SEKOLAH TEOLOGI DAN GERAKAN PENGINJILAN
ALBERT KONANIAH
Gerakan penginjilan sebenarnya sudah dimulai sejak Tuhan memilih dan
memanggil Abraham (Kej. 12).[1] Tuhan berfirman kepada Abraham bahwa
melalui Abraham segala bangsa di atas bumi akan mendapatkan berkat.
Boleh dikatakan sejak pemilihan Abraham dan keturunannya, yakni bangsa
Israel Tuhan menyatakan keselamatan melalui karya-Nya dalam sejarah
bangsa ini, agar semua bangsa memiliki kesempatan untuk mengenal Tuhan
alam semesta (Ul. 4:5-8, 35).[2] Hal ini berarti pemilihan mempunyai
dimensi misi. Pemilihan bukan hanya merupakan tanggung jawab.[3] Pada
zaman Perjanjian Baru, kehendak Tuhan mengenai penginjilan ini makin
jelas. Sebelum Tuhan Yesus naik ke sorga, Ia memberikan amanat
penginjilan kepada gereja-Nya.[4]
Pada tahun 1989, di Singapura diadakan suatu konsultasi yang disebut
"Global Consultation on World Evangelization by A. D. 2000 and
Beyond".[5] Tujuan konsultasi ini adalah membangkitkan semangat orang
Kristen di seluruh penjuru dunia untuk mengadakan gerakan penginjilan
supaya sebelum tahun 2000 berlalu, terang injil Kristus sudah
disampaikan ke seluruh pelosok dunia.
Gerakan yang bermakna penting ini bukanlah gerakan yang pertama
kalinya, sebab selama dua milenium ini telah diadakan gerakan serupa.
Dari perjalanan sejarah gereja, kita dapat melihat ada banyak gerakan,
konsultasi dan lain sebagainya, telah diselenggarakan. Diantaranya
tahun 1988, di Yerusalem diadakan gerakan yang disebut "The Lighting
Ceremony of the Great Commission",[6] untuk mengingatkan kembali
Amanat Agung yang hampir dilupakan oleh gereja. Jauh sebelumnya pada
tahun 1966, di Berlin juga diadakan konferensi penginjilan Lausanne
dengan tujuan untuk memberikan pengertian yang benar mengenai
penginjilan dan tanggung jawab gereja. Kemudian diikuti dengan
konferensi Lausanne lainnya dengan tema berbeda, tetapi tujuannya
tetap sama.[7] Pada tahun 1886 berlangsung sebuah gerakan yang
menggemparkan dunia yang disebut "Student Volunteer for Foreign
Mission", dengan slogan: The Evangelization of the World in this
Generation. Tetapi sayang, gerakan yang sempat menggemparkan dunia ini
akhirnya lenyap dan apa yang dicapai masih jauh dari yang
diharapkan.[8]
Satu hal yang patut disayangkan adalah gerakan semacam ini telah
mengabaikan sesuatu yang sangat penting, yaitu sekolah teologi dan
pendidikan teologi. Kita dapat melihat konferensi, konsultasi atau
seminar mengenai penginjilan atau pertumbuhan gereja telah sering
diadakan tetapi tidak banyak mengaitkannya dengan pendidikan teologi.
Jika kita memperhatikan sejarah gereja, khususnya sejarah misi, akan
kita dapati bahwa keberhasilan dan juga kegagalan gerakan penginjilan
mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan teologi. Kita mungkin
bertanya: Bukankah di dunia ini sudah banyak gerakan penginjilan
tetapi mengapa sampai abad ke-21 ini masih ada banyak orang yang belum
mendengarkan injil dan belum diselamatkan?[9] Sebagai jawabannya, kita
bisa saja mengajukan berbagai alasan, baik yang bersifat teologis,
sosiologis atau psikologis; tetapi sebab yang utama adalah karena
pendidikan teologi belum juga memperkembangkan peran dan potensinya
semaksimal mungkin.
