39. SENJATA? ATAU SABDA ALLAH?
(Amerika Utara, 1631 - 1690)
John Eliot bersandar pada kayu rimbat ketika kapal layar yang
sedang ditumpanginya itu memasuki pelabuhan kota Boston. Waktunya,
bulan November tahun 1631. Sesudah tujuh minggu melintasi Lautan
Atlantik, John Eliot sempat melihat negeri yang akan menjadi tempat
tinggalnya yang baru.
John Eliot baru berusia 27 tahun; namun di tanah airnya,
negeri Inggris, ia sudah cukup ternama. Di Universitas Cambridge yang
terkenal itu ia telah diwisuda pada umur yang sangat muda: baru 18
tahun! Kemudian ia menjadi seorang guru dan pendeta pembantu.
Namun John Eliot merasa tidak betah tinggal di tanah airnya.
Raja Ingris dan para pemimpin gereja segan memberi kebebasan beragama
kepada orang-orang Kristen yang tidak sependapat dengan mereka. Sejak
tahun 1620, sebelas tahun yang lalu, ada orang-orang Kristen Inggris
yang mulai mengungsi ke daerah Massachusetts, Amerika Utara, agar
mereka dapat berbakti menurut keyakinan mereka sendiri. Kini John
Eliot hendak menggabungkan diri dengan kelompok kecil pendatang baru
itu.
Pada saat pendeta muda itu sedang mengamat-amati pemandangan
di pelabuhan kota Boston, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik
perhatiannya: Sebuah perahu meluncur dari pantai menuju ke kapal yang
sedang di tumpanginya. Beberapa orang yang berkulit agak
kecoklat-coklatan mendayungkan perahu itu. Mereka berpakaian kulit
binatang dan bulu burung. Sambil berdayung di sekeliling kapal layar
yang baru tiba dari Inggris itu, mereka bercakap-cakap dengan bunyi
yang aneh, seolah-olah dari tenggorokan dan bukan dari mulut.
John Eliot menarik napas panjang. Dalam hati ia berkata: Wah,
pasti ini orang-orang suku Indian!
Sudah lama ia mendengar tentang orang-orang suku Indian,
tetapi baru sekarang ia sempat melihat mereka dengan mata kepala
sendiri. Teringatlah dia bahwa di antara mereka ada yang bersikap
ramah tehadap para pendatang baru, seperti misalnya seorang kepala
suku yang bernama Massasoit. Tetapi ada juga orang-orang Indian yang
menentang kehadiran kaum kulit putih, bahkan sampai terjadi
penumpahan darah.
John Eliot tahu ada orang-orang Kristen yang menganggap para
penduduk pribumi Amerika Utara itu sebagai binatang buas yang harus
disingkirkan saja. "Serigala berotak manusia," demikianlah salah
seorang pemimpin gereja menghina mereka. Namun Pdt. Eliot masih juga
teringat akan teguran seorang pemimpin Kristen di Inggris terhadap
saudara-saudara seimannya yang telah pergi ke daerah Massachusetts
itu: "Mengenai orang-orang pribumi yang tewas itu, alangkah indahnya
jika kalian lebih dulu membimbing mereka sehingga di antara mereka
ada yang bertobat dan percaya!"
Istri dan anak-anak gubernur daerah Massachusetts telah
menjadi kawan sekapal John Eliot selama menjelajahi lautan. Sang
gubernur sendiri datang ke pelabuhan kota Boston untuk menyongsong
kedatangan keluargannya. Ia juga menyambut pendeta yang masih muda
itu. "Selamat datang, Pak Pendeta! Sudah ada gereja dan jemaat yang
sedang menunggu pelayanan Bapak!"
Pendeta Eliot tentu merasa senang diterima dengan begitu
ramah. Namun ia masih tetap memikirkan orang-orang suku Indian itu;
matanya masih melirik ke arah perahu mereka yang sedang menuju
pantai.
