38. KITAB SUCI YANG TERLALU DIAGUNGKAN
(Seluruh dunia, abad ke-4 hingga kini)
Mungkin judul di ats itu agak membingungkan. Bagaimana kita
dapat mengatakan bahwa ada "Kitab Suci yang Terlalu Diagungkan"?
Hieronymus, penerjemah Alkitab Vulgata dalam bahasa Latin
(lihat pasal 1 dalam buku ini), mungkin sekali cukup mengerti maksud
judul di atas. Pada masa hidup Hieronymus, sudah ada berbagai-bagai
terjemahan Alkitab bahasa Latin; ada yang baik, ada pula yang jelek.
Namun setiap terjemahan itu, apakah baik atau jelek, di antara
pembacanya ada yang merasa: "Pasti inilah Kitab Suci yang paling
bagus!"
Karena umat Kristen pada zaman kuno itu terlalu mengagungkan
terjemahan-terjemahan Alkitab yang sudah ada, maka semula mereka
tidak mau menerima terjemahan baru yang dikerjakan oleh Hieronymus.
Sejak tahun 383, ketika ia mengerjakan terjemahan baru keempat Kitab
Injil atas imbauan Paus Damasus, Hieronymus sudah menyadari bahwa ada
umat Kristen yang terlalu mengagungkan terjemahan lama. Sang
penerjemah itu menyurati sri paus sebagai berikut:
"Setiap pembaca Alkitab, apakah dia pandai atau bodoh, ketika
ia memegang terjemahanku dan menemukan susunan kata-kata yang berbeda
dengan yang sudah biasa baginya, pasti ia akan mengangkat suaranya
dan menuduh bahwa aku adalah seorang pemalsu, penghujat, seorang yang
berani mengubah, meralat, mengutik-ngutik Kitab Suci yang sudah lama
ada!"
Reaksi seperti itu sesungguhnya sudah sering muncul sepanjang
abad, dan di seluruh dunia. Pada tahun 1971-1974, ketika Lembaga
Alkitab Indonesia mula-mula menerbitkan terjemahan yang sekarang ini
paling lazim dipakai, ada orang-orang Kristen yang tidak mau
menerimanya. Ada seorang sarjana teologi yang mau mengkritiknya
dengan tajam. Bahkan ada suatu organisasi Kristen yang mengongkosi
pencetakan ulang terjemahan lama, oleh karena mereka sama sekali
tidak mau bersangkutan dengan "terjemahan baru yang jelek" itu!
Hieronymus merasa kurang sabar terhadap orang-orang Kristen
yang bersikap kolot seperti itu. Ia pernah menyambut mereka sebagai
"keledai berkaki dua", dan menyatakan sebagai berikut: "Percuma aku
memainkan kecapiku bagi keledai! Jika mereka tidak mau minum dari
sumber air yang jernih, biarlah mereka minum air sungai yang keruh!"
Dalam salah satu tulisannya, Hieronymus pun menggambarkan
dirinya sebagai seorang penerjemah Alkitab yang terbentur pada dua
masalah:
"Seandainya aku bekerja sampai mengeluarkan keringat dengan
menganyam keranjang untuk mendapat nafkah, maka tidak ada seorang pun
yang akan mengiri kepadaku. Tetapi justru karena aku menaati Amanat
Sang Juru Selamat, dan demi kebaikan jiwa-jiwa manusia aku memilih
untuk menyediakan Roti Hidup yang tak kunjung binasa, yaitu
membersihkan jalan kebenaran dengan mencabut alang-alang yang oleh
kebodohan pernah ditanam di situ maka aku dituduh telah berbuat dua
macam kejahatan: Jika aku meralat yang kurang tepat dalam Alkitab,
aku dikutuk sebagai pemalsu. Tetapi jika aku tidak meralatnya, aku
didamprat sebagai penyebar kebohongan."
Lambat laun terjemahan Hieronymus itu diterima secara umum.
Bahkan julukannya cukup mencerminkan hal itu: Vulgata, atau Alkitab
"Untuk Semua Orang." Bahkan Vulgata itu pun pernah diberi nama
kehormatan yang lebih luhur lagi: "Ratu di Antara Semua Versi
Alkitab" . . . .
