GUINEA BISSAU
Luas : 36.125 km2
Jumlah Penduduk : 1,2 juta
Ibu Kota : Bissau dengan lebih kurang 223.000 jiwa.
Urbanisasi 30%
Suku Bangsa :
- Afrika Barat [15 kelompok suku, di antaranya
Balanta (suku terbesar), Manjako, Papel,
Mankanya, Beafada, Bijago, Jola/Felupe,
Nalu] : 56,5%
- Fulbe (5 kelompok suku) : 25,4%
- Mande (5 kelompok suku: Mandingo, Maninka,
Mandinga, Sarakole, dan Susu) : 14,9%
- Lain-lain (orang Kreol, orang-orang Tanjung
Verdian, orang-orang Guinea) : 3,5%
Bahasa Utama : Portugis
Bahasa Nasional : Kreol, dipakai oleh 60% dari jumlah penduduk.
Ekonomi : Negara kurang berkembang. Infrastruktur sulit
karena tingkat pendidikannya yang sangat rendah.
Politik : Sejak 1974 merdeka dari Portugal. Demokrasi masih
sulit, sering terjadi perang saudara. Pemilu
terakhir awal tahun 2004.
Agama : Animis 48,1 %
Islam 44,0 %
Katolik 7,0 %
Kristen 0,9 %
KEMBALI KE LADANG PERJANJIAN
Sekembali dari cuti di Indonesia, pada minggu-minggu pertama di
Guinea Bissau saya memerlukan waktu untuk beradaptasi kembali dengan
iklim, budaya, dan terutama dengan bahasa Kreol. Dalam tahap
pelayanan yang kedua ini saya melayani di tiga tempat dengan
kebiasaan dan juga dengan bentuk pelayanan yang berbeda. Tempat-
tempat itu adalah:
Sao Domingos
Letaknya lebih kurang 128 km sebelah Utara Guinea Bissau, berbatasan
dengan Senegal. Mayoritas penduduknya masih animis ataupun beragama
Katolik. Gereja Protestan bisa berkembang karena banyak orang yang
cukup terbuka dengan Injil. Di situ, saya lebih berfokus pada
pemuridan, pendidikan guru Sekolah Minggu, dan penginjilan. Selain
itu, saya juga mengajar PA di gereja setempat.
Empada
Tempat kedua dalam pelayanan saya terletak lebih kurang 300 km
sebelah Selatan Guinea Bissau. Penduduk di daerah ini, suku Beafada,
mayoritas beragama non-Kristen yang cukup fanatik. Lebih dari tiga
puluh tahun Injil diberitakan di antara suku mereka, tetapi sampai
sekarang belum ada orang Beafada yang percaya. Tim kami lebih
berfokus pada penginjilan ke desa-desa dan dari rumah ke rumah.
Tidak jarang suku Beafada menolak Kristus secara terang-terangan.
Gereja di Empada yang berasal dari latar belakang suku-suku lain
tidak memiliki visi untuk menjangkau orang-orang yang belum percaya.
Jemaat di Empada bukan suatu perkecualian, walaupun Guinea Bissau
adalah negara di Afrika Barat satu-satunya yang belum menjadi negara
muslim. Gereja-gereja masih takut menginjili orang yang beragama
lama. Selama tiga bulan saya membantu pelayanan teman saya yang
berasal dari Brazil sampai dia pulang ke kampung halamannya. Karena
tidak ada rekan sekerja di Empada, akhirnya saya pindah lagi ke
tempat lain.
Ntchumbe
Letaknya lebih kurang 130 km sebelah Timur Guinea Bissau. Di sini
terdapat satu-satunya sekolah Alkitab di negara ini. Sekolah Alkitab
ini berada di lokasi yang sangat terpencil. Jika tidak memiliki
kendaraan untuk menuju lokasi ini, satu-satunya cara untuk
mencapainya adalah dengan berjalan kaki sejauh 7 km dari jalan raya.
Di sinilah saya mengajar sampai sekarang. Mulanya ini adalah
pergumulan berat bagi saya karena harus mempersiapkan materi dari
buku-buku berbahasa Portugis yang dimiliki di perpustakaan. Di
samping itu, semua tugas dan makalah mahasiswa Alkitab ditulis dalam
bahasa Portugis. Bahasa yang sudah lebih kurang lima tahun tidak
saya gunakan ini harus dilatih lagi. Oleh karena kesulitan ini,
akhirnya saya mengajar dalam bahasa Kreol dan memberi mereka tugas
dalam bahasa Portugis. Mahasiswa tahun keempat terdiri dari empat
orang dan mereka berasal dari latar belakang suku dan pendidikan
yang berbeda. Tidak jarang saat mengajar, saya harus menunggu begitu
lama karena mereka sangat lamban dalam menulis. Semua bahan harus
ditulis di papan tulis. Maklum, buku atau makalah tidak ada. Jadi,
semua serba tulisan tangan.
