40. PABRIK FIRMAN HIDUP DI TEPI SUNGAI GANGGA
(India, 1800 - 1832)
Siapa yang tidak tahu tentang Sungai Gangga yang dianggap
suci itu?
Siapa yang tidak tahu tentang kota besar Calcutta, yang
terletak di India, di tepi salah satu muara Sungai Gangga?
Kota besar itu diberi nama menurut nama dewi Kali, dewi
maut dalam bahasa aslinya, Kalikata, atau Kota Kali. Setahun sekali
penduduk Calcutta merayakan Kali Puja; di mana-mana terlihat patung
dewi itu, dengan muka hitam, lidah merah, dan berlengan sepuluh.
Patung-patung itu didirikan di bawah naungan pondok-pondok khusus,
tempat persembahan sajian. Menjelang akhir masa Kali Puja, setiap
patung sang dewi dihiasi bunga dan dibuang ke dalam "air suci" Sungai
Gangga.
Dua ratus tahun yang lalu, ada yang lain lagi yang juga
dibuang ke dalam Sungai Gangga: Ada anak-anak kecil, yang
dipersembahkan kepada dewa "air suci", dengan membiarkan mereka mati
lemas atau dimakan buaya. Dan di sepanjang tepi Sungai Gangga, ada
banyak tempat untuk membakar hidup-hidup para janda, bersama-sama
dengan jenazah almarhum suami mereka.
Jika dengan perahu dayung kita mengadakan perjalanan dari
kota besar Calcutta ke sebelah utara hanya satu setangah jam, kita
akan tiba di sebuah kota kecil; namanya, Serampore. Di sana pernah
ada sebuah "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga." Hasil
produksinya meluas ke seluruh India, bahkan ke negeri-negeri lain
(termasuk pulau Jawa). Dan ke mana-mana produk "pabrik" itu membawa
berita hidup, bukan berita maut.
Walau persentase orang India yang percaya sepenuhnya akan
berita Firman Hidup itu agak kecil, namun beritanya membawa pengaruh
besar terhadap cara hidup rakyat di seluruh India. Lambat laun setiap
adat dan kebiasaan yang membawa maut itu terkikis habis. Sekarang
anak-anak kecil tidak lagi dibuang ke dalam Sungai Gangga.
Janda-janda juga tidak lagi dibakar hidup-hidup di sepanjang tepinya.
Istilah "Pabrik Firman Hidup" itu sengaja dipakai di sini.
Ada banyak orang Kristen yang pernah menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa yang baru. Juga ada banyak orang Kristen yang rajin
menerbitkan terjemahan Alkitab yang baru, serta rajin mengedarkannya
ke mana-mana. Namun sepanjang sejarah kekristenan, hanya satu kali
saja ada usaha yang disengaja untuk menghasilkan terjemahan Alkitab
secara borongan.
Selama tahun-tahun 1800-1832, "pabrik" di Serampore itu
memproduksikan:
+ seluruh Alkitab dalam enam bahasa yang berbeda-beda, dan
+ seluruh Kitab Perjanjian Baru, atau bagian-bagian lain dari
Alkitab, dalam 38 bahasa yang lain.
Bukankah pusat penerbitan Kristen di Serampore itu pantas
disebut: "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga"?
Bagaimanakah hal itu dapat terjadi? Siapakah orang-orang yang
mendirikan dan menjalankan "pabrik" itu?
Kisahnya dimulai di suatu tempat yang amat jauh dari tepi
Sungai Gangga, . . . di sebuah desa kecil di negeri Inggris.
Di sebuah bengkel tukang sepatu duduklah seorang rakyat biasa
bernama William Carey. Sepanjang minggu orang Inggris yang sederhana
itu bekerja keras, membuat dan menambal sepatu. Lalu pada setiap hari
Minggu, ia mengkhotbahkan Firman Hidup di gereja desa. Jemaat Baptis
kecil yang digembalakannya itu tidak sanggup mengongkosi dia dan
keluarganya; jadi, ia harus bekerja sambilan.