Apakah hubungan antara pendidikan teologi dan penginjilan? Pendidikan
teologi yang bagaimanakah yang dapat mendukung perkembangan
penginjilan? Untuk menjawabnya kita perlu memperhatikan tiga hal.
Pertama, penginjilan adalah cara yang penting dan efektif dalam
menggenapkan amanat gereja, tetapi penginjilan itu sendiri bukanlah
amanat gereja.
Apakah amanat gereja itu sebenarnya? Saat ini tidak sedikit pimpinan
gereja yang karena melihat arus zaman, kebutuhan gereja dan pengalaman
pribadi, telah memberikan usul-usul yang menarik, umpamanya: pelayanan
sosial, membela hak asasi manusia, penginjilan, dan lain sebagainya.
Kita bisa sependapat bahwa semuanya itu memang merupakan tugas yang
harus dikerjakan oleh gereja, apalagi penginjilan; tetapi itu bukanlah
amanat gereja. Pelayanan sosial, membela hak asasi manusia dan
penginjilan hanya merupakan cara untuk menunaikan amanat gereja. Jika
demikian, apakah sebenarnya amanat gereja itu? Amanat gereja terdapat
dalam Matius 28:18-20, Yesus berkata," ...pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku..." Amanat gereja adalah menjadikan semua bangsa murid
Tuhan.[10] Dalam melaksanakan amanat tersebut, gereja harus pandai-
pandai menggunakan cara yang efektif, termasuk pelayanan sosial,
membela hak asasi manusia dan penginjilan; diantara cara-cara itu,
penginjilan merupakan cara yang paling efektif.
Jadi dengan demikian dapat kita pahami bahwa penginjilan bukanlah
amanat gereja, melainkan hanya salah satu cara; bukan tujuan akhir,
tetapi suatu proses untuk mencapai tujuan. Ini merupakan konsep dasar
teologi misi dan juga prinsip dasar yang harus dimengerti dan dimiliki
oleh setiap orang yang melakukan penginjilan.
Hal yang patut disayangkan adalah, kita menemui ada banyak orang
Kristen yang memiliki semangat penginjilan, tetapi tidak mempunyai
konsep yang benar tentang teologi misi sehingga mereka menjadikan cara
sebagai amanat dan proses sebagai tujuan. Mereka tidak dapat
membedakan antara "penginjilan" dan "menjadikan semua bangsa murid
Tuhan", sehingga mereka beranggapan jika sudah memberitakan injil
berarti telah menyelesaikan tugas, dengan kata lain, jika sudah
memberitakan injil berarti amanat gereja sudah digenapi. Oleh sebab
itu, yang mereka perhatikan adalah cara yang digunakan dan bukan
reaksi dari pendengarnya. Tidak terlalu penting bagi mereka apakah
pendengarnya menerima atau menolak, percaya atau tidak. Tidak heran
jika banyak pekerjaan penginjilan timbul tetapi tidak lama kemudian
lenyap.[11]
Gereja seharusnya sadar bahwa penginjilan bukanlah amanat dan juga
bukan tujuan akhir. Penginjilan hanya merupakan cara dan proses. Hugh
Thomas Kerr mengatakan: "Kita diutus bukan untuk memberitakan
sosiologi tetapi keselamatan; bukan untuk perbaikan tetapi penebusan;
bukan demi kebudayaan baru tetapi pertobatan; bukan demi sistem sosial
yang baru tetapi kelahiran baru..."[12] Oleh sebab itu dalam
penginjilan kita harus berusaha membawa orang lain menjadi murid
Tuhan, jangan merasa puas dengan hanya memberitakan injil. Kita harus
belajar seperti Paulus yang tidak saja memberitakan injil, tetapi juga
membawa orang lain percaya kepada Yesus Kristus dan menggabungkan diri
dalam gereja serta mendirikan gereja baru.[13]
Untuk menggenapkan Amanat Agung Tuhan Yesus, gereja tidak saja harus
memakai cara-cara yang baik dan efektif; gereja tidak saja harus
bekerja sama dengan gereja lain dan mendapatkan dukungan doa dari
saudara seiman. Gereja perlu mendapatkan tenaga yang baik -- yang
mempunyai konsep teologi misi yang benar -- karena Tuhan bekerja
melalui manusia, seperti dikatakan E. M. Bounds; "Gereja mencari
metode yang baik, Allah mencari tenaga (manusia) yang baik".[14]
Mendidik dan mempersiapkan tenaga yang baik, yang mempunyai beban
penginjilan seharusnya menjadi tugas sekolah teologi.
