You are hereArtikel Misi / Menguak Tabir Kesehatan Mental bagi Para Misionaris
Menguak Tabir Kesehatan Mental bagi Para Misionaris
Bukan rahasia lagi bahwa kita berada dalam krisis kesehatan mental yang mengkhawatirkan.
Sebuah studi tahun 2020 yang diterbitkan oleh Substance Abuse and Mental Health Services Administration menemukan bahwa satu dari lima orang dewasa Amerika mengalami gangguan mental setiap tahunnya. Pada tahun 2021, para pemimpin nasional dalam komunitas medis pediatrik mendeklarasikan "keadaan darurat nasional dalam kesehatan mental anak-anak." Dan jangan sampai kita percaya bahwa ini adalah masalah yang hanya terjadi di Amerika, angka Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga serupa, dengan laporan bahwa sekitar satu dari lima anak dan remaja menderita penyakit mental secara global.
Satu dari lima orang dewasa. Satu dari lima anak-anak. Di keluarga, lingkungan, sekolah, tempat kerja -- dan di organisasi-organisasi pengutus kami.
Penyakit mental tidak memandang bulu, dan ini mempengaruhi banyak misionaris secara global. Sayangnya, banyak dari para misionaris yang sama ini menderita secara diam-diam, dan masalah mental mereka tetap tidak diobati. Mengapa demikian, dan apa yang dapat kita lakukan? Meskipun saya tidak dapat membahas setiap situasi, saya ingin membuat daftar empat alasan umum mengapa penyakit mental pada misionaris tidak tertangani, kemudian menawarkan saran tentang bagaimana melayani misionaris yang menderita.
1. Kewajiban terhadap Pendukung
Kenyataannya adalah bahwa kisah-kisah tentang pengorbanan dan penyerahan diri menjual. Mereka melembutkan hati, membangkitkan empati, dan membuka dompet. Saya telah berbicara dengan banyak misionaris yang merasakan tekanan untuk "tersenyum, diam, dan terlihat sibuk."
Saya menantang Anda untuk menemukan satu email pembaruan misionaris yang tidak menunjukkan kesibukan mereka. Dan saya menantang Anda untuk menemukan gereja, organisasi, atau pendukung yang tidak secara terang-terangan atau secara halus mendorong hal ini. Kita semua secara alamiah menginginkan hasil yang maksimal. Kita ingin cerita-cerita yang eksotis. Kita ingin bukti bahwa uang misi kita digunakan dengan baik. Dan para misionaris telah belajar untuk patuh, dengan senyum di wajah mereka dan buletin yang merinci kemenangan pelayanan.
Sebagai budaya Kristen, kita telah menempatkan misionaris di atas podium tertinggi. Sayangnya, podium adalah tempat yang sangat genting bagi mereka yang merasa sedikit goyah. Namun, mungkin yang lebih tragis daripada seorang misionaris yang berjuang mengibarkan bendera putih dari atas alas adalah mereka yang diam-diam berdiri dalam penderitaan mental, takut menjadi pahlawan yang jatuh berikutnya.
2. Ketakutan akan Implikasi Karier
Bayangkan ini. Seorang ayah berusia 36 tahun dengan tiga orang anak telah berkecimpung di bidang ini selama 10 tahun. Dia dan istrinya pindah ke luar negeri sebagai pengantin baru hanya beberapa bulan setelah lulus dari seminari. Rencana hidup dan lintasan kariernya selalu menjadi misi. Namun sekarang, ia menderita kecemasan yang melumpuhkan. Keluarganya berantakan. Namun ketakutan terbesarnya adalah bahwa berita itu akan sampai ke organisasi mereka. Atasannya akan mengetahui hal ini, dan keluarga mereka akan dianggap tidak layak untuk tinggal di luar negeri. Dia akan kehilangan pekerjaan dan menjadi tunawisma. Jadi dia akan tetap diam dan menderita dalam diam, tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
Ketika organisasi mengutus misionaris ke seluruh dunia ke lokasi yang miskin sumber daya, ada risiko yang jelas. Untuk mengurangi risiko-risiko ini dan untuk melindungi para misionaris, warga negara, dan organisasi, proses penyaringan dan pelaporan yang ekstensif dilakukan untuk memastikan kesehatan mental dan fisik orang-orang yang mereka utus. Hal ini perlu dan baik. Namun, ketika para misionaris diharapkan untuk langsung menemui majikan mereka dengan masalah kesehatan, dan ketika bantuan yang diterima terutama berasal dari mereka yang bertanggung jawab, budaya ketidakpercayaan, ketakutan, dan kerahasiaan dapat terjadi.
Bahkan ketika dibuat dengan niat yang terbaik, struktur untuk melindungi misionaris dapat secara tidak sengaja menyebabkan kerugian ketika penyakit mental datang, terutama jika misionaris takut akan kehilangan karier, rumah, dan impian pelayanan mereka.
3. Akses Terbatas ke Sumber Daya
Ketika kesehatan mental menjadi perhatian, praktik terbaik untuk perawatan sering kali melibatkan terapi. Kadang-kadang, obat-obatan. Selalu, perawatan diri dan komunitas. Namun, kepindahan ke luar negeri dapat menghilangkan akses ke masing-masing hal tersebut.
