You are herepenjangkauan / Firman Allah Berbicara dalam Bahasa dan Budaya Lokal
Firman Allah Berbicara dalam Bahasa dan Budaya Lokal
Mengapa belajar Alkitab? Membaca Alkitab adalah salah satu bentuk komunikasi dengan Allah, dan bukan perkara yang mudah untuk membaca Alkitab. Dalam salah satu bukunya, Andar Ismail mengatakan bahwa membaca Alkitab itu seperti masuk dalam satu perpustakaan besar, di mana di situ terdapat berbagai macam buku. Ada buku puisi, surat-surat, ada buku-buku tentang sejarah, dll. Dan, semuanya itu dijadikan satu dalam Alkitab. Jadi, memang tidak mudah membaca Alkitab. Akan tetapi, semakin kita membaca Alkitab, semakin kita akan merasa tertarik karena selalu menemukan Allah di sana. Dan, membaca Alkitab dengan bahasa ibu akan sangat membantu kita untuk dapat merasakan kebenarannya dari dalam hati. Membaca Alkitab dengan bahasa Indonesia akan membantu kita dalam berpikir, sementara membacanya dalam bahasa ibu kita masing-masing akan membantu peresapan maknanya.
Bagaimana Allah berbicara melalui firman-Nya kepada manusia? Yohanes 1 menyatakan, "Pada mulanya adalah firman dan firman itu bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah." Jadi, firman itu sendiri adalah Allah. Kemudian, pada ayat 14 dinyatakan, "firman itu telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai anak tunggal Bapa penuh anugerah dan kebenaran." Jadi, firman itu Allah dan firman itu menjadi manusia. Dalam Perjanjian Baru, kita melihat bahwa Allah mengutus anak-Nya beberapa ribu tahun lalu.
Bagaimana dengan sekarang? Pada masa kini, Tuhan ingin berhubungan dengan kita melalui banyak cara, dan salah satunya melalui firman-Nya yang tertulis, yaitu Alkitab. Kelahiran Yesus menunjukan kepada kita cara yang Allah gunakan untuk berhubungan dengan kita. Jadi, bukan hanya karena cinta Allah yang begitu besar sehingga Allah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal. Dia menjadi sama dengan kita agar Allah bisa dekat dengan manusia dan berbicara dalam bahasa kita. Itulah tujuan Allah.
Bagaimana awal terjadinya keanekaragaman bahasa? Jika membaca di Alkitab kita akan menemukan bahwa kisah Nuh menjadi awalnya. Setelah peristiwa air bah itu, Allah memerintahkan manusia untuk bertambah banyak dan memenuhi bumi. Akan tetapi, apa yang manusia lakukan? Manusia justru melakukan sebaliknya. Mereka tidak mau memenuhi bumi, tetapi justru memiliki kesombongan diri dan membuat menara Babel untuk menunjukkannya. Menara yang cukup tinggi itu dibuat supaya manusia terkumpul dan tidak terserak di bumi. Oleh karena itu, respons Allah kemudian adalah mengacaukan bahasa manusia saat mereka tengah membangun menara Babel sehingga mereka tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Lalu, beberapa orang yang berbicara dengan bahasa sama, yang bisa saling memahami, pergi bersama-sama dan tinggal di belahan dunia yang lain. Dan, itu terjadi pada kelompok-kelompok manusia dengan bahasa-bahasa lainnya juga. Jadi, tujuan Allah mengacaukan bahasa pada waktu itu adalah untuk mengembalikan tujuan-Nya yang semula, yaitu agar umat manusia ini menyebar ke seluruh dunia, bertambah banyak, dan memenuhi bumi. Untuk itu, berarti manusia harus tersebar ke seluruh wilayah bumi agar semua sisi wilayah bumi dipenuhi, tidak hanya pada satu wilayah/sisi dunia saja. Inilah bagaimana awal dari keanekaragaman bahasa di dunia.
Lalu, bagaimana Allah merespon keanekaragaman? Keanekaragaman bahasa dan budaya merupakan hal yang sesuai dengan rencana Allah. Allah senang dan menghargai keanekaragaman, sehingga ia mengacaukan bahasa agar manusia terpencar ke seluruh dunia. Dan, semua bahasa adalah sama di mata Tuhan. Bahasa adalah sarana meneruskan kebijaksanaan Allah dan digunakan untuk menyampaikan firman-Nya, untuk meneruskan pekerjaan-Nya, sehingga tidak ada satu bahasa yang lebih unggul daripada bahasa yang lain. Berita Injil harus menembus pola pandang setiap orang Kristen, dan cara yang terbaik adalah dengan menggunakan bahasa ibu (daerah/lokal) yang merupakan sarana kebudayaan. Jadi, satu bahasa itu tidak berdiri sendiri. Bahasa adalah bagian dari budaya, dan satu bahasa membawa budaya.