Siapakah yang akan melayani mereka? Siapakah yang akan
mengajarkan mereka Sabda Allah? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
tetap berkumandang dalam benaknya . . . .
Berpuluh-puluh tahun lamanya John Eliot melayani dengan setia
di daerah Massachusetts mula-mula di Boston, dan kemudian di sebuah
desa yang letaknya tiga kilometer dari kota itu. Pada tahun 1632,
tunangannya dari Inggris menyusul, dan mereka pun menikah.
Para anggota jemaat amat mengasihi Pendeta Eliot. Khotbahnya
sederhana, namun mengandung arti yang dalam. "Di pinggir ada perairan
yang cukup dangkal, sehingga anak-anak domba dapat bermain dengan
aman," demikianlah salah seorang anggota gerejanya menggambarkan cara
John Eliot berkhotbah. "Namun, ada juga perairan yang cukup dalam,
sehingga gajah-gajah pun dapat berenang!"
John Eliot dan Anne, istrinya, dikaruniai enam anak. Uang
jasa yang mereka terima itu tidak begitu banyak. Namun mereka selalu
bersedia menolong siapa pun yang dalam kesulitan. Jika ada yang
sakit, Ibu Anne Eliot membuat ramuan obat tradisional dari
tumbuh-tumbuhan. Jika ada yang kekurangan uang, Pdt. John Eliot rela
memberi sumbangan, bahkan sampai menyerahkan setiap sen yang
dimilikinya.
Sewaktu-waktu John Eliot sempat bertemu lagi dengan
orang-orang suku Indian itu. Kadang-kadang mereka keluar dari hutan
untuk berdagang secara tukar menukar. Kata orang, bahasa mereka belum
pernah ditulis. Suara-suara mereka selalu terdengar rendah dan serak,
seakan-akan mereka berbicara dengan lekum saja. Rupa-rupanya mereka
bersifat agak pemalas; kesukaan mereka berburu, memancing, dan tidur
siang. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi pencuri, pemabuk, dan jago
berkelahi.
Pada tahun 1637, di daerah lain beberapa orang Indian
membunuh seorang pendatang berkulit putih. Sungguh hebat reaksi
terhadap peristiwa itu! Ratusan orang Indian dibunuh; ratusan lainnya
dikejar-kejar, sehingga mereka harus mengungsi ke tempat yang
jauh-jauh.
"Yah, begitulah sifat suku Indian," kata kebanyakan orang
kulit putih. "Kita harus tetap menyediakan senjata; kalau tidak,
pasti mereka akan membinasakan kita!"
John Eliot mendengar semuanya itu. Namun ia masih tetap
bertanya-tanya dalam hati: Apakah dalam menghadapi mereka kita memang
harus menggunakan sejata? Ataukah Sabda Allah? Hanya saja, . . .
bagaimanakah ia dapat menyampaikan Sabda Allah kepada orang-orang suku
Indian itu, jika ia belum dapat bicara bahasa mereka?
Justru di tengah-tengah kesusahan dan peperangan itu, Tuhan
membuka jalan. Pendeta Eliot mendengar berita tentang seorang tentara
muda dari salah satu suku Indian yang hampir punah akibat perang.
Pemuda Indian itu telah ditangkap dan dipaksa menjadi pembantu di
rumah seorang penduduk di sebuah desa yang jauhnya hanya beberapa
kilometer dari tempat tinggal Pendeta Eliot. Kata orang, majikannya
telah berhasil mengajarkan bahasa Inggris kepada pembantu muda itu.
Bahkan pemuda itu akan dibaptiskan menjadi anggota gereja!
John Eliot sangat tertarik. Ia memasang pelana dan menunggang
kudanya ke desa itu. Di sana ia mulai berkenalan dengan seorang
pemuda Indian yang rupa-rupanya memang cukup pandai.
"Siapa namamu?" tanya Pendeta Eliot.
"Ayub Nesutan, Pak," jawab mantan tentara suku Indian itu.
"Apakah kamu juga dapat berbicara bahasa suku Indian yang
tinggal di sini, di daerah Massachusetts ini?"