Pendidikan William Carey mula-mula sangat kurang. Tetapi atas
usahanya sendiri dengan gigih ia mencari ilmu. Sering ia bekerja di
bengkel tukang sepatu dengan sebuah buku di sampingnya. Tanpa guru,
tanpa kuliah, ia belajar bahasa-bahasa asli Alkitab, juga beberapa
bahasa modern. Bahkan ia membuat sebuah peta dunia dari kulit
binatang yang biasa dipakainya untuk membuat sepatu. Di atas petanya
itu, ia menunjukkan bangsa-bangsa yang belum mendengar Firman Hidup
tentang Tuhan Yesus.
Lambat laun Pendeta Carey berhasil membujuk saudara-saudara
seimannya bahwa Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius 28:19-20 itu
masih berlaku sepanjang abad, dan di seluruh dunia. Akhirnya pada
tahun 1792 umat Baptis di Inggris mengumpulkan dana secukupnya
sehingga mereka dapat mengutus William Carey dan keluarganya ke
negeri India. Mereka berjanji akan terus menyokong usaha penginjilan
itu, dengan mempersembahkan uang dan mencari calon utusan Injil.
Menjelang akhir tahun 1793, William Carey dan keluarganya
tiba dengan selamat di kota besar Calcutta. Maka mulailah karirnya
yang gemilang, yang kemudian memberikan julukan kepada Carey: "Bapak
Gerakan Pengutusan Injil pada Zaman Modern."
Namun pada mulanya, kehidupan keluarga Carey di India itu
sulit sekali. Ibu Carey sakit-sakitan, baik jasmani maupun jiwanya.
Uang yang mereka bawa dari Inggris itu ternyata tidak mencukupi. Dan
salah seorang anak laki-laki mereka yang tercinta meninggal ketika
masih muda, akibat demam yang tak terobati lagi.
Tambahan pula, kehadiran mereka di India jelas tidak
diingini. Bukan hanya orang-orang India sendiri yang tidak mau tahu
tentang berita Firman Hidup: Kaum penjajah Inggris juga tidak
menyetujui adanya utusan Injil di daerah yang mereka kuasai.
Selama beberapa tahun Pendeta Carey dan keluarganya dapat
menghindarkan diri dari tindakan pengusiran. Mereka sering
berpindah-pindah tempat makin lama makin jauh ke pedalaman,
menelusuri sungai Gangga. Tetapi akhirnya William Carey terpojokkan
oleh pihak yang berwajib, dan diberi dua pilihan: Pulang saja, atau
mulai bekerja di bawah naungan pemerintah penjajahan sebagai pengurus
pabrik nila.
William Carey rela saja menjadi pengurus pabrik nila:
Bukankah sejak semula keluarganya kekurangan uang? Di samping itu, ia
dapat berkenalan dengan para kuli yang bekerja di bawah
pengawasannya, serta berusaha agar dapat menyampaikan Firman Hidup
tentang kasih Kristus kepada mereka.
Di tengah-tengah segala kesibukan dan kesulitan yang dihadapi
William Carey di negeri India itu, ada satu tugas utama yang tekun
dikerjakannya, yakni: Ia sedang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa
Bangla, bahasa sehari-hari penduduk daerah Benggala di India Timur
itu.
Pada tahun 1797, Pendeta Carey sudah hampir menyelesaikan
terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Bangla.
Seorang dermawan memberi sumbangan berupa uang untuk membeli sebuah
mesin cetak bekas. Mesin tua yang terbuat dari kayu itu sudah
dibongkar. Dengan susah payah Carey merakitkan kembali. Ia
menghabiskan sekian banyak waktu untuk mengurus mesin cetak itu
sehingga kuli-kuli pabrik nila mulai berkata, "Nah, inilah dia,
patung berhala orang kulit putih!"
