16. PENERJEMAH PERJANJIAN BARU YANG PALING GIGIH
(Indonesia, 1814 - 1857)
Di antara ratusan suku bangsa dalam negara kesatuan
Indonesia, suku manakah yang terbanyak orangnya?
Di antara ratusan suku bangsa itu, suku manakah yang
orang-orangnya terpilih menjadi baik Presiden pertama maupun Presiden
kedua Republik Indonesia?
Tentu saja, hanya ada satu jawaban yang benar bagi kdua
pertanyaan tadi, yaitu: suku Jawa.
Nah, perhatikanlah pertanyaan yang ketiga ini:
Siapakah yang mula-mula memberi hadiah terbesar kepada suku
Jawa, yaitu: Kitab Perjanjian Baru yang tertulis dalam bahasa mereka
sendiri?
Jawaban atas pertanyaan itu, sama juga dengan judul pasal
ini: "Penerjemah Perjanjian Baru yang Paling Gigih."
Siapakah dia itu? Dan mengapa banyak seseorang yang bersifat
"paling gigih" itu yang sanggup memberi hadiah kepada orang-orang
Jawa berupa Firman Tuhan yang tertulis dalam bahasa Jawa?
Namanya, Gottlob Bruckner. Ia lahir pada tahun 1783 sebagai
salah seorang di antara enam putra dalam keluarga seorang petani di
desa Linda, daerah Saksen, di negeri Jerman.
Pembaca yang tahu bahasa Jerman, akan tahu pula bahwa
keluarga Bruckner adalah orang-orang Kristen yang amat saleh.
Buktinya? Nama yang diberikan kepada seorang anak laki-laki dalam
keluarga itu: "Gottlob" berarti "Puji Allah!" Sering ayah si Gottlob
menyanyikan lagu-lagu rohani dengan keenam putranya. Malam-malam ia
suka membacakan buku-buku Kristen kepada mereka.
Sesudah Gottlob Brucner mencapai umur dua puluh tahun, ia
meninggalkan rumah orang tuanya di desa untuk mengadu nasib ke di
kota. Ayahnya menangis pada saat mereka berpisah. "Ingatlah ini:
Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati!" seru sang
ayah pada waktu pemuda itu hendak menempuh perjalanan. Gottlob
Bruckner mengenali perkataan ayahnya itu sebagai kutipan ayat dari
Kitab Perjanjian Baru. Ia pun menyadari bahwa isi Firman Allah itu
sangat penting bagi ayahnya.
Si Gottlob tidak mempunyai uang untuk naik kendaraan umum.
Delapan hari lamanya ia berjalan kaki, baru ia tiba di ibu kota
Berlin.
Selama mencari pekerjaan tetap di kota, Gottlob Bruckner
mulai berkenalan dengan beberapa pemuda lainnya. Dan melalui
perkenalan itu ia pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran isi Alkitab.
Sungguh pentingkah kitab kuno itu, untuk kaum muda yang hidup
berabad-abad terkemudian?
Syukurlah, si Gottlob juga berkenalan dengan seorang gembala
sidang di kota Berlin. Khotbah-khotbah pendeta itu menyebabkan dia
banyak berpikir dan banyak berdoa. Untuk pertama kalinya ia sengaja
memihak Tuhan Yesus Kristus atas keputusannya sendiri, dan bukan
karena ia ikut-ikutan kepercayaan orang tuanya.
Pendeta di Berlin itu sering menerjemahkan dan membacakan
surat-surat dari Dr. William Carey. William Carey berasal dari rakyat
biasa di negeri Inggris, sama seperti Gottlob Bruckner berasal dari
rakyat biasa di negeri Jerman. Pada waktu si Gottlob masih sibuk
membajak ladang milik ayahnya, William Carey telah meninggalkan tanah
airnya dan pergi ke India sebagai utusan Injil. Setelah tujuh tahun
lamanya ia memberitakan Kabar Baik di sana, baru ada orang-orang
India yang rela percaya kepada Tuhan Yesus. Namun surat-surat yang
masuk dari Dr. Carey pada tahun-tahun 1800-an itu melaporkan adanya
banyak orang Kristen baru di negeri India.