"Dapat, Pak!"
Baru dua minggu kemudian, Bapak dan Ibu Eliot berhasil
memindahkan Ayub Nesutan ke rumah mereka. Pemuda itu menjadi seperti
salah seorang anggota keluarga mereka. Benar, dia cukup pandai.
Dengan mudah John Eliot berhasil mengajar dia membaca dan menulis
bahasa Inggris. Dan ia pun mulai mengajar Pendeta Eliot bahasa suku
Indian setempat. Setiap malam, sehabis menunaikan tugas-tugasnya
sebagai gembala sidang, Pendeta Eliot suka duduk dengan Ayub Nesutan
dan berusaha mengerti bunyi-bunyian aneh yang keluar dari
kerongkongan pemuda Indian itu.
Bukan hanya itu saja: Dengan penerangan lilin remang-remang,
John Eliot mulai berusaha membuat sebuah abjad yang baru. Ia memilih
huruf-huruf yang lafalnya kira-kira cocok dengan setiap bunyi yang
kedengarannya aneh itu. Lambat laun ia dapat menerjemahkan Sepuluh
Hukum Tuhan dan Doa Bapa Kami ke dalam bahasa suku Indian itu.
Pelajaran itu perlu dipraktikkan. Pendeta Eliot mulai
berkenalan dengan orang-orang Indian yang suka datang ke desanya.
Sebagai akibat percakapan dengan mereka, berkali-kali ia harus
meralat ucapannya atau susunan kata-katannya.
Sedikit demi sedikit ia merasa dapat mulai menyelami alam
pikiran suku Indian. Berbeda dengan prasangka kebanyakan pendatang
kulit putih, mereka itu sangat dalam rohaninya. Namun cara mereka
mengungkapkan pengertian rohani itu amat berbeda daripada cara
berpikir orang Eropa.
Misalnya saja, kalimat pertama dalam Doa Bapa Kami: Gambaran
suku Indian tentang seorang "Bapa" itu lain sekali daripada yang
dimaksud Tuhan Yesus ketika ia mengajarkan suatu contoh doa kepada
murid-murid-Nya. Ternyata istilah "Kepala Suku" lebih tepat sebagai
lambang rohani untuk Oknum Ilahi itu yang dengan kasih sayang
memelihara setiap bawahan-Nya.
Pada bulan Oktober tahun 1646, john Eliot merasa siap
memulai usahanya untuk menyampaikan Sabda Allah kepada suku Indian.
Di tepi sungai, di suatu tempat dekat air terjun, ada sebuah desa
Indian yang dikepalai oleh seorang yang benama Waban. Pendeta Eliot
sudah berkenalan dengan Waban. Kepala desa itu rela mengumpulkan
seluruh rakyatnya untuk menyongsong sang pendeta yang berani naik
kuda ke dalam hutan.
John Eliot cerdik sekali memilih nas untuk khotbahnya yang
pertama-tama kepada suku Indian itu! Ia telah mengalihbahasakan
Yehezkiel 37:9: "Bernubuatlah kepada napas hidup itu, bernubuatlah,
hai anak manusia, dan katakanlah kepada napas hidup itu: Beginilah
firman Tuhan Allah." Kebetulan istilah "napas hidup" dalam bahasa
suku Indian itu tak lain ialah . . . Waban, sama seperti nama sang
kepala desa. Jadi, kedengarannya Pendeta Eliot sedang berseru:
"Katakanlah kepada Waban: Beginilah firman Tuhan Allah!"
Pasti orang-orang suku Indian itu tertarik, ketika mereka
mendengar bahwa nama kepala desa mereka sendiri disebut-sebut dalam
Sabda Allah! Maka selama satu jam lebih mereka rela memperhatikan
khotbah Pendeta Eliot. Namun tidak ada seorang pun yang menanggapi
secara terbuka ketika pemberitaan Sabda Allah pertama kali
didengarnya.
