29. BAHASA YANG TIDAK DIKENAL
(Kanada, 1855 - 1864)
John Wolsey menggigil. Dengan cepat ia keluar dari sungai
yang sangat dingin airnya. Pantas saja John merasa kedinginan sampai
kulitnya merinding, karena ia sedang telanjang. Dan sungai itu
mengalir dari gunung yang tinggi, yang puncaknya berlapiskan salju.
Kedua orang suku Indian yang menemani dia dalam perjalanannya
melalui hutan rimba di negeri Kanada itu juga hampir telanjang. Namun
mereka sudah biasa dengan pakaian yang minim sekali, sedangkan John
biasanya memakai baju panas, kemeja, dan celana yang hangat. Karena
mereka harus mengarungi sungai, ia membuka pakaiannya, lalu
membungkusnya dan menaruh di atas kepalanya agar tidak sampai
basah.
Waktu menyeberang, John tetap memakai sepatunya. Ia khawatir
kalau-kalau kakinya terkena batu runcing di dasar sungai. Setibanya di
seberang, sepatu John sudah banyak menyerap air. Dengan tergesa-gesa
ia mengenakan pakainya lagi. Kaus kakinya yang kering dan tebal itu
segera mulai menghangatkan kakinya yang terasa seperti sudah beku.
Tetapi kemudian ia harus memasukkan kakinya kembali ke dalam
sepatunya yang basah kuyup itu.
Kedua orang suku Indian itu memandang John Wolsey dengan muka
masam. Kaki mereka sudah biasa terkena batu runcing; kulit mereka pun
sudah kebal terhadap angin dan air dingin. Namun mereka sudah
berjanji akan menemani orang kulit putih dalam perjalanannya. Jadi,
mereka menunggu denga sabar sampai ia selesai berpakaian lagi.
Dengan segera tubuh John menjadi hangat lagi, karena kedua
pemandunya itu berjalan dengan cepat, dan terpaksa ia harus
membuntuti mereka. Jika ia tidak salah mengerti keterangan mereka
tadi, ia akan tiba di tempat perkemahan suku mereka sebelum matahari
terbenam.
Hati John mulai deg-degan bila mengingat bahwa ia belum
pernah menghadap kepala suku Indian mereka. Pada awal tiap
kunjungannya ke suku yang baru, ia selalu ingat: Ada kemungkinan ia
akan kehilangan nyawa. Memang, sampai sekarang setiap kepala suku
yang ditemuinya itu berlaku cukup ramah terhadap dia. Tetapi
seandainya ada hanya seorang kepala suku saja yang tidak suka
terhadap John Wolsey, mungkin sekali rambutnya akan dijadikan hiasan
kemah, sedangkan bangkainya akan dibuang ke dalam hutan.
Berjam-jam lamanya John mengikuti kedua orang Indian itu.
Kadang-kadang kakinya tersandung batu, tetapi umumnya ia melangkah
dengan mantap. Ia sudah banyak belajar bagaimana menelusuri jalan
setapak di tengah hutan rimba.
Tiba-tiba kedua pemandu itu berhenti. Yang lebih muda
menunjuk ke arah depan. Nampaklah asap yang mengepul ke atas.
"Itu tempat perkemahan sukuku!" kata pemuda itu. "Tunggu dulu
di sini."
John rela saja menunggu. Ia tahu, pemuda itu akan memasuki
perkemahan lebih dahulu agar dapat menghadap kepala suku. Ia akan
menceritakan kedatangan soerang kulit putih, dan akan memohon supaya
orang asing itu pun diperbolehkan menghadap.
Sementara orang Indian yang lebih muda itu pergi mendahului
mereka, temannya yang lebih tua tetap mengawal John: Jangan-jangan
ada suku Indian lain yang muncul di hutan ini dan langsung saja
membunuh dia!
Satu jam kemudian, orang Indian yang lebih muda itu kembali.
Ia melambaikan tangannya ke arah kumpulan asap tadi. Beritanya
singkat saja: "Kepala suku rela menerimamu."
Ia tidak usah memberi keterangan lebih lanjut. Sejak John
Wolsey tiba di daerah suku Cree beberapa bulan yang lalu, ia berusaha
keras agar dapat mempelajari bahasa mereka. Namun hasilnya sedikit
saja. Paling-paling ia dapat mengerti petunjuk-petunjuk sederhana
dari kedua pemandunya itu. Tetapi ia tidak dapat mengikuti percakapan
mereka. Ia pun tidak dapat mengatakan hal-hal yang sungguh penting
kepada mereka.
Kepala suku dan para anggota pasukan perangnya itu bermuka
masam pada saat John Wolsey dan kedua pemandunya memasuki perkemahan.
