14. PENERJEMAH DI PEJAGALAN
(Jerman, 1517 - 1534 M.)
Tukang bantai serta pembantunya yang masih muda itu saling
melirik pada saat pintu toko daging dibuka oleh seorang pria
setengah umur yang berbadan agak gemuk.
"Nah, ini dia, sang mahaguru sinting yang memesan seekor
domba untuk dijagal hari ini," tukang bantai itu berbisik.
"Guten Morgen!" Suara mahaguru itu keras dan ramah. "Domba
pesananku sudah ada, Pak?"
"Sudah, Tuanku!" Tukang bantai itu mengangguk, lalu
melambaikan tangannya tanda mengajak ke tempat pejagalan di belakang
toko.
Pada saat sang mahaguru sinting menepuk bahu anak laki-laki
yang menjadi pembantu jagal itu, ia mematung karena takut. Lalu
mahaguru itu terus lewat dan mengikuti jagal keluar dari toko.
Setelah pintu belakang ditutup, barulah anak laki-laki itu
bergerak lagi. Dengan berjingkat-jingkat ia mendekati pintu tadi dan
menguakkannya sedikit. Dari tempat yang tersembunyi itu ia dapat
mengintip apa yang hendak dilakukan di pejagalan.
Ternyata mahaguru sinting itu membawa serta sebuah kantung
kain. Ia mengeluarkan sebuah buku notes, sebatang pena panjang yang
terbuat dari bulu angsa, sebuah botol tinta, dan sebuah kotak berisi
pasir. Ini semua diletakkannya di atas meja; lalu ia duduk di
belakangnya.
Pekerjaan menyembelh itu dimulai. Dari tempat
persembunyiannya, anak laki-laki itu dapat melihat muka sang mahaguru
sinting mengernyit pada saat si domba mengembik denagan suara keras,
lalu mati berlumuran darah. Terus jagal yang cekatan itu menguliti
bangkainya dan memotong-motongnya.
Mahaguru sinting itu mengamat-amati semuanya. Lalu tiba-tiba
ia bertanya, sehingga anak laki-laki itu terkejut: "Itu apa namanya
Pak?"
Tentu saja mahaguru ini sinting! Demikianlah jalan pikiran
pembantu cilik yang bersembunyi di belakang pintu itu. Anak laki-laki
siapakah di jalanan kota Wittenberg yang tidak tahu apa namanya benda
itu? Tentu saja itu namanya ginjal domba!
Tukang bantai itu terus bekerja, walau sering diganggu oleh
pertanyaan-pertanyaan yang dungu. Sudah jelas, mahaguru itu tidak
tahu bedanya antara hati dan jantung, antara paru-paru dan empedu
. . . walau jika dilihat dari pakaiannya, dia itu seorng sarjana dari
universitas!
Sewaktu-waktu terdengar dering giring-giring. Lonceng kecil
itu tergantung pada pintu muka, untuk memberitahukan kedatangan calon
pembeli. Maka setiap kali giring-giring mendering, secara ogah-ogahan
anak laki-laki itu meninggalkan posnya di belakang pintu dan pergi
melayani langganan toko daging. Ia tidak sabar untuk kembali lagi
menyaksikan apa yang sedang terjadi di pejagalan.
Ternyata tukang bantai tidak lagi bersikap takut-takut
terhadap sang mahaguru sinting. Seolah-olah mahguru itu adalah
seorang pembantunya yang masih baru, ia menjelaskan bagaimana meja
jagal harus dibersihkan, bagaimana pisau harus diasah, bagaimana
tombak kecil harus dipakai untuk menikam tubuh seekor binatang
sembelihan.
Sang mahaguru mencatat semuanya itu pada buku notesnya.
Tangannya bergerak bolak balik dengan cekatan di atas halaman putih
itu. Setiap kata ditulis dengan penanya, kemudian ditaburi sedikit
pasir agar tinta hitamnya cepat kering.
Rupa-rupanya semua catatan itu sudah selesai. Sang mahaguru
menyimpan kembali barang-barang miliknya ke dalam kantong kainnya. Ia
membayar tukang bantai, lalu melangkah menuju jalan keluar. "Berilah
daging domba itu kepada orang-orang miskin," katanya seraya membuka
pintu depan. Giring-giring mendering pada saat pintu dibanting, dan
derap kaki yang berat itu makin lama makin redam.
Anak laki-laki itu memandang pada tukang bantai. "Pak, kenapa
dia banyak bertanya seperti itu? Apa dia betul-betul sinting?"
"O, memang dia orang sinting," jawab jagal itu. "Tetapi bukan
seperti orang gila yang matanya liar dan tangannya usil. Bukan,
kegilaannya itu di dalam hati. Ia sedang mengerjakan sesuatu yang
sangat jahat: Ia mau menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahas Jerman!
Maksudnya datang kemari ialah, agar istilah-istilah untuk pengorbanan
binatang pada zaman Perjanjian Lama itu tepat semua."