John Eliot belum putus semangat. Paling sedikit, orang-orang
Indian itu telah menerima dia dengan cukup ramah mungkin karena ia
datang ke desa mereka tidak pernah dengan tangan hampa. Ia selalu
membawa serta hadiah-hadiah kecil; misalnya, setiap anak Indian yang
pernah mendengarkan khotbahnya, kemudian diberi sebuah apel.
Satu bulan kemudian, Pendeta Eliot kembali lagi ke desa
Waban. Kali ini lebih banyak lagi orang-orang Indian yang berkumpul.
Dan sesudah ia berkhotbah, mereka pun mulai bertanya-tanya:
+ "Tentu Tuhan Allahmu mengerti doa-doamu dalam bahasa
Inggris. Tetapi bagaimana Tuhan Allahmu dapat mengerti doa-doa orang
Indian?"
John Eliot menjawab: "Jika aku, seorang hamba Tuhan yang
bodoh, dalam waktu beberapa Tahun saja mulai dapat mengerti bahasamu,
bukankah Yesus Mahatahu sanggup mengerti setiap kata yang kauucapkan,
bahkan setiap pikiran hatimu? Apa lagi, Tuhan Allah yang sama itu
menciptakan seluruh umat manusia, baik orang Indian maupun orang
kulit putih. Jika demikian, pasti Tuhan Allah pun dapat mengerti
doa-doa yang diucapkan oleh seluruh umat manusia."
+ "Tentu Tuhan Allahmu hadir di sana, di gereja desa orang
kulit putih, tempat kamu biasanya berkhotbah. Tetapi bagaimana Tuhan
Allahmu dapat hadir di sini juga, di tempat tinggal kami?"
John Eliot menjawab: "Coba pikirkan matahari yang besar itu.
Bukankah terangnya menyinari baik pondokmu maupun pondok tetanggamu?
Sama juga, terangnya menyinari rumahku di desa sana, bahkan menyinari
tempat asalku dulu di seberang lautan. Nah, sama juga, Tuhan Allah
hadir di mana-mana, dan memberi terang Injil-Nya kepada semua orang."
+ "Tentu ada Sabda Allahmu dalam bahasa Inggris; tetapi
bukankah adanya Kitab Suci dalam bahasa itu pun justru merupakan
bukti bahwa Yesus Kristusmu tidak mengerti bahasa orang Indian?"
John Eliot menjawab: "Sabda Allah itu untuk seluruh umat
manusia. Sama seperti kalian sekarang, dahulu kala orang-orang
Inggris pun belum mempunyai Sabda Allah dalam bahasa mereka sendiri.
Tetapi halangan itu dapat diatasi."
+ "Apa yang diterima oleh orang yang percaya kepada Tuhan
Allahmu? Nampaknya kamu miskin sama seperti kami; apa untungnya
menjadi orang Kristen?"
John Eliot menjawab: "Ada dua macam berkat. Ada berkat-berkat
kecil," dan ia mengangkat jari-jarinya. "Tetapi ada juga berkat
besar," dan ia mengulurkan jempolnya. "Berkat-berkat kecil itu berupa
kekayaan, pakaian yang mewah, rumah yang nyaman, dan makanan yang
enak. Berkat besar itu ialah, pengetahuan tentang Tuhan Allah dan
Putra-Nya, Yesus Kristus, sehingga kita dapat menikmati hidup yang
benar dan abadi. Tuhan tidak selalu memberi kita berkat-berkat kecil
tadi. Tetapi yang lebih penting: Tuhan selalu memberi kita berkat-Nya
yang lebih besar."
+ Lalu muncul pertanyaan dari orang-orang Indian yang paling
akhir, dan yang paling sulit dijawab oleh Pendeta Eliot: "Mengapa
baru sekarang ada orang kulit putih yang memberitahu kami tentang
semuanya itu?" . . .
Yang ketiga kalinya John Eliot berkhotbah di kalangan suku
Indian itu, di antara mereka sudah ada orang-orng yang mengaku percaya
kepada Tuhan Yesus termasuk kepala desa mereka; ia ingin yakin dulu
bahwa mereka benar-benar mengerti dan benar-benar percaya.