Kita dapat melihat satu cerita tentang sejarah tentang penerjemahan Alkitab, dari William Cameron Townsend atau sering disebut uncle Cam. Ceritanya sendiri terjadi pada sekitar abad 20 atau tahun 1915 atau 1917-an. uncle Cam yang saat itu masih berusia muda dan kuliah di Amerika Serikat tertarik mendaftarkan diri sebagai volunteer untuk menjual Alkitab dalam bahasa Spanyol pada The Bible House of Los Angeles. Pengajuan dirinya diterima, dan dia diutus untuk pergi ke salah satu negara di Amerika tengah, yaitu Guatemala. Itu merupakan sebuah peluang yang besar, karena di sana sangat sulit untuk menemukan Alkitab. Pada awalnya, ia berpikir bahwa kalau ia berjualan di sana pasti akan laris karena Alkitab sangat sulit di sana. Namun, ternyata pemikirannya itu salah karena ada ribuan orang di sana, salah satunya suku Indian (suku Acikel) yang sama sekali tidak mengerti bahasa Spanyol. Padahal, Alkitab yang dijualnya itu Alkitab berbahasa Spanyol, dan suku tersebut juga sama sekali tidak mempunyai sistem bahasa tulis. Mereka hanya memiliki bahasa verbal. Dengan demikian, Alkitab dengan bahasa tulis bahasa Spanyol sepertinya sia-sia untuk dijual di sana. Nah, sewaktu uncle Ken ini melakukan perjalanan di daerah tersebut, dia mulai terbiasa mendengarkan bahasa Acikel di sana dan belajar sedikit demi sedikit. Akhirnya, dia merasa terbeban dengan keadaan itu. Suatu saat, salah seorang dari suku itu datang kepadanya dan berkata demikian, "Hai, jika Allah yang kamu sembah itu benar-benar pintar, mengapa Dia tidak bisa mempelajari bahasa kami? Mengapa dia hanya berbicara dalam bahasa Spanyol?" Mendengar itu, uncle Cam tersentak dan merasa tertantang. Selanjutnya, dia memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya selama 13 tahun bagi suku Acikel Indian itu. Dan, selama 13 tahun itu, dia belajar bahasa Acikel serta mempelajari sistem tulisannya yang tadinya belum ada. Akhirnya, dia mempelajari Alkitab dengan bahasa Acikel, dan sesudah 10 tahun akhirnya dia berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru, yaitu sekitar tahun 1929. Jadi, peristiwa itu memantapkan hatinya bahwa penerjemahan Alkitab adalah penting, agar orang-orang tahu dan mengenal firman Tuhan dalam bahasa yang mereka mengerti. Setelah itu, ia ingin untuk bisa menerjemahkan Alkitab dalam bahasa lain yang belum memiliki bahasa tulis. Salah satu quotenya berkata, "Misionaris yang terbesar adalah Alkitab itu sendiri, Alkitab dalam bahasa ibu." Misionaris masih membutuhkan cuti, dia juga seorang suku bagi suku atau bangsa yang didatanginya dan menjadi prang asing. Namun, Alkitab dalam bahasa ibu adalah salah satu yang terbesar dalam pekerjaan misi karena tidak memerlukan cuti dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang asing.
Apakah kita memiliki identitas baru jika kita berada di dalam Kristus? Dengan belajar Alkitab (firman Tuhan) dalam bahasa yang kita pahami, kita akan mengenal Kristus dengan identitas yang kita miliki. Artinya, kita tidak perlu belajar bahasa asing untuk dapat mengenal Kristus. Kristus bisa kita pahami dalam bahasa kita sendiri. Identitas kita sebagai pengikut Kristus adalah identitas sebagai warga kerajaan Allah (anak-anak Allah). Namun, identitas kita yang berasal dari suku, budaya, dan bahasa tertentu tetap ada.