Kedua, pendidikan teologi adalah langkah awal dalam menggerakkan
penginjilan. Paulus berkata: "Sebab, barangsiapa yang berseru kepada
nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru
kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka
dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia?
Bagaimana mereka dapat mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang
memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika
mereka tidak diutus?" (Rm. 10:13-15). Paulus mengatakan hal ini
beranjak dari pengalaman pribadinya dan kemungkinan besar juga teladan
Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus hidup di dunia ini selama kira-kira 33,5 tahun saja. Jadi,
orang yang mempunyai kesempatan untuk mendengarkan berita/ajaran yang
Ia sampaikan tidak terlalu banyak, tidak sebanyak yang dilakukan oleh
penginjil kenamaan dewasa ini. Tetapi Tuhan Yesus mendidik sekelompok
orang (penginjil) untuk meneruskan pekerjaan yang belum selesai, yaitu
memberitakan injil keselamatan ke seluruh dunia.[15] Boleh dikatakan
Tuhan Yesus sangat mementingkan pendidikan teologi dan Ia
mempersiapkan tenaga yang baik yang mempunyai visi dan dasar teologi
yang kuat dan benar untuk melakukan penginjilan. Hari ini, jika gereja
ingin memperkembangkan pekerjaannya, khususnya dalam penginjilan, maka
langkah penting yang harus ditempuh ialah mendidik dan mempersiapkan
tenaga yang baik dan cocok untuk menjalankan misi gereja.[16]
Sebenarnya institusi pendidikan teologi dapat mempersiapkan tenaga
yang cocok bagi penginjilan serta memperlengkapi mereka dengan konsep
misi dan dasar teologi yang benar. Tetapi tidak sedikit institusi
teologi hanya menghasilkan tenaga yang dapat menggembalakan gereja
yang ada, tetapi tidak mampu melakukan penginjilan dan memulai suatu
gereja yang sama sekali baru.[17] Meskipun pendidikan teologi dalam
penginjilan dan perkembangan gereja mempunyai peran yang sangat
penting, tetapi banyak gereja atau lembaga gerejawi sama sekali tidak
memperhatikan perkembangan pendidikan teologi. Jika gereja
mengharapkan injil dapat disebarluaskan dan gereja dapat bertumbuh
dengan baik, maka gereja harus memperhatikan serta mendukung institusi
pendidikan teologi.
Ketiga, tujuan pendidikan teologi akan mempengaruhi perkembangan
pekerjaan penginjilan. David Barrett mengemukakan suatu fakta mengenai
persentase jumlah orang Kristen di dunia ini. Pada tahun lima ratusan
persentase jumlah orang Kristen adalah 22,5%, tetapi pada tahun seribu
lima ratusan atau seribu tahun kemudian, persentase jumlah orang
Kristen merosot jadi 19%.[18] Orang Kristen yang mengasihi Tuhan dan
memperhatikan pekerjaan penginjilan mungkin akan bertanya: Apa yang
dikerjakan gereja dalam kurun waktu seribu tahun tersebut?
Jika kita memperhatikan sejarah gereja, pada umumnya gereja abad
pertengahan telah kehilangan fungsi sebagai terang dan garam dunia.
Keadaan ini sudah dimulai dari abad keempat dimana pada saat itu
terjadi pertentangan antara gereja dan pemerintah. Hal ini masih
ditambah dengan hilangnya semangat misi dari gereja serta timbulnya
ajaran-ajaran sesat dan sebagainya, sehingga lambat laun gereja tidak
lagi dapat memancarkan terang Kristus. Meskipun pada abad pertengahan
memang ada orang Kristen yang secara pribadi memberitakan injil,
tetapi pada saat itu tidak ada gerakan penginjilan yang cukup berarti.
