PENYEGARAN LATIHAN PENGINJILAN
oleh: Rebecca Manley Pippert
Saya telah mengamati, kebanyakan warga gereja, apa pun aliran
mereka, memiliki reaksi yang sama terhadap penginjilan: "Terima
kasih, itu bukan bagian saya." Anda hampir dapat mendengar bunyi
pintu gerbang besi yang bergemerincing tertutup dalam pikiran
mereka.
Ketika saya bertanya mengapa mereka tidak mewartakan Injil, saya
mendengar jawaban:
"Saya tidak senang memaksakan sesuatu terhadap seseorang."
Atau, seperti seorang siswa Reed College menjawabnya dengan begitu
ringkas,
"Penginjilan adalah berapa banyak orang yang telah saya sakiti
hatinya dalam minggu ini."
Atau, satu dari favorit saya,
"Kamu tahu, saya akan mewartakan Injil jika saya tidak begitu
mencintai manusia."
Kebanyakan orang Kristen amat takut dicap sebagai bagian dari
golongan pinggir yang fanatik sehingga mereka tidak berbicara apa-
apa tentang iman mereka dan merasa aman berada di dalam penjara yang
ramah di gereja. Setiap latihan penginjilan yang efektif mulai
dengan menyadari bahwa manusia dibebani oleh rasa salah, rasa
takut, dan sikap-sikap negatif, yang harus dikenali dan dilenyapkan
lebih dulu sebelum kita melangkah untuk mencapai suatu keberhasilan.
Dari manakah sikap-sikap negatif ini muncul? Tidak satu pun kelompok
Kristen merencanakannya secara sadar, "Marilah kita sepenuhnya
menghancurkan individualisme mereka dan membasminya bagi Yesus."
Inilah cara yang sering kita temukan: menahan orang dan memaksakan
brosur kepada mereka.
Saya heran betapa tegarnya orang-orang Kristen memegang teguh
alasan-alasan mereka untuk tidak menginjili. Dan alasan-alasan itu
hampir selalu berupa pernyataan bahwa penginjilan bukanlah merupakan
prioritas utama.
Sebagian besar orang Kristen secara intuitif mengetahui bahwa
penginjilan semestinya tidak berada dalam bagian pemasaran, tetapi
berada dalam konteks hubungan yang penuh kasih. Pikiran sehat
menuntut kita untuk mewartakan Sabda dan menghayati dalam hidup kita
di tengah masyarakat di tempat mana hidup kita berinteraksi secara
alamiah. Jika penginjilan lebih mementingkan teknik dan strategi dan
kurang memperhatikan kasih dan penghargaan terhadap masing-masing
orang, maka kita pasti akan mendapatkan kesulitan.
Tetapi beberapa di antara kita telah melangkah terlampau jauh pada
sisi yang lain, lebih mementingkan hubungan dan kurang memperhatikan
pewartaan Injil secara jelas dan panggilan untuk memenuhi janji.
Akibatnya hanya persahabatan belaka dan tidak ada penginjilan sama
sekali.
Bagaimana kita menghindari sikap yang terlalu keras dan memperkuat
suatu penginjilan yang Alkitabiah, penuh kasih dan penuh penghargaan
terhadap individu? Saya mengusulkan tiga unsur yang perlu dimasukkan
sebagai bagian dari pelatihan kita.
Dua unsur pertama telah diusulkan oleh Gabriel Fackre, yang
mengatakan bahwa kita harus bercerita secara langsung dan membagikan
cerita kepada orang lain. Saya mau menambahkan bahwa kita harus
memahami ceritanya, yang berarti pelatihan harus memperdalam sumber-
sumber rohani kita dan membangun ketrampilan dalam isi dan
komunikasi.
Bercerita Secara Langsung
Kami di Barat hampir selalu berhasil menyampaikan kebenaran Kitab
Suci melalui pedekatan-pendekatan teologis atau sistem bagan empat
garis besar. Kami sekarang mulai menemukan apa yang selama ini telah
dipahami oleh saudara-saudara kami di dunia Timur -- kebenaran juga
dikomunikasikan dengan menceritakan kisah.
