You are heree-JEMMI No.38 Vol.14/2011 / Berpikir Layaknya Anak Kecil di Penjara
Berpikir Layaknya Anak Kecil di Penjara
Ketika berada di Australia, saya menerima kabar bahwa menantu perempuan saya mengalami luka serius dalam kecelakaan mobil di California, yang telah meremukkan mobilnya. Anak perempuannya yang berusia 9 tahun juga ikut terluka. Ketika saya menghubunginya untuk mendengar bagaimana kecelakaan tersebut terjadi, cucu perempuan saya, saat menjawab pertanyaan-pertanyaan berteriak, "Aku mempunyai kabar gembira! Seseorang memberikan seekor kucing kepadaku sebagai hadiah!" Lalu diikuti dengan penjelasannya mengenai rupa kucing itu.
Yesus mengajarkan kita menjadi seperti anak kecil, untuk mengambil suatu cara pandang berbeda atas peristiwa-peristiwa, bahkan peristiwa-peristiwa tragis sekalipun. Kita mungkin berdarah, kita mungkin menjadi trauma, tetapi kita masih dapat menikmati sukacita untuk hal-hal kecil yang mungkin dianggap seperti anak kecil atau kampungan. Inilah apa yang sebenarnya terjadi pada saya di dalam penjara.
Saya menghabiskan 14 tahun hidup di dalam penjara-penjara komunis. Tidak lama menurut standar komunis, karena Pendeta Harapov dari gereja Baptis Rusia dipenjara selama 28 tahun; Katolik Paulaitis selama 35 tahun; Michail Ershow seorang biarawan Orthodox dipenjara lebih dari 40 tahun. Kami kelaparan, dipukuli, disiksa. Selama bertahun-tahun, kami masing-masing dikurung di dalam sel-sel isolasi, di mana kami tidak dapat mendengar suara apa pun, bahkan suara berbisik pun tidak.
Tidak ada buku-buku atau alat-alat tulis, selain Alkitab. Kami tidak pernah melihat anak kecil, wanita pun jarang. Kami tidak dapat melihat berbagai warna; dunia kami berwarna abu-abu. Tembok-tembok berwarna abu-abu, seragam kami abu-abu, bahkan wajah kami pucat keabu-abuan. Karena begitu lama, kami sudah lupa bahwa ada warna biru, hijau, merah, dan violet.
Selama panjangnya masa abu-abu, tahun-tahun yang gelap, apa yang kami pikirkan saat itu? Sudah tentu bukan mengenai ajaran komunis atau penderitaan. Pikiran kami seperti anak-anak yang dikuasai oleh peristiwa-peristiwa. Shakespeare, menurut Henry IV menulis, "Pikiran adalah budak kehidupan".
Filosofi humanisme juga menyatakan bahwa kondisi jasmaniah menentukan bagaimana pikiran kita bekerja. Ini mungkin saja benar bagi orang dewasa, tetapi tidak untuk anak-anak. Seorang anak yang terbaring di rumah sakit karena kecelakaan, dapat memiliki keinginan kuat di pikirannya untuk dibelikan sebuah boneka. Kami pernah merasakan hal yang sama. Kami sering memikirkan mengenai hal-hal yang sepenuhnya tidak ada hubungannya dengan penderitaan yang kami alami. Akankah ada banyak cacing di sup kami hari ini? Akankah paling tidak ada lima kacang di dalam sup kami, atau mungkin lebih? Bagaimana seharusnya aku berbohong kepada orang yang menyiksa aku untuk tidak menyerahkan yang lain dan mengakibatkan penahanan mereka? Akankah aku dibebaskan? Kami mempunyai masalah, tetapi kami tidak membiarkan permasalahan ini menguasai kami.
Sementara di penjara, kami tidak hidup dalam masalah. Membiarkan para penjaga memukuli, menghina, dan membuat kami kelaparan. Dengan hal-hal seperti ini, para penyiksa kami menyibukkan diri mereka sendiri. Kami bebas untuk bersukacita di dalam misteri-misteri firman Tuhan.
Diambil dari: | ||
Judul buletin | : | Kasih Dalam Perbuatan, Mei - Juni 2008 |
Penulis | : | Richard Wumbrand |
Penerbit | : | Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya 2008 |
Halaman | : | 2 |
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 3842 reads