Maka mulailah suatu gerakan rohani yang luar biasa di antara
orang-orang Indian di daerah Massachusetts itu. John Eliot menolong
para petobat baru itu mendirikan beberapa desa baru, di mana mereka
tidak akan diganggu baik oleh orang-orang kulit putih yang membenci
mereka, maupun oleh orang-orang sesuku mereka yang belum mau
bertobat. Ia mengajar mereka bagaimana menanam dan menuai, bagaimana
menggergaji kayu dan membangun rumah.
Lambat laun sebanyak 14 desa orang Kristen didirikan di
antara suku Indian itu. Penduduk desa-desa baru di daerah
Massachusetts itu mulai dikenal sebagai "orang-orang Indian yang suka
berdoa."
Desa-desa baru itu pun sangat berbeda daripada desa-desa suku
Indian yang lain. Bila ada yang mencuri atau berkelahi, dengan cepat
ia dihukum. Tidak ada yang bermalas-malasan; mereka semua rajin
bekerja mencari nafkah. Pemerintahan desa disusun berdasarkan nasihat
Yitro kepada Nabi Musa dalam Kitab Keluaran 18:21, yaitu dengan
mengangkat kepala atas seratus orang, lima puluh orang, dan sepuluh
orang. Ada juga sebanyak 24 orang Indian yang dididik menjadi guru
dan gembala sidang di antara suku mereka sendiri.
Pendeta Eliot sendiri masih tetap bertugas melayani jemaatnya
di desa orang kulit putih. Namun sewaktu-waktu ia suka menengok
desa-desa suku Indian itu. Dengan memukul genderang, mereka
mengundang semua orang untuk dapat mendengarkan khotbah dari bapak
rohani mereka.
Kadang-kadang dalam perjalanannya ke desa-desa orang Kristen
itu John Eliot kehujanan. Kadang-kadang ia harus mengarungi sungai
yang sedang banjir. Kadang-kadang ia dihalangi oleh orang-orang
Indian yang belum percaya kepada Tuhan Yesus. Kepada salah seorang
kepala suku yang melawan dia itu, Pendeta Eliot berkata blak-blakan:
"Aku tidak takut terhadap kamu, bahkan terhadap semua kepala suku di
seluruh negeri ini. Aku akan maju terus, dan kita akan melihat apakah
kamu memang berani menghalangi aku!"
Jumlah suku Indian yang menjadi pengikut Tuhan Yesus itu
sudah melebihi seribu jiwa. Namun John Eliot menyadari bahwa
kerohanian orang-orang Kristen baru itu tak mungkin akan berkembang
sebagaimana semestinya, kecuali mereka mempunyai Sabda Allah dalam
bahasa mereka sendiri. jadi, dengan bantuan Ayub Nesutan dan beberapa
orang lain, mulailah dia menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam
bahasa suku Indian itu.
Sulit sekali pekerjaan penerjemahan itu! Banyak pemikiran
yang ada dalam Sabda Allah, namun rupa-rupanya istilah padanannya
dalam bahasa suku Indian itu tidak ada. Misalnya, ada berbagai-bagai
kata untuk "langit", tergantung pada jam dan cuaca, tetapi sama
sekali tidak ada kata untuk "surga." Dan bagaimana mengartikan "unta"
untuk orang-orang yang belum pernah melihat binatang unta? Tambahan
pula, banyak istilah yang ada dalam bahasa Indian itu, sangat panjang
dan sulit diucapkan. Misalnya, beginilah judul Alkitab yang
diterjemahkan oleh John Eliot itu: Mamusse Wunneetupanatamwe Up-Biblum
God!
