dan
memberatkan.
Sebetulnya, aku bukan orang yang suka menunda-nunda pekerjaan. Namun
saat itu aku sedang menanti datangnya ilham. Aku ingin membuat
sebuah karya yang benar-benar istimewa dan bermakna. Aku tidak ingin
membuat dekorasi dengan aksentuasi yang biasa-biasa saja dan hanya
akan berakhir di tempat penjualan barang bekas pada musim panas di
tempat seseorang.
Jadi, pada sore hari menjelang bazar malam itu, aku duduk di meja
dapurku dengan perasaan yang berat di dadaku. Aku memandang kosong
ke beberapa objek, antara lain pohon Natal artifisial setinggi empat
kaki, tiga dus lampu kelap-kelip, sebuah dus bekas sepatu berisi
hiasan-hiasan yang gemerlapan, satu gelondong pita, dan lem. Ilham
tetap belum muncul di benakku.
Kemudian, aku merangkak di loteng kami yang berdebu. Aku sedang
mencari sesuatu di antara tumpukan dus sambil berdoa untuk
secepatnya memperoleh ilham. Kutarik dua dus berisi barang-barang
yang mungkin dapat menjadi sesuatu yang berharga nantinya. Kemudian,
aku kembali ke dapur dengan susah payah.
Saat aku memutar kaset Natal, aku berharap musik Natal bisa
menciptakan kemeriahan dalam hatiku. Tak lama kemudian, aku
menyanyikan kata-kata yang terkenal, "Joy to the world, the Lord is
come; let Earth receive her King," (Hai dunia gembiralah, dan sambut
Rajamu, di hatimu terimalah ...), ketika aku membongkar isi dus
dengan label BONEKA-BONEKA TUA - JANGAN DIBUANG. Kulihat tumpukan
boneka kecil beraneka warna. Boneka-boneka itu kubeli di pasar loak
di pinggir jalan beberapa tahun lalu ketika aku sedang berlibur. Apa
yang membuatku tertarik untuk membeli boneka-boneka itu? Boneka-
boneka itu dibungkus untuk disimpan, kemudian dilupakan sama sekali.
Pakaiannya tergeletak secara acak di hadapanku. Kemudian, kuambil
sebuah boneka Jepang berpakaian kimono yang berwarna biru cerah;
sebuah keluarga pribumi Amerika lengkap dengan tenda orang Indian
yang terbuat dari kulit binatang berwarna coklat; sebuah boneka
"Miss Liberty" yang dihiasi bendera merah, putih, dan biru; boneka
empat sekawan yang mengenakan pakaian Skandinavia.
Tiba-tiba, sesuatu yang jauh di dalam diriku meneriakkan sebuah
jalan keluar, yakni: buatlah sebuah pohon "Joy to the World" ("Hai
Dunia Gembiralah")! Dengan penuh kegembiraan, kuikatkan boneka-
boneka itu ke dahan-dahan pohon cemara satu per satu. Dahan-dahan
itu melengkung keberatan karena banyaknya beban boneka. Beberapa
dari bagian tubuh boneka-boneka malah putus. Dengan seksama, aku
menggunakan penjepit dan karet gelang untuk menyambung kembali
lengan dan kaki boneka-boneka itu. Ketika aku sedang mengikat
kembali anggota badan boneka-boneka itu, tiba-tiba aku merasakan
suatu hubungan persaudaraan dengan semua wanita dari segala bangsa.
Apa yang sedang kukerjakan membuatku sadar bahwa ada banyak wanita
di dunia yang seperti aku. Mereka membutuhkan cinta sang Juruselamat
Natal untuk menyatukan diri mereka. Saat itu, temanku, Betty, datang
untuk melihat hasil karyaku. Tanpa kami sadari, kami berdua sibuk
menghias pohon itu dengan penuh kegembiraan. "Bagaimana kalau kita
memakai bunga-bunga yang dikeringkan ini?" Betty mengusulkan sambil
menunjuk pada ikatan bunga-bunga yang telah dikeringkan dan bunga
mawar berwarna merah jambu yang menggantung dari balok langit-langit
dapur. Kemudian, kami menambahkan pita dan renda yang digunting
kecil-kecil. Selain itu, kami menggantungkan hiasan-hiasan permata
kuno pada setiap dahan.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan tempat kosong di tengah-tengah
itu?" Betty bertanya. "Kita sudah kehabisan boneka". Kami menelusuri
seluruh rumah sampai kami menemukan sesuatu yang cocok untuk
dipasang. Akhirnya, kami memakai sebuah bola dunia yang ada di meja
kerjaku. Bola dunia itu ditutup dengan lengkungan beludru yang
diambil dari kalungan bunga yang menggantung di atas perapian. Kami
mundur dan mengamati hasil karya kami dengan tersenyum. "Itu adalah
pohon yang paling cantik yang pernah kulihat," Betty menyimpulkan.
