Sekitar abad 18, kepulauan Pasifik dikenal sebagai surganya bumi
pada saat itu. Banyak penjelajah dan pedagang yang singgah di
kepulauan tersebut selalu terpana dengan keindahan dari kepulauan
ini. Termasuk juga para penulis antara lain: William Melville,
Robert Louis Stevenson, dan James Michener mengungkapkan dengan
piawai melalui novel-novel tulisan mereka.
Meskipun demikian, ada banyak jiwa yang tinggal di kepulauan Pasifik
tersebut sedang sekarat karena belum mengenal Kristus. Banyak
lembaga misi yang rindu untuk melayani di kepulauan ini dan banyak
sumber daya manusia dibutuhkan untuk mendukung penginjilan yang
dilakukan. Namun para misionaris yang diutus terkadang hanya
sebentar melakukan pelayanannya. Selain karena faktor geografis yang
agak sulit untuk menjangkau kepulauan-kepulauan tersebut pada masa
itu, faktor terbesar yang membuat penduduk menolak kehadiran para
misionaris adalah karena sikap dari para pedagang dan pelaut yang
singgah di wilayah ini. Mereka datang untuk mengeksploitasi para
penduduk -- termasuk dengan maraknya perdagangan budak pada masa itu
-- dan sumber daya alam yang ada.
Walau ada banyak kendala, banyak misionaris yang terus berjuang
untuk memenangkan penduduk kepulauan ini termasuk mereka yang telah
dijadikan budak di tempat-tempat lain. Salah satunya adalah Florence
Young yang kesaksiannya bisa Anda simak dalam Tokoh Misi berikut
ini. Bila dibandingkan dengan kepulauan lain, maka pada abad 19
(sekitar tahun 1983 -- saat buku ini ditulis), kepulauan Pasifik
mempunyai prosentasi kekristenan yang tinggi.
FLORENCE YOUNG -- BUNGA DI PULAU QUEENSLAND
Ironisnya, bisnis penculikan orang-orang negro atau Polinesia untuk
dijadikan budak yang telah banyak menimbulkan kerusakan di kepulauan
Pasific Selatan ternyata menjadi pintu gerbang utama bagi masuknya
penginjilan di kepulauan Solomon. Sementara beberapa misionaris
seperti John Coleridge Patteson dengan sengit menentang lalulintas
tersembunyi dari bisnis "manusia" ini, namun ada beberapa misionaris
lain termasuk Florence Young yang tampaknya "menerima" hal tersebut
dan malah bekerja dalam sistem yang mendukung perbudakan itu.
Florence Young adalah seorang warga Sydney, Australia. Dia adalah
orang yang pertama kali mengekspresikan keprihatinannya tentang
kesejahteraan rohani para pekerja perkebunan di South Seas. Saudara-
saudara Florence adalah pemilik Fairymead, perkebunan tebu yang
besar di Queensland, dan kunjungannya ke perkebunan ini telah
mengubah pandangan hidup Florence. Meskipun keterlibatan para
saudaranya dengan para pedagang budak tidaklah jelas (beberapa
pemilik perkebunan biasanya membuat kontrak kerja dengan badan
penyalur pekerja resmi), namun yang pasti, Florence bersedia bekerja
dalam sistem ini untuk mengenalkan Injil kepada para budak.
Sebagai anggota jemaat dari Plymouth Brethren, Florence Young telah
mempelajari Alkitab sejak dia masih kanak-kanak dan sangat mendukung
pelayanan pengajaran yang dilakukannya sejak tahun 1882. Kelas kecil
pertamanya yang terdiri dari 10 budak merupakan suatu awal yang
kurang menggembirakan. Namun jumlah ini terus bertambah dan tak lama
kemudian, dia mempunyai 80 murid di kelas yang diadakan setiap hari
Minggu. Separo dari jumlah itu datang secara rutin dalam kelompok
pemahaman Alkitab yang diadakan setiap sore. Respon tersebut jauh
melebihi dari yang dibayangkan Florence.
Anda bisa membayangkan kondisi para budak saat itu. Menebas batang
tebu pada jam 12 siang atau selama beberapa jam setiap hari di bawah
terik matahari merupakan pekerjaan yang 'mematikan'. Banyak budak
meninggal karena bekerja dalam kondisi dan tekanan seperti itu
termasuk Jimmie, budak pertama yang bertobat di perkebunan itu.
Meskipun demikian, mereka berani mengorbankan jam-jam istiharat yang
berharga untuk mendengarkan Injil.
Kesuksesan dari pelayanan Florence Young di Fairymead ini memberinya
semangat untuk melakukan hal yang sama di perkebunan-perkebunan
lainnya di Queensland, dimana ada 10000 budak tinggal dalam kondisi
yang serupa, bahkan ada yang lebih buruk lagi. Pemberian dana kasih
dari George Mueller (juga menjadi jemaat Plymouth Brethren)
merupakan stimulan yang dibutuhkan Florence untuk mendirikan
Queensland Kanaka Mission (Kanaka merupakan istilah yang digunakan
untuk "para pekerja yang diimpor"). Florence juga mendapat dukungan
dari seorang guru misionaris dan menulis surat secara rutin kepada
para pemilik perkebunan yang ada di wilayahnya. Pada akhir abad 19,
melalui pelayanan yang dilakukan 19 misionaris, ribuan orang telah
mengikuti kursus Alkitab yang diadakan Florence dan ada yang
berkeinginan untuk memberitakan Injil saat mereka kembali ke negara
asal mereka.
Pada tahun 1890, Florence merasa Allah memanggilnya untuk terlibat
dalam pelayanan misi ke China. Oleh karena itu, dia ikut melayani
bersama China Inland Mission. Namun dia kembali lagi ke South Seas
pada tahun 1900 untuk mengarahkan secara langsung pelayanan misi
yang telah dirintisnya karena pelayanan ini telah mengarah ke fase
yang berbeda. Hukum telah melarang perdagangan budak berkulit hitam
dan sistem kerja paksa juga telah dilarang. Pada tahun 1906, banyak
budak telah dipulangkan ke kampung halamannya. Namun hal ini tidak
berarti bahwa pelayanan Florence berhenti sampai di sini. Pelayanan
Follow-up diperlukan untuk melanjutkan pelayanan yang telah dirintis
tersebut. Florence dan beberapa misionaris berlayar menuju Solomon
Islands dimana mereka melayani para petobat baru dan mendirikan
gereja.
Pada tahun 1907, Queensland Kanaka Mission mengganti namanya menjadi
South Sea Evangelical Mission. Florence dibantu oleh ketiga
keponakannya -- Northcote, Norman, dan Katherine Deck sangat aktif
dalam melakukan pelayanan ini. Tahun-tahun berlalu, 10 orang lebih
sahabat dekatnya menjadi misionaris dan menyusul Florence ke Solomon
Islands.
Diterjemahkan dari salah satu artikel di:
Judul Buku |
: |
From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History
of Christian Missions |
Penulis |
: |
Ruth A. Tucker |
Halaman |
: |
223 - 224 |
e-JEMMi 04/2004