DIUTUS DENGAN PAKSA? DI-EKBALLO?
Kisah Para Rasul pasal 8 mencatat tragedi yang terjadi pada umat
percaya. Pada waktu itu, mulailah penganiayaan yang hebat terhadap
jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke
seluruh daerah Yudea dan Samaria (Kis. 8:1 b). Pertanyaannya, dengan
urapan Tuhan dan kuasa-Nya, apakah Allah tidak sanggup menjaga
mereka dari penganiayaan? Sedemikian kejamkah Allah hingga Ia
membiarkan umat-Nya dalam penganiayaan? Bukankah Dia mempunyai
rencana yang indah untuk setiap orang percaya agar mereka hidup
berkelimpahan?
"Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku
mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai
sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan
kepadamu hari depan yang penuh harapan" (Yer. 29:11).
Tidak! Allah tidak kejam. Itulah rencana indah-Nya agar orang
percaya menjadi saksi-Nya sampai ke ujung bumi. Tuhan Yesus sudah
mengutus orang percaya dengan baik-baik (apostello) untuk menjadi
saksi, namun berbagai macam hal terjadi dalam jemaat mula-mula
sehingga mereka hanya terpaku di Yerusalem.
Jadi, Tuhan meng-ekballo, mengirim mereka dengan paksa melalui
penganiayaan ke tempat-tempat yang Tuhan Yesus perintahkan untuk
mereka datangi, yaitu Yudea dan Samaria. Mereka semua tersebar ke
seluruh daerah itu. Kata `tersebar` di sini dalam bahasa Yunaninya
adalah "diaspeira". Lebih mudah kita kenal dengan "diaspora". Kata
ini semula hanya dipakai untuk menggambarkan petani yang menebarkan
atau menyebarkan benih.
Demikianlah Tuhan menebarkan, menyebarkan `benih` Sumber Daya
Manusia-Nya untuk melakukan tugas misi dengan cara-Nya, yaitu
melalui penganiayaan sehingga melalui orang-orang percaya yang
tersebar ini, akses bagi Injil boleh terbuka kepada orang-orang di
Yudea dan Samaria. Kis. 8:4 menyaksikan bahwa mereka yang tersebar
itu menjelajah seluruh negeri sambil memberitakan Injil. Kenyataan
ini bisa terjadi karena mereka sebelumnya telah bertekun di dalam
pengajaran para rasul (Kis. 2:42). Mereka tentu telah diajar dan
mengerti bahwa mandat pemberitaan Injil yang ditugaskan Yesus
Kristus kepada para rasul adalah juga mandat bagi mereka yang telah
percaya kepada Yesus dan menjadi murid-Nya. Filipus, salah satu dari
tujuh orang yang diangkat oleh jemaat di Yerusalem untuk pelayanan
diakonia (Kis. 6:1-6), adalah seorang figur murid yang berkualitas.
Dia tentu terpilih karena dianggap mampu dan memiliki kesaksian yang
baik di tengah-tengah jemaat pada waktu itu. Filipus inilah yang
memberitakan Injil di Samaria. Mujizat dan kuasa Tuhan dinyatakan
melaluinya (Kis. 8:6,7). Bahkan, orang ini juga memberitakan Injil
kepada seorang pejabat tinggi dari negeri Etiopia (Kis. 8:26-38).
Injil adalah Berita Kesukaan, Kabar Gembira. Itulah yang menyebabkan
orang-orang percaya yang tersebar karena penderitaan itu tidak
mengeluh atau terlarut dalam kedukaan yang dalam. Sebaliknya, dengan
kuasa Roh Kudus mereka dimampukan untuk menjadi saksi-saksi-Nya bagi
banyak orang di Yudea dan Samaria. Injil yang penuh kesukaan membuat
mereka mampu menghadapi tantangan pada saat itu dan tetap teguh
bersaksi. Lihatlah akibat yang ditimbulkan dari pemberitaan Injil di
Samaria. Ada sukacita yang besar di kota itu (Kis. 8:8). Karena
Injil adalah Kabar Kesukaan, tidak mungkin Injil diberitakan dalam
kesedihan dan sungut-sungut. Dalam penganiayaan yang hebat itu,
orang-orang percaya tidak meratapi penderitaannya. Mereka tetap
bersukacita karena keselamatan dari Tuhan sehingga mereka dapat
memberitakan Injil dengan penuh sukacita.
