28. BISKUIT YANG DITUKAR DENGAN BUNYI
(Kepulauan Vanuatu, 1848 - 1872)
"Darat!" seru seorang kelasi yang sedang bertengger di mercu
yang tiang itu. "Ada darat di sana!" Suaranya mengalun dari atas ke
bawah, ke geladak kapal layar yang sedang melintasi Lautan Pasifik
itu.
Seluruh isi kapal itu segera naik dari bawah. Sudah lama
mereka rindu menyaksikan daratan! Ada kelasi yang mulai naik ke tiang
layar untuk dapat melihat lebih jauh ke arah haluan. Ada penumpang
yang lari ke kayu rimbat di pinggir geladak.
Salah seorang penumpang itu adalah seorang pemuda bernama
John Geddie. Ia pun rindu sekali menyaksikan daratan yang sudah
nampak di kejauhan itu. Pasti daratan itu lain sekali daripada apa
saja yang pernah dilihatnya sepanjang umur.
John Geddie berasal dari negara Kanada, propinsi Nova Skotia.
Ia sudah mengenal lautan, tetapi lautan di sana ditumbuhi pohon
cemara dan pines, dan sering tertutup salju.
Lain sekali dengan daratan yang sedang dituju oleh kapal
layar itu! John Geddie telah datang ke daerah Pasifik Selatan yang
panas lembab, agar ia dapat memberitakan Kabar Baik tentang Tuhan
Yesus kepada para penduduk Kepulauan Vanuatu. Atau lebih tepat: Ia
berharap ada kesempatan memberitakan Kabar Baik kepada mereka,
sebelum mereka sempat memakan dia, . . . karena pada tahun 1848,
masih ada di antara penduduk Vanuatu itu yang suka makan daging
manusia.
Selama kapal berlayar mendekati pelabuhan, John Geddie
menunggu dengan perasaan kurang sabar. Pulau itu nampaknya seperti
zamrud hijau di tengah-tengah lauatan nan biru. Pohon-pohon palem
menjulang tinggi di pantai pasir putih.
Ternyata pulau yang pertama-tama dilihat John Geddie itu
bernama pulau Aneityum. Penduduk pulau itu sudah biasa didatangi
orang asing. Mereka suka berdagang dengan para pendatang yang naik
kapal dari jauh. Jadi, John tidak usah khawatir akan dibunuh dan
dimakan selama ia menetap di pulau Anityum itu.
Dengan mudah John Geddie menyewa sebuah rumah. Para
tetangganya yang baru itu rupanya cukup ramah. Namun mereka kurang
berminat akan ajarannya tentang Tuhan Yang Maha Esa.
"Kami punya ilah-ilah sendiri," demikian kata orang-orang
Vanuatu itu. "Buat apa kamu mau mendengar tentang ilah lain yang
diceritakan orang asing yang warna kulitnya sudah luntur itu?"
Tidak lama kemudian, kapal laut yang telah membawa John
Geddie ke pulau Aneityum itu berangkat lagi. Ia berdiri di pantai
sambil melambaikan tangannya selama layar itu kelihatan semakin kecil
di kejauhan.
Di pantai itu, di kelilingnya berdiri bapak-bapak, ibu-ibu,
dan anak-anak. Mereka semua asyik bercakap-cakap. Namun tidak ada
satu kata pun yang dapat dipahami oleh John Geddie.
Sudah jelas, aku harus belajar bahasa mereka, kata John dalam
hatinya. Maka pada saat kapal layar itu makin menghilang di lautan
lepas, ia mulai mendengarkan baik-baik lagu kalimat yang sedang
diucapkan di sekitarnya.
Penduduk pulau Aneityum yang suka berdagang itu cukup pandai
berbicara bahasa Inggris. Mereka biasa bisa menggali akar ararut (ubi
garut), lalu menawarkannya kepada para pendatang. Biasanya daripada
menerima uang, mereka lebih suka tukar-menukar saja, sehingga dengan
demikian mereka mendapat barang-barang yang mereka inginkan.
Tetapi masalahnya, bahasa Inggris yang cocok untuk
perdagangan tukar menukar itu, bukanlah bahasa Inggris yang cocok
untuk memberitakan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus. Apa lagi, John
Geddie tidak berminat mengajarkan bahasa Inggris kepada penduduk
pulau itu.
Buat apa aku mengajar mereka membaca Alkitab dalam bahasa
Inggris? tanya John pada dirinya sendiri. Sebaiknya, aku mau belajar
bahasa Aneityum, bahasa mereka. Bila aku menceritakan isi Alkitab,
aku ingin supaya mereka semua dapat mengerti, dari nenek yang paling
tua samapi anak yang paling kecil. Aku ingin menjadi begitu pandai
berbicara dalam bahasa mereka, sampai-sampai mereka akan merasakan
bahwa aku adalah salah seorang dari antara mereka.