Lalu suara jagal itu menggeledek: "Hujat! Itu namanya untuk
pekerjaan yang begitu jahat! Semua orang tahu bahwa Alkitab itu
tertulis dalam bahasa Latin yang suci. Kalau menyalinnya ke dalam
bahasa lain, itu hujat namanya!"
Anak laki-laki itu menggigil. "Apakah sang mahaguru sinting
itu orang sini?"
"Aku kurang tahu," jawab tukang bantai. "Tempo hari pada
waktu ia memesan domba, rasanya ia memakai nama yang biasa saja.
Rasanya pernah kudengar orang mempercakapkan nama itu di kedai
minuman keras." Ia mengusap kumisnya sambil berpikir sejenak. "Nak,
pernahkah kaudengar nama Dr. Martin Luther? . . ."
Adegan yang aneh di pejagalan tadi, sesungguhnya hanya
merupakan satu dari sekian banyak adegan luar biasa yang benar-benar
terjadi selama Martin Luther, sang pendekar gerakan pembaharuan
gereja itu, sedang mengerjakan terjemahannya.
Pernah penerjemah yang sangat hati-hati itu meminjam beberapa
batu permata dari kaum bangsawan. Ia ingin supaya nama-nama batu
permata yang dijelaskan dalam Kitab Wahyu itu disebut dengan tepat
dalam bahasa Jerman.
Pernah ia pun mendatangi para sarjana bangsa Yahudi dan
bertanya-tanya tentang mata uang dan satuan ukuran yang berlaku
dahulu kala pada zaman Perjanjian Lama. Lalu ia pergi juga ke pasar
dan mencari istilah-istilah yang sepadan dalam bahasa Jerman
sehari-hari.
Dulu Martin Luther menjadi seorang pastor Gereja Katolik,
yang sudah biasa mendengar pengakuan dosa rakyat kecil. Ia masih
ingat kata-kata kasar yang pernah dicetuskan oleh mereka kata-kata
tentang pencobaan, kata-kata tentang rasa sepi dan rasa bersalah.
Mahaguru itu pun suka pergi bermain dengan anak-anak di
jalanan kota, suka mengobrol pula dengan para petani yang membajak di
ladang. Tahulah dia bahwa pikiran-pikiran umat Tuhan dahulu kala itu
tidak akan mengena dalam hati rakyat biasa di negeri Jerman, jika hal
itu dibahasakan dalam istilah-istilah tinggi dari dunia universitas.
Semua adegan aneh ini terjadi beberapa tahun setelah Martin
Luther dikeluarkan dari Gereja Katolik, dan setelah ia diancam akan
dibunuh oleh karena kepercayaannya. Luther hidup pada masa peralihan
dari Abad Pertengahan beranjak ke dunia modern. Di seluruh Eropa,
orang-orang sedang menggarap hasil kesarjanaan. Di negeri Jerman,
Yohanes Gutenberg telah melancarkan perkembangan ilmu pengetahuan
itu, melalui mesin cetaknya dengan huruf yang dapat
dipindah-pindahkan. Kitab yang mula-mula dicetaknya ialah, Alkitab
dalam bahasa Latin.
Ada juga gerakan pembaharuan di bidang keagamaan, yakni:
Reformasi Protestan. Dr. Martin Lutherlah yang memimpin gerakan itu.
Ia menekankan bahwa: "Orang biasa berhak mengetahui sendiri isi
Alkitab. Orang biasa berhak diselamatkan oleh kasih karunia Tuhan
Allah, dengan jalan percaya kepada Yesus Kristus.
Para pemimpin gereja menuduh: "Hujat! Hujat!" Maka Martin
Luther diadili di hadapan sang kaisar. Kata-kata pembelaannya yang
terkenal itu ialah: "Aku terikat oleh Kitab Suci. Suara hatiku
terlambat oleh Firman Allah. Kecuali aku diyakinkan oleh isi Alkitab
serta penjelasannya yang terang, aku tidak akan, aku tidak dapat
mengingkari kepercayaanku!"
Tidak ada seorang pun yang sanggup memberi penjelasan Alkitab
yang terang, sehingga tidak seorang pun berhasil meyakinkan Martin
Luther bahwa kepercayaannya itu salah. Maka ia tidak pernah ingkar;
ia tetap menekankan bahwa setiap orang yang percaya kepada Yesus
Kristus akan diselamatkan oleh kasih karunia Tuhan Allah.
Walau Martin Luther tidak pernah ingkar, ia menyembunyikan
diri dalam Benteng Wartburg karena nyawanya terancam. Di situ, pada
tahun 1521, mulailah ia menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru dari
bahasa Yunani ke dalam bahasa Jerman. Di dalam benteng yang sepi itu,
dengan lampu yang berkedip-kedip dan dengan pena bulu angsa yang
sering rusak, tanpa bantuan seorang penulis, Martin Luther
mengerjakan semuanya sendirian. Edisi pertama dari Perjanjian Baru
hasil terjemahannya itu diterbitkan pada bulan September tahun 1522.