Rupanya mereka kurang senang didatangi seorang kulit putih: apa lagi,
ia seorang kulit putih yang tidak membawa serta bingkisan besar
sebagai hadiah bagi mereka.
Namun dengan mantap John melangkah masuk ke dalam perkumpulan
orang Indian itu. Ia menghadap kepala suku dan mengulurkan kedua
belah tangannya sebagai tanda persahabatan. "Kawan-kawan!" ia
berseru. Lalu ia memberi isyarat kepada pemandunya yang lebih tua
itu. "Tolong beritahu mereka," pintanya.
Orang Indian itu mulai berbicara. Ia sudah biasa menemani
John dalam perjalanan. Ia tahu apa yang biasa terjadi bila mereka
baru pertama kali memasuki perkemahan suatu suku.
"Orang berkulit putih ini tidak membawa senjata, hai Tuanku,"
katanya dengan hormat kepada kepala suku itu. "Ia hanya membawa serta
sebungkus benda-benda putih lebih tipis daripada kulit pohon, lebih
keras daripada daunnya. Di atas benda-benda putih itu ada
tanda-tanda, seolah-olah telah dicoreti dengan arang. Salah satu
benda putih itu ada dipegang oleh orang berkulit putih ini, sedangkan
matanya diarahkan kepadanya."
Kepala suku itu agak melongok ke depan agar ia dapat
mendengar. Para anggota pasukan perangnya juga menarik napas panjang.
Kira-kiranya apa yang dilakukan orang berkulit putih yang aneh ini,
dengan semacam benda yang aneh pula?
Pemandu itu meneruskan ceritanya. "Setelah itu, hai Tuanku,
dengan menggunakan semacam sihir yang belum kupahami, orang berkulit
putih ini yang kurang mengerti bahasa kita namun dapat membuka
mulutnya, dan yang keluar ialah . . . kata-kata dalam bahasa kita!
Cerita-cerita yang belum pernah didengar oleh suku kita, itulah yang
disampaikannya. Dan ajarannya itu mengenai Sang Roh Agung, bagaikan
Bapak yang sangat mengasihi anak-anak-Nya."
"Sihir! Sihir!" Kata itu terdengar dibisikkan dari dalam
kemah-kemah yang mengelilingi tempat John Wolsey dan pemandunya
sedang menghadap kepala suku. Di belakang setiap pintu kemah yang
terbuat dari kulit rusa itu, ibu-ibu dan anak-anak sedang asyik
mendengarkan. "Orang berkulit putih ini pasti seorang tukang sihir
yang besar!" mereka berbisik seorang kepada yang lain.
"Sihir?" kata kepala suku dengan nada bertanya. "Apakah ia
memakai mantera dan guna-guna?"
"Tidak begitu, Tuanku," jawab pemandu itu. Rupanya ia sama
saja seperti orang-orang berkulit putih lainnya. Namun . . . tidak
sama juga. Walau ia sangat bodoh dan tidak dapat mengikuti jalan
setapak tanpa bantuan seorang pemandu, namun ia berjalan terus dengan
gigih. Ia tidak pernah marah atau mengomel, walaupun kadang-kadang
usaha kami untuk memburu binatang gagal dan kami harus berjalan
sepanjang hari tanpa makan."
"Dan . . . apa yang diinginkannya dari kami?" tanya kepala
suku itu dengan was-was. "Ia sudah berjalan begitu jauh dari
bangsanya sendiri."
"Ia cuma mau duduk-duduk bersama semua orang di sisi api
unggun," pemandu itu melanjutkan. "Yah, pada malam hari, bila tugas
sehari-hari selesai. Pada waktu itu ia mau membongkar bungkusannya
dan mengeluarkan benda-benda putih yang seolah-olah dicoreti arang.
Lalu ia mau membuka mulutnya dan menyampaikan kata-kata yang
diberikan kepadanya oleh ilmu sihir itu. Hanya itu saja yang
diinginkannya, hai Tuanku."
Kepala suku itu diam sebentar. Sesungguhnya ia kurang senang
terhadap orang-orang berkulit putih. Mereka sering menipu sukunya,
atau menjual minuman keras yang memabukkan kaum mudanya. Baru sebulan
yang lalu, ada dua pemburu berkulit putih yang serta-merta masuk ke
dalam perkemahan itu; rambut kepala mereka berdua telah menjadi
hiasan kemah kepala suku. Tetapi orang berkulit putih yang ini . . .
kelihatannya lain daripada yang lain. Di tengah-tengah mereka ia
berdiri dengan sopan namun mantap. Tidak ada ciri-ciri ketakutan
padanya hanya ciri-ciri persahabatan belaka.
"Biar dia tinggal di sini," kepala suku itu memutuskan.
"Suruh ibu-ibu menyiapkan kemah bagi dia. Tetapi sebaliknya ia dijaga
ketat; siapa tahu, mungkin ada siasat jahat."