Ketika mengalami penganiayaan dan penderitaan yang amat sangat, kita
tidak boleh terjebak dalam rasa kasihan terhadap diri sendiri karena
"Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm. 8:28).
Rencana Allah adalah mendatangkan kebaikan bagi umat-Nya. Mereka
yang telah percaya dan menerima Yesus Kristus menjadi Tuhan dan
Juruselamat adalah umat Allah, tetapi menjadi umat-Nya bukan lagi
menjadi hak satu bangsa saja, melainkan hak segala suku bangsa,
kaum, dan bahasa. Melalui peristiwa apa pun yang sedang terjadi
dalam dunia ini, betapapun sukar dan pahitnya, sesungguhnya Ia
sedang bekerja menggenapkan rencana kebaikan-Nya, rencana
keselamatan-Nya yang agung bagi segala bangsa.
Pada waktu meratapi nasib dan keadaan sulit yang kita alami, energi
kita akan banyak terkuras untuk itu dan semakin kita mencurahkan
pikiran untuk hal tersebut, kita akan semakin tenggelam dalam
permasalahan kita. Namun, pada waktu kita memandang kepada Kristus,
kita akan melihat bahwa dalam setiap kesulitan dan krisis selalu ada
kesempatan dan peluang untuk menjalankan kehendak-Nya yang mulia,
yaitu memberitakan Kabar Kesukaan itu. Kata `krisis` dalam bahasa
Cina adalah "weiji" terdiri dari kata "wei", artinya kesulitan, dan
kata "ji", yang artinya kesempatan (Jan Wong). Jadi, menarik jika
kita lihat bahwa dalam falsafah Cina saja, dalam setiap kesulitan
selalu ada kesempatan.
Tuhan mengizinkan penganiayaan hebat terjadi pada orang-orang
percaya di Yerusalem agar mereka bisa `keluar` dan pergi membawa
Kabar Baik kepada orang-orang lain yang belum pernah mendengarnya.
"Mungkin" Tuhan tidak akan perlu memakai "penganiayaan hebat" untuk
meng-ekballo orang-orang percaya agar pergi menjadi saksi-Nya
diseluruh Yudea dan Samaria seandainya mereka menaati firman-Nya
pada waktu mereka di-apostello, diutus dengan baik-baik dan dengan
hormat.
Sebagai kesimpulan, kita melihat bahwa dalam era kisah para rasul
pada abad pertama, misi dimulai bukan dari kemapanan sosial,
ekonomi, dan politik. Sebaliknya, misi dimulai justru di tengah-
tengah masa krisis sosial, ekonomi, dan politik. Misi dimulai bukan
ketika gereja sudah besar dan mapan, tetapi justru ketika gereja
masih kecil, sederhana, miskin, tidak punya gedung gereja, dan hanya
beranggotakan beberapa orang saja. Kita dipercayakan melayani-Nya
dalam `Yerusalem` kita, namun hendaknya itu menjadi landasan kita
untuk keluar dan membawa Kabar Keselamatan ke segala bangsa,
bukannya malah mengungkung Berita Keselamatan itu di dalam gereja
kita sendiri.
Allah sangat serius dengan misi sehingga Dia memberikan kehormatan
kepada kita untuk di-apostello, diutus dengan baik-baik sebagai
duta-duta-Nya yang membawa Kabar Kesukaan sampai ke ujung bumi.
Namun, jika kita menolak kehormatan ini dan mengabaikan rencana
keselamatan-Nya untuk dunia ini melalui kita, Allah dalam kasih dan
anugerah-Nya akan memakai cara mengirim atau mengutus dengan paksa
(ekballo) agar bangsa-bangsa lain dapat mengecap kebaikan Tuhan dan
bersuka cita dalam Berita Injil.