Suara hati Gottlob Bruckner seolah-olah berbisik: Engkau pun
harus menjadi utusan Injil!
Gembala sidang di ibu kota yang telah menemaninya itu juga
menyelenggarakan semacam kursus ketrampilan untuk calon penginjil.
Hal itu amat menguntungkan bagi si Gottlob. Pendidikannya sangat
kurang, sehingga pasti ia tidak memenuhi syarat masuk ke sekolah
kependetaan biasa.
Selama satu setengah tahun Gotllob: Pendidikannya sangat
kurang, sehingga pasti ia tidak memenuhi syarat masuk ke sekolah
kependetaan biasa.
Selama satu setengah tahun Gottlob Bruckner berguru kepada
pendeta di Berlin itu. Kemudian ia dikirim ke negeri Belanda untuk
meneruskan pendidikan teologinya.
Tidak mudah bagi pemuda keluarga petani dari daerah Saksen
itu untuk pergi merantau dan mempelajari bahasa asing! Bahasa Belanda
agak mirip dengan bahasa Jerman, namun mengikuti kuliah dalam bahasa
Belanda itu merupakan suatu tantangan besar. Tetapi Gottlob Bruckner
bersifat paling gigih. Ia tekun belajar, dan ia tetap berkuliah selama
tiga tahun.
Pada tahun 1811, suatu badan zending umat Kristen di Belanda
sudah siap mengirim Gottlob Brukner dan dua kawan seangkatannya
sebagai utusan Injil. Tetapi rupanya mustahil mereka dapat
melaksanakan rencana itu. Kaisar Napoleon dari Perancis telah
mengobarkan perang di mana-mana di benua Eropa, sehingga semua kapal
batas antarnegara itu tertutup. Negeri Belanda sendiri sedang dijajah
oleh orang Perancis. Kapal-kapal laut tidak boleh berlayar: Pelayaran
itu dikhawatirkan akan membawa untung untuk negeri Inggris, musuh
kawakan Kaisar Napoleon.
Mula-mula badan zending di Belanda mengirim Gottlob Bruckner
dan kedua kawannya itu ke Jerman lagi selama satu tahun, untuk
berkuliah lebih lanjut. Lalu mereka mendapat akal: Ketiga calon
utusan Injil itu dapat menyamar menjadi rakyat biasa. (Memang mereka
itu rakyat biasa, walau sudah dipersiapkan untuk tugas khusus.)
Dengan diam-diam mereka dapat melintasi tapal batas dari Jerman ke
Denmark, lalu dari Denmark ke Swedia, kemudian dari Swedia ke
Inggris. Akhirnya dari Inggris mereka dapat dikirim sebagai utusan
Injil.
Gottlob Bruckner tidak tahu kapan ada kemungkinan ia harus
dapat melarikan diri dari pihak yang berwajib. Jadi, tak mungkin ia
membawa serta koper-kopernya yang besar hanya satu jinjingan yang
kecil saja. Ia pun tidak tahu kapan kemungkinan ia akan digeledah
oleh para pengawal tapal batas negeri. Jadi, tak mungkin ia membawa
serta surat perkenalan dari badan zending di Belanda itu kepada badan
zending di Inggris: Boleh jadi ia ditembak mati atas tuduhan menjadi
mata-mata orang Inggris!
Sesuai dengan dugaan sebelumnya, polisi Jerman di kota
Hamburg hendak menghambat rencana perjalanan ketiga calon utusan
Injil itu. Akhirnya mereka berhasil meloloskan diri ke negeri
Denmark. Dari sana mereka naik sebuah kapal layar nelayan ke Swedia,
lalu naik kapal laut lain lagi dari Swedia ke Inggris. Perjalanan
yang berputar-putar jauh itu memakan waktu dua bulan.
