27. BANTAL YANG BERISI BUKU
(Myanmar, 1819 - 1840)
Sudah enam tahun lamanya Adoniram Judson mencoba mengabarkan
Injil di negeri Birma (kini Myanmar). Dengan segala daya upaya ia
membanting tulang, berusaha memberitahu orang-orang Birma tentang
Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi, dan tentang Yesus
Kristus, satu-satunya Juru Selamat manusia yang berdosa.
Utusan Injil muda dari Amerika Serikat itu sudah mencoba
berbagai macam cara penginjilan. Dengan susah payah ia telah
menerjemahkan Kitab Injil Matius ke dalam bahasa Birma; lalu ia
menyuruh mencetak terjemahannya itu. Tetapi banyak orang Birma yang
masih buta huruf. Dan mereka yang dapat membaca, sering mengejek hasil
karya Adoniram Judson itu.
Pdt. Judson juga sudah berusaha meniru metode mengajar yang
lazim dipakai oleh guru-guru bangsa Birma sendiri. Ia menyuruh
membangun sebuah pendopo untuk dia di pinggir jalan raya. Pendopo itu
dikapur putih bersih, sehingga kelihatan lebih mencolok mata daripada
pendopo-pendopo lainnya.
Sepanjang hari dengan sabar Adoniram Judson duduk di depan
pendoponnya itu dan menyerukan kata-kata ajakan dari Kitab Nabi
Yesaya, pasal 55:
Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air,
dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! . . .
Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku;
Dengarkankanlah, maka kamu akan hidup!"
Namun kebanyakan orang Birma yang lewat di depan pendopo
Kristen itu masih terus berjalan. Hanya beberapa orang saja yang
cukup berminat, sehingga mereka mampir untuk mendengarkan ajaran guru
asing itu. Dan kebanyakan pengunjung pendopo itu pun tidak mau
kembali lagi untuk yang kedua kalinya.
Ya, sudah jelas, bangsa Birma lebih suka mengikuti ajaran
lain . . . ajaran yang sama sekali tidak memberi janji kebahagiaan,
baik di dunia maupun di akhirat. Mereka tidak mau mendengar Berita
Kesukaan tentang Tuhan Yesus.
Anak Pdt Judson jatuh sakit dan meninggal; Judson sendiri dan
istrinya sering dihinggapi penyakit. Namun ia pantang mundur. Dan
akhirnya pada tahun 1819, ada tiga orang Birma yang percaya kepada
Sang Juru Selamat.
Hanya tiga orang saja, setelah usaha pengabaran Injil selama
enam tahun! Dan ketiga orang itu pun sangat takut terhadap pemerintah
Birma; mereka minta dibaptiskan pada malam hari, di sebuah perairan
yang sepi. Pada waktu itu ada raja baru yang bersemayam di Ava, ibu
kota Birma; rupanya beliau lebih keras lagi melawan ajaran asing
daripada raja yang memerintah sebelumnya.
Dengan sedih Pdt. Judson menutup pendoponya. Ia khawatir
kalau-kalau penginjilan secara terbuka akan dibalas dengan tindakan
kekerasan terhadap ketiga petobat baru itu. Pelanggar hukum di
Kerajaan Birma pada masa itu bukan hanya dihukum mati saja: Boleh
jadi ia dihukum mati dengan siksaan secara paling kejam.
Seorang pendeta pengantar Injil muda bernama James Colman
datang dari Amerika untuk membantu keluarga Judson. Pada suatu hari
dalam tahun 1819, Pdt. Colman mengusulkan, "Mengapa kita tidak pergi
saja ke ibu kota dan menghadap raja baru itu? Mengapa kita tidak
minta izin secara terang-terangan untuk menyebarkan ajaran Kristen di
Kerajaan Birma.
Pdt. Judson bertanya, "Kalau ditolak?"
"Lebih baik kalau kita tahu," jawab rekannya yang masih muda
itu. "kalau demikian halnya, mungkin lebih baik kita meninggalkan
saja negeri Birma dan pergi ke tempat lain."
Meninggalkan Birma! Adoniram Judson tidak sampai hati
memikirkan kemungkinan demikian. Bukankah ia telah menghabiskan masa
enam tahun dengan usaha mempelajari bahasa Birma yang amat sulit itu?
Bukankah ia baru mulai melihat hasil jerih payahnya itu, dengan
pertobatan tiga orang Birma?