Sayang, . . . ada perkembangan sejarah selama abad-abad
terkemudian yang pasti akan sangat membingungkan Hieronymus,
seandainya ia masih hidup pada abad-abad tersebut. Alkitab Vulgata
itu disalin dengan tulisan tangan selama seribu tahun lebih, karena
di dunia Barat belum ada mesin cetak. Dan sama seperti yang selalu
terjadi dengan salinan apa saja yang dibuat oleh manusia yang kurang
sempurna di sana sini terdapat salinan yang salah tulis. Lagi pula,
terjemahan asli Hieronymus itu sendiri tidak seratus persen sempurna,
karena yang mengerjakannya pun adalah manusia yang kurang sempurna.
Pada masa Reformasi Protestan, para pemimpin Gereja Katolik
Roma diberitahu bahwa telah ditemukan banyak naskah Alkitab kuno
dalam bahasa-bahasa aslinya, yang sangat berfaedah guna memperbaiki
Alkitab Vulgata. Namun, semuanya itu mereka tolak. Sebaliknya, mereka
bersikeras hanya Vulgata sajalah yang harus dipakai dalam ibadah umat
Katolik di seluruh dunia, yang lain tidak. Padahal semula Hieronymus
sendiri justru mengerjakan Vulgata untuk mengganti
terjemahan-terjemahan Alkitab lama yang kurang tepat!
Apakah akibat perkembangan sejarah yang tak diharapkan itu,
yakni Alkitab Vulgata terlalu diagungkan?
+ Selama berabad-abad, setiap kali ada rapat gerejawi agung
di kalangan umat Katolik Roma, ada salinan Alkitab Vulgata yang
dimasukkan ke dalam sebuah peti keemasan yang indah, lalu dibawa
dalam arak-arakan suci, seolah-olah menjadi patung berhala.
+ Selama berabad-abad, bila para utusan Injil Katolik Roma
pergi kepada bangsa-bangsa asing, mereka membawa serta Alkitab
Vulgata saja, dan mengharapkan agar orang yang bahasanya lain
daripada bahasa Latin itu akan merasa puas dengan Alkitab dalam
bahasa yang sudah kuno.
+ Selama berabad-abad, bahkan sampai beberapa puluh tahun
yang lalu, acara kebaktian dalam setiap gereja Katolik Roma di
Indonesia dan di seluruh dunia selalu diselenggarakan dalam bahasa
Latin saja . . . pada hal bahasa itu sudah mati, tidak lagi
dibicarakan oleh siapa pun, di tempat mana pun juga.
Syukurlah, pada pertengahan abad ke-20 para pemimpin umat
Katolik Roma mulai menyadari kejanggalan ini. Pada masa sekarang, di
mana-mana orang-orang Katolik didorong untuk mempunyai dan membaca
Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri. Bahkan umat Kristen
golongan Katolik itu suka bekerja sama dengan umat Kristen golongan
non-Katolik demi terjemahan Alkitab dalam bahasa yang mudah dipahami
pada masa kini, seperti misalnya Alkitab Kabar Baik Dalam Bahasa
Indonesia Sehari-hari . . . .
Bagaimana dengan umat Kristen non-Katolik? Apakah mereka juga
pernah terjebak karena "terlalu mengagungkan Kitab Suci"? Apakah
mereka juga pernah memperlakukan satu terjemahan Alkitab tertentu
seolah-olah menjadi patung berhala?
Sayang sekali, bukan hanya umat Katolik Roma saja yang pernah
keliru dengan cara demikian. Umat Kristen Nestorian juga ikut
terjebak.
Mungkin orang-orang Nestorianlah yang mula-mula membawa Kabar
Baik tentang Tuhan Yesus ke kepulauan Nusantara. Ada tradisi kuno
yang menyatakan bahwa beberapa gereja Nestorian sudah didirikan di
daerah Barus, Sumatera Utara, pada abad ke-12.
Mengapa aliran Nestorian itu tidak tahan lama di Indonesia?