Pemerintah penjajah mendengar berita bahwa Pendeta Carey
sudah mempunyai sebuah mesin cetak. Mereka melarang dia
menggunakannya untuk menerbitkan terjemahan Alkitab: Jangan-jangan
orang-orang India menjadi sadar bahwa berita Firman Hidup itu
diperuntukkan bagi mereka juga, mungkin akan timbul kerusuhan!
William Carey merasa sangat bingung. Haruskan dia
menghentikan proyek penerjemahannya itu? Haruskah dia meninggalkan
pekerjaannya sebagai pengurus pabrik nila? Bila ia meninggalkan
pekerjaannya itu, bagaimana ia dapat membiayai keluarganya?
Pada hari-hari yang amat membingungkan itu, Carey menerima
sepucuk surat dari tanah airnya. Bunyinya kira-kira sebagai berikut:
"Pendeta Carey yang baik,
Mungkin Bapak sudah tidak ingat lagi: Pada suatu hari Minggu,
beberapa waktu sebelum Bapak sekeluarga berangkat dari negeri
Inggris, Bapak sempat berjalan kaki dari gereja ke rumah sambil
bercakap-cakap dengan seorang pemuda tentang rencana Bapak untuk
perrgi ke negeri India.
Akulah pemuda itu! Waktu itu aku menjelaskan, `Aku bukan
seorang pendeta atau penginjil atau pun guru, cuma seorang tukang
cetak saja.'
Lalu Bapak berkata, `Nanti di India kami pasti memerlukan
seorang yang seperti kamu , untuk mencetak terjemahan Alkitab yang
akan dikerjakan di sana.
Sekarang, apa yang Bapak harapkan itu telah menjadi
kenyataan. Aku dengan beberapa rekan sepanggilanku sedang mengikuti
jejak Bapak. Sebentar lagi kapal layar kami akan mendarat di kota
Calcutta. Niat hatiku ialah, untuk hidup dan mati bersama-sama dengan
Bapak."
William Carey sungguh berbesar hati sewaktu membaca surat
itu! Dan hanya beberapa hari kemudian, ia pun sempat bertemu kembali
dengan penulis suratnya: Seorang pemuda Inggris bernama William Ward.
Setelah turun dari kapal laut di Calcutta, pemuda itu langsung naik
ke kapal sungai. Lalu ia menelusuri Sungai Gangga jauh ke pedalaman,
ke tempat pabrik nila yang sedang diurus oleh William Carey.
William Ward membawa berita tentang suatu undangan yang tak
terduga. Hanya 25 kilometer di sebelah utara kota Calcutta terletak
daerah penjajahan Denmark, kota kecil Serampore. Rupa-rupanya sikap
pemerintah Denmark terhadap penginjilan itu jauh lebih terbuka
daripada sikap pemerintah Inggris. Buktinya, gubernur daerah
penjajahan Denmark itu telah mengundang semua utusan Injil Baptis
dari Inggris agar menetap di bawah naungannya di Serampore.
Persis pada waktu pergantian tahun dan juga pergantian abad,
William Carey dan keluarganya naik kapal sungai. Mereka menelusuri
Sungai Gangga jauh ke hilir, dengan membawa serta "patung berhala
orang kulit putih" (mesin cetak itu yang sudah dibongkar lagi).
Mendaratlah mereka di Serampore pada tanggal 10 Januari 1800.
Di sana mereka segera bergabung dengan rekan-rekan
sepanggilan mereka yang baru tiba dari Inggris. Mula-mula mereka
semua tinggal serumah. Mereka makan bersama, bekerja bersama, dan
berdoa bersama. Dan dengan segera berdirilah "Pabrik Firman Hidup di
Tepi Sungai Gangga" itu.
Tentu saja ada banyak orang, baik bangsa India maupun bangsa
asing, yang bekerja di "pabrik" itu. Namun ada tiga orang khusus yang
menjalankan usaha penyediaan terjemahan Alkitab secara besar-besaran
itu. Selain William Carey dan William Ward, ada juga seorang
penginjil dan guru bernama Joshua Marshman. Selama berpuluh-puluh
tahun, mereka bertiga bekerjasama dengan cara yang begitu luar biasa
sehingga mereka diberi julukan: "Trio Serampore."