Setelah bekerja keras selama sepuluh tahun lebih, selesailah
seluruh Kitab Perjanjian Baru pada tahun 1658. Namun baru tiga tahun
kemudian terjemahan Kitab Suci itu dapat diterbitkan. Atas biaya
teman-teman John Eliot, sebuah mesin cetak dan seorang ahli cetak
dikirim dari Inggris, agar Sabda Allah dapat diedarkan di antara suku
Indian. Tetapi Ahli cetak itu ternyata orang pemabuk, sehingga
pekerjaannya sering telantar.
Atas usaha Pendeta Eliot, seorang Indian diberi pendidikan,
baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa sukunya sendiri. karena
ia sudah mengaku percaya dan sudah dilatih sebagai seorang pembantu
percetakan, ia diberi nama baru "James Printer." Untuk sementara
waktu, ia memang banyak menolong melanjutkan pekerjaan ahli cetak
dari Inggris itu. Tetapi kemudian "James Printer" menjadi sangat
marah terhadap orang-orang kulit putih. Ia melarikan diri ke hutan
dan bersekongkol dengan orang-orang suku Indian yang masih suka
berperang untuk melawan para pendatang baru.
Di samping halangan yang muncul di Amerika, di negeri Inggris
juga ada halangan: Jumlah uang yang dikirim dari sana tidak mencukupi
untuk keperluan proyek penerbitan Alkitab itu. Berkali-kali Pendeta
Eliot harus menulis surat, meminta sokongan lagi.
Namun pada tahun 1661, Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa
suku Indian itu dapat diterbitkan. Dua tahun kemudian, seluruh
Alkitab menyusul. Sebanyak 1.500 eksemplar dicetak di kota Boston;
dua ratus buah di antaranya langsung diserahkan kepada kaum Kristen
di desa-desa suku Indian.
Mungkin pembaca sudah tahu, dari kisah nyata "Alkitab yang
Bungkam Dalam Bahasa Nusantara" (Jilid 1 dalam buku seri ini), bahwa
Kitab Injil Matius yang pada tahun 1629 dicetak dalam bahasa
Melayu/Indonesia Kuno itu merupakan terjemahan Alkitab yang
pertama-tama diterbitkan dalam sebuah bahasa yang bukan bahasa Eropa,
khusus sebagai alat penginjilan. Tetapi terjemahan John Eliot yang
pada tahun 1663 dicetak dalam bahasa suku Indian di daerah
Massachusetts itu merupakan terjemahan Alkitab lengkap yang
pertama-tama diterbitkan dalam sebuah bahasa non-Eropa sebagai alat
penginjilan. Di samping itu, terjemahan tersebut merupakan terbitan
Alkitab yang pertama-tama dalam bahasa apa pun di seluruh benua
Amerika.
Anehnya, dengan adanya Alkitab bahasa suku Indian itu, banyak
kritikan yang dilontarkan oleh sebagian penduduk berkulit putih.
"Mengapa membuang-buang waktu dengan bahasa yang aneh itu?" mereka
menantang Pdt. John Eliot. "Mengapa tidak menyuruh semua orang Indian
belajar bahasa Inggris saja?"
Di samping itu, ada juga sebagian pendatang baru yang masih
tetap ingin menghadapi suku-suku Indian dengan menggunakan senjata,
bukan Sabda Allah. Berkali-kali mereka merugikan orang-orang Indian
dalam perdagangan secara tukar-menukar. Berkali-kali mereka menipu
suku Indian sehingga daerah-daerah yang sudah lama boleh dipakai
untuk berkemah dan berburu, kemudian dipagari dan dijadikan tanah
pertanian.
Akhirnya pada tahun 1675 timbul pemberontakan. Yang
mengorbankan perang itu tak lain ialah Metakomet atau Raja Filipus,
putra Massasoit, kepala suku yang setengah abad sebelumnya pernah
menyambut dengan ramah para pendatang baru dari Inggris yang
mula-mula mendarat. Dalam waktu beberapa bulan saja, ratusan penduduk
kulit putih menjadi korban serangan suku Indian yang ganas.
