36. DRAMA NATAL YANG TAK DAPAT DIPAHAMI
(Pulau Kaledonia Baru, tahun 1980an dan 1990an)
Semestinya Ibu Melanie Kitchine senang sekali ketika ia
menyaksikan drama Natal di gerejanya. Bukankah dia sendiri yang sudah
melatih para pemain cilik itu, sehingga mereka dapat menghafalkan
bagiannya masing-masing dengan sempurna? Bukankah para orang tua
mereka sedang hadir, dengan tersenyum lebar karena merasa bangga atas
drama Natal yang sedang dipentaskan oleh murid-murid Ibu Melanie?
Namun Ibu Melanie justru merasa kurang senang pada waktu ia
menyaksikan drama Natal itu. Rasanya kata-kata indah yang diucapkan
para pemain cilik itu sesungguhnya kurang berarti, baik bagi
murid-muridnya sendiri maupun bagi para ibu dan bapak mereka.
"Allah menyertai kita," demikianlah berita Natal yang
disampaikan kepada Yusuf sebelum Yesus dilahirkan. Namun melalui cara
hidup mereka, orang-orang Kristen di pulau Kaledonia itu tidak
menunjukkan bahwa Allah benar-benar menyertai mereka.
"Lahir bagimu Juru Selamat," demikianlah berita Natal yang
didengar oleh para gembala di padang Efrata. Namun para ibu, bapak,
dan anak-anak itu kurang memberi bukti bahwa mereka telah mengenal
Sang Juru Selamat secara pribadi.
"Damai sejahtera di bumi," demikianlah berita Natal yang
diumumkan oleh para malaikat. Namun orang-orang Kristen yang
berkerumun di gedung gereja kecil di daerah pegunungan itu kurang
menghayati arti damai sejahtera dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mungkinkah . . . masalahnya itu masalah bahasa? Ibu Melanie
mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Setiap anak didiknya yang
membawakan peranan drama Natal itu, telah menghafalkan dengan
sempurna kata-kata pada bagiannya dalam bahasa Perancis. Bahasa
Perancis itulah bahasa nasional mereka, karena pulau Kaledonia Baru
sudah lama dijajah bangsa Perancis. Menjelang akhir abad ke-20,
kebanyakan penduduk pulau itu secara bebas memilih untuk tetap berpaut
pada Republik Perancis. Akan tetapi, kebanyakan penduduk pulau itu
pun kurang pandai berbahasa Perancis.
Misalnya, suku Ibu Melanie sendiri, suku Tieta. Daerah tempat
tinggal mereka, di bagian barat laut pulau Kaledonia Baru yang luas
itu, jauh sekali dari Noumea, ibu kotanya. Di antara mereka itu
sedikit sekali yang sungguh mengerti bahasa Perancis; mereka biasa
memakai bahasa Tieta saja. Jadi, anak-anak didik Ibu Melanie pada
saat mementaskan drama Natal di gereja itu hanya membeo saja. Dan
pada orang tua mereka amat bangga . . . padahal mereka tidak dapat
memahami apa yang sedang dibawakan oleh anak-anak itu.
Malam itu sesudah Ibu Melanie Kitchine pulang dari gereja, ia
berdoa dengan bersungguh-sungguh: "Ya Tuhan, tolonglah sukuku,
orang-orang Tieta, supaya mendapat Firman Tuhan dalam bahasa kami
sendiri!"
Berbulan-bulan lamanya Ibu Melanie terus-menerus menaikkan
doa yang itu-itu juga. Namun ia kurang yakin apakah permohonannya itu
akan dikabulkan. "Ya Tuhan, kiranya siapa yang akan diberi tugas
untuk mengerjakan terjemahan itu?" tanyanya sambil bergumul dalam
doa. "Pasti bukan aku! Aku sudah berkeluarga, dan suamiku kurang
setia kepada Tuhan dan gereja. Kami mempunyai dua orang anak
perempuan yang harus dipelihara. Aku sendiri bekerja di pabrik kopi
sepenuh waktu. Apalagi, aku kurang berpendidikan dan aku seorang
perempuan!"
Pada suatu hari, tiba-tiba Ibu Melanie sadar bahwa Tuhan sama
sekali tidak menghiraukan dalihnya. Dia sendirilah orang yang
dikehendaki Tuhan supaya mulai menyalin Firman Allah ke dalam bahasa
Tieta!
"Wah, Tuhan, mana bisa?" keluh Ibu Melanie dalam doanya.
"Memang aku sempat belajar bahasa Perancis sampai lancar, tapi . . ."
Tuhan masih tetap tidak menghiraukan dalih Ibu Melanie.