Umat Kristen di negeri Inggris menyambut mereka dengan
gembira. Namun sebelum ketiga calon itu dapat diangkat menjadi utusan
Injil, mereka harus diuji dulu. Tentu saja ujian itu diberikan dalam
bahasa Inggris, . . .dan tentu saja tidak ada seorang pun yang lulus.
"Kalian harus belajar lebih banyak lagi," demikianlah keputusan badan
zending di negeri Inggris itu.
Seseorang yang bersifat kurang gigih mungkin akan pulang saja
ke daerah Saksen. Tetapi Gottlob Bruckner adalah seorang yang paling
gigih. Ia rajin belajar bahasa Inggris seperti ia dulu rajin belajar
bahasa Belanda. Setelah satu tahun berkuliah di sebuah seminari
teologia di negeri Inggris, ia ditahbiskan serta dilantik menjadi
utusan Injil.
Nah, masih ada persoalan: Ke mana ia akan diutus? Ada orang
Kristen yang mengusulkan Guyana, di benua Amerika Selatan. Ada yang
menyarankan pulau Malagasy yang besar, yang letaknya dekat pantai
timur benua Afrika. Ada pula yang mengutarakan Jawa, sebuah pulau
besar yang penduduknya lebih banyak lagi daripada penduduk pulau
Malagasy. Dalam peperangan melawan Kaisar Napoleon, negeri Inggris
telah merebut pulau Jawa itu dari negeri Belanda. Jadi, hubungan laut
antara Inggris Raya dengan pulau Jawa sedang terbuka.
Sementara itu, Kaisar Napoleon terlihat bakal kalah secara
tuntas. Dengan menjelangnya masa perdamaian lagi, koper-koper besar
yang memuat seluruh harta milik Gottlob Bruckner itu dapat dikirim
lewat Terusan Inggris ke Ibu kota London. Tetapi kemudian gudang
tempat penampungan barang-barang miliknya itu kebakaran, dan seluruh
isinya musnah jadi abu.
Namun Gottlob Bruckner masih tetap bersifat gigih. Ia
melupakan kerugiannya serta kekecewaannya. Tepat pada tanggal 1
Januari 1814, ia berangkat menuju tempat pelayanannya sebagai utusan
Injil. Kapal yang ditumpanginya itu nyaris tenggelam dalam topan
dekat khatulistiwa, namun akhirnya sanggup membuang sauhnya di
Afrika Selatan. Di sana Pdt. Bruckner dan kedua kawannya itu giat
berkhotbah kepada orang berkulit putih dan orang berkulit hitam,
sampai ada kapal lain yang siap mengantar mereka ke kepulauan
Indonesia.
Ketiga orang itu mendarat di Ibu kota Jakarta. Di situ mereka
disambut dengan hangat oleh Gubernur Raffles yang tersohor. Lalu Pdt.
Bruckner berpamitan, dan seorang diri ia naik kapal lagi menuju
Semarang. Dua kali kapalnya diserang oleh bajak laut. Setelah mendarat
lagi, ia harus berjalan kaki melalui hutan tempat harimau masih
berkeliaran.
Di kota Semarang ia menjadi gembala sidang di sebuah gedung
gereja besar, yang telah didirikan oleh orang Belanda jauh sebelum
Pdt. Bruckner lahir. (Gedung yang terbuat dari batu itu hingga kini
masih dapat dilihat: Letaknya di Jalan Raden Saleh, tidak jauh dari
pelabuhan lama di Semarang.) Kebanyakan anggota gereja itu orang
Belanda atau orang Indo.
Hanya empat bulan setelah ia tiba di Semarang, Gottlob
Bruckner menikah dengan putri seorang pendeta Belanda yang sudah tua.
Kemudian suami istri itu dikarunia anak satu demi satu, sampai ada
delapan bayi lahir dalam keluarga mereka. Tetapi pada masa itu belum
ada obat yang mujarab untuk berbagai macam penyakit yang menyerang
anak kecil di daerah tropika; empat orang di antara kedelapan anak
dalam keluarga Bruckner itu meninggal pada waktu masih kecil.