Dalam Kisah Rasul 2:1-13, dalam ayat 11 dikatakan, "kita mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah." Ini adalah tentang peristiwa Pentakosta. Setelah Roh Kudus datang dan diberikan kepada para Rasul, orang-orang yang berasal dari berbagai bangsa bisa mendengar para Rasul ini berbicara dalam bahasa mereka masing-masing. Padahal, orang banyak itu terdiri dari berbagai suku dan bahasa. Dan, apa yang mereka dengar adalah tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah. Jadi, di situ iman sangat berperan menguatkan orang-orang yang mendengar. Mereka sangat mengerti perbuatan Allah karena hal-hal itu didengar dalam bahasa mereka. Dan, apa yang terjadi? Ada 3.000 orang dibaptis karena mereka mendengar khotbah para Rasul, terutama Petrus. Jadi, orang Kristen akan memiliki pemahaman iman yang kuat jika mereka memiliki firman Tuhan dalam bahasa yang mereka pahami. Karena sangat memahaminya, mereka jadi sangat meresapinya. Firman itu tidak hanya sampai dalam pikiran mereka, tetapi juga ke hati. Seperti yang pernah disampaikan Nelson Mandela, "Jika kamu berbicara dengan seseorang dengan bahasa yang mereka mengerti, maka hal itu hanya sampai pada pikiran mereka. Tapi, kalau kamu berbicara dengan bahasanya, maka hal itu akan sampai di hati."
Para pemimpin gereja harus memikirkan supaya anggota jemaat mereka menerima makanan rohani dalam bahasa yang mereka pahami tanpa memandang status sosial, jenis kelamin, dan umur. Salah satu contoh dari konteks ini adalah gereja Kyai Sadrach, di desa Karangyoso, Kutoarjo, Kabupaten Purworejo. Gereja ini menjadi bukti dari salah satu kesuksesan pada bagaimana penginjilan di tanah Jawa waktu itu berhasil karena Kyai Sadrach menggunakan Alkitab bahasa Jawa, menggunakan musik, menggunakan tata cara Jawa untuk menjangkau orang-orang yang belum percaya. Dan, jika dilihat, bangunan gerejanya masih berupa bangunan mesjid yang sampai sekarang belum diubah, dan tidak memiliki lambang salib. Namun, itulah tempat pertemuan dengan Allah, itulah gereja Allah. Dan, hasilnya spektakuler. Waktu itu Kyai Sadrach mempunyai pengikut sebanyak 6.000 orang -- lipat dua kali dari kisah Petrus di Kisah Para Rasul -- dengan pendekatannya yang menggunakan bahasa dan budaya. Jadi, kalau anggota jemaat bisa menerima makanan rohani dalam bahasa mereka, maka akan semakin banyak pemimpin gereja yang mendorong penggunaan Alkitab. Jadi, tidak sekadar tersedia Alkitabnya saja, tetapi juga didorong supaya semakin banyak orang percaya yang membaca Alkitab dalam bahasa mereka dan kemudian merenungkannya. Dan, tidak cukup merenungkannya, tetapi juga membagikannya supaya membawa banyak jiwa datang kepada Kristus.
Ada banyak kesaksian tentang suatu tempat yang masyarakatnya belum pernah memiliki produk tertulis apa pun dalam bahasa mereka. Namun, tiba-tiba ada produk tertulis, dan itu adalah Alkitab, firman Tuhan. Dan, itu pertama kalinya mereka dengar, lalu masuk ke dalam hati mereka. Dan, mereka menjadi percaya. Kita dapat melihat bagaimana Tuhan menghargai bahasa dan budaya, dan itu dapat kita lihat di Wahyu 7:9-10, "Setelah itu aku melihat sesungguhnya suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat dihitung banyaknya." Itu adalah kumpulan yang sangat besar sehingga tidak dapat dihitung. Mereka berasal dari segala bangsa dan suku dan umat dan bahasa, dan mereka berdiri di hadapan tahta dan Anak domba. Ini menggambarkan bahwa suatu saat nanti kita melihat kumpulan orang banyak dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan budaya. Itu menandakan bahwa Tuhan menghargai keanekaragaman dan Ia mau setiap suku bangsa datang kepada Tuhan. Tidak hanya suku tertentu dengan bahasa tertentu, tetapi semua suku bangsa datang menghadap Tuhan.
