35. DESA YANG BERSERI
(Pulau Okinawa, abad ke-20)
Shosei Kina duduk di depan gubuknya yang beratap ijuk. Tempat
tinggalnya sama dengan gubuk-gubuk nelayan lainnya di desa Shimmabuko
itu, di pulau Okinawa. Sangat kotor gubuk-gubuk itu . . . setengah
reyot, tidak terurus, sangat memerlukan perbaikan.
Hanya pemandangan alam di sekitar desa nelayan itu yang
sungguh bagus nampaknya. Lautan pasifik terbentang luas di sekeliling
pulau itu. Indah juga pohon-pohon palem yang menjulang tinggi,
melebihi atap gubuk-gubuk nelayan yang jelek itu.
Shosei Kina duduk mengobrol dengan adik laki-lakinya, Mojon.
Mereka sedang membicarakan suatu keajaiban yang baru terjadi atas
mereka ya, keajaiban yang tak terduga. Bukti keajaiban itu sedang
dipegang Mojon, yaitu sebuah Kitab yang sangat berharga.
Seorang utusan Injil telah mampir ke pulau Okinawa dalam
perjalanannya menuju Jepang. Ia tidak lama tinggal di situ, dan kini
ia sudah pergi lagi. Kedua nelayan bersaudara itu sudah melupakan
namanya, namun mereka tidak lupa akan ajarannya. Utusan Injil itu
telah mengajar mereka tentang Sang Bapa Surgawi yang mengasihi dan
memelihara mereka. Dalam waktu singkat ia telah berhasil meyakinkan
mereka bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah satu-satunya Juru Selamat,
dan bahwa mereka seharusnya berusaha mengikut Dia.
Beberapa saat sebelum utusan Injil itu berangkat, ia
memberikan sebuah Alkitab kepada Shosei dan adiknya. "Bacalah isinya,
Shosei Kina," kata orang asing itu. "Kamu dan Mojon harus membacanya.
Kitab ini dapat memberi hikmat kepada kalian, dapat mengajar kalian
lebih banyak lagi tentang Sang Juru Selamat. Peliharalah Kitab ini
baik-baik; aturlah cara hidup kalian menurut isinya. Berdoalah, mohon
supaya Allah Bapa membimbing usaha kalian untuk hidup sebagai
pengikut Tuhan Yesus Kristus."
Untung, Shosei Kina dan Mojon dapat membaca. Mereka mulai
menyelidiki Kitab Suci itu. Mereka pun mulai membicarakannya dengan
penduduk desa Shimmabuko yang hanya beberapa ratus jiwa itu.
Pada saat kedua nelayan bersaudara itu sedang duduk sambil
mengobrol, Majan membuka halaman Kitab Suci yang memuat cerita Tuhan
Yesus. Ia membacakan beberapa ajaran Yesus kepada kakaknya.
"Sangat mengherankan!" kata Mojon. "Kata-kata ini dapat
menolong kita dalam kehidupan sehari-hari. Guru kita yang tercinta
itu telah membimbing kita untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus.
Sekarang Kitab Suci ini selanjutnya dapat membimbing kita, agar kita
hidup sebagai pengikut Tuhan Yesus. Coba lihat ayat ini! Katanya,
kita harus saling mengasihi. Kita harus saling melayani."
Kebetulan saat ini seorang nelayan pincang berjalan di depan
gubuk Shosei Kina. Kedua bersaudara itu mengenal si Pincang; mereka
tahu bahwa kehidupannya serba sulit. Ia dapat pergi menangkap ikan
hanya jika ada orang lain yang mengajak dia. Orang lain itulah yang
harus mendayung perahu; baru dengan cara demikian si Pincang dapat
memancing atau menjala ikan.
"Mari kita ajak si Pincang pergi bersama-sama menangkap
ikan," saran Shosei Kina kepada adiknya. "Itu salah satu cara kita
dapat mengasihi dan melayani orang lain, sesuai dengan ajaran Kitab
Suci tadi."
Mojon setuju. Si Pincang merasa sangat heran atas ajakan
mereka. Biasanya dia yang harus membujuk orang lain supaya ia boleh
ikut serta menangkap ikan. Tetapi kini ia diperlakukan seperti
seorang saudara. Bahkan ia diajak makan bersama bekal yang telah
disediakan oleh Istri Mojon.