Namun Pdt. Judson setuju dengan usul Pdt. Colman. Mereka
menyediakan sebuah perahu sungai yang panjang, dengan sepuluh orang
pendayungnya. Perjalanan mereka ke ibu kota Ava itu memakan waktu 35
hari. Di pinggir sungai, di mana-mana mereka melihat patung-patung
berhala yang menandakan bahwa penduduk setempat pasti belum mengenal
Tuhan Yang Maha Esa.
Setiba di ibu kota Ava, mereka pergi ke pintu gerbang istana
raja. Mereka menaiki sebuah tangga yang terbuat dari batu marmer.
Mereka melalui sebuah ruang yang dilapisi kayu eban. Di depan mereka
ada sebuah pintu yang berkilauan dengan batu permata. Lalu pintu itu
dibukakan, dan mereka memasuki ruang takhta. Tiang-tiang dan
langit-langit ruang agung itu berlapiskan emas.
Sementara menunggu kedatangan sang raja, Pdt. Judson
berunding dengan salah seorang menteri kerajaan. Ia menyodorkan
hadiah yang hendak dipersembahkan: sebuah Alkitab bahasa Inggris
berukuran besar, dengan sampul keemasan. Ia juga memperlihatkan salah
satu surat selebaran berbahasa Birma yang telah dikarangnya, serta
sepucuk surat permohonan agar ia diperbolehkan mengajar orang-orang
Birma tentang Tuhan Yesus.
Sang raja masuk dengan segala kebesarannya. Sang menteri dan
para hadirin sujud sampai ke lantai, . . . kecuali kedua orang asing
itu. Mereka hanya berlutut dengan sikap hormat.
Sang raja duduk di atas takhta. Lalu ia menuding seraya
bertanya kepada menterinya, "Siapa kedua orang ini?"
Andoniram Judson yang menjawab: "Kami guru-guru agama, hai
Baginda yang mulia."
"Wah! Kalian dapat berbicara bahasa Birma?" tanya sang raja,
amat heran. Selama beberapa menit ia bercakap-cakap dengan Pdt.
Judson, dan rupanya ia merasa senang.
Ketika sang raja bertanya tentang maksud kedatangan kedua
orang asing itu, sang menteri maju dengan bertiarap sampai ia dapat
meletakkan persembahan dan permohonan mereka di depan takhta.
Sang raja mulai membaca surat selebaran itu: "Tuhan yang
Maha Esa hidup selama-lamanya, dan di samping Dia tidak ada allah
lain." Dengan muka yang menunjukkan murka sang raja membiarkan surat
selebaran itu jatuh ke lantai.
Sang menteri segera mengantarkan kedua orang asing itu
keluar. Kemudian ia pun menjelaskan keputusan sang raja: "Tidak ada
jawaban atas permohonanmu itu. Dan mengenai tulisan sucimu, sang raja
tidak memerlukannya; bawalah pulang saja."
Dari ibu kota Ava, Adoniram Judson dan James Colman memang
pulang ke kota pelabuhan Yangoon. Mereka telah gagal.
Sebaiknya mereka sekeluarga bersiap-siap pindah ke tempat lain.
Namun . . . heran, ketiga orang Kristen Birma itu, yang pada
mulanya takut dibaptiskan pada siang hari, justru menantang Pdt.
Judson agar bersikap lebih berani. "Tetaplah tinggal dengan kami
sampai ada sepuluh orang yang percaya, Pendeta," mereka membujuk.
"Setelah itu, kalau terpaksa, pergilah, karena selanjutnya
kepercayaan kami akan tersebar dengan sendirinya. Sekalipun sang raja
mengancam, tak mungkin ia dapat mencegahnya!"
Memang ada yang percaya, . . . tetapi Adoniram Judson tetap
tinggal. Dan dalam jangka waktu satu bulan saja, ada sembilan orang
Birma lagi yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus!
Maka Judson pun memberanikan diri untuk berjuang terus,
sambil menerjemahkan Firman Allah ke dalam bahasa Birma. Para anggota
jemaat yang hanya beberapa orang itu berkata bahwa terjemahan Surat
Efesus hasil karya gembala sidang mereka, jauh lebih mudah dipahami
daripada terjemahan Injil Matius yang terdahulu. Pdt. Judson berbesar
hati; ia pun mulai mengusahakan terjemahan Kisah Para Rasul.