Hebat sekali reaksinya! Banyak orang Jerman menjadi sangat
gempar ketika untuk pertama kalinya mereka dapat membaca Alkitab
dalam bahasa ibu mereka. Bahkan ada yang tidak lagi dapat menguasai
luapan perasaannya sehingga mereka mulai merusak gedung-gedung ibadat
milik aliran gereja yang sudah lama mencegah mereka mempunyai Firman
Tuhan.
Walau nyawanya terancam, Luther kembali ke kota Wittenberg,
tempat kerusuhan itu. Ia berkhotbah bahwa gerakan pembaharuan itu
dimaksudkan untuk membangun, bukan untuk merusak. Ia mengingatkan
para pengikutnya bahwa ia memang berani melawan ajaran-ajaran palsu,
namun ia tidak memakai kekerasan. Dan ia pun memulai suatu sistem
ibadah yang baru. Dalam kebaktian umum itu, yang dibacakan bukan lagi
Alkitab bahasa Latin, melainkan Alkitab bahasa Jerman.
Selama beberapa hari saja Luther berkhotbah dan mengajar di
kota Wittenberg. Lalu ia mengungsi lagi ke Benteng Wartburg. Tetapi
tidak lama kemudian berkobarlah perang di negeri Jerman. Luther
merasa bahwa ia seharusnya melayani di tengah-tengah masyarakat yang
sedang menderita.
Dengan tekad hati yang baru, Dr. Martin Luther kembali lagi
ke kota Witthenberg. Ia mulai lagi membawakan kuliah keagamaan di
universitas. Ia menikah dan membina rumah tangganya. Dan ia pun mulai
menerjemahkan Kitab Perjanjian Lama.
Pekerjaan terjemahan itulah yang menimbulkan adegan-adegan
aneh yang digambarkan tadi: di pejagalan, di perbendaharaan batu
permata, di pasar, di ladang. Selama sebelas tahun Martin Luther
membanting tulang, mencari kata-kata bahasa Jerman yang paling tepat.
Baru pada tahun 1534 terjemahan Alkitabnya yang lengkap itu
diedarkan.
Dr. Martin Luther mengajak beberapa mahasiswanya dan
rekan-rekan sekerjanya untuk mendirikan suatu Perkumpulan Alkitab:
Minggu demi minggu mereka bertemu, dan sering "sang mahaguru sinting"
membuat mereka semua tertawa mendengar penjelasannya tentang
masalah-masalah yang sedang dihadapinya dalam tugasnya yang mulia
itu.
"Wah, sulit sekali memaksakan para nabi berbicara dalam
bahasa Jerman!" kata Dr. Luther. "Mereka melawan terus segala
usahaku. Mereka tidak mau meninggalkan bahasa Ibrani mereka yang
indah, sama seperti seekor burung bulbul tidak mau meninggalkan
kicauannya yang merdu dan mulai mengaok seperti seekor burung gagak!"
Pada kesempatan yang lain, ketika ia sedang menerjemahkan
Kitab Ayub, Martin Luther menyatakan: "Aduh, si Ayub bersikeras mau
duduk terus dalam debu dan abu."
Para anggota Perkumpulan Alkitab itu sering mengadakan
penyelidikan dan surat-menyurat, agar dapat menolong rekan mereka
dalam usahanya mencari kata-kata bahasa Jerman yang paling tepat.
Istilah-istilah terjemahan itu dibahas panjang lebar dalam
pertemuan-pertemuan mingguan; setiap orang memperbincangkannya dari
sudut keahliannya masing-masing. Begitu teliti penyelidikan mereka
sehingga Dr. Luther mengomel: "Kadang-kadang dengan susah payah kami
hanya dapat menerjemahkan tiga baris dalam empat hari."
Alkitab itu yang disusun berdasarkan bahasa sehari-hari yang
dipakai oleh jagal dan petani, oleh anak di sekolah dan pedagang di
pasar ternyata menjadi buku pegangan untuk bahasa Jerman modern.
Banyak sekali orang Jerman yang belajar membaca dengan berpedomankan
Alkitab terjemahan Martin Luther. Kitab Suci dalam bahasa Jerman itu
pun menjadi titik tolak untuk suatu gerakan persatuan bangsa dan
bahasa.
Mula-mula Alkitab terjemahan Luther itu dijual dengan harga
setengah juta rupiah sebuah. Namun begitu banyak eksemplarnya yang
laku sehingga para tukang cetak dengan cepat harus mengeluarkan
edisi-edisinya lebih banyak lagi. Lambat laun harganya ditekan,
sampai rakyat miskin pun dapat membelinya. Maka terjemahan Alkitab
hasil karya "sang mahaguru sinting" itu menjadi batu penjuru untuk
suatu pola kehidupan dan kepercayaan yang baru di negeri Jerman.
TAMAT