Pada waktu ketiga orang itu kembali ke darat, ternyata
keranjang si Pincang penuh dengan ikan. "Wah, coba lihat!" kata si
Pincang. "Ikan ini cukup banyak! Sebagian dapat diasinkan, dan
sebagian lagi dapat dijual. Selama berhari-hari perutku kenyang!
Mengapa kalian begitu mau menolong diriku?"
Shosei Kina menjelaskan: "Karena ada ajaran baru yang telah
kami terima," katanya. "Kami baru mengetahui tentang Sang Bapa
Surgawi yang sangat mengasihi kami. Ia ingin supaya kami berbuat
baik, dan tidak berbuat jahat. Ia mengutus anak-Nya, Tuhan Yesus, ke
dunia ini untuk menyelamatkan kami dari dosa. Ia ingin supaya kami
hidup menurut ajaran Anak-Nya. Maukah kamu belajar lebih benyak
mengenai hal ini?"
Memang si Pincang mau. Hari demi hari ia dan beberapa orang
lain berkumpul di sekitar pintu gubuk tempat tinggal Shosei Kina.
Mereka semua mendengarkan pembacaan Alkitab.
Sering ada orang mencetuskan: "Wah, ajaran tadi dapat menjadi
peraturan yang baik untuk seluruh penduduk desa kita!" Lalu mereka
bermusyawarah, bagaimana cara menerapkan ajaran tadi.
Hari lepas hari penduduk Shimmabuko mulai mengubah cara-cara
mereka memperlakukan sesama mereka. Alangkah senangnya, jika setiap
orang berbicara dan bertindak atas dasar kasih terhadap sesamanya,
menurut ajaran yang mereka perbincangkan itu!
Makin lama makin banyak orang di desa Shimmabuko yang mulai
mengikuti ajaran baru itu. Tidak lama kemudian, setiap penduduk desa
nelayan itu mengaku diri sebagai pengikut Tuhan Yesus.
Lambat laun terjadilah suatu perubahan yang ajaib di
Shimmabuko. Salah satu contoh:
Ada seorang janda muda yang mempunyai beberapa anak. Setiap
kali hujan badai, pasti atap gubuknya bocor. Dengan sangat halus
Shosei Kina menyarankan, bahwa memperbaiki atap secara sukarela itu
adalah suatu perbuatan kasih sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus
Kristus.
Para penduduk segera mengadakan kerja bakti. Dalam waktu
singkat, seluruh atap gubuk janda muda itu diganti. Sementara tugas
itu dikerjakan bersama, mereka pun bersukaria sambil bersekutu satu
dengan yang lain.
Namun atap yang baru itu terlihat sangat menonjol, jika
dibandingkan dengan atap-atap gubuk lainnya. "Kita perlu memperbaiki
tempat tinggal kita sendiri-sendiri," penduduk Shimmabuko berkata
satu kepada yang lain. Tidak lama kemudian, atap setiap gubuk di desa
nelayan itu diperbaiki atu diperbaharui sama sekali.
Penduduk yang paling rajin mempelajari Alkitab adalah Mojon.
Orang-orang lain berdatangan minta nasihat kepada dia.
"Pak Mojon, saudaraku telah meminjam perahuku," demikian
omelan salah seorang nelayan. "Ia tidak minta izin, dan ia pun sudah
lama tidak mengembalikannya. Suadaraku harus dihukum, ya?"
Mojon tersenyum. "Mengenai masalah ini ada ajaran dari
Alkitab," kata Mojon. "Kamu tidak boleh menghukum saudaramu. Bahkan
kamu harus mengampuni dia."
"Mengampuni dia! Wah! Sudah berkali-kali ia berbuat salah,
kasusnya sama seperti ini!"
"Ya, memang," kata Mojon. "Tetapi Tuhan kita menyuruh Rasul
Petrus mengampuni saudaranya sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Jika
kamu sudah mengampuni saudaramu sebanyak itu, kembalilah ke mari dan
kita akan membahas masalahnya lebih lanjut."
Sementara itu, dengan diam-diam Mojon mendekati saudara
orang tadi. "Ada ajaran Alkitab yang perlu kaurenungkan," katanya.