Sebuah kemah kecil segera dipasang di tengah-tengah
perkemahan, agar mudah dijaga. John Wolsey memasuki kemah itu untuk
melepaskan lelah sejenak. Dari dalam bungkusannya ia mengeluarkan
selimut dan pakaian cadangannya yang hanya satu stel itu. Lalu ia pun
membongkar sebuah bungkusan kecil yang dilapisi kulit rusa putih
halus. Ia melihat benda-benda putih yang sudah diceritakan oleh
pemandunya itu.
Dengan pelan ia membolak-balikkan halaman demi halaman. Yang
dicoreti di atasnya, bukanlah huruf-huruf biasa abjad biasa melainkan
tanda-tanda yang mirip dengan gambar-gambar kecil. Dengan memeriksa
nomor pasal dan ayat, John memilih bagian-bagian yang hendak
dibacakannya kepada orang-orang Indian, yang sepanjang umur belum
pernah mendengar sepatah kata pun dari Alkitab.
Lalu John tersenyum. Sungguh aneh: Di sana sini ia dapat
mengerti hanya beberapa kata saja, dari, dari apa yang hendak
dibacakannya itu. Namun ia tahu bahwa bunyi-bunyi yang dapat
disampaikannya itu akan membawa arti yang dalam bagi setiap orang
Indian yang mendengarnya.
John melamun sejenak. Ia teringat kembali akan seorang utusan
Injil dahulu kala yang pernah diceritakan kepadanya; namanya, James
Evans. Beberapa waktu yang lampau, James Evans pernah pergi kepada
orang-orang suku Indian di daerah Danau Winnipeg, di Kanada.
Mula-mula ia mempelajari bahasa lisan mereka. Lalu ia menentukan
sebuah huruf berupa gambar kecil untuk setiap bunyi bahasa itu.
(Di antara bunyi-bunyi itu ada yang mirip dengan bunyi dalam
bahasa Indonesia, namun artinya lain sekali. Misalnya saja, maka
berarti "tetapi"; ayat berarti "ia telah.")
Dari kayu James Evans mengukir setiap gambar kecil tanda
bunyi dalam bahasa suku Cree itu. Lalu ia melekatkan tanah liat pada
setiap ukiran kayu itu, agar dapat dibuat cetakan. Setelah setiap
cetakan yang tertuang itu kering, ia pun hendak menuangkan cairan
timah ke dalamnya. Dengan demikian ia dapat membuat gambar-gambar
kecil yang kemudian dapat diberi tinta, lalu dapat dikenakan pada
kertas.
Tetapi pada waktu itu James Evans menghadapi suatu masalah
besar. Di tengah-tengah hutan rimba di negeri Kanada, tidak ada
timah untuk dicairkan; tidak ada kertas; juga tidak ada tinta untuk
mencetak sesuatu di atas kertas itu.
Namun James Evans mendapat akal. Dos-dos tempat perbekalannya
itu dilapisi logam, agar jangan dimakan rayap. Logam itu dibongkar
dan dicairkannya untuk membuat gambar-gambar cetakan. Untuk membuat
tinta, ia mencampur minyak ikan dengan jelaga lampu. Dan untuk
kertasnya, ia memanfaatkan semacam kulit pohon yang tipis dan
berwarna putih. Setelah ia berhasil mencetak beberapa helai kulit
pohon itu, ibu-ibu suku Indian menjahitnya menjadi buku.
Ternyata gambar-gambar kecil itu mudah sekali dibaca, dengan
mengucapkan bunyi-bunyi yang cocok. Pasti Tuhan Allah sendiri yang
membimbing James Evans, kata John Wolsey pada dirinya sendiri di
dalam kemah kecil itu. Sistem penulisan yang itu sangat sederhana.
Bahkan aku sendiri, yang belum mengerti bahasa suku Cree, dapat
membacakan Alkitab kepada mereka. Dan bunyi-bunyi aneh yang keluar
dari mulutku itu membawa arti kepada semua orang yang
mendengarkannya!
Lalu John berlutut di dalam kemah kecil itu. Ia memohon agar
Firman Allah dapat meresap ke dalam hati orang-orang Indian. Ia
berdoa agar mereka dapat mengerti dan menerima kasih Tuhan. Ia pun
berdoa, semoga ia dapat tetap menyatakan kasihnya sendiri melalui
persahabatan dan keberaniannya, sehingga orang-orang Indian itu rindu
mengenal Sang Roh Agung yang disembahnya.
Senja telah tiba. Makan malam pun sudah selesai. Api unggun
dinyalakan. Tubuh orang Indian itu membuat bayangan-bayangan besar
pada lereng-lereng bukit batu yang melindungi lembah yang sunyi,
tempat perkemahan mereka.