Karena tidak ada tetangga yang dekat, setiap hari saya bertemu
dengan orang yang sama. Saya menikmati persekutuan dengan mereka
karena kami mengenal baik satu sama lain. Bahkan setiap akhir pekan
saya bersama dua mahasiswa mengunjungi Desa Biana dan Jadda yang
beragama non-Kristen untuk penginjilan. Puji Tuhan, ada seorang ibu
dan anak yang mengambil keputusan untuk percaya kepada Kristus. Saya
juga mengajar di tingkat satu yang terdiri dari dua belas orang.
Inilah jumlah terbanyak sejak sekolah Alkitab tersebut dimulai.
Tahun ini, untuk pertama kalinya sekolah Alkitab menerima mahasiswa
yang berlatar belakang non-Kristen.
TAHUN-TAHUN PERTAMA DI GUINEA BISSAU
Betapa senangnya hati seseorang jika ia mendapatkan sesuatu yang
sudah lama ia rindukan atau doakan. Demikian juga hati saya; ketika
berdoa selama dua belas tahun untuk negara Guinea Bissau, akhirnya
dalam waktu Tuhan yang tepat, Ia membawa saya masuk juga ke "Tanah
Perjanjian." Ketika tiba di Sao Domingos pada 11 Januari 2004, saya
mengingat satu bagian Firman Tuhan dari 1 Tesalonika 5:24, "Ia yang
memanggil kamu adalah setia Ia juga yang akan menggenapinya". Di
situ saya bergabung dengan tim WEC yang terdiri dari Ibu M dan
Keluarga Clarke.
Berhubung saya tiba pada hari Minggu, teman-teman langsung membawa
saya ke gereja. Acara di sana sangat hangat karena jemaat, khususnya
ibu-ibu menyanyi sambil menari-nari dan melompat-lompat sampai debu
beterbangan ke mana-mana karena lantai gereja masih berupa tanah.
Ini merupakan pengalaman pertama yang sangat mengesankan sekaligus
merupakan tantangan karena terus terang saya tidak bisa menari.
Hari-hari berikutnya, kami mulai mengunjungi orang-orang percaya di
desa-desa di sekitar Sao Domingos. Jemaatnya sangat sederhana, namun
memiliki kerinduan untuk beribadah. Di antara mereka ada yang harus
berjalan kaki berjam-jam lamanya hanya untuk mengikuti kebaktian.
Sering tak ada pemimpin atau orang yang mengajari mereka Firman
Tuhan. Jemaat seringkali hanya terdiri dari ibu-ibu yang semuanya
buta huruf. Maklum mereka sangat kurang dalam pengajaran.
Kami juga berkunjung ke desa yang belum memiliki orang percaya. Ibu
M menyampaikan Firman Tuhan dalam bahasa Kreol dan saya mendukungnya
dalam doa. Di sinilah saya mengerti betapa pentingnya pelayanan
dalam tim. Sewaktu-waktu kami juga membawa satu atau dua orang
pengemudi atau remaja untuk menemani kami. Mereka menerjemahkan
bahasa Kreol kami ke dalam bahasa daerah karena seringkali orang
desa tidak terlalu mengerti bahasa Kreol.
Dalam setiap kunjungan kami selalu harus bergumul dalam peperangan
rohani. Hampir setiap desa mempunyai tempat-tempat penyembahan
berhala. Misalnya pada bulan Agustus 2004, ketika Ibu M dan saya
mengunjungi satu desa, ada sekelompok ibu-ibu, kira-kira dua puluh
orang dengan dukun mereka yang baru keluar dari hutan di mana mereka
mengadakan upacara penyunatan untuk mengikat diri kepada Iblis.
Setelah kami berdua pulang, kami tidak bisa tidur sepanjang malam,
karena terus `diganggu`. Akhirnya kami mengambil waktu untuk memuji
Tuhan dan terus berdoa.
Sesudah beberapa bulan di Sao Domingos saya pindah ke Cacine, bagian
Selatan. Di situ hanya ada gereja kecil. Anggota jemaatnya
kebanyakan remaja dan anak-anak. Saya melayani remaja dan Sekolah
Minggu, sekaligus mengajar beberapa remaja untuk terlibat di dalam
pelayanan Sekolah Minggu. Setiap minggu keempat, kami membawa kaum
remaja keluar untuk menyaksikan Injil.