"Begini bunyinya, dari Efesus 4:32: `Hendaklah kamu ramah seorang
terhadap yang lain, penuh kasih mesra.' Apakah kamu bertindak ramah,
penuh kasih mesra, jika kamu meminjam perahu saudaramu tanpa izin?
Camkanlah ayat tadi, dan minta petunjuk kepada Tuhan. Mohonlah supaya
Ia menolongmu untuk hidup ramah dan saling mengasihi, sesuai dengan
yang diajarkan-Nya."
Tibalah saatnya penduduk Shimmabuko harus memilih kepala desa
yang baru. Dengan suara bulat mereka menunjuk Shosei Kina untuk
jabatan yang terhormat itu. Dengan rendah hati Shosei menerima
tanggung jawab baru. Ia pun berusaha menyesuaikan setiap tindakannya
menurut ajaran Alkitab.
Lambat laun cara hidup lama itu ditinggalkan. Semua orang
berlaku jujur. Semua orang membuat rencana dengan memikirkan
kepentingan orang lain, dan bukan hanya memikirkan kepentingan diri
sendiri saja. Sebagai akibat, desa itu bertambah makmur. Sering
terdengar gelak tawa di jalanan desa Shimmabuko, karena penduduknya
hidup berbahagia.
Gubuk-gubuk nelayan itu lambat laun dibersihkan dan
diperbaiki. Sampah tidak lagi dibiarkan bertumpuk di mana-mana.
Penyakit berkurang. Peraturan-peraturan dibuat untuk menjaga agar
cara hidup di desa itu sesuai dengan ajaran Alkitab . . . .
Tiga puluh tahun kemudian desa Shimmabuko itu masih tetap
makmur dan berbahagia. Shosei Kina dan Mojon sudah tua; mereka berdua
sangat dihormati oleh setiap penduduk desa itu.
Lalu . . . tibalah bencana. Perang berkobar di daerah Lautan
Pasifik. Pasukan penggempur Amerika Serikat mengepung pulau Okinawa.
Mereka memukul mundur pasukan Jepang yang sedang menduduki pulau itu.
Desa Shimmabuko terletak persisi di jalan yang hendak dilewati bala
tentara Amerika yang sedang maju dengan jayanya. Beberapa bom
meledak di desa yang tadinya damai dan sentosa itu.
Pasukan Amerika semakin mendekat. Mereka membidikkan senjata
ke arah desa Shimmabuko. Maka Shosei Kina dan Mojon sadar, telah tiba
saatnya mereka harus bertindak.
Kedua nelayan bersaudara yang sudah tua itu keluar dari desa
mereka dan menuju ke baris depan pasukan penggempur Amerika. Mereka
tersenyum ramah. Merek membungkuk sebagai tanda hormat, sambil
mengucapkan "Selamat datang!"
Serdadu-serdadu Amerika itu kebingungan. Mereka berhenti
melangkah. Untung, ada seorang pengalih bahasa yang mengikuti mereka.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan kedua orang Okinawa itu,
wajahnya penuh kehenaran. Ia menjelaskan: "Mereka hendak menyambut
kita sebagai sesama orang Kristen! Kata mereka, dulu di sini ada
utusan Injil dari Amerika, dan mereka senang sekali bertemu dengan
kita!" Ia menggaruk-garuk kepalanya tanda kebingungan.
Dalam pasukan penggempur itu ada juga seorang pendeta
tentara. Dengan beberapa opsir tentara, ia menghadap kepada kedua
nelayan pulau Okinawa itu. "Biarkanlah kami memeriksa desa kalian,"
pinta mereka melalui pengalih bahasa tadi.
Kedua nelayan yang sudah tua itu membungkuk lagi. Lalu mereka
mengantarkan orang-orang Amerika itu ke desa Shimmabuko. Memang ada
beberapa bangunan yang terkena bom, tetapi tidak ada penduduk yang
terluka. Mereka semua keluar dari rumah dan berderet-deret di
sepanjang jalanan desa. Mereka tersenyum lebar-lebar ke arah
teman-teman mereka yang baru itu.