Pendeta Marshman beserta istrinya, Ibu Hannah, segera membuka
dua sekolah swasta untuk anak-anak keturunan Eropa. Pemasukan uang
dari kedua sekolah itu dapat menutup biaya hidup mereka semua.
William Carey meneruskan pekerjaannya sebagai penerjemah utama.
William Ward mulai mendirikan bengkel percetakan. Mereka semua rajin
memberitakan Firman Hidup kepada orang-orang India yang tinggal di
sekitar Serampore. Dan hasil nyata dari pelayanan mereka itu segera
mulai terwujud.
Pada bulan Desember tahun 1800, untuk pertama kalinya ada
seorang India yang rela masuk ke dalam "air suci" Sungai Gangga untuk
dibaptiskan dalam nama Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus.
Dan pada bulan Februari tahun 1801, sudah ada Kitab Perjanjian Baru
yang dicetak dalam bahasa Bangla. William Ward menaruh eksemplar
pertamanya dari Kitab Suci itu di atas meja Perjamuan Tuhan di ruang
kebaktian. Di situ semua orang Kristen baik orang Timur maupun orang
Barat berkumpul mengadakan kebaktian pengucapan syukur.
Sudah bertahun-tahun lamanya William Carey bekerja keras,
baru ada satu Kitab Perjanjian Baru saja di antara sekian banyak
bahasa orang India. Ia telah menghabiskan banyak waktu dalam
mempersoalkan seluk-beluk bahasa dengan para pandit, atau sarjana
bahasa Bangla. Namun tidak jarang ia menemukan istilah-istilah yang
paling tepat dari obrolan kuli-kuli yang bekerja di pabrik, atau dari
anak laki-lakinya sendiri, yang dibesarkan dengan menyeloteh dalam
dua bahasa sekaligus.
Sukses William Carey dalam menguasai bahasa Bangla itu dapat
dinilai berdasarkan suatu kejadian yang tak tersangka sama sekali.
Pemerintah penjajahan Inggris, yang semula hendak memojokkan dan
mengusir Carey, mulai menyadari bahwa di daerah penguasaan mereka ada
seorang sebangsa mereka yang sangat pandai dalam bahasa setempat.
Maka mereka mengundang William Carey untuk menjadi dosen luar biasa
di sebuah perguruan tinggi yang mereka dirikan di kota Calcutta. Di
situ mereka hendak mendidik para pemuda yang kelak akan mengisi
jabatan tinggi untuk seluruh India.
Selama tiga puluh tahun, setiap minggu William Carey turun ke
tepi Sungai Gangga di Serampore dan duduk di sebuah perahu kecil,
yang kemudian didayungkan sampai ke Calcutta. Di kota itu ia
menyampaikan kuliah bahasa Bangla (dan kemudian, kuliah bahasa-bahasa
lain pula) kepada para calon pegawai negeri, baik sipil maupun
militer.
Honorarium yang diterimanya, langsung diserahkan kepada
rekan-rekan sekerjanya, untuk menutup biaya hidup serta biaya
menjalankan "Pabrik Firman Hidup" itu. Tetapi kedudukannya sebagai
dosen perguruan tinggi negeri itu juga membawa efek sampingan yang
lebih berharga daripada uang: Selama tiga puluh tahun, William Carey
sempat turut membentuk alam pikiran para pemuda yang kelak
keputusannya akan mempengaruhi cara hidup seluruh rakyat India.
Itulah sebabnya ia dapat memperjuangkan larangan membuang anak-anak
kecil ke dalam Sungai Gangga. Itu pulalah sebabnya ia dapat
memberantas kebiasaan membakar hidup-hidup para janda.