Pada suatu hari ketika Pdt. Bruckner sedang bepergian ke
Surakarta dan Yogyakarta, tibalah dua utusan Injil baru di Semarang.
Mereka itu Pdt. dan Ibu Thomas Trowt, orang-orang Baptis dari
Inggris. Ternyata Gottlob Bruckner dan Tom Trowt seumur; tidak lama
kemudian mereka juga menjadi sahabat karib. Pdt. Bruckner kagum akan
kepintaran Pdt. Trowt, dan juga kagum akan ketekunannya mempelajari
bahasa Jawa.
Gottlob Bruckner sendiri telah pandai berbahasa Melayu,
bahasa Indonesia kuno. Dengan cepat ia menyadari bahwa kebanyakan
anggota gereja sesungguhnya tidak mengerti khotbah-khotbah dalam
bahasa Belanda. Yang lebih penting lagi: Kebanyakan di antara mereka
itu tidak mengerti sama sekali apa artinya menjadi orang Kristen.
Pdt. Bruckner makin lama makin sedih melihat orang-orang yang hidupya
jahat sepanjang minggu, namun mereka rajin ke gereja pada hari
ibadah. Dan sebagai gembala sidang ia wajib menyambut mereka di
gedung batu yang besar itu, seakan-akan merekalah orang-orang Kristen
yang tulen.
Gottlob Bruckner banyak berbincang-bincang dengan Tom Trowt
mengenai masalah itu. Ia banyak berpikir tentang arti pembabtisan. Ia
pun banyak belajar Kitab Perjanjian Baru.
Akhirnya ia mengambil suatu keputusan. Pada hari Minggu,
tanggal 31 Maret 1816, ia menaiki tangga ke mimbar tinggi dalam
gedung gereja yang terbuat dari batu itu. Dari Alkitab bahasa Belanda
ukuran besar yang terletak di atas mimbar itu, ia pun membacakan nas
khotbahnya dari Kitab Injil Yohanes 5:39-40.
"Kamu menyelidiki Kitab-Kitab Suci, sebab kamu menyangka
bahwa olehnya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun
Kitab-Kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak
mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu."
Lalu Pdt. Bruckner sungguh mengagetkan jemaatnya: "Aku akan
dibaptiskan," ia mengumumkan. "Sekarang aku mengerti bahwa Alkitab
mengajar agar kita dibaptiskan dengan diselamkan setelah kita sendiri
percaya kepada Tuhan Yesus secara pribadi, dan bukan sebelumnya."
Hari Minggu yang berikutnya, Tom Trowt membaptiskan Gottlob
Bruckner dalam Kali Banjir Kanal, yang mengalir melalui kota Semarang
sampai ke muaranya di Laut Jawa. Banyak anggota gereja Belanda yang
datang menyaksikan upacara itu. Tetapi tidak lama kemudian, mereka
memecat Pdt. Bruckner dari jabatannya sebagai gembala sidang.
Untung, ia masih mempunyai sebuah rumah (mungkin warisan dari
ayah mertuanya). Ia mengajak Pdt. Trowt sekeluarga untuk tinggal
bersama-sama dengan dia. Tetapi hanya enam bulan kemudian, Tom Trowt
meninggal. Badan zending di Inggris itu tak mungkin mengirim
seseorang sebagai penggantinya. Peperangan sudah mereda, dan pulau
Jawa sudah dikembalikan kepada bangsa Belanda.
Pdt. Bruckner menyambut perkembangan sejarah itu dengan
menulis surat kepada Dr. William Carey di India, dan kepada
orang-orang Baptis di Inggris yang mendukung pelayanan Dr. Carey.
Sebagai akibatnya, ia sendiri ditunjuk sebagai pengganti Thomas
Trowt, dengan sokongan tetap dari umat Baptis di negeri Inggris.