Tugas terjemahan itu sulit sekali! Huruf-huruf bahasa Birma
berbeda sama sekali dengan huruf-huruf yang dipakai dalam semua
bahasa lainnya. Apa lagi, tidak ada tanda pemisah antara kata atau
kalimat, misalnya huruf besar atau tanda baca. Tidak ada kamus; tidak
ada buku pedoman tata bahasa. Di samping semua halangan ini, pada
zaman itu tulisan bahasa Birma biasa digores pada daun lontar kering,
sehingga amat sukar untuk dilihat, apa lagi untuk dibaca.
Berita mengenai keberhasilan Adoniran Judson dalam menguasai
bahasa Birma itu sampai ke ibu kota. Sang raja pun berminat, karena
untuk hubungan luar negeri ia sering memerlukan seorang pengalih
bahasa. Maka keluarga Judson dipanggil untuk pindah ke Ava. Tetapi
Pdt. Judson harus menunggu istrinya kembali dari Amerika; Ibu Judson
terpaksa pulang untuk berobat. Sambil menunggu istrinya selama
sepuluh bulan di Yangoon itu, Adoniram Judson berhasil menyelesaikan
terjemahan seluruh Kitab Pernjanjian Baru ke dalam bahasa Birma.
Sesudah sembuh, Ibu Judson kembali, dan mereka segera pindah
ke Ava. Salah seorang anggota jemaat di Yangoon itu ikut serta
sebagai pembantu mereka.
Ternyata cuaca di ibu kota itu panas dan lembab; ini yang
menyebabkan baik Pdt. Judson maupun istrinya sering sakit. Dan yang
payah lagi berkobarlah perang antara Kerajaan Inggris dengan
Kerajaan Birma.
Adoniram Judson seorang Amerika; ia bukan orang Inggris.
Namun semua orang asing yang berkulit putih itu digiring bersama-sama
ke dalam sebuah penjara yang dikhususkan untuk menjalani siksaan dan
hukuman mati. Kedua kaki mereka masing-masing dipasang rantai seberat
enam kilo. Lalu mereka dijebloskan ke dalam ruang penjara yang paling
kotor dan gelap.
Seandainya Ibu Judson tidak setia menolong suaminya, pasti ia
meninggal pada waktu sengsara itu. Tiap hari Ibu Judson datang dengan
membawa makanan segar serta air minum yang bersih. Berkali-kali ia
memberi uang suap kepada para penjaga, agar suaminya mendapat tempat
yang agak sehat, di bawah naungan semacam gubuk di halaman penjara.
Selama beberapa minggu Ibu Judson tidak sanggup datang
sendiri; seorang pembantu menggantikan dia. Lalu ia muncul lagi,
dengan membawa serta bayinya yang baru lahir.
Tentu Pdt. Judson senang melihat bayinya yang mungil itu,
serta istrinya yang sudah sehat kembali. Namun ada hal lain yang
sering menyusahkan pikirannya: Bagaimana dengan naskah tulisan
tangannya itu? Bagaimana dengan satu-satunya salinan Kitab Perjanjian
Baru dalam bahasa Birma?
Di rumah naskah itu kurang aman, karena rumah keluarga Judson
sudah dua kali digeledah tentara kerajaan. Maka Ibu Judson menjahit
sebuah bantal yang sengaja dibuat keras dan kumal, agar penjaga
penjara tidak mengirannya. Di dalam bantal itulah ia memasukkan naskah
Kitab Perjanjian Baru berbahasa Birma.
Selama sebelas bulan Adoniram Judson tidur dengan kepala
bersandarkan bantal yang berisi buku itu. Siang malam ia menderita;
namun ia mengucap syukur kepada Tuhan, karena naskahnya yang berharga
itu masih aman.
Tiba-tiba pada suatu hari semua tahanan disuruh berderet di
halaman penjara. Rantai yang berat itu dilepaskan, lalu mereka diikat
berdua-dua. Judson mohon dengan sangat agar ia boleh membawa serta
bantalnya, sampai-sampai ia menangis dan orang-orang tahanan lainnya
mengejek dia. Namun penjaga yang bengis menyobek bantal itu, lalu
membuangnya ke tempat sampah.
Judson dan para tahanan lainnya dipaksa berbaris
sejauh enam belas kilometer di luar kota, di bawah terik matahari.
Kaki mereka berdarah; mulut mereka kekeringan. Ada yang tidak tahan
dalam perjalanan maut itu; ada yang meninggal sebelum tiba di tempat
tujuan; ada juga yang jatuh pingsan di ujung jalan. Namun Pdt. Judson
masih hidup. Dan ia masih tetap terkurung di dalam penjara di luar
kota itu, selama tujuh bulan lagi.