Baru-baru ini saya membaca bagaimana Lewis Alemen membagi warta
lisan ke dalam tiga bagian:
- menceritakan kisah Yesus -- drama tentang perbuatan-perbuatan
Tuhan, khususnya tentang hidup, kematian dan kebangkitan Kristus,
- menceritakan kehidupan saya -- yang bukan merupakan pesan Kitab
Suci tetapi yang memberi contoh akan kekuatannya, dan
- menceritakan kisah mereka -- bagaimana hidup Kristus berkaitan
dengan orang yang kita layani.
Kesaksian yang sejati mengintegrasikan unsur ketiga kisah hidup itu.
Tetapi saya menemukan bahwa kebanyakan orang membutuhkan bantuan
khusus untuk belajar menceritakan kisah Yesus. Kita biasanya mampu
menjelaskan Injil lewat bagan-bagan dan diagram-diagram. Tetapi
mampukah kita berbicara tentang Yesus dengan suatu cara yang dapat
membuatnya seolah-olah hidup? Dapatkah kita menceritakan kisah
hidup-Nya dan perumpamaan dengan suatu cara yang sedemikian hingga
orang lain dapat melihat relevansinya bagi hidup mereka.
Salah satu kegiatan yang saya lakukan dengan aktif sebagai seorang
anggota staf Inter-Varsity adalah memberikan "obrolan asrama" yang
bersifat penginjilan, yang di dalamnya saya berbicara dengan
mahasiswa-mahasiswa yang selalu mempertanyakan ajaran-ajaran agama
Kristen (biasanya berkenaan dengan pembelaan-pembelaan) dan kemudian
akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang suasananya seringkali
menggairahkan dan penuh tanggung jawab. Bahkan kami sering terlibat
dalam perdebatan yang seru sampai larut malam.
Kemudian pada suatu hari saya mendengar seorang rekan saya dan
seorang pembicara yang terkenal, Gene Thomas, mengadakan suatu
"obrolan asrama" di sebuah perguruan tinggi di Washington. Saya
terkejut bahwa dia dengan sederhana melukiskan seperti apakah Yesus
itu sebagai pribadi dan hal-hal yang dihargai-Nya -- manusia,
khususnya. Dia berbicara tentang kualitas hubungan yang Yesus
dambakan dan membuat kita mampu untuk memilikinya. Ketika dia
berbicara, hal pertama yang muncul dalam pikiran saya adalah,
"Tetapi mereka perlu tahu bahwa hal itu benar dan logis." Hal kedua
yang muncul adalah, "Jika Anda akan berbicara tentang Yesus,
tidakkah Anda akan berbicara tentang salib?"
Ketika tiba saatnya untuk bertanya, para mahasiswa berbicara dengan
jujur: betapa mereka merasa bersaing dan tidak aman, mereka amat
membenci kepalsuan dan elitisme. Mereka melontarkan keterkejutan
mereka bahwa Yesus mempunyai kaitan dengan hal-hal semacam itu. Ada
pula pertanyaan-pertanyaan yang beralasan tentang kebenaran yang
dituntut oleh Yesus, tetapi suasananya tetap indah dan semarak.
Pada saat kami berjalan keluar gedung, tiga orang senior menghampiri
Gene dan berkata, "Selama kami berada di sini, menjadi anggota
panitia ini dan itu dan mengikuti banyak pertemuan, tapi kami belum
pernah mengalami suatu pertemuan seperti ini, di mana orang-orang
begitu terbuka dan terdapat suasana yang penuh kasih dan
penerimaan."
Gene sambil lalu berkata, "Oh, ya, itu karena Yesus ada di sini.
Kita merasakan suasana seperti itu sebab seperti itulah Yesus itu."
Mereka memandang Gene dengan mata terbelalak penuh ketakjuban, dan
saya menyadari bahwa dia telah menyelesaikan pewartaan Injil lebih
banyak daripada pembicaraan asrama yang telah saya lakukan.
