33. DUA PENODONG DAN SATU ALKITAB
(Amerika Serikat, pertengahan abad ke-20)
Sam Johnson seorang penjual Alkitab. Penjual Alkitab di
Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20 itu kebanyakan orang
kulit putih, tetapi Sam orang kulit hitam. Biasanya ia disambut
dengan gembira oleh rakyat berkulit hitam di negara bagian North
Carolina, yakni daerah perdagangannya itu.
Kebanyakan orang Negro di daerah pertanian itu agak miskin;
jarang mereka sanggup membeli sebuah Alkitab. Itu sebabnya Sam
Johnson cukup banyak membawa Kitab Perjanjian Baru, serta Injil-Injil
dan kitab-kitab lainnya yang dicetak dan dijilid tersendiri.
Bagian-bagian Firman Allah yang harganya lebih murah itu cukup banyak
yang laku.
Sam mempunyai sebuah mobil tua yang dipergunakan untuk pergi
berkeliling sambil menjual Alkitab. Banyak Alkitab lengkap, Kitab
Perjanjian Baru, dan Injil disusun dengan rapi di dalam dos-dos, lalu
diletakkan di dalam mobilnya. Sam tidak suka kalau harus sering
kembali ke agen grosir untuk menambah persediaan barang cetakan
berupa Firman Allah itu.
Mobil Sam itu cukup besar, sehingga dapat juga memuat
persediaan makanan. Sering ia pergi berjualan Alkitab ke daerah yang
jarang terdapat kedai makanan. Jadi, menjelang tengah hari Sam suka
mencari tempat yang sepi, lalu di situ ia makan bekal yang dibawanya
sendiri.
Pada suatu hari Sam Johnson sedang menyetir mobilnya di jalan
pegunungan yang sunyi. Di mana-mana terdapat hutan dan semak belukar.
Jika ia terus menelusuri jalan raya sampai menemui sebuah rumah
makan, jam makan siang pasti sudah jauh lewat. Lagi pula, Sam sudah
bekerja keras sejak pagi. Ia merasa capai, dan ingin sekali
beristirahat.
Itu sebabnya Sam membelokkan mobilnya ke sebuah lorong kecil.
Walau lorong itu cukup sempit, Sam terus menelusuri sampai kira-kira
tiga kilometer dari jalan raya. Di sana, di tengah-tengah hutan
belukar, ia menemukan suatu tempat terbuka. Ternyata di situ
rumah petani. Tetapi rumah itu sudah lama musnah, hanya tinggal
lubang bekas ruang di bawah tanah yang ditumbuhi alang-alang yang
tinggi.
Nah, ini dia, kata Sam kepada dirinya sendiri. Tempat terbuka
itu cukup luas sehingga dengan mudah ia dapat memutar mobilnya. Lalu
ia mematikan mesin, turun, mengeluarkan bekalnya, dan terus menyatap
sampai kenyang.
Seusai makan Sam memperhatikan sebuah batu datar besar yang
tergeletak di dekat sebatang pohon, seolah-olah tempat duduk alamiah.
Sam duduk di atas batu itu dan menyandarkan punggungnya pada pohon.
Beberapa saat kemudian, matanya sudah tertutup dan ia pun tertidur.
Ada suara yang membangunkan dia. Ia membuka matanya. Laku ia
benar-benar siuman. Dua orang asing berdiri di depannya, dan salah
seorang di antaranya menodongkan pistolnya ke arah Sam.
"Hei, cepat, kamu, berdiri!"
Sam melompat berdiri. Kedua orang itu bermuka bengis; Sam
sama sekali tidak mau membangkitkan amarah mereka.
"Cepat buka dos-dos di dalam mobil itu! Dan jangan bikin
gaduh, nanti kamu kontan mati!"
Walaupun salah satu dos itu diikat dengan simpul tali yang
kuat, namun Sam membuka semuanya dengan cepat, seolah-olah mau
mencapai rekor baru.
Penodong yang kedua mendekati mobil "Kamu ke sana!"
perintahnya.
Sam segera meninggalkan mobilnya. Ia sama sekali tidak mau
berbantah-bantah dengan kedua orang itu.
Dengan ketat Sam dijaga oleh penodong yang memegang pistol
itu. Penodong yang seorang lagi memeriksa muatan di dalam mobil, dos
demi dos.
"Kok . . . aneh," kata penodong kedua itu.
"Apa sih isinya?" tanya penodong pertama, kurang sabar.
"Alkitab! Alkitab melulu! Seumur hidup belum pernah kulihat
sekian banyak Alkitab!"
"Alkitab!" Penodong pertama membeo dengan nada jengkel. Lalu
ia menegur Sam lagi. "Kamu penjual Alkitab?"
"Betul, Tuan," jawab Sam, sangat sopan.
Penodong pertama itu kelihatan bingung. Ia menurunkan
pistolnya. "Siapa namamu? Tadinya kami bermaksud membunuhmu."
"Sam Johnson, Tuan", seolah-olah maksud jahatnya itu sudah
berubah? Dan pistolnya itu tidak lagi diarahkan ke kepala Sam.
Penodong pertama itu terus berbicara: "Yah, Sam, tadinya kami
akan membunuhmu. Tahu, yah, kami baru lolos sehabis yah, sehabis
beraksi dan kami mau melarikan diri ke negara bagian Florida. Kami
perlu mobil. Kami melihat kamu duduk-duduk santai dibawah pohon, jadi
kami bermaksud membunuhmu, mengambil mobilmu, dan terus amblas."