Tidak lama kemudian, John Geddie memang dapat mengucapkan
banyak kata dalam bahasa Aneityum. Namun ia belum puas. Ia sering
meminta orang-orang Vanuatu mengulangi sampai berkali-kali satu kata
yang sama. Ia pun minta supaya satu kata itu mereka ucapkan dengan
sangat pelan-pelan, agar ia dapat membeo bunyi yang sedang
didengarnya itu.
Tetapi penduduk pulau itu kurang senang jika terus-menerus
mengulangi kata-kata yang sama. Malu rasanya, jika harus bertalu-talu
mengluarkan bunyi yang sama, . . . hanya agar seorang asing dapat
memperhatikan mulut mereka. Lambat laun mereka tidak segan-segan
menyatakan rasa bosan atau rasa tersinggung mereka; satu persatu
mereka meninggalkan di seorang diri.
Wah, bagaimana aku dapat menguasai bunyi bahasa ini? tanya
John Geddie pada dirinya sendiri. Apa lagi, jika aku tidak dapat
menguasai bunyinya, bagaimana aku dapat menyusun tanda-tanda tulisan
untuk bahasa ini yang belum pernah ditulis?
Pada suatu hari John sedang mengunyah sepotong biskuit kapal.
Biskuit kapal itu lain daripada biskuit kaleng--keras sekali, dan
rasanya asin. Justru karena kerasnya, biskuit semacam itu dapat
bertahan lama. Pada masa lampau, selama pelayaran yang memakan waktu
panjang, biskuit kapal biasa dibawa serta sebagai bekal.
Mula-mula John Geddie tidak suka memakan biskuit kapal.
Tetapi lambat laun ia mulai menyukai rasanya, sehingga pada waktu
kapal hendak melanjutkan perjalanannya, ia minta supaya ditinggalkan
satu peti biskuit itu baginya. Sewaktu-waktu ia mengunyah sepotong
biskuit yang keras dan asin rasanya itu.
Pada waktu John sedang makan-makan, kebetulan lewatlah
seorang Vanuatu. Ia salah seorang penduduk setempat yang telah
meninggalkan John tanpa pamit, karena ia bosan atau tersinggung jika
diminta berulang-ulang mengucapkan kata yang sama. Namun John ingin
tetap bersikap ramah terhadap tetangganya itu, maka ia menawarkan
sepotong biskuit kapal kepadanya. "Silakan coba!" katanya dalam
bahasa Inggris.
Dengan agak was-was orang itu mulai mencicipi. Ia mengunyah
biskuit yang keras itu. Ia menjilat dengan lidahnya. Lalu ia
mengunyah lagi. Sudah jelas, ia menyukai biskuit yang asin rasanya
itu.
Setelah selesai, ia mengulurkan tangannya. Tetapi John Geddie
baru mendapat akal. Ia tidak segera memberikan lagi kepada
tetangganya itu.
"Ayo, tukar!" kata John. Dan memang mereka mulai
tukar-menukar. Yang diterima John sebagai pengganti biskuit itu,
bukannya barang melainkan bunyi-bunyi yang diucapkan berulang-ulang.
Dengan cepat berita itu mulai tersiar: "Orang asing yang aneh
itu rela memberikan makanan yang enak, asal saja ada penduduk yang
rela membuang waktu dengan berkali-kali mengucapkan kata-kata dalam
bahasanya sendiri!" Maka selanjutnya John tidak pernah kekurangan
penolong dalam usahanya belajar bahasa setempat.
Sepotong demi sepotong ia menawarkan biskuit kapal itu kepada
penduduk setempat. Satu demi satu ia menguasai bunyi yang biasa
dilafalkan dalam bahasa mereka, sampai dapat membeo setiap kata
dengan tepat dan jelas.
Sementara itu, John Geddie juga sudah menyusun semacam abjad
bahasa Aneityum. Ia mulai mencatat kata-kata dalam bentuk tulisan.
Tidak lama kemudian, kepada para tetangganya ia dapat bercerita
tentang Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga dapat bercerita tentang Yesus
Kristus, yang sangat mengasihi semua orang.
Cerita-cerita yang disampaikan John Geddie itu berasal dari
Kitab Injil Markus. Setiap kali bercerita, ia pun mencatat kata-kata
dari ceritanya itu. Lambat laun ia dapat menyusun seluruh Injil
Markus dalam bahasa Aneityum.
Penduduk pulau itu sudah mulai mengenal John Geddie; ia pun
sudah semakin mengenal mereka. Mereka mulai saling mempercayai dan
saling mengasihi. Oleh para tetangganya John sering dibawa serta pada
waktu mereka pergi menjala ikan atau memelihara tanaman ubi ararut.
Mereka memperlihatkan kepadanya bagaimana mereka menggali akar
ararut, serta menyiapkan hasil tumbuhan itu untuk dijual.