Gubernur baru yang ditunjuk oleh Negeri Belanda itu bertitah:
"Semua utusan Injil dari Inggris harus meninggalkan pulau Jawa."
Tetapi Pdt. Bruckner dapat membuktikan bahwa ia seorang Jerman, yang
pandai juga berbicara bahasa Belanda. Maka ia diizinkan terus menetap
di Jawa Tengah.
Sebelum ia meninggal, Tom Trowt telah mulai menyiapkan suatu
kamus bahasa Jawa. Ia juga telah mulai menerjemahkan Kitab Perjanjian
Baru ke dalam bahasa Jawa. Hasilnya tidak seberapa, dan karyanya yang
sedikit itu pun sudah hilang. Namun Gottlob Bruckner, orang yang
paling gigih itu, bersedia meneruskan tugasnya.
Bahasa Jawa ternyata jauh lebih sulit daripada bahasa Jerman,
bahasa Belanda, bahasa Inggris, atau pun bahasa Melayu. Setiap pagi
Pdt. Bruckner bergumul dengan buku-buku dan guru-guru. Setiap sore ia
berjalan kaki melalui desa dan kampung, sambil berusaha mengucapkan
kata-kata yang dapat dipahami oleh penduduk setempat.
Ternyata orang-orang Jawa tidak mau mendengar Kabar Baik
mengenai Tuhan Yesus. Rupanya pulau Jawa adalah ladang penginjilan
yang lebih sulit lagi daripada negeri India pada saat William Carey
mula-mula pergi ke sana.
Lambat laun Gottlob Bruckner menyadari betapa pentingnya isi
Alkitab dalam bentuk tertulis disampaikan kepada suku Jawa. Jadi,
dengan gigih ia melanjutkan tugas terjemahannya. Pada tahun 1819 ia
sudah menyelesaikan keempat Kitab Injil. Pada tahun 1820 ia sudah
mengerjakan seluruh Perjanjian Baru. Pada tahun 1823 ia sudah
memperbaiki naskah-naskahnya dan merasa bahwa semuanya itu sudah
rampung, siap untuk dicetak.
Tetapi soalnya, bagaimanakah Kitab Perjanjian Baru dalam
bahasa Jawa itu dapat dicetak?
Umat Kristen di negeri Inggris mengirimkan sebuah mesin cetak
kepada Gottlob Bruckner. Namun sayang, tidak ada seorang pun di
seluruh pulau Jawa yang tahu bagaimana menjalankannya. Lagi pula,
aksara-aksara Jawa itu berbeda daripada huruf-huruf semua bahasa
lainnya di seluruh permukaan bumi.
Di samping itu, masih ada juga soal lain. pada tahun-tahun
1820-an, Pangeran Diponegoro tengah mengobarkan pemberontakan melawan
kuasa penjajah. Gubernur Belanda tidak mau mengizinkan apa-apa yang
mungkin akan menghasut rakyat, . . .atau pun yang mungkin akan
mengurangi laba dari perkebunan-perkebunan besar yang diusahakan di
pulau Jawa.
Gottlob Bruckner memang seorang penerjemah Perjanjian Baru
yang paling gigih. Namun ia hampir putus asa . . . ketika pada suatu
hari ia menerima sepucuk surat dari India. Selama 35 tahun William
Carey setia melayani Tuhan Yesus di sana. Dalam suratnya tadi Dr.
Carey mengajak Pdt. Bruckner untuk datang mengunjunginya, dengan
membawa serta naskah-naskah yang berharga, yaitu Kitab Perjanjian Baru
dalam bahasa Jawa.
Pada tahun 1828 Pdt. Bruckner berpamitan dengan istrinya dan
kedua putrinya yang masih kecil. Dengan disertai kedua putranya, ia
pun berlayar menuju benua India. Tak terlintas dalam pikirannya bahwa
ia akan tetap terpisah dari keluarganya itu selama tiga tahun.
