15. GEREJA YANG TIDAK MEMPUNYAI ALKITAB
(India, 1806 - 1811)
Hampir dua abad yang lalu, Kerajaan Inggris Raya mulai
melebarkan sayapnya ke benua Asia. Masa itu kita kenal dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia masa Gubernur Raffles yang tersohor.
Pada masa itu juga, yakni pada tahun 1806, ada seorang
pendeta tentara Inggris Raya yang baru tiba di negeri India bagian
barat. Namanya, Pdt. Claudius Buchanan.
Di negeri India bagian barat itu, ada pohon-pohon palem yang
menjulang tinggi, seolah-olah hendak mencakar langit biru. Tetapi di
sana ada pula angin bohorok yang amat panas, sehingga semua penduduk
suka berlindung di dalam rumah.
"Wah, panas sekali negeri India ini!" gumam Pdt. Claudius
Buchanan. "Memang aku sudah diberitahu sebelumnya. Namun sama sekali
belum terlintas pada pikiranku bahwa betul-betul ada benua yang
cuacanya sepanas ini."
Ada rekan-rekan Pdt. Buchanan yang sudah lama tinggal di
negeri India bagian barat. "Nanti musim kemarau ini akan menjadi
lebih panas lagi, Pak, baru kemudian akan tiba musim hujan,"
demikianlah mereka menjelaskan. "Maukah Bapak pulang lagi ke negeri
Inggris? Ada kapal yang akan berangkat minggu depan."
Claudia Buchanan mendesah. Tidak mungkin ia dapat segera
pulang ke tanah airnya yang hijau dan sejuk itu. Ada tugasnya di
negeri India yang belum selesai; ia bertekad menunaikan tugasnya itu
sebagai seorang pendeta tentara.
Bulan-bulan terus berlalu. Pendeta dari negeri Inggris itu
menjadi lebih betah tinggal di tempat yang cuacanya demikian
panasnya. Ia pun mulai belajar bahasa setempat, serta mulai
menyelidiki cara hidup para penduduk negeri India bagian barat.
Lalu Claudius Buchanan menemukan salah satu fakta yang paling
menarik yang pernah diketahuinya: Ia menemukan bahwa di Travancore,
daerah pantai barat itu, ada gereja-gereja yang amat tua, milik
orang-orang India sendiri.
Sebelumnya, Pdt. Buchanan mengira bahwa tidak ada gereja sama
sekali di negeri India kecuali gereja-gereja yang didirikan oleh para
utusan Injil yang datang dari negara lain. Misalnya, di Calcutta dan
sekitarnya ada jemaat-jemaat Baptis yang baru ditanam oleh Dr.
William Carey dan rekan-rekannya.
Namun ternyata di India sudah ada sekelompok anggota
gereja-gereja kuno yang biasanya diberi nama julukan: kaum Kristen
Santo Tomas. Cara berbakti mereka itu agak mirip dengan cara berbakti
Gereja Katolik Roma. Ada pastor-pastor yang memimpin kebaktian mereka
serta mengajar para anggota jemaat mereka.
"Tetapi benua India ini tidak biasa dikenal sebagai negeri
Kristen," kata Pdt. Buchanan, masih bingung. "Benua India biasa
dikenal sebagai negeri kafir, bukan?"
"Memang betul, Tuan Pendeta," kata para orang Kristen Santo
Tomas itu. "Namun demikian, di pantai barat ini ada juga
gereja-gereja yang sudah ada sejak waktu Santo Tomas sendiri datang
dan mengabarkan Injil kepada nenek moyang kami." Dengan bangga mereka
pun menambahkan: "Mungkin aliran gereja kami merupakan aliran Kristen
yang paling tua di seluruh dunia."
Mereka memperlihatkan gedung-gedung ibadah mereka kepada
pendatang baru dari negeri Inggris itu. Pada dinding-dindingnya
terukir tulisan-tulisan. Para ahli sastra memberitahu Pdt. Buchanan
bahwa tulisan-tulisan itu memang sudah lebih dari seribu tahun
umurnya. Ada juga tanda-tanda salib di menara-menara gereja yang sama
tuanya.
Kalau gedung gerejanya begitu tua, demikianlah Claudius
Buchanan berpikir, pasti sejarah jemaat yang mula-mula terbentuk di
sini jauh lebih tua lagi. Boleh jadi aliran gereja ini sudah dimulai
beratus-ratus tahun sebelum ada pembangunan gedung ibadah. Mungkinkah
. . . mungkinkah Rasul Tomas, yang dua ribu tahun yang lalu pernah
mengikuti Tuhan Yesus berjalan pada lorong-lorong berdebu di Galilea
dan Yudea itu, . . . mungkinkah kemudian ia benar-benar bepergian
sejauh India ini? Mungkinkah ia pun berjalan menelusuri lorong-lorong
berdebu di negeri India bagian barat untuk memberitakan Kabar Baik
tentang kasih Tuhan?