Bahkan pada masa sekarang dengan akses yang luas terhadap terapi virtual, faktor-faktor seperti hambatan hukum, internet yang tidak stabil, dan beban keuangan dapat membuatnya tidak terjangkau. Sementara itu, ketersediaan obat-obatan merupakan hal yang tidak pasti di banyak negara. Jalan dan sumber daya untuk perawatan diri terbatas di beberapa tempat, dan saran untuk "menikmati alam, berolahraga, dan menghabiskan waktu bersama teman" mungkin tidak mungkin dilakukan di lingkungan perkotaan dengan tingkat keamanan yang tinggi. Dan jangan lupakan banyak misionaris kita di lokasi-lokasi yang belum terjangkau tanpa gereja lokal atau orang percaya lainnya untuk mendampingi mereka di musim-musim penderitaan.
Perlahan-lahan, ketika pintu-pintu tertutup dan sumber daya tetap berada di luar jangkauan, penyakit mental dapat terasa semakin menakutkan bagi para misionaris yang sudah lelah.
4. Stres Kumulatif
Sudah banyak yang ditulis tentang pengalaman gegar budaya. Ketika seorang misionaris yang baru dan bermata berbinar tiba di lapangan, kita tahu apa yang akan terjadi. Yang jarang dibahas adalah efek kumulatif dari paparan yang hampir konstan terhadap tekanan budaya dan kondisi yang tidak terduga.
Ketika keluarga kami pertama kali pindah ke luar negeri, saya dan suami menyebutnya sebagai "keran air yang menetes". Tekanan hidup kami tidak pernah datang secara tiba-tiba. Sebaliknya, kami melihat bagaimana tetesan konstan dari kekacauan budaya lain, pemadaman listrik yang tidak nyaman, dan pertarungan yang tidak tepat waktu dengan parasit perlahan-lahan dapat melelahkan kami.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, kami secara bersamaan merasakan disonansi kognitif dalam menjalani kehidupan ekspatriat yang istimewa di tengah-tengah salah satu negara termiskin di dunia. Dikelilingi oleh kesedihan dan kematian, kami merasa bersalah karena merasa stres. Karena kami tidak mengalaminya seburuk orang lain yang mengalami trauma "big T" (= terkait dengan peristiwa atau situasi yang mengancam jiwa, bisa berupa bencana alam, kejahatan dengan kekerasan, penembakan di sekolah, atau kecelakaan mobil yang serius, dan juga trauma psikologi akut seperti kematian orang tua, juga trauma kronis seperti pelecehan berulang dan sebagainya, Red.).
Bagaimana Kita Dapat Membantu
Baik para misionaris yang menghadapi tekanan budaya yang terus menerus atau gelombang trauma yang signifikan, kita tidak perlu heran jika mereka bergumul dengan kesehatan mental. Tentu saja, para misionaris harus siap untuk menderita. Namun, bukan berarti mereka harus menderita secara diam-diam. Dan itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk tidak memiliki kesadaran atau kepedulian atau empati.
Sebagai pendukung, kita harus mengingat kemanusiaan para misionaris di balik kartu doa. Kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tajam, seperti: "Bagaimana perjalanan Anda dengan Kristus?" "Apa yang membuat Anda tidak membaca buletin?" "Apa yang terasa menantang akhir-akhir ini?" "Apakah Anda didukung dengan baik?" Dan kita tidak boleh menunda-nunda untuk mendorongnya ke arah pertolongan. Kita dapat mendorong untuk beristirahat, memberikan uang untuk liburan, dan menormalkan kehidupan pelayanan yang menyeluruh.
Sebagai gereja pengutus, kita harus ingat bahwa tugas kita tidak berakhir ketika para misionaris ditugaskan. Kita harus tetap peduli dan melanjutkan penggembalaan, bahkan jika itu berarti terbang melintasi dunia untuk duduk bersama orang-orang yang sedang mengalami penderitaan. Bahkan jika itu berarti menyediakan tempat tinggal ketika mereka tiba-tiba kembali ke Amerika Serikat.
Sebagai organisasi pengutus dan gereja, kita harus memperluas akses ke layanan konseling independen. Kita dapat menyediakan jalan untuk mendapatkan dukungan yang tidak datang dari para pengawas. Kita dapat menawarkan nama-nama konselor yang telah diperiksa dan mensubsidi biaya yang sering kali mahal. Kita seharusnya tidak hanya melakukan hal ini sebagai respons terhadap masalah; sebaliknya, kita dapat mempromosikan perawatan pencegahan sebelum krisis datang.
Sebagai saudara dan saudari yang peduli, kita dapat menguak tabir kesehatan mental dengan membicarakannya secara terbuka dan sering. Dukungan yang konsisten akan mendorong kita untuk maju; bisikan yang diam tidak akan pernah berhasil. Satu dari lima orang itu sangat berharga. Para misionaris kita sangat berharga.
(t/Jing-jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | The Gospel Coalition |
Alamat situs | : | https://thegospelcoalition.org/article/mental-health-missionaries |
Judul asli artikel | : | Demystify Mental Health for Missionaries |
Penulis artikel | : | Catherine Allison |
- Login to post comments
- 1690 reads