Aku harus menyetujuinya. Tetapi, aku mempunyai perasaan kuat bahwa
yang menghias seluruh pohon itu bukan hanya kami.
Keesokan harinya, kumasukkan pohon "Joy to the World" ke dalam
mobilku dengan hati-hati. Secara spontan, aku segera kembali ke
dalam rumah dan menyambar segulung kabel tambahan, sebuah tape
recorder yang bisa di bawa, dan kaset "Joy to the World". Ketika
aku tiba di bazar, semua orang larut dalam suasana kegembiraan hari
raya. Seorang wanita berjalan santai dari biliknya. Ia menjual kaos
kaki panjang dengan seni tambalan. Wanita itu menyentuh boneka-
boneka dari semua negara secara lembut. "Saya mau memesan satu dari
pohon-pohon ini untuk cucuku di Jerman," dia memberi tahu.
Lalu, wanita yang menjual roti jahe bergabung dalam pembicaraan
kami. "Saya membeli tiga karcis untuk bazar," ia bergurau. "Saya
akan pulang dan membawa pohon ini." "Pohon ini akan mencuri
perhatian," Ny. Saunders mulai bicara. "Jika tersebar berita
tentang karcis berhadiah yang kita sediakan, kita tidak akan bisa
membayangkan berapa banyak uang yang akan kita peroleh. Kita pasti
akan melampaui rekor orang yang hadir dan mencapai ribuan." Tak lama
kemudian, ruangan dipenuhi oleh para pembeli yang terus mengalir.
Sepanjang hari, pohon yang kami buat menjadi pusat perhatian para
pengunjung yang menginginkannya.
Beberapa menit sebelum jadwal penarikan undian, seorang wanita
bertubuh kecil menukarkan 50 sen untuk sebuah karcis. Wanita itu
kelihatan lelah dan memakai mantel kelabu yang kumal. Rambutnya
dikepang dengan rapi. Rambut itu dikonde kuat-kuat sehingga
membentuk sebuah konde kuno. Konde itu membatasi wajah yang bersih
dari apa pun, kecuali rona suatu kemantapan.
"Kami datang ke kota untuk membeli makanan ternak dan aku membujuk
suamiku agar berhenti di sini," katanya. "Aku mempunyai sedikit sisa
uang untuk berbelanja. Tetapi, ia meyakinkanku bahwa tak banyak yang
bisa kubeli di tempat mahal seperti ini." Wanita itu mengagumi
beberapa barang, di antaranya boneka malaikat yang terbuat dari kain
sutera yang mengkilap, agar-agar buatan sendiri, dan kue yang
terbuat dari buah dan dipanggang. Kue itu menyerupai rangkaian bunga
berbentuk lingkaran untuk hari Natal. Tangannya yang kasar dan
berlekuk-lekuk mengambil kue kepingan salju yang dirajut rumit
seperti jaringan laba-laba. "Coba lihat ini," katanya. "Suatu hari
nanti, aku akan mempunyai pohon Natal dan akan memenuhinya dengan
ini semua."
Ketika ia mendekati bilikku, ia berseru, "Pohon itu ... boneka-
bonekanya! Sepanjang hidupku, aku menginginkan sebuah boneka yang
cantik. Apakah seseorang akan memenangkan semua boneka itu?" Ia
bertanya dengan pandangan mata seperti orang bermimpi. Aku
memperdengarkan lagu "Joy to the World" dan suaranya memenuhi
ruangan. "Paduan suara ini menyanyikan lagu itu sampai ke gereja,"
katanya. "Ini selalu mengingatkanku tentang orang-orang di seberang
laut seperti yang diceritakan oleh wanita misionaris itu."
Semua mata sekarang tertuju pada orang yang akan segera memenangkan
nomor untuk undian karcis berhadiah. Dari mana-mana, kudengar
bisikan: "Jangan lupa, pohon itu milikku ... Tidak, itu milikku ....