Namun Pendeta Carey belum merasa puas. Perjanjian Baru bahasa
Bangla hasil karyanya itu memang banyak dibaca orang-orang India,
tetapi hanya dari kasta menengah ke bawah. Orang-orang India yang
berstatus tinggi tidak mau tahu tentang terbitan apa pun dalam bahasa
rakyat, bahasa sehari-hari. "Jika sungguh penting," demikianlah
pendapat mereka, "pasti Shostro [sastra] yang baru itu akan disajikan
dalam bahasa Sansekerta, bahasa kesarjanaan."
Baiklah! William Carey mulai lagi bekerja keras dengan para
pandit. Dalam tempo sepuluh tahun ia dapat menghasilkan Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa Sansekerta pula. Sepuluh tahun lagi, dan
akhirnya menyusul seluruh Alkitab yang diterbitkan dalam bahasa
tinggi itu. Baru kemudian kaum atasan dan kaum cendekiawan rela
membaca Shostro itu. Dan ada juga efek sampingan yang tak terduga:
Pada suatu hari William Carey sedang melihat-lihat tulisan
dalam beberapa bahasa India yang masih asing baginya bahasa Oriya
dari sebelah Selatan, bahasa Marathi dari daerah di sekitar kota
Bombay, bahasa Gujarati dari sebelah Barat. Tiba-tiba ia berseru:
"Wah! Aku dapat membaca semua bahasa ini!"
Joshua Marshman dan William Ward kaget mendengar seruan rekan
sekerja mereka. Dengan cepat mereka datang untuk mendengarkan
penjelasan William Carey: "Begini, kawan-kawan: Akar kata dari
kebanyakan istilah dalam setiap bahasa daerah ini adalah kata-kata
dalam bahasa Sansekerta! Kita sudah punya kunci untuk dapat
menerjemahkan Alkitab ke dalam setiap bahasa daerah di seluruh
India!"
Malam itu juga, William Carey menulis sepucuk surat ke negeri
Inggris. Ia belum pernah membujuk teman-temannya yang di sana untuk
menyumbangkan lebih banyak uang demi keperluan dirinya sendiri.
Tetapi ia rela saja meminta sumbangan khusus demi proyek produksi
Sabda Allah secara besar-besaran. "Berilah kami uang secukupnya,"
begitulah ia menghimbau dalam suratnya malam itu, "dan dalam waktu
kira-kira lima belas tahun saja, kami dapat menghasilkan Firman Hidup
dalam semua bahasa di seluruh belahan Timur!"
Hebat sekali tanggapan terhadap imbauan William Carey itu!
Bukan hanya dari Inggris Raya, tetapi juga dari Amerika Serikat,
banyak yang yang masuk dari umat Kristen yang berjiwa penginjilan.
Dan hasil produksi "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" itu
makin lama makin meluas.
Sungguh luar biasa jumlah bahasa yang dapat dipakai oleh
William Carey dan rekan-rekan sekerjanya itu! Silakan membaca satu
halaman saja dari buku harian Pendeta Carey bulan Juni, tahun 1806:
5.45 -- Saat Teduh; membaca satu pasal dari Kitab Perjanjian
Lama dalam bahasa aslinya, bahasa Ibrani.
7.00 -- Doa pagi dalam bahasa Bangla dengan para pembantu
rumah tangga.
8.00 -- Belajar bahasa Marathi dengan seorang guru bahasa.
9.00 -- Bekerja sama dengan Pendeta Marshman, membuat
terjemahan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris.
10.00 -- Pergi ke Calcutta untuk menyampaikan kuliah di
perguruan tinggi negeri dalam jurusan bahasa (bahasa
Bangla, bahasa Sansekerta, bahasa Marathi)
14.00 -- Pulang kembali ke Serampore.
15.00 -- Mengoreksi halaman-halaman uji coba dari hasil
cetakan terjemahan Kitab Nabi Yeremia dalam
bahasa Bangla.
17.00 -- Bekerja sama dengan seorang pandit untuk
menerjemahkan Kitab Injil Matius pasal 8 ke
dalam bahasa Sansekerta.