Apakah ini disebabkan kurangnya pendidikan teologi? Sama sekali tidak.
Sebaliknya, pada abad pertengahan ada tidak sedikit pendidikan teologi
dan diskusi atau perdebatan mengenai teologi. Hanya yang kurang pada
saat itu adalah pendidikan teologi yang cocok dengan kebutuhan zaman
dan yang setia pada amanat Tuhan Yesus.
Pada tahun 1500-1750, gereja Protestan (setelah reformasi) tidak
pernah mengadakan gerakan penginjilan yang cukup besar. Menurut
sejarawan, pada masa itu gereja tidak lagi tertarik pada penginjilan.
Mereka hanya disibukkan oleh usaha-usaha untuk memperkuat diri dan
tidak ada waktu serta keinginan untuk melakukan ekspansi keluar.
Selain itu daerah-daerah misi yang produktif juga sudah diduduki oleh
gereja Katolik.[19] Tetapi alasan yang utama adalah sebagian dari
Reformator tidak mempunyai konsep yang benar mengenai misi. Ada yang
menganggap pekerjaan penginjilan bukan tugas gereja dan ada juga yang
menganggap pekerjaan penginjilan ke seluruh dunia sudah digenapi pada
zaman rasul sehingga gereja tidak perlu lagi memikirkan hal tersebut.
Pandangan ini dipengaruhi oleh pengajaran abad pertengahan.[20] Namun
keadaan yang menyedihkan ini mulai berubah pada akhir abad ke-17,
khususnya pada abad ke-19 seiring dengan timbulnya gerakan misi modern
yang memberikan angin segar bagi gerakan penginjilan dan ini tidak
dapat dipisahkan dari peran sekolah teologi.
Pada masa sekarang, jika institusi pendidikan teologi ingin mempunyai
peran dalam gerakan penginjilan dunia dan perkembangan gereja Tuhan,
maka institusi teologi perlu meninjau kembali tujuan dan kurikulumnya.
Apakah pengajaran yang diberikan selama ini dapat melengkapi hamba
Tuhan dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus?[21]
Penutup
Jika kita mengharapkan penginjilan dapat dilaksanakan dengan baik dan
gereja Tuhan dapat bertumbuh subur, pertanyaan yang perlu kita ajukan
bukan hanya apakah ada sekolah teologi? Pertanyaan yang harus kita
ajukan adalah, pendidikan teologi yang bagaimana yang diberikan oleh
sekolah teologi? Tidak sedikit pendidikan teologi saat ini bukannya
membantu perkembangan penginjilan dan mempertumbuhkan gereja, tetapi
justru menjadi penghalang pekerjaan penginjilan. Karena itu, bagi
mereka yang berkiprah dalam pendidikan teologi seharusnya bertanya:
Apakah tugas utama dari sekolah teologi? Apakah sekolah teologi hanya
berupaya membentuk kehidupan spiritual seseorang? Sudah cukupkah jika
sekolah teologi hanya sekedar memberikan informasi perkembangan
teologi terkini? Apakah sekolah teologi hanya ingin membangun teologi
sendiri? Apakah hanya sekedar hendak mencetak teolog-teolog zaman ini
atau memperlengkapi hamba Tuhan dan gereja untuk menunaikan amanat
yang Tuhan berikan? Hanya pendidikan teologi yang berpusat pada Amanat
Agung Tuhan Yesus-lah yang dapat berjalan seiring dengan pekerjaan
penginjilan dunia.
Catatan Kaki:
- Thomas Wang, "Tantangan Amanat Agung," Chinese Churches Today I
(1990).
- Roger Hedlund, The Mission of The Church in the World
(Grand Rapids: Baker,1991) 32.
- Johannes Blauw, The Missionary Nature of the Church (Grand
Rapids: Eerdmans, 1962) 19, 22.