Itu untuk cucu-cucuku yang akan datang pada Natal ...." Tetapi,
wanita yang sangat kecil itu tidak pernah melepaskan pandangannya
dari pohon itu. "Cucuku laki-laki, Jake, ia tinggal hanya satu
teriakan jauhnya dari tempat kami," ia bercerita kepadaku. Ia sangat
pandai dalam mempelajari buku. Bayangkan, ia dapat menyebut semua
negara yang ada di bola dunia itu."
Lalu, terdengarlah pengumuman yang sudah lama dinanti-nantikan:
"Hadiah untuk undian karcis berhadiah jatuh pada nomor 1153!" Aku
memandang tangan kasar yang berlekuk-lekuk. Ia memegang karcis yang
memenangkan hadiah dan kuremas pundaknya yang kurus. "Ibu
memenangkan pohon itu! Ibu memenangkan pohon itu!" aku berteriak.
"Maksud kamu karcisku? Aku belum pernah mendapat sesuatu yang indah
seperti ini." Air mata mengalir di pipinya yang keriput. Aku
mematikan lampu-lampu dan tape recorder. Lalu, aku menggulung kabel
tambahannya. "Apakah aku juga mendapat kotak musik dan kabel yang
panjang itu?" tanyanya. "Aku akan meletakkan pohon itu di alat
pemutar dan kami hanya mempunyai satu stop kontak di ruangan. Aku
pasti memerlukan kabel tambahan itu."
"Tentu saja ... ini adalah Natal," jawabku ketika kubawa pohon itu
ke luar dan kuberikan kepadanya. Setelah itu, sebuah truk pick up
kuning yang karatan maju ke depan. Kemudian, seorang pria yang
memakai pakaian kerja, kemeja flanel kotak-kotak, dan sebuah topi
bertuliskan "I love Kentucky" melompat ke luar. "Sadie, apa yang kau
peroleh?" ia berteriak dengan senyuman dan memperlihatkan sebuah
gigi yang ompong. "Pa, aku memenangkan hadiah! Aku memenangkan pohon
ini!"
Pria itu segera mengatur barang-barang yang ada di mobilnya, antara
lain cangkul, rantai roda, dan berkantung-kantung pakan ternak. Ia
berusaha menyediakan tempat untuk pohon itu di lantai truknya. Ia
menarik pisau sakunya dan memotong dua kantung pakan ternak yang
kosong untuk menutupi pohon itu. Kemudian, ia mengikatnya dengan
tali timba. "Percayakah Anda?" seorang penonton terperangah. "Mereka
membawa pergi pohon yang indah itu dengan truk tua yang usang. Untuk
apa mereka memerlukan pohon semacam itu?"
Aku melambaikan selamat berpisah ketika truk yang bersuara bising
itu menghilang ke langit malam yang berwarna ungu. Di mata hatiku,
aku dapat melihat pohon itu diberi tempat terhormat di jendela
sebuah pondok yang sederhana, dengan cahaya yang temaram, dan di
tengah-tengah pegunungan Appalachian. Menurutku, rakyat yang tinggal
di daerah itu termasuk orang-orang yang bahagia. Mereka bukan
penjelajah dunia tetapi pekerja keras. Pada Desember yang dingin,
asap hitam sepertinya akan bergulung-gulung keluar dari cerobong
asap mereka ke udara bila mereka sekeluarga berkumpul di sekeliling
pohon. "Lihat Nek, Jepang ada di sini," Jake kemungkinan akan
berkata sambil menunjuk ke bola dunia yang pernah terletak di meja
kerjaku. Sadie masih terpukau pada kabel tambahan itu. Ia akan
memasang stop kontak lampu-lampu yang berkelap-kelip dan kotak
musiknya.
Meskipun demikian, aku tetap yakin bahwa akulah pemenang yang
sesungguhnya pada bazar Natal itu. Bazar ini merupakan suatu tradisi
yang sudah berlangsung lama di Amerika. Aku menemukan kembali
panggilan hati bagi orang-orang percaya di setiap tempat. Aku tak
pernah melihat Sadie lagi. Tetapi, aku tak akan pernah melupakan
pelajaran yang diberikannya kepadaku. Intinya, tidak peduli adanya
perbedaan geografis atau status sosial, kita semua adalah kabel
tambahan dari Tuhan. Kita membawa cahaya dan lagu-Nya ke tempat-
tempat yang gelap dan kosong di dunia.
Bahan diedit dari sumber:
Judul Buku : The Magic of Christmas Miracles
Judul Artikel: Hai Dunia, Gembiralah!
Penulis : Nancy Anderson
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2002
Hal : 164 - 171
e-JEMMi 51/2005
|
|