18.00 -- Belajar bahasa Telugu dengan seorang guru bahasa.
19.30 -- Menyampaikan Firman Tuhan dalam bahasa Inggris, pada
kebaktian tengah minggu untuk para petugas
pemerintah setempat dengan keluarganya
masing-masing.
21.00 -- Menerjemahkan Kitab Nabi Yehezkiel pasal 9 ke
dalam bahasa Bangla.
22.00 -- Menulis surat kepada seorang teman di negeri Inggris.
23.00 -- Saat Teduh; membaca satu pasal dari Kitab Perjanjian
Baru dalam bahasa aslinya, bahasa Yunani.
Pada bulan Maret tahun 1813, William Carey dapat melaporkan
kepada para penyokongnya di negeri Inggris bahwa sebagian dari
Alkitab, atau bahkan keseluruhannya, telah diterjemahkan ke dalam
sebanyak sepuluh bahasa. Lagi pula, semua terjemahan itu sedang dalam
proses penerbitan. Sungguh, "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai
Gangga" itu sedang berjalan dengan baik!
Hanya beberapa hari kemudian, pada malam 11 Maret 1813,
William Ward sedang duduk menghadap meja tulisnya di "pabrik" itu.
Para karyawan sudah pulang untuk beristirahat. Tiba-tiba Ward mencium
bau yang aneh. Cepat-cepat ia berdiri dan membuka pintu yang menuju
ke gudang kertas. Asap mengepul keluar!"
Ward membanting pintu itu dan berteriak: "Kebakaran!
Kebakaran! Ayo tolong, ada kebakaran!"
Yang mula-mula memperhatikan teriakannya itu adalah beberapa
pembantu rumah tangga. Mereka membangunkan Joshua Marshman, yang
tempat tinggalnya dekat pabrik.
"Cepat! Semua pintu dan jendela harus ditutup rapat!"
perintah William Ward. Ia tahu bahwa jika api itu tidak diberi udara,
ia akan mati sendiri.
Dengan cepat Ward dan Marshman menutup semua pintu dan
jendela pusat penerbitan itu. Mereka menyuruh para penbantu berlari
ke tepi Sungai Gangga dan mengisi tempayan dengan air sebanyak
mungkin. Ward memanjat ke atap gudang kertas. Ia membongkar atapnya,
agar dapat menuangkan berturut-turut isi setiap tempayan air itu ke
atas tumpukan kertas yang sudah gosong namun belum menyala.
Selama empat jam mereka semua membanting tulang. Rupa-rupanya
masih ada harapan mengalahkan si jago merah. Tetapi ada seorang
pembantu rumah tangga yang tidak begitu mengerti hukum ilmu fisika.
Ia membuka lagi jendela tingkat bawah, agar dapat memasukkan air dari
situ.
Sekonyong-konyong api itu membumbung tinggi! Bukan hanya
tumpukan kertas saja yang terbakar: Kaleng-kaleng berisi lemak yang
dipakai untuk melumas mesin-mesin cetak ikut berkobar juga.
William Ward baru sadar. "Wah, mesin-mesin cetak itu!"
teriaknya. Dengan susah payah ia dan Marshman menyeret ke luar lima
mesin cetak. Tetapi ruang zeting terkunci. Sebelum pintu dapat
dibuka, semua naskah berharga yang bertumpuk-tumpuk di sana telah
ikut hangus menjadi abu.
Keesokan paginya William Carey pulang ke Serampore dari kota
Calcutta. Apa yang dilihatnya? Hanya reruntuhan hitam belaka, sisa
"Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" itu. Leburan logam
seberat tiga ton, naskah-naskah terjemahan Alkitab, dua naskah buku
kaidah bahasa, sebuah naskah kamus antar bahasa semuanya itu
tertimbun dalam puing-puing yang digenangi air. Kerja keras banyak
orang selama tiga tahun itu telah hilang musnah dalam waktu semalam
saja.