"Orang-orang Indian yang suka berdoa" itu juga dicurigai,
meskipun sesungguhnya mereka rela menolong para pendatang baru untuk
membela diri terhadap serangan suku lain. Justru karena hal itu,
mereka pun dicurigai oleh suku yang sedang berperang, karena mereka
dianggap memihak orang kulit putih. Desa mereka kebanyakan
dibakar sebagian oleh pihak yang satu, sebagian lagi oleh pihak yang
lain dalam peperangan itu. Ratusan orang di antara mereka itu dipaksa
mengungsi ke Pulau Rusa, di pelabuhan kota Boston.
Hati John Eliot sedih. Ia menemani saudara-saudara seimannya
sampai ke tempat di mana mereka harus naik perahu menuju Pulau Rusa.
Di pulau itu pun ia mengunjungi mereka kemudian, dengan membawa serta
makanan, pakaian, dan obat-obatan. Banyak orang Indian meninggal di
tempat pengasingan yang kurang memadai itu; sisanya dapat
memperpanjang hidup mereka hanya dengan menggali tiram dan
kerang-kerang di pantai yang berpasir.
Pemberontakan itu mereda pada tahun 1676. Yang tewas, seribu
orang pendatang berkulit putih, . . . dan tiga ribu orang suku
Indian. Kebanyakan salinan Alkitab dalam bahasa suku Indian itu ikut
terbakar bersama desa "orang-orang Indian yang suka berdoa."
"Baiklah!" kata John Eliot, yang berumur 72 tahun, namun
masih gigih melayani sebagai pendeta pengantar Injil. "Mari kita
manfaatkan kesempatan ini dengan menyediakan sebuah edisi baru yang
lebih bagus!" Dan memang ia berbuat demikian. Dalam tugas
penerjemahan itu ia bekerja begitu keras sehingga tradisi menyatakan
bahwa sebelum ia meninggal pada tahun 1690, ia sudah dapat menghafal
seluruh Alkitab di luar kepala.
Pada waktu Pendeta Eliot sudah terlalu lanjut umurnya dan
terlalu lemah tubuhnya untuk dapat bepergian lagi ke desa-desa orang
Indian, ia masih tetap memikirkan orang-orang lemah yang tertindas.
Pada masa itu, orang-orang Amerika sudah mulai memperbudak para
pendatang baru dari benua Afrika. Dalam usianya yang sangat tua, John
Eliot suka membujuk para tetangganya untuk menyuruh budak-budak
mereka datang ke rumahnya, agar ia dapat mengajarkan Sabda Allah
kepada orang-orang berkulit hitam itu . . .
Lama sekali kisah perjuangan antara ras-ras di benua Amerika
Utara itu. Berkali-kali suku-suku Indian itu diperas oleh para
pendatang berkulit putih, yang kebanyakan lebih suka menghadapi
mereka dengan senjata daripada dengan Sabda Allah. Para pendatang
baru berkulit hitam itu pun dijadikan budak belian selama dua abad
lebih, dan sesudah dimerdekakan masih belum juga diberi hak-hak asasi
manusia selama satu abad lagi.
Namun Tuhan sanggup mengerjakan kebaikan dari keadaan yang
paling buruk. Pada abad ke-19, di Amerika Serikat ada seorangg kepala
suku Indian yang menjadi orang Kristen tulen, bahkan menjadi pendeta
dan penginjil di antara sukunya sendiri. Ia pun sering membela
sukunya terhadap kerakusan dan kekejaman kaum kulit putih, yang ingin
mengusir mereka dan merampas tanah mereka.
Walau demikian jeleknya hubungan antara ras pada masa
hidupnya, kepala suku Indian merangkap pendeta itu sempat memberi
suatu kesaksian yang sangat indah:
"Kami telah diusir sampai enam kali; barang-barang milik kami
telah dirampas. Kami berusaha melupakan hal-hal itu. Namun kami tidak
mau melupakan bahwa orang-orang kulit putih itulah yang juga membawa
kepada kami berkat Injil Kristus, pengharapan orang Kristen. Hal
inilah jauh melebihi segala penderitaan kami."
TAMAT