Setibanya di India, mula-mula ia harus mengajar para tukang
cetak yang bekerja di bawah pengawasan William Carey, tentang
bagaimana caranya mengukir bentuk-bentuk yang menyerupai huruf-huruf
bahasa Jawa. Lalu ia sendiri harus uji coba setiap halaman yang
mereka cetak: Selain dia, tidak ada seorang pun di seluruh India yang
mengerti apa arti aksara-aksara yang sangat khas kelihatannya itu.
Putra sulung Gottlob Bruckner, seorang bocah berumur tiga
belas tahun, jatuh sakit dan meninggal, jauh dari rumah dan ibunya.
Pdt. Bruckner sendiri jatuh sakit parah, sehingga ia harus mengungsi
untuk sementara ke kota Malaka dan beristirahat di sana.
Namun tugas besar itu akhirnya juga selesai. Dengan ditemani
oleh putra satu-satunya yang masih hidup, Pdt. Bruckner berlayar lagi
menuju Indonesia. Ruang di bawah geladak kapal laut itu memuat barang
yang sangat berharga: Dua ribu Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa
Jawa, dua puluh ribu surat selebaran dalam bahasa Jawa,
bungkusan-bungkusan kertas, dan seperangkat aksara bahasa Jawa untuk
dicocokkan pada mesin cetak guna membuat cetakan-cetakan ulang.
Di dekat pulau Kalimantan, kapal itu dilanda topan. Pdt.
Bruckner dan putranya harus memegang tiang layar; kalau tidak, mereka
akan terbawa hanyut oleh ombak besar. Bahkan nahkoda kapal berteriak,
"Tidak ada harapan lagi!"
Namun Tuhan mengindahkan doa-doa yang tulus pada hari itu.
Sebuah kapal yang setengah reyot dapat dengan susah payah mencapai
tempat berlabuh di pulau Jawa.
Setelah ia pulamg ke Semarang, Gottlob Bruckner hampir tidak
mempynyai waktu untuk bersalaman dengan istrinya dan kedua putrinya.
Lima hari pertama setelah ia tiba itu adalah hari-hari yang penuh
dengan kegemparan. Sebanyak tujuh ribu surat selebaran dalam bahasa
Jawa dibagi-bagikan kepada rakyat yang berdesakan memperolehnya.
Tetapi pemerintah penjajah masih kurang menyetujui apa pun
yang diperkirakan akan membangkitkan semua suku Jawa. Sepasukan
tentara datang dan menyita sisa surat-surat selebaran itu, serta
hampir semua Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa. Hanya karya
Gottlob Bruckner seumur hidupnya itu dikunci dalam sebuah almari besi
di ibu kota Jakarta.
Namun Pdt. Bruckner tetap gigih, dan tetap mencari akal. Ia
masih mempunyai bungkusan-bungkusan kertas itu, serta aksara-aksara
bahasa Jawa yang dapat dicocokkan pada mesin cetak. Dengan diam-diam
ia mencetak lagi surat-surat selebaran. Sedikit demi sedikit ia
mengedarkannya di antara orang-orang Jawa. Maka Kabar Baik dalam
bahasa Jawa itu tetap tersebar luas.
Pdt. Bruckner juga mengambil tindakan khusus dengan dua di
antara Kitab-Kitab Perjanjian Baru Bahasa Jawa yang masih ada pada
dia: Salah satunya diposkan kepada raja Belanda, dan yang satunya
lagi diposkan kepada raja Prusia (yaitu sebagian dari negeri Jerman).
Raja Prusia mengirimi dia sebuah medali emas sebagai tanda kehormatan
atas prestasi kesarjanaannya yang besar. Tetapi raja Belanda
melakukan sesuatu yang sesungguhnya lebih berguna: Ia mempengaruhi
para pemerintah Belanda sehingga mereka mengubah kebijaksanaan mereka
tentang soal kebebasan beragama di pulau Jawa.