Apa yang dilakukan kemudian oleh "Trio Serampore" itu? Apa
yang mereka katakan?
Ini: "Sesuai dengan Sabda Allah dalam 2Korintus 4:9, `kami
dihempaskan, namun tidak binasa.' Jika kita menempuh jalan kedua
kalinya, perjalanan kita itu lebih mudah dan lebih mantap.
Terjemahan-terjemahan yang sudah hilang itu akan diganti dengan
terjemahan-terjemahan baru yang lebih baik."
Koran-koran di kota Calcutta memuat berita musibah itu dengan
memuji-muji segala usaha Carey, Marshman, dan Ward. Dalam tempo tujuh
minggu saja, umat Kristen di Inggris menyumbangkan uang secukupnya
untuk membangun kembali pusat penerbitan itu dengan segala
perlengkapannya. Menjelang akhir tahun 1813, "Pabrik Firman Hidup di
Tepi Sungai Gangga" itu sudah kembali berjalan, bahkan dengan cara
dua kali lebih efisien daripada sebelumnya.
Anehnya, . . . yang paling awal dipanggil Tuhan adalah yang
paling muda di antara "Trio Serampore" itu. Pada tahun 1823, William
Carey dan Joshua Marshman menangis di sisi tempat tidur William Ward,
yang meninggal secara mendadak sebagai korban wabah penyakit kolera.
Namun Ward sempat lebih dahulu melatih beberapa tukang cetak
lainnya. Jadi, ketika seorang bapak dengan kedua putranya tiba dari
pulau Jawa pada tahun 1828, di Serampore masih ada kawan-kawan
sekerja yang dapat menolong dia. Ia datang justru karena pemerintah
penjajahan Belanda di Nusantara, sama seperti pemerintahan penjajahan
Inggris di India, tidak begitu setuju dengan peredaran Alkitab dalam
bahasa setempat. Maka Kitab Perjanjian Baru yang pertama-tama dalam
bahasa Jawa dicetak sebanyak tiga ribu eksemplarnya oleh "Pabrik
Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga."
(Sisa cerita yang mengharukan itu dapat dibaca dalam Jilid 2
buku seri ini, dengan judul "Penerjemah Perjanjian Baru yang Paling
Gigih.")
William Carey meninggal pada tahun 1834; Joshua Marshman
menyusul pada tahun 1837. Memang ada orang-orang lain yang masih
dapat meneruskan pelayanan mereka. Namun usaha mereka untuk
menyediakan Alkitab dalam berbagai-bagai bahasa itu praktisnya sudah
selesai pada tahun 1832, ketika Carey menerbitkan revisinya yang
kedelapan dari Kitab Perjanjian Baru bahasa Bangla.
Ternyata tugas itu memakan waktu jauh lebih lama daripada
"kurang lebih lima belas tahun" yang pernah mereka taksir. Ternyata
pula jumlah bahasa yang berbeda-beda "di seluruh belahan Timur" itu
jauh melebihi dugaan mereka semula. Namun prestasi yang dicapai
selama 32 tahun di Serampore itu tidak ada tandingannya sepanjang
sejarah kekristenan.
Pada saat William Carey meninggal, semua bendera berkibar
setengah tiang di seluruh daerah Benggala. Pemerintah penjajahan,
yang semula menghina dan melawan Carey, akhirnya menghormati saat
pemakamannya, seolah-olah ada jenazah seorang raja yang sedang
dikebumikan.
Jadi, "Trio Serampore" itu sudah tidak ada. "Pabrik Firman
Hidup di Tepi Sungai Gangga" yang mereka usahakan itu pun tidak ada
lagi. Tetapi Firman Hidup itu sendiri masih ada! Beritanya masih
dibawa ke mana-mana oleh putra-putri bangsa India yang setia
mengikuti Tuhan Yesus. Dan pengaruhnya terhadap cara hidup umat
manusia itu masih kuat di seluruh India, dan di seluruh dunia.
TAMAT