Mereka belum bertobat, mereka belum memahami banyak pertanyaan yang
belum terjawab, tetapi mereka sangat tertarik kepada Yesus. Ini
merupakan suatu permulaan yang penting. Berikutnya ketika kami
bertanya, "Apakah ada yang mau mempelajari pribadi Yesus yang
diceritakan dalam Kitab Suci?" Mereka yang menyetujui luar biasa
banyaknya. Pengalaman tersebut memperteguh apa yang sedang saya
duga: saya perlu menemukan Yesus kembali dan dapat
mengkomunikasikannya dengan cara-cara yang segar dan deskriptif agar
penginjilan saya lebih efektif.
Beberapa bulan kemudian, saya ada di Harvard selama satu bulan untuk
ceramah. Sebagai ganti ceramah yang banyak menggunakan otak
sebagaimana yang telah saya rencanakan, saya memutuskan untuk
mengikuti cara Gene dan berbicara tentang Yesus. Saya menceritakan
kembali salah satu cerita Yesus sendiri, dalam hal ini perumpamaan
tentang anak yang hilang.
Gerak-gerik kelompok itu mempesonakan. Saya berjalan memasuki suatu
ruangan yang penuh sesak dengan mahasiswa-masiswa yang cerdas tetapi
bimbang dalam iman. Beberapa kelihatan bersikap menentang, beberapa
kelihatannya seperti habis melakukan olahraga yang berat. Banyak
mahasiswa yang menggelosor di kursi mereka dengan tampang keheranan
dan menunggu kesempatan untuk menyerang. Ketika saya mulai
mengisahkan perumpamaan tersebut, saya melihat adanya perubahan.
Mereka tidak dapat tidak terlibat dalam kisah itu. Mereka mengubah
posisi duduk mereka: yang tadinya membungkuk, berubah menjadi tegak
dan akhirnya bersandar dengan tegap di kursi mereka. Kemudian saya
menggambarkan prinsip-prinsip teologi dan membuka kesempatan untuk
bertanya. Pertanyaan-pertanyaan muncul tidak berbeda dari diskusi-
diskusi asrama yang lain. Sikap mereka berubah dengan mengherankan
-- dari sikap bermusuhan dan sombong berubah menjadi rasa tertarik,
ingin tahu dan menunjukkan keterlibatan diri yang tidak dibuat-buat.
Hal ini mengajar saya, pertama, akan kekuatan suatu cerita yang
bagus. Setiap orang menyenangi cerita, sebagian karena cerita
menggunakan kedua sisi otak kita, yang memancarkan segi kreatif dan
imaginatif kita dan juga bagian dari diri kita yang konseptual dan
rasional. Dan Kitab Injil penuh cerita-cerita yang bagus, yang
terbingkai dengan kebenaran teologis yang mendalam tentang Tuhan dan
diri kita sendiri. Bagi seorang yang belum percaya yang tidak
mempunyai kerangka teologis, ayat-ayat Injil yang lepas dari
koteksnya mungkin tidak memberi makna apa-apa. Tetapi jika kita
menceritakan kisah yang berhubungan dengan hidup -- seperti cerita-
cerita Yesus -- dan karena hidup sudah menjadi suatu kerangka, makna
cerita itu bisa merasuk dalam hati pendengar.
Lagi, saya tidak menganjurkan agar kita membuang kerangka Injil,
gagasan-gagasan teologi dan apologetika. Saya semata-mata hanya
mengatakan marilah kita menambahkan ke dalam latihan penginjilan
kita kemampuan untuk berbicara tentang Yesus dengan cara-cara yang
alamiah dan enak untuk menceritakan kisahnya secara spontan dan
bebas.
Membagikan Cerita Kepada Orang Lain
Yesus nampaknya selalu melakukan dua hal: mengajukan pertanyaan dan
bercerita. Orang Kristen nampaknya selalu melakukan dua hal yang
lain: menjawab dan "berkhotbah".
Keempatnya diperlukan -- pada saat yang tepat dan di tempat yang
tepat pula. Tetapi kita cenderung melupakan bahwa Allah yang
dikisahkan dalam Injil adalah komunikator yang luar biasa; kita
mengabaikan teladan Yesus ketika memulai suatu percakapan, dan kita
cepat-cepat menyela dengan jawaban-jawaban yang tidak matang dan
khotbah-khotbah kecil sebelum rasa ingin tahu para pendengar timbul.