Sedikit demi sedikit isi lemari besi di Jakarta itu dikirim
kmbali ke Semarang. Dan tentu saja Gottlob Bruckner membagikan
Kitab-Kitab Perjanjian Baru dan surat-surat selebaran itu kepada
orang-orang Jawa.
Namun sedikit sekali di antara orang-orrang Jawa itu yang
percaya kepada Tuhan Yesus! Badan zending umat Baptis di negeri
Inggris sering mendesak Pdt. Bruckner supaya ia mundur saja, lalu
pindah ke benua India. Tetapi Gottlob Bruckner adalah seorang yang
paling gigih. Ia masih tetap percaya bahwa benih Injil yang
ditaburkannya itu akhirnya juga akan berbuah.
Memang betul, ada panen rohani yang sudah mulai bertunas
semasa hidup Gottlob Bruckner. Anehnya, . . . hasil pertama itu
dituai bukan di Semarang atau pun di daerah sekitarnya, melainkan di
tempat yang jauh, di Jawa Timur.
Ketika umur Pdt. Bruckner sudah mendekati enampuluh tahun, ia
sempat berlayar menelusuri pantai utara pulau Jawa sampai ke
Surabaya. Di kota pelabuhan yang besar itu, ia berkenalan dengan
bebeapa orang Jawa yang telah percaya kepada Tuhan Yesus. Ketika ia
masuk ke pedalaman, ia pun menemukan lebih banyak lagi petobat baru.
Ada seorang sepuh yang mengetuai jemaat kecil di seluruh
desa."Bagaimana Bapak sampai mendengar tentang Tuhan Yesus?" tanya
Pdt. Bruckner kepada orang yang sudah tua itu.
"Selama dua puluh empat tahun, akulah yang memanggil umat
beragama di desa ini, agar mereka bersembahyang," jawab bapak itu."
Lalu pada suatu hari, seseorang memberi aku lembaran kecil ini." Dan
ia menyodorkan kepada tamunya itu sehelai surat selebaran yang telah
diterbitkan oleh Gottlob Bruckner sendiri.
Betapa bahagianya hari-hari yang dihabiskan oleh Pdt.
Bruckner dalam bersekutu dengan umat Kristen di desa itu! Betapa
senangnya dia oleh karena dengan gigihnya ia telah pantang mundur
menaburkan benih Injil berbentuk Firman Tuhan yang tertulis dalam
bahasa Jawa!
Sampai akhir hayatnya, tanpa mengenal lelah Gottlob Bruckner
memberi kesaksiannya tentang Tuhan Yesus. Namun selama masa hidupnya
itu hanya ada sedikit orang Jawa yang menjadi percaya. Lagi pula,
selama hampir satu abad sejak Pdt. Bruckner meninggal pada tahun
1875, tidak ada utusan Injil Baptis lainnya yang datang dari negeri
mana pun juga untuk meneruskan pelayanannya.
Namun ada juga pengganti-pengganti Pdt. Bruckner dari aliran
gereja lain. Menjelang akhir hidupnya yang panjang itu, pemerintah
penjajah mulai mengizinkan kedatangan utusan-utusan Injil baru dari
negeri Belanda ke pulau Jawa.
Mereka itu menemukan suatu ladang penginjilan yang sudah
dibajak, siap untuk usaha penaburan mereka. Mereka menemukan Kitab
perjanjian Baru yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Mereka
menemukan surat-surat selebaran, dan lagu-lagu rohani, dan kamus
serta daftar kosa kata yang sangat berfaedah, agar dengan lebih mudah
mereka dapat mulai menyampaikan Kabar Injil di antara suku Jawa.
Pada abad yang kedua puluh ini, sudah ada ribuan, bahkan
ratusan ribu orang Jawa yang telah menjadi pengikut Tuhan Yesus.
Namun gerakan Kristen yang besar itu mungkin sekali tidak pernah akan
terjadi, seandainya hampir dua abad yang lalu tidak ada seorang
penerjemah Perjanjian Baru yang paling gigih.
TAMAT