John Wolsey menunggu dengan tenang. Lalu kepala suku memberi
isyarat, dan John maju ke depan. Ia berlutut dan memegang benda putih
di tangannya, agar coretan di atasnya itu dapat dibaca dalam
keremangan. Dengan pelan dan jelas ia membacakan isinya halaman demi
halaman walau bunyinya membawa arti sedikit sekali bagi telinganya
sendiri.
Kepala suku dan semua rakyatnya itu menarik napas panjang.
Mereka tertegun mendengar kata-kata bahasa mereka sendiri keluar dari
mulut orang asing berkulit putih itu.
"`Pada awal mulanya Sang Roh Agung membuat langit dan bumi,
. . .'" demikianlah John membacakan. Setelah selesai menceritakan
penciptaan itu, ia pun membalik beberapa halaman. "`Sang Roh Agung
ini begitu mengasihi seisi dunia sehingga Ia mengirim Anak-Nya yang
Kekasih . . .'"
Tidak ada suara kecuali keresek api unggun serta desau angin
pohon-pohon cemara. Sekali lagi John membalik halaman dan mulai
membacakan tentang Tuhan Yesus yang melayani orang banyak dengan
menghajar dan menyembuhkan mereka.
Api unggun itu hampir padam, hanya tinggal baranya saja.
Namun tidak ada seorang pun yang bergerak. Seorang bayi mulai
merengek dalam pelukan ibunya; ibu itu dengan cepat menenangkannya,
sambil tetap mendengarkan.
Lalu dengan terbata-bata John Wolsey mengucapkan beberapa
kata dalam bahasa suku Cree yang telah dihafalkannya. Ia bersaksi
bahwa Tuhan Allah, Sang Roh Agung, mengasihi semua orang Indian sama
seperti Ia mengasihi anak-anak-Nya yang lain. Sang Roh Agung ingin
supaya mereka pun mengasihi Dia sebagai anak-anak-Nya yang taat, dan
supaya mereka mengikut Yesus Kristus.
Hening sejenak di sekitar api unggun itu . . . . Lalu kepala
suku membuka suara. "Aneh sekali cerita itu," katanya. "Belum pernah
kami mendengar cerita seperti itu. Masih adakah lagi?" tanyanya,
sambil menuding ke arah benda-benda putih itu.
John Wolsey memberi isyarat kepada pemandunya yang lebih tua.
Orang Indian itu mulai berbicara lagi:
"Berkali-kali orang kulit putih ini suka membuka mulutnya,
sambil tetap memandang pada benda-benda putihnya selama dua malam,
tiga malam, bahkan sampai empat malam berturut-turut. Setelah itu, ia
pun akan meneruskan perjalanannya kecuali ada kepala suku yang
mengundang dia untuk menetap lebih lama."
"Perjalanan? Mau ke mana dia?" tanya kepala suku.
Kali ini pemandu yang lebih muda yang menjawab. "Dari sini,
hai Tuanku, ia mau pulang ke tempatnya sendiri. Sudah
berminggu-minggu lamanya kami berjalan bersama dia. Sering kami
berhenti di tempat-tempat perkemahan selama dua hari, tiga hari,
bahkan sampai empat hari. Bila Tuanku ingin melepaskan dia, aku sudah
berjanji akan menemani dia sampai ia kembali ke tempat bangsanya
sendiri dengan selamat."
"Baik!" Kepala suku itu berdiri."Besok malam kami akan
mendengarkan ceritanya lagi. Aneh . . . aneh sekali ceritanya itu!"
Para anggota pasukan perangnya ikut berdiri. Seseorang
menimbun bara api unggun itu dengan abu. Hanya sinar rembulan saja
yang menerangi mereka pada waktu mereka kembali ke kemahnya
masing-masing.
Di dalam kemah kecil di tengah-tengah perkemahan suku itu,
John Wolsey meringkuk di dalam selimutnya. Ia amat senang, sebab pada
waktu ia membacakan Firman Allah tadi, ia telah memperhatikan
wajah-wajah yang sungguh berminat.
Pada suatu hari, John berkata pada dirinya sendiri, akan
datang utusan-utusan Injil yang dapat mengajar suku Cree, bagaimana
cara membaca bahasa mereka sendiri. Para penginjil itu pun akan
membawa serta seluruh Alkitab dalam bahasa suku Cree, . . . sedangkan
aku ini hanya mempunyai beberapa halaman saja dari Firman Tuhan.
Sambil membayangkan masa depan yang bahagia itu, John Wolsey
tertidur nyeyak . . . walau sebelumnya belum pernah ada seorang asing
yang diperbolehkan menginap dengan aman di tengah-tengah perkemahan
suku Cree.
TAMAT