You are hereBagian D. Bagaimana Terjadinya Alkitab Kita

Bagian D. Bagaimana Terjadinya Alkitab Kita


Bagaimana menentukan kitab mana saja yang merupakan Alkitab? Bagaimana kisahnya sampai yang diterima hanya 39 kitab sebagai Perjanjian Lama dan 27 kitab sebagai Perjanjian Baru? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab dalam pembicaraan tentang "kanonisasi Alkitab." Kata "kanon" di sini berarti "alat penentu" atau "standar."

Dari sekian banyak tulisan yang ada, hanya 66 kitab yang diterima sebagai firman Allah. Ini pun tidak semua kitab dapat dengan mudah dikenali dan diterima otoritasnya. Ada kitab-kitab yang harus melalui pergumulan yang panjang untuk diterima sebagai bagian dari Alkitab. Namun, sepanjang pergumulan itu, Allah yang menjadi penentu dalam proses kanonisasi Alkitab ini, bukan manusia.

Perjanjian Lama. Tulisan-tulisan nabi Musa dan kitab Yosua dapat dengan mudah diterima sebagai Alkitab (Keluaran 24:3; Yosua 24:26). Kitab-kitab lainnya diuji dengan pedoman-pedoman sebagai berikut:

  1. Penulisnya haruslah seorang nabi atau pemimpin bangsa Israel yang dikenal.

  • Isinya membuktikan adanya otoritas dan kuasa. Pembaca dapat mengenalinya sebagai pernyataan Allah yang dikomunikasikan secara unik.
  • Tulisan-tulisan yang jelas-jelas berisi kesalahan doktrin atau data, disisihkan. Kitab-kitab yang otoritasnya pernah diterima generasi sebelumnya, dipertimbangkan lebih dahulu.
  • Pengesahan berikutnya diberikan kepada kitab-kitab Perjanjian Lama yang banyak dikutip oleh Kristus maupun penulis Perjanjian Baru.
  • Ke-12 buku Apokrif tidak diterima sebagai bagian dari Alkitab karena:

    • Tidak terlihat sebagai kanon Ibrani.
    • Tidak pernah dikutip dalam Perjanjian Baru.
    • Tidak termasuk dalam daftar kanon-kanon sebelumnya.
    • Isinya lebih mengarah pada mitos/tradisi.

    Perjanjian Baru. Kitab-kitab yang diterima sebagai Perjanjian Baru didasarkan pada otoritas kerasulan. Kitab-kitab itu diterima jika mereka ditulis oleh para rasul seperti Petrus, Yohanes, atau orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan para rasul seperti Lukas atau Markus yang juga memiliki kuasa kerasulan. Banyak cerita yang salah tentang kehidupan Yesus (Lukas 1:1-40), maupun para rasul (2Tesalonika 2:2) berkembang pada masa itu, oleh karena itu identifikasi yang cermat dalam proses kanonisasi kitab-kitab Perjanjian Baru sangatlah penting.


    "Gereja telah memberikan kanon Perjanjian Baru sebagai pedoman kita dengan cara yang hampir sama seperti Isaac Newton memberikan teori gravitasinya. Allahlah yang menciptakan gravitasi itu untuk kita, demikian pula kanon Perjanjian Baru diilhamkan dan ditentukan oleh Allah sendiri agar menjadi milik kita."
    - J.L. Packer dalam buku God Speaks to Man

    Para bapa gereja mempunyai andil dalam proses kanonisasi Perjanjian Baru ini. Mereka secara teliti telah mengindentifikasi dan memilah-milah tulisan-tulisan yang ada. Konsili di Hippo (tahun 393) dan Karthago (tahun 397) akhirnya menerima ke-27 kitab yang sekarang dikenal dengan Perjanjian Baru.