"Oke, Tuhan, baiklah!" Ibu Menie mencetuskan dalam doa. "Aku
akan mencoba saja . . . tapi jangan lupa, ya Tuhan, aku sangat
memerlukan pertolongan orang lain!"
Mulai hari itu, Ibu Melanie mengkhususkan satu jam setiap
hari untuk panggilan barunya. Ia membaca Alkitab dalam bahasa
Perancis. Lalu ia memakai sebuah buku tulis biasa untuk mencatat
kata-kata bahasa Tieta yang sama artinya.
Cara bekerjanya itu amat lamban! Dalam doanya berkali-kali
Ibu Melanie mengeluh: "Ya Tuhan, jangan lupa, aku sangat memerlukan
pertolongan orang lain!"
Pada tahun 1985 Tuhan mengabulkan permohonan Ibu Melanie
Kitchine. Beberapa utusan Injil datang ke pulau Kaledonia Baru,
khusus untuk mencari orang-orang seperti Ibu Melanie, yaitu orang
yang merasa terbeban karena sukunya belum mempunyai Firman Allah
dalam bahasa mereka sendiri. Para utusan Injil itu memperkenalkan Ibu
Melanie kepada beberapa orang Kristen yang sangat pandai. Orang-orang
Kristen itu mulai menolong Ibu Melanie untuk memahami hal-hal
berkenaan dengan tugas penerjemahan yang belum pernah ia pelajari
sebelumnya.
Pada waktu Ibu Melanie mulai maju dengan pekerjaan, ia pun
memerlukan pertolongan dari orang-orang sesukunya yang pandai
berbahasa Tieta. Orang-orang itu diperlukan sebagai petugas uji coba,
yang harus membaca terjemahan Ibu Melanie dan memberi kritik yang
membina.
Sebanyak dua belas orang dikerahkan untuk menolong Ibu
Melanie dengan cara itu. Orang-orang yang dipilih itu agak aneh! Di
antaranya ada beberapa orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus;
ada juga orang-orang Kristen yang kurang setia kepada Tuhan dan
gereja-Nya. Rasa-rasanya petugas uji coba yang paling aneh itu ialah
. . . suami Ibu Melanie sendiri.
Selama enam tahun Ibu Melanie berjuang terus. Selama enam
tahun itu pula, Tuhan bekerja secara ajaib dalam kehidupan kedua
belas penolongnya. Di antara mereka itu ada yang sudah lama membaca
Alkitab dalam bahasa Perancis. Namun sesungguhnya Sabda Allah baru
menjadi berarti bagi mereka, ketika mereka membacanya dalam bahasa
suku mereka sendiri. Satu persatu kedua belas orang itu mengaku
percaya kepada Tuhan yesus, atau mengambil keputusan untuk kembali
setia kepada Dia dan kepada gereja-Nya . . . termasuk suami Ibu
Melanie. Alangkah gembiranya!
Pada suatu hari dalam tahun 1991, banyak lagi orang sesuku
Ibu Melanie yang bergembira. Pada hari itu, untuk yang pertama
kalinya salinan-salinan Kitab Injil Matius dalam bahasa Tieta
dibagikan kepada para kepala desa. Dan pada hari itu pula, lebih
banyak lagi orang Tieta yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan
Yesus.
Ibu Melanie Kitchine masih tetap bekerja di pabrik kopi
sepenuh waktu. Ia masih memelihara keluarganya, masih menunaikan
tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Namun sebagai seorang
penerjemah Firman Allah, ia pun masih menaati panggilan Tuhan. Kitab
Injil Markus dan Lukas sudah selesai diterjemahkan ke dalam bahasa
Tieta; Kisah Para Rasul terus dikerjakan. Tambahan pula, Ibu Melanie
telah menjadi ketua persekutuan para penerjemah Alkitab di seluruh
pulau Kaledonia Baru.
Semuanya itu bertitik tolak pada saat Ibu Melanie telah
menghadiri suatu drama Natal yang sudah lama dipersiapkannya dengan
anak-anak didiknya. Lalu ia mulai menyadari bahwa tidak seorang pun
di antara murid-muridnya ataupun para orang tua mereka yang sungguh
dapat memahami berita Natal yang hendak disampaikan itu.
Dengan diterimanya panggilan Tuhan untuk menjadi seorang
penerjemah Firman-Nya, Ibu Melanie Kitchine terus-menerus
menyampaikan makna Alkitab kepada orang-orang sesukunya dalam bahasa
mereka sendiri bukan hanya pada Hari Natal saja, melainkan sepanjang
tahun.
TAMAT