Claudius Buchanan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dalam benaknya itu. Tetapi jawaban orang-orang Kristen di
India bagian barat itu hanyalah sejauh ini saja: "Kami kurang tahu,
Tuan Pendeta. Namun sejak dahulu kala kami selalu disebut dengan nama
julukan `kaum Kristen Santo Tomas'. Dan kami sendiri memang percaya
bahwa Santo Tomas pernah datang kemari. Aliran kami lebih tua lagi
daripada semua catatan yang tertulis dalam sejarah gereja."
Pdt. Buchanan terus menyelidiki gereja-gereja kuno itu.
Ternyata keadaannya kurang baik. Tidak ada petobat-petobat baru yang
menjadi anggota-anggota gereja. Tidak ada bukti bahwa
anggota-anggota gereja yang sudah lama itu suka menjalani hidup
menurut ajaran-ajaran Firman Tuhan.
Pada suatu hari Pdt. Buchanan sedang bercakap-cakap dengan
para pastor. "Ada Alkitab di gereja Bapak-Bapak?" tanyanya.
"O ya, ada, Tuan Pendeta," demikianlah mereka menjawab sambil
tersenyum. "Kami memang punya beberapa salinan seluruh Alkitab.
Tetapi semuanya ditulis dalam bahasa Siria kuno. Tidak ada seorang
pun di sini yang biasa berbicara dalam bahasa itu lagi. Kadang-kadang
kami membacakan ayat-ayat dari Alkitab bahasa Siria itu dalam
kebaktian . Tetapi hanya kami sendiri yang dapat mengerti maknanya,
jadi kurang berguna membacakannya kepada jemaat."
Memang kurang berguna! kata Claudius Buchanan pada dirinya
sendiri. Bagaimanakah sebuah gereja dapat maju, tanpa adanya Firman
Tuhan dalam hati para anggotanya?
Dengan suara keras ia pun bertanya: "Mengapa Bapak-Bapak
tidak menerjemahkan Alkitab, sehingga para anggota jemaat dapat
memahami isinya?"
"Menerjemahkan Alkitab!" Kelihatannya para pastor itu kaget,
bahkan sedikit tersinggung. "Maksud Tuan Pendeta, memindahkan isi
Kitab Suci dari bahasa kuno ke dalam bahasa lain? Wah, belum pernah
kami dengar kalau ada Alkitab yang dapat dipahami oleh rakyat biasa!"
Claudia Buchanan mengeluarkan Alkitabnya sendiri. "Ini,
Bapak-Bapak, lihat saja ini." Para pastor melihatnya dengan
terheran-heran. "Inilah Alkitab yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasaku, yaitu bahasa rakyat biasa di negeri Inggris, tanah airku.
Seharusnya anggota-anggota gereja di sini juga diperbolehkan
mempunyai Alkitab dalam bahasa mereka sendiri."
"Bahasa mereka sendiri!" para pastor membeo lagi. "Maksud
Tuan Pendeta, bahasa Malayalam? bahasa orang Travancore?
Tentu saja," jawab Pdt. Buchanan. "Bukankah bahasa Malayalam
itu bahasa sehari-hari orang Travancore yang tinggal di sini?"
Sulit sekali membuat para pastor itu terbujuk olehnya! Sampai
saat itu, mereka menganggap Alkitab sebagai semacam kitab kramat,
yang hanya boleh dibuka dengan penuh khidmat dalam upacara ibadah
agung, dan hanya boleh diucapkan dalam bahasa kuno oleh kaum
rohaniawan uamg samggup membacakannya. Belum pernah mereka dengar
bahwa isi Alkitab itu seharusnya masuk ke dalam pikiran dan hati
manusia, dan bukan hanya masuk ke dalam telingannya saja.
Claudius Buchanan terus mendesak. Akhirnya kaum pastor itu
mengalah. "Baiklah! Kami akan melakukannya," mereka mengiakan. "dan
kami akan mulai dengan keempat Kitab Injil, yang menceritakan masa
pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini."
Maka para pastor duduk menghadap terjemahan Alkitab dalam
bahasa Siria kuno itu, yakni Alkitab yang hanya dapat dipahami oleh
mereka sendiri. Dengan susah payah mereka mulai menerjemahkan Kitab
Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Kalimat demi kalimat, pasal demi
pasal, Kitab Injil demi Kitab Injil, tugas itu mereka laksanakan.