Tantangan di Cacine berbeda dengan di Sao Domingos. Di Cacine ada
banyak orang Wasai yang begitu kuat dengan kepercayaan takhyul dan
penyembahan berhala. Pada akhir pelayanan saya di sana, ada anak
pemimpin Wasai yang hilang di hutan kira-kira jam sembilan pagi.
Menurut kepercayaan mereka, anak tersebut dibawa setan. Akhirnya,
semua orang Wasai di kampung itu mencari si kecil. Baru jam tiga
sore mereka menemukannya. Setelah itu, seluruh kampung mengadakan
upacara khusus, agar setan tidak membalas dendam.
Sekarang saya mempelajari bahasa Portugis di ibu kota Bissau agar
diperlengkapi untuk pelayan berikutnya.
ESPERANCA (HARAPAN) YOUTH CENTER DI INGORE, GUINEA BISSAU
Matahari bersinar, udara panas sekali, tetapi di dekat rumah
misionaris WEC, ada sekelompok orang yang tertawa dan berkeringat.
Mereka bekerja keras untuk membangun Youth Center di Ingore, sebuah
desa terpencil di pedalaman Guinea Bissau, Afrika Barat yang
berbatasan dengan Senegal. Postur mereka tinggi besar dan berkulit
hitam. Sekalipun mereka bekerja keras, mereka masih bersukacita.
Jika mereka tertawa, cuma gigi mereka yang putih dan sehat yang
menonjol. Mata mereka bersinar pertanda sukacita. Dari pagi hingga
petang mereka terus mencetak batu bata. Ada beberapa kelompok lain
yang sibuk mencabut akar-akar pohon dari tanah supaya pondasi Youth
Center bisa dibuat.
Mereka semua adalah anggota gereja Protestan Ingore di bawah
pimpinan Pendeta Almandinyo dan pembina Bapak D. Karena negara
mereka adalah sebuah negara yang miskin sekali, kebanyakan pemuda
meninggalkan daerah asal mereka di pedalaman dan merantau ke ibu
kota Bissau. Namun, di situ pun mereka tidak mendapatkan pekerjaan
dan pendidikan seperti yang mereka impikan. Akibatnya, kebanyakan
dari mereka menjadi pengangguran dan membuat kekacauan. Itulah
sebabnya para hamba Tuhan, baik misionaris WEC maupun orang pribumi
sendiri, beriman untuk mendirikan Youth center, agar generasi muda
ini bisa dididik dan selanjutnya mampu mencari nafkah hidup sendiri.
Visi pembangunan tempat ini berawal dari Bapak D pada awal millenium
ke-3. Pada tahun 2002, perencanaan ini disempurnakan dan pekerjaan
pun dimulai. Banyak kesulitan yang dihadapi pada waktu itu, dan
sampai sekarang pun masih demikian. Akta tanah susah diurus karena
ada beberapa pemilik tanah yang tidak mau menjual tanah mereka.
Bahan bangunan sangat sulit dibeli karena tidak ada persediaan. Itu
sebabnya pembangunan ini tidak lancar. Sekarang sudah ada enam buah
ruang kelas yang telah terselesaikan dengan satu ruang untuk kursus
pertukangan yang sedang dikerjakan.
Marilah kita bergandengan tangan mendoakan mereka supaya mereka
tetap bersemangat dan kebutuhan, baik moral maupun material bisa
tercukupkan.
POKOK DOA:
- Naikkan syukur untuk kebebasan beragama, pertumbuhan gereja yang
akhir-akhir ini luar biasa, serta pelayanan di antara anak muda di
Ingore.
- Di negara yang kecil dan sangat miskin ini dengan cukup banyak
suku terabaikan Bapak T, Ibu R, dan Ibu S memberitakan Injil
bersama tim internasional di antara orang Animis dan orang Kedar
di berbagai desa dan daerah. Doakan agar Allah selalu menyertai
pelayanan mereka.
- Bersyukur karena perusahaan rekaman Injil di Afrika sudah merekam
berita Injil ke dalam beberapa bahasa di negara ini.
- Doakan agar keadaan politik dan kesejahteraan rakyat Guinea di
negara ini lebih stabil. Doakan pula perekonomian dan pendidikan
agar dapat ditingkatkan.
- Berdoalah untuk para petobat baru agar kuat dalam menghadapi
tekanan keluarga mereka. Doakan selalu suku Fula dan Mande yang
non-Kristen agar membuka diri bagi Injil serta ke-27 suku yang
masih terabaikan.
- Doakan gereja-gereja yang masih sangat membutuhkan para mejelis
yang sungguh-sungguh lahir baru.
Bahan diambil dan diedit dari sumber:
| Judul Buletin | : | Terang Lintas Budaya, Edisi 63, 2005 |
e-JEMMi 16/2006