Pendeta tentara dan para opsir itu semakin kagum. Bagaimana
sampai terjadi ada desa yang seolah-olah berseri ini? Rumah-rumahnya
begitu rapi; jalanannya begitu bersih; para penghuninya begitu ramah,
sehat, berbahagia!
"Tolong beritahu kami," pinta mereka kepada kedua nelayan tua
itu, "bagaimana sampai terjadi kalian mempunyai desa yang begitu
bagus keadaannya?"
Dengan bantuan pengalih bahasa, Mojon memberitahu mereka. Ia
bercerita tentang utusan Injil yang pernah mampir di Shimmabuko tiga
puluh tahun yang silam. Ia bercerita tentang Alkitab yang
ditinggalkan oleh orang Kristen itu. Ia pun menjelaskan bagaimana
penduduk desa itu sudah menyelidiki Alkitab serta menemukan di
dalamnya corak baru untuk cara hidup mereka.
Pendeta tentara dan para opsir itu diam saja karena
keheranan. Tetapi Shosei Kina mengira merreka membisu karena kecewa
terhadap dia dan desanya. "Kami sangat menyesal, Tuan-Tuan yang
mulia," katanya sambil membungkuk lebih dalam lagi. "Pasti cara hidup
kami dipandang masih terbelakang. Namun dengan sebulat hati kami
berusaha mengikuti ajaran Tuhan Yesus yang tercantum di dalam
Alkitab. Sudilah Tuan-Tuan yang mulia mengajari kami, bagaimana kami
dapat mengikuti ajaran-Nya itu dengan cara yang lebih baik."
"Cara yang lebih baik?" Pendeta tentara itu mengulangi
kata-kata tadi "Cara hidup mereka ini sudah jauh lebih baik daripada
cara hidup kebanyakan orang Kristen!"
Beberapa jam kemudian, ada seorang wartawan Amerika yang
ingin menyaksikan "desa yang berseri" itu. Ia dikawal oleh seorang
sersan tentara yang adatnya keras.
"Aku tidak mengerti," kata sersan itu kepada sang wartawan.
"Kebanyakan desa di pulau ini, penduduknya kotor, bodoh, putus asa.
Tapi coba lihat desa ini! Perbedaannya begitu besar. Dan kata
mereka semuanya terjadi hanya oleh karena di sini ada sebuah Alkitab
dan dua orang kakek yang mau hidup seperti Yesus."
Kedua orang Amerika itu bertemu dengan Shosei Kina dan Mojon.
Mereka merasakan hangatnya sambutan kedua nelayan bersaudara itu,
walaupun mereka tidak mengerti kata-kata yang diucapkan.
Sang wartawan ingin menyaksikan sendiri Alkitab yang telah
menyebabkan perubahan yang sedemikian besarnya di desa Shimmabuko.
Shosei Kina dan Mojon mengantar dia ke tempat ibadah. Di sana
terdapat sebuah mimbar kasar dengan sebuah Alkitab tua yang
diletakkan di atasnya, di tempat yang terhormat.
"Bolehkah kupegang?" tanya wartawan itu dengan bahasa
isyarat.
Shosei Kina tersenyum. Ia mengangkat Alkitab tua itu dari
atas mimbar. Sampulnya hampir terlepas; halamannya kumal; ternyata
Kitab Suci itu pernah kehujanan, lalu dikeringkan. Namun Kitab Suci
itu sangat berharga bagi penduduk desa Shimmabuko. Dengan pelan-pelan
Shosei Kina meletakkan Alkitab itu di telapak tangan sang wartawan.
Sersan itu amat terkesan. "Mungkin kita sudah bertempur
dengan senjata yang keliru," ia berbisik. "Mungkin Kitab Suci inilah
yang lebih ampuh mengubah keadaan dunia."
Alkitab itu dikembalikan ke tempatnya. Kedua orang Amerika
itu kembali ke tempat perkemahan mereka. Dan kedua orang Okinawa yang
sudah tua itu berpamitan dengan sahabat-sahabat baru mereka.
Rasa persahabatan itu hanya dapat timbul oleh karena ajaran
Tuhan Yesus saja. Perang yang dahsyat sedang mencekam seluruh dunia.
Namun di Shimmabuko, Firman Allah telah menjadi peraturan desa. Dan
"desa. Dan "desa yang berseri" itu tetap damai dan sentosa.
TAMAT