Seluruh isi keempat Kitab Injil itu ditulis dalam bahasa
sehari-hari penduduk Travancore, yaitu penduduk daerah pantai di
India bagian barat. Lalu para pastor membawa naskah tulisan tangan
itu ke kota Bombay, karena di sana ada percetakan. Claudius Buchanan
pun ada di kota Bombay, dan dialah yang mengawasi proyek penerbitan
itu.
Pada tahun 1811, hanya lima tahun setelah Pdt. Buchanan
mula-mula menemukan gereja yang tidak mempunyai Alkitab itu,
terbitlah sudah keempat Kitab Injil dalam bahasa Malayalam.
Alangkah gemparnya semua orang Kristen di negeri India bagian
barat, ketika salinan-salinan keempat Kitab Injil itu tiba di
Travancore! Pada hari yang indah dan tak terlupakan itu, para pastor
berdiri di gereja dan membacakan kepada jemaat dalam bahasa mereka
sendiri, tentang Tuhan Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
"Wah, ini sesuatu yang baru!" seru para anggota gereja. "Ini
benar-benar Kabar Baik!"
Kemudian mereka dan pemimpin mereka mulai membandingkan
ajaran dan cara hidup gereja mereka dengan isi Kitab Perjanjian Baru.
"Sudah jelas, kita harus berubah," mereka memutuskan. "Kita
harus mengikuti ajaran-ajaran Tuhan Yesus, dan bukan hanya mengikuti
adat-istiadat bangsa kita saja."
Maka mulailah terjadi suatu perubahan besar dalam aliran
gereja yang amat kuno itu. Begitu menyeluruh perubahan itu sehingga
mereka mengangkat suatu nama baru, berdasarkan nama julukan yang
sudah lama diberikan kepada mereka.
Pada masa kini aliran gereja yang kuno itu dengan resmi
disebut: Gereja Mar Thoma sebagai peringatan bagi Rasul Tomas yang
diperkirakan sebagai orang yang mula-mula membawa ajaran-ajran Tuhan
Yesus ke negeri India bagian barat. Gereja itu masih tetap dibimbing
oleh ajaran-ajaran yang sama, karena Alkitab dalam bahasa mereka
sendiri dibacakan setiap kali ada kebaktian umum. Lagi pula, pada
masa kini aliran gereja yang kuno itu telah menjadi giat menyampaikan
Kabar Baik kepada orang-orang lain.
Salinan-salinan Alkitab bahasa Malayalam itu terdapat bukan
hanya di dalam gedung-gedung Gereja Mar Thoma, melainkan juga di
dalam rumah-rumah para anggota. "Kami senang mempunyai Alkitab
sendiri-sendiri," kata mereka. "Bagaimana kami dapat tahu kehendak
Tuhan tentang cara hidup kami, kecuali jika kami dapat membaca
ajaran-ajaran Alkitab?"
Dulu, ketika gerakan pembaharuan baru dilancarkan dalam
aliran gereja yang kuno itu, Pdt. Claudius Buchanan juga merasa
tergugah oleh pengalamannya yang luar biasa. Ia menyampaikan sebuah
khotbah yang berjudul: "Bintang di Timur." Sambil berkhotbah ia
menyamakan orang-orang India yang mencari Tuhan itu, dengan para
orang Majus yang datang dahulu kala dari benua sebelah Timur ke
Betlehem dengan dipimpin oleh sebuah bintang. Dan sesungguhnya para
orang Majus itu pun dipimpin oleh penjelasan kata-kata nubuat dari
Firman Tuhan.
Khotbah Pdt. Buchanan itu kemudian diterbitkan dan diedarkan
ke mana-mana. Banyak orang Kristn yang menyambut himbauan Pdt.
Buchanan, termasuk Adoiram Judson, utusan Injil perintis ke negeri
tetangga kit, Myanmar (Birma).
Jadi, "Gereja yang Tidak Mempunyai Alkitab" itu telah menjadi
sebuah gereja yang hidup menurut Alkitab. Aliran gereja di negeri
India bagian barat itu tidak lagi seolah-olah tertidur atau hanya
sekedar memelihara adatnya yang kuno. Gereja Mar Thoma telah menjadi
suatu berkat bagi anggota-anggotanya, juga bagi orang-orang lain di
dunia ini yang belum sempat mendengar Kabar Baik tentang Tuhan Yesus.
TAMAT