Pada suatu hari ada berita dari sang raja; Ia memerlukan
seorang pengalih bahasa yang pandai berbahasa Inggris dan bahasa
Birma. Maka Adoniram Judson dibebaskan dari penjara, walau masih
tetap dijaga dengan ketat.
Setibanya di ibu kota, yang pertama-tama dipertanyakan Judson
ialah mengenai istri dan anaknya. Para penjaga memberitahu bahwa
kedua orang itu masih selamat. Pertanyaan Judson yang kedua adalah
mengenai bantalnya. Para penjaga tidak tahu, dan tidak ambil pusing
tentang benda yang mereka anggap kurang berharga itu.
Ternyata Kerajaan Birma tidak kuat menghadapi pasukan perang
Kerajaan Inggris. Tentara Birma dipukul kalah. Dalam perundingan
perdamaian, jasa Adoniram Judson sebagai pengalih bahasa itu sangat
diperlukan.
Akhirnya semua tugas yang dituntut sang raja itu selesai.
Pdt. Judson dengan keluarganya boleh kembali ke Yangoon, kota
pelabuhan dan tempat tinggal mereka semula. Di sana mereka kembali
menjumpai orang-orang Kristen Birma, yang selama masa perang itu
masih setia mengikut Tuhan Yesus.
Salah seorang di antara ketiga petobat yang pertama-tama itu,
rupanya sangat senang bertemu kembali dengan gurunya. "Wah, kami kira
Pendeta sudah meninggal! Lagi pula tiada kubur tempat tinggal kami
dapat pergi berrkabung. Namun aku masih tetap memelihara bantal itu,
tempat kepala Pendeta pernah bersandar."
"Bantal?" tanya Adoniram Judson, hampir tidak percaya.
"Bantal apa itu?"
"Ya, bantal kecil itu yang dipakai Pendeta waktu di penjara.
Untung aku sempat menyelamatkannya dari tempat sampah sebagai
kenang-kenangan, pada hari itu ketika Pendeta digiring keluar halaman
penjara dalam perjalanan maut."
Dengan tangan gemetar Pdt. Judson menerima kembali bantal yang
kotor dan tersobek itu. Ia sengaja menyobek tutupnya lagi sehingga
rusak sama sekali, dan . . . ternyata naskahnya masih utuh!
Maka dengan semangat baru Adoniram Judson mulai mengabarkan
"isi bantal" itu kepada orang-orang Birma. Tidak lama kemudian, istri
dan anaknya yang tercinta itu meninggal; namun ia berjuang terus. Dan
ia pun meneruskan tugas terjemahan Firman Tuhan itu. Perkataan Raja
Daud dalam Kitab Mazmur yang tengah dialihkannya itu sering menghibur
hatinya yang sedang sedih.
Bertahun-tahun kemudian, pengabar Injil yang setia itu
dikarunia sebuah keluarga baru. Istri keduanya itu melahirkan
beberapa anak; di antara mereka, di kemudian hari ada yang menjadi
hamba Tuhan sama seperti ayahnya.
Baru pada tahun 1835 seluruh Alkitab itu selesai
diterjemahkannya ke dalam bahasa Birma. Namun Judson masih belum
puas. Selama lima tahun ia mendalami lagi tulisan sastra bahasa
Birma, baik prosa maupun puisi. Sering ia meminta pendapat para
rekannya, baik utusan Injil maupun orang Kristen Birma. Akhirnya pada
tahun 1840 ia merasa puas. Terjemahan Alkitab hasil karyanya yang
diterbitkan pada tahun itu, hingga kini masih tetap dibaca di
gereja-gereja di negeri Myanmar.
Selama tahun-tahun Adoniram Judson berjuang mati-matian demi
tugas penginjilan dan penerjemahannya itu, suatu gerakan Kristen besar
mulai nampak di negeri Birma. Bahkan pada masa hidup Judson, sudah
ada ribuan orang Birma yang percaya kepada Tuhan Yesus. Dan sekarang,
lebih dari satu setengah abad kemudian, ada ratusan ribu orang
Kristen di negeri Myanmar.
Siapa tahu, mungkin semuanya itu tidak akan terjadi, . . .
seandainya tidak ada seorang ibu Amerika yang pandai menjahit, serta
seorang bapak bangsa Birma yang setia menyimpan bantal yang berisi
buku, sampai saat ia menyerahkan kembali kepada pemiliknya!
TAMAT