Penodong kedua itu memandang temannya dengan heran. "Kok
. . . kenapa sih ngomong terus? Ayo kita berangkat 'aja!"
"Nanti dulu, nanti dulu," kata pemimpin kedua penodong itu.
Ia mendekati mobil Sam dan menggapai sebuah Alkitab. "Yah . . . aneh,
kamu penjual Alkitab. Bertahun-tahun aku tidak melihat Alkitab."
Ia membuka-buka Alkitab itu. "Ibuku dulu sangat baik, . . ."
katanya, seolah-olah sedang melamun. "Ibuku dulu suka membacakan
Alkitab kepadaku. Sejak ibuku meninggal, sedikit sekali kupikirkan
tentang hal itu."
Penodong kedua itu duduk pada batang pohon yang sedang roboh.
Rupaya ia kurang mengerti apa yang sedang terjadi. Tetapi tidak
mengapa, perannya dalam "aksi" yang baru saja mereka laksanakan itu
sepele saja; sebenarnya ia tidak begitu pusing, apakah mereka
berhasil melarikan diri ke tempat yang jauh atau tidak.
Pemimpin kedua penodong itu menyandarkan tubuhnya pada pintu
mobil. Sekali lagi ia membolak-balikkan halaman Alkitab. "Yah, aku
masih ingat . . .," katanya hampir berbisik.
Hening sejenak . . . . Berkas-berkas matahari yang menembus
dahan-dahan pohon pines itu menyinari tempat terbuka bekas halaman
rumah petani. Cahaya matahari itu menyentuh Sam yang sedang mengawasi
keadaan, . . . menyentuh sebuah pistol yang diletakkan di atas kap
mobil, . . . menyentuh seorang penodong yang asyik mengenang kembali
cerita-cerita yang pernah digemarinya dulu semasa kecil.
Sam memperhatikan tangan penodong itu mengusap matanya.
Ternyata kenangan lama itu telah menitikkan air mata.
Sam berlutut di atas rerumputan. Bila berdoa ia sudah biasa
berlutut, dan sekarang ia merasa sudah saatnya untuk berdoa. Dalam
hati ia mendoakan orang itu, yang sedang mengenang masa ia menjalani
kehidupan yang benar. Siapa tahu, mungkin orang ini masih sempat
meninggalkan kejahatannya serta kembali ke jalan yang benar.
Tempat terbuka di tengah-tengah hutan belukar itu menjadi
sangat tenang. Lalu pemimpin kedua penodong itu memperhatikan bibir
Sam yang sedang bergerak-gerak, mata Sam yang sedang tertutup, lutut
Sam yang sedang bertekuk.
"Yah, doakan aku Sam," katanya. Suaranya hampir menjadi
halus, lain sekali dengan suaranya semula yang sangat bengis itu.
"Aku sungguh perlu didoakan. Dan sesudah kamu mendoakan diriku, ayo
masuklah ke dalam mobilmu dan pergilah."
Orang yang kedua itu seolah-olah mau menyela, tetapi pemimpin
penodong memberi isyarat supaya ia diam. "Gara-gara kami beraksi
tadi, mungkin sekali orang yang berhasil menangkap kami berdua akan
mendapat hadiah yang cukup besar," katanya. Ia menelan ludah,
seakan-akan belum pasti apa yang harus dikatakan selanjutnya. "Tetapi
orang yang berhasil mengikuti pesan Alkitab akan mendapat hadiah
lebih besar lagi."
Pemimpin kedua penodong itu tersenyum ke arah Sam Johnson.
"Jangan khawatir, Sam," katanya. "Kamu tidak akan melihat aku
menodong lagi. Lihat!" Ia melemparkan pistolnya ke dalam lubang besar
yang dulu bekas ruang di bawah tanah dari rumah petani. "Sebaiknya
kamu pergi sekarang, Sam. Dan jangan lupa, terus berdoa untuk kami.
Siapa tahu, mungkin kami berdua akan kembali menjadi orang yang
berguna!"
Sam segera mendekati mobilnya dan duduk di belakang setir. Ia
menghidupkan mesin. Pelan-pelan ia menyetir mobilnya sehingga kembali
menghadap ke jalan raya. Tetapi sebelum memasukkan persneling, ia pun
menoleh ke belakang, ke arah kedua penodong tadi.
Kini kedua-duanya duduk di atas batang pohon yang sudah
roboh. Pemimpin kedua penodong itu sedang membacakan Alkitab kepada
teman-temannya. Suaranya jelas terdengar melalui udara siang yang
panas itu; ia sedang membaca Kitab Yesaya, pasal 55:
"Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air,
dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! . . .
Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku;
Dengarkanlah, maka kamu akan hidup!"
Sam Johnson menganggukkan kepalanya pada saat mobilnya mulai
bergerak meluncur di lorong yang sepi itu. "Mereka akan kembali ke
jalan yang benar. Mereka akan menjadi orang-orang yang berguna."
Entah mengapa, . . . Sam merasa yakin betul atas firasatnya itu.
Dengan lemah lembut Sam Johnson menyanyikan sebuah lagu
rohani kuno pada saat ia kembali ke jalan raya untuk meneruskan
perjalanannya.
TAMAT