Mereka juga mengajar John tentang adat mereka, tentang
dongeng mereka, tentang cara mereka beribadah. Dengan panjang sabar
John pun mengajar mereka tentang Tuhan Yesus Kristus. Lambat laun ada
banyak di antara mereka yang menjadi orang Kristen.
Di samping mengajar, John Geddie juga masih terus
menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Setelah Kitab Injil
Markus selesai, naskahnya dikirim ke Australia untuk dicetak. Ketika
buku-buku kecil yang berisi Injil Markus itu sudah kembali lagi,
sebagian penduduk Vanuatu merasa sangat senang: Mereka dapat membaca
Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri! Tetapi sebagian lagi merasa
sangat sedih, karena mereka itu masih buta huruf.
Maka John Geddie mulai mengajar orang-orang yang buta huruf
itu, agar mereka dapat membaca bahasa mereka sendiri. Sementara itu,
ia pun terus mengalihkan Firman Allah ke dalam bahasa mereka. Ketika
Kitab Injil Matius selesai, John berhasil membeli sebuah alat cetak
kecil. Selanjutnya hasil karyanya itu dapat langsung dicetak di
Vanuatu.
Akhirnya seluruh Kitab Perjanjian Baru selesai diterjemahkan
ke dalam bahas Aneityum. Dengan gembira John Geddie berkata kepada
kawan-kawannya, "Sekarang kita harus mencetaknya."
Tetapi Kitab Perjanjian Baru itu terlalu tebal; tak mungkin
dikerjakan dengan alat cetak kecil yang sudah ada. Maka John Geddie
mengumpulkan para pemimpin masyarakat setempat.
"Sekarang sudah ada Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa kalian
sendiri," ia mengumumkan.
"Benar!" jawab pemimpin mereka yang tertua. "Sungguh bagus
dan ajaib, bahwa hal itu sudah terwujud."
"Selanjutnya," kata John, "banyak salinan yang harus dibuat
oleh mesin."
Para pemimpin masyarakat akan menunggu perkataannya lebih
lanjut.
"Hal itu menuntut uang."
Tidak ada seorang pun yang berbicara.
"Aku tidak punya uang," kata John dengan sedih.
"Kami juga tidak punya uang," kata para pemimpin.
Hening sejenak . . . Lalu John Geddie berbicara lagi: "Namun
kalian sudah biasa menawarkan akar arurat kepada para pedagang kapal.
Apakah kalian rela menyisihkan sepersepuluh dari hasil tukar-menukar
itu? Apakah kalian rela menguangkan yang sepersepuluh itu, agar dapat
dipakai untuk mengongkosi pencetakan Alkitab?"
Para pemimpin itu pulang dan berunding dengan rakyat. Lalu
mereka melaporkan bahwa rakyat Vanuatu memang rela menyisihkan
sepersepuluh dari hasil perdagangan mereka.
Setelah sepersepuluh itu diuangkan, hasilnya dua ribu dolar.
John Geddie mengirimkan uang itu beserta naskah Kitab Perjanjian Baru
berbahasa Aneityum, agar dapat dicetak ditempat yang jauh.
Berbulan-bulan lamanya John dan kawan-kawannya menunggu. Lalu
pada suatu hari, ada sebuah kapal yang sedang membongkar muatannya di
pulau Aneityum. Di antara muatannya itu ada beberapa bungkusan besar
yang dialamatkan kepada John Geddie.
Setiap keluarga di pulau itu menerima sebuah Kitab Perjanjian
Baru. Namun di antara mereka masih ada yang belum pandai membaca.
"Mari kita mengadakan sayembara!" usul John. Beberapa hadiah
di tawarkan kepada orang-orang yang berhasil membacakan Perjanjian
Baru secara tepat dan jelas. Dengan rajin mereka bersaing untuk
menjadi pandai membaca Firman Allah. Ternyata setiap hari ada
sebanyak dua ribu orang Vanuatu asyik membacakan Alkitab. Dan sisa
penduduk pulau itu asyik mendengarkan pembacaan mereka.
Sementara itu, John Geddie masih tetap meneruskan tugasnya
sebagai guru dan penerjemah. Menjelang tahun 1872, hampir seluruh
Kitab Perjanjian Lama sudah dialihkan ke dalam bahasa Aneityum.
Dua puluh empat tahun sudah lewat sejak kelasi itu menyerukan
"Darat!" dari mercu tiang layar yang sedang membawa John Geddie dari
jauh. Dan pada tahun yang kedua puluh empat itu juga, John Geddie pun
tutup usia.
Para penduduk Vanuatu berkabung. "Ia telah meninggalkan
kita," kata mereka. "Ia telah berpulang ke surga." Lalu mereka
memasang sebuah plaket pada dinding gedung gereja terbesar di pulau
Aneityem. Di atas plaket itu terukir kata-kata ini:
"Ketika ia mendarat pada tahun 1848,
Di sini tidak ada orang Kristen.
Ketika ia berpulang pada tahun 1872,
Di sini tidak ada orang kafir."
TAMAT