34. EMPAT EKOR AYAM DAN EMPAT HARI PERJALANAN
(Afrika, abad ke-20)
Di kampung halaman si Bula, jarang ada orang yang mempunyai
kelebihan uang. Di daerah Afrika itu, biasanya orang tukar-menukar
untuk mendapat apa saja yang diperlukan. Tambahan pula, si Bula
hanyalah seorang anak laki-laki; jika kaum dewasa sukunya kekurangan
uang, apa lagi anak-anak!
Bula berjalan pelan-pelan menuju padang, tempat
kambing-kambing sedang merumput. Ia duduk di bawah pohon kecil sambil
terus memeras otak.
"Aku harus mendapat uang," ia bergumam. "Tidak baik meminta
ayahku. Kalau memberi persembahan di gereja, seharusnya itu uangku
sendiri, bukan uang yang dititipkan oleh orang lain."
Muncullah si Walif; ia mau bermain dengan Bula. Tetapi si
Bula tidak mau bermain.
"Hatiku tidak tenang karena kata-kata Pendeta Musa tadi
pagi," kata Bula.
"Memang mengejutkan," Walif mengiakan. "Sampai sekarang
kata-katanya seolah-olah masih dapat kudengar."
"Baru kutahu!" cetus Bula. "Baru kutahu di dunia ini masih
ada orang yang belum punya Alkitab! Rasanya kita di sini adalah suku
terakhir yang diberi Alkitab."
Walif mengangguk. "Tetapi tadi pagi Pendeta Musa begitu
yakin. Katanya, pasti ada orang lain yang masih sangat memerlukan
Alkitab."
"Bukan kata-katanya itu yang mengganjal di hatiku," Bula
mengaku dengan terus terang. "Kalau ia berkata masih ada orang lain
yang memerlukan Alkitab, pasti itu benar, sebab Pendeta Musa tidak
pernah bohong. Tapi ia juga berkata, kita yang sudah punya Alkitab
. . ."
". . . harus turut meneruskan Alkitab kepada orang lain,"
kata Walif, menyempurnakan kalimat temannya. "Yah, kata-kata itulah
yan mengganjal di hatiku juga. Apa lagi, persembahan khusus akan
dikumpulkan hari Minggu depan. Kalau aku tidak memasukkan apa-apa ke
dalam tempurung itu, . . . bagaimana?"
"Wah, malu rasanya!" kata Bula sambil mengeluh.
"Tapi . . . aku tidak punya uang."
"Aku juga tidak punya uang," kata Bula membeo.
"Dan . . ." Walif berhenti sejenak, sambil berpikir. "Nggak
ada milikku yang dapat kujual."
"Memang, nggak ada . . ."
Selama beberapa menit kedua anak laki-laki suku Afrika itu
duduk termenung; muka mereka masing-masing sangat sedih.
"Nanti dulu," kata Walif dengan tiba-tiba. "Bagaimana dengan
ayam?"
"Ya, bagaimana?" Bula membalas.
"Sang kepala suku akan mengadakan pesta akhir bulan ini.
Pasti ia mau membeli ayam."
Bula mulai tersenyum lagi. "Aku punya ayam."
"Aku juga."
"Ayam milikku sendiri," Bula menambahkan. "Kalau aku mau
menjual ekor, boleh saja."
"Tetapi . . ." Sekonyong-konyong Walif kembali bermuka
masam. "Rasanya kurang enak kalau orang lain makan daging ayam,
sedangkan kita hanya makan kacang."
"Memang kurang enak," Bula mengiakan.
Lalu Bula bangkit berdiri seperti seorang tentara cilik.
"Walif, rasanya lebih kurang enak lagi kalau ada orang lain yang
belum punya Alkitab! Kalau kita dapat kirim uang seharga dua ekor
ayam kepada orang-orang di negeri yang jauh, pasti kita dapat
bertahan walau hanya makan kacang saja."
Walif juga berdiri tegak. Ia sudah siap bertindak. "Yuk, kita
tangkap ayam-ayam itu!"
Kedua anak laki-laki itu berlari tunggang langgang ke sebuah
kandang yang pagarnya semak berduri. Mereka memilih beberapa ekor
ayam yang baik untuk dijual.
Lalu . . . mulailah perburuan! Kedua anak laki-laki itu
berlari dan melompat ke sana ke mari. Bula mengira ia sudah mendapat
seekor babon gemuk; ternyata ia hanya mendapat dua buluh ekor yang
panjang. Walif merasa ia sudah menangkap seekor jago, tetapi jago itu
berkeok-keok dan menggelepur sampai lolos lagi.
Ketika kedua anak itu berhasil menangkap masing-masing dua
ekor, napas mereka sudah terengah-engah. Kaki ayam-ayam itu diikat
dengan tali rumput. Lalu Bula dan Walif bergegas pergi ke sebuah
rumah kepala suku.