Saya sering meminta peserta suatu rapat untuk bercerita kepada saya
sejauh perjuangan mereka dalam bersaksi. Jawaban mereka terbagi
dalam tiga kategori:
- 2% mengatakan bahwa mereka berjuang dengan pertanyaan-pertanyaan
sulit yang tidak dapat mereka jawab;
- 1% menyatakan bahwa mereka berjuang dengan metode-metode
(bagaimana saya membimbing seseorang kepada Kristus); dan
- 97% mengatakan bahwa mereka membutuhkan pertolongan untuk
ketrampilan mereka dalam berkomunikasi (bagaimana saya
mengalihkan percakapan sekuler ke percakapan rohani dengan cara
yang alamiah? Bagaimana saya menolak atau tidak ikut serta dalam
suatu kegiatan tanpa kelihatan 'munafik'? Bagaimana saya dapat
tetap menjadi diri saya sendiri di saat saya merasa bahwa dunia
mempersulit karya saya?).
Tampaknya ironis bahwa begitu banyak latihan penginjilan zaman
sekarang begitu berfokus pada ketrampilan-ketrampilan yang berkenaan
dengan isi pada saat dimana orang-orang tampaknya mengatakan bahwa
mereka membutuhkan lebih banyak pertolongan untuk ketrampilan
berkomunikasi. Kita memang perlu mengetahui apa yang harus
disampaikan, tetapi kita perlu juga mengetahui bagaimana cara
menyampaikan.
Proses komunikasi begitu kompleks dan memiliki banyak segi sehingga
mudahlah untuk merasa bosan. Kunci untuk semua komunikasi yang baik
adalah kemampuan untuk mengasihi sebagaimana Kristus telah
mengasihi. Yesus terus-menerus mengajarkan bahwa jika kita ingin
menjadi pengikut-pengikut-Nya, hidup kita harus membawa meterai
kasih yang begitu besar -- kepada Tuhan dan kepada sesama kita.
Hidup kita harus dikuasai oleh cinta-Nya, bukan semata-mata oleh
kegiatan keagamaan. Bagaimana kita bertingkah laku terhadap sesama
merupakan tanda yang paling jelas bagi mereka untuk mengenal seperti
siapakah Tuhan itu. Tidak seorang pun mau dijadikan proyek
penginjilan seseorang. Orang ingin dicintai dan diterima dengan
sungguh-sungguh.
Saya mengenal orang Kristen yang telah melanggar hampir setiap
aturan komunikasi, namun demikian mereka tetap bisa menjadi
penginjil-penginjil yang efektif sebab mereka mengasihi dengan tulus
orang yang mereka ajak bicara. Akhirnya, kasih adalah segalanya.
Setelah meletakkan cinta Kristus sebagai dasar komunikasi, kita
dapat menganalisa model komunikasi kita sendiri, sambil menemukan
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan kita: Apakah kita malu-
malu dan takut? Sulitkah bagi kita untuk memulai percakapan,
terlebih lagi membawanya kepada Tuhan? Apakah kita gagal
mengungkapkan kebutuhan orang lain? Apakah kita telah mendengarkan
dengan baik?
Saya telah menyadari bahwa amat bergunalah memikirkan latihan-
latihan yang saling berkaitan dengan ketrampilan-ketrampilan
komunikasi khususnya yang saya coba ajarkan: ketrampilan
mendengarkan, ketrampilan menegaskan, mengatasi selisih paham,
menolak tanpa menyakiti hati, dan lain-lain.