Mungkin alasannya (antara lain) ialah, karena orang-orang Kristen
Nestorian kurang antusias menerjemahkan Firman Tuhan ke dalam bahasa
setempat. Menurut mereka, sudah cukupkah bila ada Alkitab bahasa
Siria Kuno yang telah mereka miliki sejak abad ke-5. Jadi, bila para
utusan Injil Nestorian pergi ke mana-mana (dan mereka itu memang
cukup banyak dan cukup rajin), mereka hanya membawa serta sebuah
terjemahan Alkitab yang sangat kuno dan sulit dipahami. (Salah satu
akibat dari kelalaian mereka dalam hal menerjemahkan Alkitab itu
dapat dibaca berupa kisah nyata yang berjudul "Gereja yang Tidak
Mempunyai Alkitab", pada Jilid 2 dalam buku seri ini.)
Alkitab bahasa Siria Kuno itu pun satu-satunya Alkitab yang
dikenal di jazirah Arab pada abad ke-6 dan ke-7. Bagaimana seandainya
orang-orang Kristen dahulu kala di daerah Arab itu lebih rajin
menerjemahkan Alkitab? Bagaimana seandainya orang-orang Arab pada
zaman itu sudah dapat membaca dalam bahasa ibu mereka, tentang Isa
Almasih, Sang Juru Selamat yang diutus oleh Tuhan Yang Maha Esa?
Pengandaian itu sungguh menarik. Namun kenyataannya, baru ada
Alkitab bahasa Arab sesudah ada Alquran bahasa Arab, dan bukan
sebelumnya. Lagi pula, kebanyakan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa
Arab yang dikerjakan kemudian, bahkan sampai abad ke-19, seakan-akan
timbul sebuah reaksi terhadap munculnya agama Islam, dan bukan
sebagai usaha untuk menyediakan Alkitab bahasa Arab yang sungguh
komunikatif.
Misalnya: Apakah kaum Muslimin suka memakai istilah "Isa
Almasih"? Baiklah! Kaum Kristen akan memakai istilah "Yesu Kristo."
Apakah kaum Muslimin suka menyebutkan Ibrahim, Solaiman, Yahya?
Baiklah! Kaum Kristen akan menyebutkan Abraham, Salomo, Yohanes.
Sampai sekarang pun penyisihan istilah-istilah khas Arab itu masih
disengaja, dan masih kuat pengaruhnya terhadap terjemahan-terjemahan
Alkitab dalam banyak bahasa modern.
Mungkinkah pembaca mulai berpendapat, bahwa apa yang
diceritakan dalam pasal 2 ini tidak ada sangkut pautnya dengan diri
pembaca sendiri? Memang, semuanya itu berkisar pada kekeliruan orang
Kristen yang berbeda alirannya daripada mayoritas orang Kristen di
dunia sekarang. Orang Kristen non-Katolik seperti kaum Protestan,
misalnya pasti belum pernah terjebak sehingga mereka terlalu
mengagungkan satu terjemahan Alkitab tertentu, ya? . . .
Kenyataannya, kaum Kristen non-Katolik terlibat juga.
Contohnya, mereka yang suka membaca Alkitab dalam bahasa Inggris,
bahasa Internasional di seluruh dunia: Pada tahun 1611 telah terbit
suatu terjemahan Alkitab baru yang sangat bagus, atas titah Raja
James I di Inggris. Baginda menitahkan agar versi baru itu diadakan,
justru sebagai pengganti banyak terjemahan lama yang dianggap tidak
lagi memadai.
Dalam prakata Alkitab Versi Raja James yang terkenal itu,
panitia penerjemah mengajukan dua pertanyaan retoris: "Apakah
Kerajaan Allah itu telah menjadi kata dan kalimat? Mengapa kita
membiarkan diri dibelenggu olehnya, jikalau kita boleh merdeka?"
Sayang sekali, justru itulah yang kemudian menjadi kenyataan:
"Kata dan kalimat" Alkitab Versi Raja James itu menjadi semacam
rantai, sehingga sebagian besar umat Kristen non-Katolik di seluruh
dunia Barat memang "dibelenggu olehnya." Selama dua setengah abad
lebih, tidak ada usaha sedikit pun untuk menghasilkan terjemahan
baru, padahal selama jangka waktu itu bahasa Inggris terus berkembang
dengan pesatnya.