Tetapi yang mereka terima di sana hanyalah kekecewaan belaka.
Juru masak kepala suku itu menawarkan sejumlah uang yang sangat
kecil. "Nanti setiap anak laki-laki suku ini pasti akan membawa ayam
ke mari untuk dijual," katanya mencibir. "Apakah sang kepala suku
itu orang kaya, yang dapat membayar dengan harga kota? Sesen pun
tawaranku tadi tak akan kutambah!"
Bula dan Walif mundur dari rumah kepala suku. Mereka duduk di
bawah naungan sebuah pohon yang cukup jauh sehingga juru masak itu
tidak dapat mendengar percakapan mereka. Di sana mereka
mempertimbangkan tawarannya tadi.
Timbullah sebuah pertanyaan: "`Harga kota'? Apa sih
maksudnya?"
Bula pergi menanyakan hal itu kepada ayahnya. Lalu ia kembali
melaporkan kepada Walif.
"Wah!" cetus si Bula. "Kata Ayah, di kota orang-orang rela
membayar hampir dua kali lipat tawaran si juru masak tadi!"
"Tetapi kota itu dari sini delapan puluh kilometer jauhnya,"
Walif mengingatkan dia.
"Minggu ini sekolah libur," kata Bula. "Kita dapat berjalan
ke sana."
"Berjalan!" Si Walif melongo. "Jalan kaki? Itu 'kan pasti
makan waktu dua hari!"
"Ya, dua hari." Si Bula mengangguk. "Kita sudah sering
berjalan sejauh empat puluh kilometer sehari. Lagi pula, rumah
pamanku kira-kira separo perjalanan. Kita dapat bermalam di rumah
pamanku!"
Memang Walif tahu bahwa ia dan Bula sudah biasa bepergian
jauh. Ia pun tahu bahwa paman Bula pasti akan menerima mereka kalau
menginap di rumahnya. Hanya saja . . . apakah hasilnya nanti sepadan
dengan susuah payah mereka?
"Kalau kita menjual di sini, kita hanya dapat memberi
persembahan seharga empat ekor, demi menolong orang lain mempunyai
Alkitab," kata Walif pelan-pelan sambil mengerutkan dahinya. "Tetapi
kalau kita menjual di kota, kita dapat memberi persembahan seharga
delapan ekor ayam!"
"Yuk, kita pergi!" Bula mengajak. "Persembahan kita menjadi
dua kali lipat, dan kita pun bersenang-senang pergi ke kota!"
"Maksudmu, kita bersusah payah pergi ke kota," kata Walif. Ia
merintih, seolah-olah ia sudah merasakan sakit kaki. "Tapi . . . uang
persembahan kita nanti memang menjadi dua kali lipat, ya?"
Kedua anak laki-laki itu pulang dan meminta izin kepada orang
tua mereka masing-masing. Keesokan paginya mereka berangkat. Cukup
sulit perjalanan itu! Di samping empat ekor ayam, mereka juga harus
membawa bekal makanan.
Namun benar, setiba di kota, dengan mudah mereka berhasil
menjual empat ekor ayam itu. Benar juga, "harga kota" itu dua kali
lipat dengan harga yang ditawarkan oleh juru masak kepala suku. Uang
logam yang banyak itu gemerincing di tangan mereka.
Perjalanan pulang mereka sangat menyenangkan. Bula dan Walif
mengikatkan uangnya masing-masing. Dan uang itu walau cukup banyak,
terasa ringan. Langkah kedua anak laki-laki itu mantap; wajah mereka
berseri-seri.
Pada hari Minggu berikutnya, Pendeta Musa berdiri di depan
jemaatnya. Sekali lagi ia menjelaskan mengenai keperluan persembahan
khusus, yaitu agar orang-orang di negeri yang jauh dapat memiliki
Alkitab.
Tempurung itu diedarkan dari tangan ke tangan. Bula dan Walif
tersenyum lebar. Uamg logam yang banyak itu kembali gemerincing
dengan keras pada saat menjatuhkannya ke dalam tempurung yang mereka
pegang bersama.
Seluruh jemaat turut bergembira; bahkan Pendeta Musa sendiri
tersenyum. Mereka semua sudah mengetahui tentang perjalanan si Bula
dan si Walif. Mereka pun tahu bahwa kedua anak laki-laki itu rela
menempuh perjalanan selama empat hari, agar dapat menjual empat ekor
ayam dengan harga dua kali lipat. Dan pada hari itu pula, cukup
banyak uang persembahan yang dimasukkan ke dalam tempurung, oleh
orang-orang Kristen suku Afrika yang baru menyadari tanggung jawab
mereka untuk meneruskan Firman Allah kepada orang-orang lain.
TAMAT