Mari kita lihat, sebenarnya ada berapa bahasa di dunia dari situs ethnologue. Ada sekitar 7.117, atau tujuh ribuan bahasa di dunia. Ini adalah status sekarang pada tahun 2020 yang disebut living language, yaitu bahasa yang masih dituturkan. Namun, dari 7000an bahasa itu, 40 persennya sekarang dalam situasi yang membahayakan, atau akan terancam punah. Bahkan, penutur dari bahasa itu sudah kurang dari 1.000. Padahal, kalau penuturnya hilang, bahasa itu akan punah. SIL (Summer Institute of Lingusitic) melakukan penelitian dari tahun ke tahun dan merilis setiap beberapa tahun, di mana di dalamnya dapat terlihat bahwa jumlah bahasa-bahasa ibu itu selalu cenderung menurun. Dan, sekarang ini hanya ada 32 bahasa yang dituturkan secara besar di dunia ini, di mana bahasa Indonesia termasuk salah satunya. Bahasa Indonesia persentasenya paling banyak, kalau dilihat dari regionalnya 32. Jadi, kita bisa cukup bangga. Bagaimana dengan posisi bahasa Indonesia di dunia? Kalau dilihat, Indonesia berada di posisi no.2 negara dengan bahasa yang terbanyak. Jadi, kita patut bangga karena Indonesia juga punya kekayaan yang luar biasa. Kekayaannya berupa kekayaan bahasa, yang juga terkait dengan budaya. Jadi, kekayaan Indonesia dalam hal bahasa dan budaya adalah no.2 terbanyak di dunia. Yang memiliki jumlah bahasa suku pertama adalah negara tetangga kita, Papua Nugini. Untuk Indonesia, Papua memiliki jumlah bahasa daerah yang paling besar, yaitu 275 bahasa. Dan, populasi Kristen di Papua adalah 10 persen, di mana 80% dari mereka berbicara dalam bahasa ibu. Jadi, bahasa ibu belum tentu bahasa daerah. Bahasa ibu adalah bahasa yang kita kenal dan dituturkan sehari-hari semenjak kecil. Namun, 50% dari bahasa yang terdapat di Indonesia -- sekitar 300an bahasa -- statusnya masih aman karena dituturkan oleh semua genarasi. Akan tetapi, 50% sisanya terancam punah kalau generasi berikutnya tidak menuturkan bahasa itu. Dulu ada 746 bahasa, kemudian menurun menjadi 726, 719. Namun, sekarang tinggal 709 bahasa, dan itu mungkin akan turun lagi jumlahnya. Kalau kita sekarang, atau 10 tahun, 20 tahun ke depan tidak lagi menuturkan bahasa-bahasa tersebut, ke depan akan semakin signifikan terjadi penurunan angkanya.
Bagaimana dengan penerjemahan Alkitab? Untuk firman Allah dalam bahasa yang paling dimengerti, saat ini ada 170 bahasa yang sedang dilakukan penerjemahan Alkitabnya oleh Yayasan Suluh Insan Lestari. Ada Alkitab yang sudah selesai dengan terjemahan Perjanjian Lama, tetapi belum selesai dengan Perjanjian Baru. Yang dikerjakan biasanya terjemahan PB dulu, baru kemudian kerjakan PL. Kemudian ada yang berupa porsi, atau terjemahan hanya dari bagian-bagian Alkitab (ex: Mazmur, Amsal, dsb). Dan, masih ada 212 bahasa yang masih membutuhkan penerjemahan. 212 bahasa ini adalah bahasa yang sudah diekspresikan dan sudah diteliti, dan sudah ada permintaan dari komunitas pengguna bahasa ini untuk menerjemahkannya. Masih banyak pekerjaan rumah dari penerjemahan Alkitab untuk membawa suku-suku itu datang kepada Tuhan. Masih mengerjakan 170 terjemahan Alkitab, tetapi sudah ada 212 bahasa yang masih mengantri untuk diterjemahkan.
Pelayanan pekabaran Injil melalui bahasa dan budaya itu seperti apa? Terdapat 3 komponen, yaitu:
- Scripture fondation (langkah awal/dasar)
- Scripture development (pengembangan)
- Scripture use (penggunaan)
Jadi, saat melakukan pelayanan pekabaran Injil, ada 3 komponen ini, yaitu: dasar, pengembangan, dan penggunaan.