Menjelang akhir abad ke-19, barulah ada permulaan
proyek-proyek penerjemahan baru. Namun banyak orang yang berbahasa
Inggris menentang dengan keras setiap usaha itu untuk memperbaiki
terjemahan Sabda Allah. "Alkitab baru ini mengadung racun rohani!"
demikianlah ucapan banyak orang Kristen. Menjelang akhir abad ke-20,
barulah untuk pertama kalinya ada terjemahan-terjemahan modern yang
berhasil menggeser Alkitab Versi Raja James sebagai Kitab Suci
berbahasa Inggris yang paling laris.
Nah, . . . kebanyakan kisah nyata yang diceritakan dalam
pasal 2 ini terjadi di negeri-negeri lain, bukan? Pernahkah umat
Kristen Indonesia juga mengagungkan satu terjemahan Alkitab tertentu,
sehingga mereka tidak mau menerima Alkitab baru yang sesungguhnya
lebih mudah dipahami? . . .
Pernah. Cerita lama yang menyedihkan itu terulang lagi di
Bumi Nusantara. Jilid 1 dalam buku seri ini memuat kisah nyata
tentang "Alkitab yang Bungkam di Bahasa Nusantara." Terjemahan
Alkitab bahasa Melayu (bahasa Indonesia Kuno) yang paling pertama dan
paling terkenal itu adalah terjemahan Leydekker, yang mula-mula
diterbitkan dengan lengkap pada tahun 1733. Lama sekali setelah itu,
umat Kristen Indonesia di daerah-daerah tertentu tidak mau tahu
tentang Alkitab lain. Bahkan sampai abad ke-20 masih ada cetakan
ulang Alkitab Leydekker, atas desakan jemaat-jemaat di Ambon.
Padahal Alkitab Leydekker itu sudah lama menjadi suatu Kitab
Suci yang amat sulit dibaca. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang
hidup, bahasa yang terus berkembang. Istilah-istilah yang gampang
ditangkap artinya pada tahun 1733 itu, satu abad kemudian tidak lagi
dapat dimengerti dengan mudah apa lagi dua atau tiga abad kemudian!
Pada tahun 1823, seorang penduduk asing di Singapura
meminjamkan sebuah Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker kepada
seorang guru bahasa Melayu bernama Abdullah bin Abdul Kadir. Pada
waktu sang guru itu berusaha membacanya, ia pun menjadi sangat heran.
Menurut kesaksian Abdullah sendiri: "Buku itu memang ditulis dengan
huruf-huruf Melayu, dan mengandung kata-kata Melayu pula. Namun itu
bukan bahasa Melayu. Sebab itu aku tidak mengerti maknanya."
Ketika Abdullah mengembalikan Perjanjian Baru itu kepada
orang asing yang telah meminjamkannya, orang tersebut bertanya
kepadanya melalui seorang pengalih bahasa: "Sudahkah kaubaca buku
ini?"
"Ja Meneer," jawab Abdullah.
"Apakah bahasa Melayu memang begitu?" tanyanya.
"Nee, Meneer," jawab Abdullah.
"Jika memang bahasa Melayu tidak begitu," tanyanya lagi,
"bagaimana bahasanya yang betul?"
"Aku tidak tahu, Meneer," jawab Abdullah. "Hanya si penulis
saja yang tahu bahasa apa itu."
Tidaklah mengherankan bila pernah ada tuduhan bahwa Alkitab
Leydekker itu "dijunjung tinggi oleh orang Kristen, tetapi jarang
dipahami merupakan semacam penghormatan mekanik, tanpa jiwa atau
roh"! . . .
Kitab Suci itu memang sebaiknya selalu dijunjung tinggi.
Namun jangan sampai umat Kristen terlalu mengagungkan satu terjemahan
Alkitab tertentu! Jangan sampai mereka tidak mau menerjemahkan
kembali Sabda Allah ke dalam bahasa yang mereka pakai sehari-hari.
Jangan sampai mereka tidak mau menggantikan terjemahan lama dengan
terjemahan baru yang lebih tepat dan lebih mudah dipahami.
TAMAT