- Amanat Agung Tuhan Yesus terdapat dalam kitab Injil dan Kisah
Para Rasul (Mat. 28:18-20; Mrk. 16:15-16; Luk. 24:47-48; Yoh.
20:21; dan Kis. 1:8).
- Wang, "Tantangan Amanat Agung."
- Lausanne Leaders' Update (June 1988).
- Arthur Glasser, "Evangelical Missions" dalam Toward the 21st
Century in Christian Mission (ed. James Phillips & Robert Coote;
Grand Rapids: Eerdmands, 1993) 15-16.
- "Student Volunteer Movement" dalam Dictionary of Christian Church
(ed. J. D. Douglas).
- Wang juga menegaskan bahwa masih cukup banyak golongan orang yang
belum diinjili dan belum mempunyai gereja ("Tantangan Amanat
Agung").
- Johannes Verkuyl, Contemporary Missiology: An Introduction (Grand
Rapids: Eerdmans, 1987) 107; lihat juga Tetsunao Yemamori,
Penetrating Mission' Final Frontier (Downers Grove: InterVarsity,
1993) 178.
- Bdk. pandangan Hedlund (The Mission of the Church in the World
13), dengan pendapat J. I. Packer yang dikutip oleh John Stott,
yang mengatakan bahwa penginjilan bukan memberitakan kemudian
mengharapkan sesuatu terjadi. Memang benar sesuatu akan terjadi,
tetapi penginjilan adalah memberitakan kabar baik dan kita tidak
perlu tahu apakah sesuatu akan terjadi atau tidak (Mission Trends
2 h. 10). Entah apakah pengertian kata penginjilan ini akan
mempengaruhi orang Kristen sehingga mereka tidak memiliki
keinginan untuk berusaha membawa orang lain kepada keselamatan.
- Dikutip dari George W. Peters, A Biblical Theology of Missions
(Chicago: Moody, 1972) 209.
- David J. Hesselgrave, Planting Churches Cross-Culturally (Grand
Rapids: Baker, 1980) 29-33; Donald McGavran, Understanding Church
Growth (Grand Rapids: Eerdmans, 1970) 34. Bdk. dengan Jim
Reapsome, "What's Holding up World Evangelization, "Evangelical
Missions Quarterly 25/1 (1989), yang menjelaskan bahwa aliran
liberal yang hanya mementingkan perbaikan sosial dan politik, dan
membuang apa yang disebut misi yang menekankan keselamatan dalam
Yesus. Bagi mereka berita keselamatan sudah tidak relevan lagi.
- Power Through Prayer (Chicago: Christian Witness, 1970) 5.
- Diatas kayu salib Tuhan Yesus telah menggenapkan karya
keselamatan bagi manusia berdosa, tetapi berita keselamatan ini
harus diberitakan ke seluruh dunia supaya mereka yang
mendengarkan dan percaya dapat diselamatkan. Para pengikut-Nya
diperintahkan untuk memberitakan Injil kepada semua makhluk (Mrk.
16:15).
- Ralph Covell & Peter Wagner, An Extension Seminary Primer (S.
Pasadena: William Carey, 1973) 128; Roger Greenway & Timothy
Monsma, Cities Missions' New Frontier (Grand Rapids: Baker, 1989)
79, 87-90.
- Hesselgrave, Planting Churches Cross-Culturally 66, 69; James
Phillips & Robert Coote, Toward the 21st Century in Christian
Mission (Grand Rapids: Eerdmans, 1993) 273.
- World Christian Encyclopedia (New York: Oxford University
Press, 1982) 3.
- K. S. Latourette, A History Of Christianity (2 vols.; New York:
Harper & Row, 1975) 914-926.
- Ibid. 921, 926.
- Hesselgrave, Planting Churches Cross-Culturally 73-74; Liem Ik
Shin, "Pembinaan Murid dan Pemberitaan Injil," Amanat Agung 10
(1988). Bdk. Peter Wongso, The Theological Education For God's
People in the book of Number (Taipei: Campus Evangelical
Fellowship, 1988) 142-145.
Sumber : Veritas 3/2 (Oktober 2002), Hlm 217-223
|
|