Dasar itu ada beberapa macam, yaitu pelayanan sebelum masuk ke wilayah tertentu untuk memulai penerjemahan di mana harus diperlukan 1 assignment bahasa. Assignment bahasa itu adalah menilai bagaimana kondisi bahasa itu: apakah kuat, apakah lemah, apa sudah ada bahasa tulisannya, apakah belum? Sistem abjad itu disebutnya ortografi. Ortografi itu kalau dibayangkan dalam abjad bahasa Indonesia ada 25 abjad. Akan tetapi, di beberapa tempat di Indonesia ada bahasa yang tidak punya huruf F, tidak punya V, atau punya TH yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa tertentu yang belum mempunyai sistem penulisan, biasanya akan kesulitan dalam mewujudkan bahasanya dalam bentuk tulisan. Jadi, perlu dibuat ortografi. Kemudian, ada languange mapping atau peta bahasa yang bukan sekadar bentuk peta, tetapi lebih pada pemetaannya. Kalau bahasa yang diteliti ternyata sudah tidak dituturkan, maka petanya akan menyesuaikan. Lalu, jika situasi bahasanya ternyata hanya dituturkan sekali, itu akan membawa beberapa pengaruh, seperti sosio linguistik, tentang linguistik (sains).
Kemudian, juga ada pelayanan yang dasar sebelum masuk dalam proyek penerjemahan. Sebagai contoh, ternyata ditemukan di satu wilayah ternyata belum ada tingkat keaksaraan, atau ingkat buta aksaranya masih tinggi sehingga kalau Alkitab diterjemahkan dan ditulis, pendidikan keaksaraan diperlukan agar masyarakatnya bisa membaca. Jadi, ada pendidikan keaksaraan melalui bahasa ibu, terutama melalui bahasa-bahasa yang masih minoritas (monolinguo), atau yang masih menuturkan bahasa lokal dengan kuat.
Kemudian, ada juga pelayanan melalui community development, yaitu pelayanan melalui pengembangan masyarakat untuk nanti sampai ke penerjemahan. Setelah hal itu dikembangkan, maka proyek akan bisa masuk ke penerjemahan, yang bisa diawali dulu dengan penerjemahan cerita Alkitab. Assignment yang dilakukan akan menentukan situasinya. Lalu, dikembangkan juga materi-materi pemuridan. Dan, ada juga pengembangan latihan software untuk terjemahan serta obiporsion. Obiporsion adalah proses untuk merekam jika misalnya kitab itu sudah ada yang jadi secara porsi atau secara bagian, atau bukan secara keseluruhan. Untuk kitab yang penuh/lengkap, ada metode merekam tersendiri, yaitu FCDE. Kitab itu akan didengarkan oleh yang sudah lansia, atau didengarkan untuk melihat ketertarikan mereka, atau bahkan itu digunakan untuk melihat apakah akan lanjut (pengerjaan) ke kitab berikutnya.
Terakhir, penggunaan. Untuk penggunaannya bisa dilakukan dengan menggunakan film Yesus dari LPMI. Biasanya penerjemahan Perjanjian Baru mulainya dari Lukas karena film Yesus berdasarkan dari Lukas, sehingga kalau sudah ada penerjemahan akan lebih mudah untuk menerjemahkan ke film Yesus. Kami juga melatih bagaimana menerjemahkan dan mengecek film Yesus, kemudian merekam sampai film Yesus itu jadi dalam bahasa tersebut.
Kemudian ada pelayanan sekolah minggu dan pelayanan ethnoart. Ethnoart itu seni budaya lokal untuk pemahaman firman Tuhan melalui alat musik tradisional, tarian, puisi, dsb. Ada pula pelayanan pemulihan trauma. Kadang-kadang, ketika seseorang mengalami trauma, mereka akan paling dapat mengekspresikan pikiran dan pergumulannya itu dalam bahasa ibu. Itu salah satu alasan mengapa dilakukan pelayanan pemulihan trauma. Terdapat pula pelayanan pelatihan survival, pelayanan untuk fasilitator anak-anak dalam program pemulihan trauma akibat bencana, dan beberapa pelayanan lain yang berbasis bahasa.