Misalnya, para teoritis informasi berkata kepada kita bahwa untuk
berkomunikasi dengan efektif kita harus mengenali metode-metode kita
sendiri terhadap mereka yang kita ajak bicara. Maka saya
mengembangkan latihan ini: saya berkata, "Menghadaplah kepada orang
di sebelah Anda. Anggaplah dia seorang rekan Kristen. Saya harap
salah satu dari kalian menyapa, 'Hai, bagaimana acara akhir
minggumu?' Lalu orang yang satu lagi menjawab, di mana ia
menghabiskan akhir minggunya dan satu hal yang ia pelajari selama
akhir minggu itu." (Langkah pertama)
Setelah beberapa menit, saya berkata, "Sekarang bergantian. Sekarang
orang yang satu menyapa, 'Bagaimana acara akhir minggumu?' dan Anda
menjawab. Tetapi sekarang Anda tahu bahwa orang yang bertanya itu
bukan seorang Kristen." (Langkah kedua)
Perbedaan menyolok dalam reaksi pada langkah pertama dan langkah
kedua tidak kaku lagi. Dalam langkah pertama, setiap orang bercakap-
cakap dengan suasana santai. Namun pada langkah kedua yang muncul
adalah suasana hening, lalu keluhan, gelak tawa yang gugup, dan
ketidaknyamanan. Setelah itu saya meminta mereka untuk bercerita
kepada saya bagaimana perasaan mereka ketika berpindah dari langkah
pertama ke langkah kedua. Jawabnya selalu sama: "Saya merasa enak
dan santai pada langkah pertama tetapi merasa sangat tidak
menyenangkan pada langkah kedua. Saya tahu bahwa mereka tidak akan
tertarik. Saya tahu mereka akan berpikir bahwa saya orang tolol.
Saya sakit hati dan tidak tenteram."
Kemudian kami menyelidiki mengapa itu terjadi dimana mereka
menyimpulkan bahwa orang merasa tidak enak, meski mereka tidak
mengetahui banyak fakta tentang orang itu, kecuali fakta kalau dia
bukan orang percaya. Apakah itu adil? Mengapa mereka melakukan hal
itu? Bagaimana kesimpulan mereka itu mempengaruhi kemampuannya untuk
berkomunikasi? Jika itu adalah sikap dasar mereka terhadap setiap
orang tidak percaya yang mereka temui, tak perlu diragukan lagi
bahwa mereka akan merasa tidak damai dalam memberikan kesaksian.
Kemudian kami mulai mengembangkan sikap-sikap mental yang beda untuk
berhenti menghakimi orang lain dengan tidak adil sebelum kami benar-
benar mengetahui duduk permasalahannya. Keuntungan latihan-latihan
ini adalah bahwa cara ini melibatkan orang-orang dalam proses
belajar. Pikiran kita mungkin bisa menerima konsep, tetapi dengan
sederhana dibutuhkan latihan untuk membuat tingkah laku kita sesuai
dengan pikiran kita.
Memahami Ceritanya
Akhirnya, tahap demi tahap kita harus diubah oleh Sabda Allah itu
sendiri. Kita tidak hanya mewartakan Injil -- kita sendiri adalah
Injil itu.
Ketika Wesley ditanya, "Mengapa orang banyak tampaknya begitu
terpesona pada Bapak?" Dia menjawab, "Baik, Anda tahu bahwa jika
Anda menceburkan diri ke dalam api, mereka hanya berminat untuk
datang dan melihat Anda terbakar."
Begitulah penginjilan: bukan suatu program melainkan api yang ada di
dalamnya.
Mereka akan terpesona oleh kehangatan api Tuhan yang ada di dalam
diri kita walaupun barangkali pada mulanya kita harus terus-menerus
menyalakan dan menghidupkan api tersebut. Diri kita diubahkan oleh
kehadiran Kristus melalui doa, pembacaan Kitab Suci, kepekaan yang
kian mendalam terhadap Roh Kudus, dan belajar berjalan dalam Roh,
bukannya menurut keinginan daging. Semua itu adalah suatu bagian
dari sumber-sumber yang membuat kesaksian kita menjadi sangat kuat
dan menusuk.
[Rebecca Manley Pippert adalah seorang yang mengkhususkan diri
dalam penginjilan. Dia bekerja sama dengan Inter-Varsity Christian
Fellowship dan tinggal di Tel Aviv, Israel.]
Diedit dari Sumber:
Judul Jurnal |
: |
Kepemimpinan, Volume 19/Th.V |
Judul Artikel |
: |
Penyegaran Latihan Penginjilan |
Penulis |
: |
Rebecca Manley Pippert |
Halaman |
: |
44 - 49 |
e-JEMMi 05/2004