PELAJARAN DARI NABI HABAKUK
Nabi Habakuk, namanya berarti pelukan kasih (love`s embrace), hidup
dalam zaman yang begitu berat dengan krisis moral yang luar biasa.
Di sana terjadi penindasan, aniaya, kelaliman, kekerasan, dan
pertikaian di depan matanya. Hukum kehilangan kekuatannya; keadilan
tidak ada lagi. Orang benar dikelilingi oleh orang fasik. Keadilan
dan kebenaran diputarbalikkan. Yang benar dipersalahkan, yang salah
dibenarkan. Konglomerat menjadi semakin kaya, kaum melarat menjadi
semakin miskin dan hina (lihat Hab. 1:2-4).
Meskipun begitu, Habakuk tahu bahwa Tuhan dalam kemahatahuan-Nya
melihat semua yang terjadi. Habakuk tidak dikalahkan oleh krisis
di sekitarnya dan apa yang terjadi di depan matanya. Dia tahu bahwa
Allah berdaulat dan berkuasa atas segala sesuatu. Dia tahu bahwa
Allah tetaplah berdaulat di tengah-tengah krisis sosial, moral,
hukum, dan politik di dalam bangsanya. Habakuk tidak meratapi dan
mengutuk `kegelapan` yang terjadi disekitarnya. Tapi dia berdiri
`menyalakan lilin terang`. Apakah yang ia lakukan?
- Mengarahkan pandangannya kepada TUHAN dan bukan kepada krisis
(1:12).
- Menantikan TUHAN dalam doa yang berjaga jaga (2:1).
- Mendengar jawaban TUHAN dan menjadi pelaku Firman (2:2).
- Mengaplikasikan firman TUHAN dalam perencanaan yang praktis
(2:2).
Kunci kemenangan Habakuk adalah suatu pernyataan yang penuh kuasa
yang dikutip tiga kali dalam Perjanjian Baru (Rm. 1:17, Gal. 3:11,
dan Ibr. 10:38), yang berbunyi: "Orang yang benar itu akan hidup
oleh percayanya" (Hab. 2:4). Pernyataan hebat ini jugalah yang
mengubah haluan hidup Martin Luther, bapa reformasi gereja pada
akhir abad pertengahan.
Melalui perencanaan dari apa yang sebagian Tuhan nyatakan kepada
Habakuk, nubuatan misi sedunia yang luar biasa akan digenapi: "Bumi
akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan Tuhan, seperti air
yang menutupi dasar laut" (Hab. 2:14).
Habakuk membuka kitab ini dengan keluhan dan pemaparan krisis
multidimensi yang panjang dan tak berkesudahan. Lalu, ia mengakhiri
dengan doanya yang unik, doa yang disampaikan dengan nyanyian
ratapan. Di dalam pasal 3, Habakuk di tengah-tengah krisis dan
tragedi kemanusiaan yang terjadi di depan matanya, memproklamirkan
kedaulatan Allah Yang Maha Tinggi yang mengatasi segala langit.
Dalam kesesakan, krisis dan penderitaan Habakuk tetap bersuka-cita
dalam Tuhan, penuh semangat dan dinamika hidup serta teguh berdiri
dalam Tuhan. Ia tidak tergoyahkan oleh masalah, krisis, dan
pergumulan, seperti kesaksiannya:
"Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah,
hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak
menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan,
dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-
sorak di dalam Tuhan, beria-ria dalam Allah yang menyelamatkan
aku. Allah Tuhanku kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki
rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku." (Hab. 3:17-
19)
Bahan diambil dan diedit dari sumber:
Judul Buku | : | isi dari dalam Krisis |
Judul Artikel | : | Diutus Dengan Paksa? Di-Ekballo? |
Penulis | : | Bagus Surjantoro |
Penerbit | : | Obor Mitra Indonesia, Jakarta, 2003 |
Halaman | : | 10 - 16 |
e-JEMMi 18/2006