Penerjemahan Alkitab sudah dilakukan untuk banyak bahasa, tetapi ada satu penerjemahan Alkitab dengan bahasa yang belum dilakukan. Pengguna bahasa ini juga salah satu yang dapat kita sebut sebagai suku terabaikan, teman terabaikan. Mereka mungkin keluarga kita, teman kita, saudara kita, tetapi mereka belum mendapat akses penuh untuk firman Tuhan. Mereka adalah kaum tuna rungu, di mana bahasa isyarat Indonesia atau misindo/sibi menjadi bahasa ibu mereka. Jadi, salah satu pelayanan ini adalah pelayanan Alkitab dalam bahasa isyarat Indonesia dan misindo. Bentuk Alkitab bagi saudara-saudara kita ini bukan berupa tulisan, tetapi berupa video dalam bahasa isyarat. Banyak kesaksian yang diterima setelah video ini disaksikan oleh kaum tuna rungu, di mana waktu mereka melihat film itu mereka terpana. Mereka berkata, "Ternyata Yesus bisa bicara bahasa saya. Ternyata Yesus mengerti waktu saya bicara dalam bahasa ibu saya. Saya tidak perlu bahasa lain untuk bicara dengan Tuhan. Tuhan tahu waktu saya berdoa dan Tuhan mengerti bahasa saya, dan Dia bicara itu dengan bahasa saya. Dan, saya menjadi lebih mengerti."
Ada kesaksian tentang bagaimana beberapa majelis GTM (Gereja Toraja Mamasa) yang pernah mendapat pelatihan merasakan bahwa budaya itu ciptaan Tuhan, dan seharusnya memang digunakan untuk kemuliaan Tuhan. Jadi, ada banyak gereja Tuhan dengan komunitas yang tidak berbahasa Indonesia. Mereka banyak menggunakan bahasa daerah, bahasa lokal, tetapi mereka belum memiliki Alkitab dalam bahasa mereka. Kadang-kadang pendeta harus tetap membacakan dalam bahasa Indonesia, tetapi kemudian harus menjelaskan ulang saat berkhotbah dalam bahasa setempat, baik Alkitab maupun isinya. Dari sana kemudian ada banyak orang yang menyadari bahwa pekerjaan penerjemahan Alkitab melalui budaya apa pun dapat membangkitkan kesadaran komunitas lokal akan bahasa dan budaya mereka.
Di Toraja, gereja setempat yang memulai pelayanan sekolah minggu berkeinginan untuk menerjemahkan cerita-cerita Alkitab. Sekarang, sudah terdapat 100 lebih cerita Alkitab dalam bahasa Toraja. Dan, ethnoart dalam bentuk alat musik dipakai. Jadi, satu cerita Alkitab dibuat sebagai satu lagu oleh mereka sendiri yang membuat anak-anak akan lebih cepat menangkap cerita Alkitab kalau itu dinyanyikan. Jadi, sekarang sudah terdapat sekitar 50% lagu yang sudah diselesaikan, yaitu 60 lagu yang disukai anak-anak untuk dinyanyikan dalam kegiatan sekolah minggu mereka. Dan, Gereja Toraja sungguh luar biasa mendorong anak-anak untuk menggunakan lagu-lagu itu.
Yang terakhir, Yayasan Suluh Insan Lestari juga mengadakan kegiatan untuk program kesehatan dalam bahasa Ibu selama masa pandemi ini, yaitu dengan menerjemahkan komik Weiman Kow "About Corona Virus" dari bahasa Inggris ke dalam berbagai bahasa dengan dukungan SIL internasional. Ada sekitar 60an bahasa yang sudah diterjemahkan oleh volunteer dan dimasukkan dalam software Bloom. Hasil komik yang telah selesai kemudian bisa diunduh dalam bentuk pdf atau buku bacaan di aplikasi android. Lebih lanjut tentang hal ini bisa lihat melalui situs suluh.org. Melalui komik tersebut terdapat cara-cara untuk mencuci tangan dengan kearifan lokal. Hasilnya, bahan-bahan itu sudah diunduh dan dibuat dalam bentuk poster dan brosur di beberapa daerah untuk dapat menjangkau pemberian informasi kesehatan ini secara lebih luas.
Diambil dari: | ||
Judul artikel | : | Firman Allah Berbicara dalam Bahasa dan Budaya |
Pemateri | : | Veni Setiawati |
Arsip | : | https://live.sabda.org/article.php?title=firman_dalam_bahasa_suku |
Slideshare | : | https://www.slideshare.net/sabda/mengapa-belajar-alkitab-firman-allah-berbicara-dalam-bahasa-dan-budaya-lokal |
Processed video presentasi: https://youtu.be/2P9reEFUzkE
Full live-stream video: http://www.youtube.com/watch?v=jSbZpVN-JL0
- Login to post comments
- 1855 reads