TUAIAN TERUS MENANTANG
"Sila kencangkan tali kedar, pesawat akan mendarat di Bandara
Pocentong, Kamboja ...." Itulah pengumuman dari kru pesawat Malaysia
Airlines yang membawa saya, Lisa dan Dony (bukan nama sebenarnya),
terbang dari Cengkareng menuju Kamboja. Maksud kru tersebut supaya
sabuk pengaman segera dikencangkan karena pesawat akan mendarat. Jam
menunjukkan pukul 11.00 siang waktu Kamboja. "Welcome to Cambodia"
terpampang jelas di pintu kedatangan bandara itu.
Hari Jumat 11 Pebruari 2005 untuk kedua kalinya saya menginjakkan
kaki di negara yang baru beberapa tahun ini masuk anggota ASEAN,
sedangkan Lisa dan Dony baru pertama kali ke sana. Kami tidak harus
turun dari pesawat, karena pada saat ini airport Pocentong sudah
mengalami pemugaran, berbeda ketika tujuh tahun yang lalu, saya
harus turun dari pintu pesawat dan berjalan kaki menuju counter
imigrasi. Saat ini dengan kemajuan teknologi kami tinggal turun dari
pintu pesawat langsung melalui sebuah lorong yang dinamakan belalai
gajah. Sebagaimana layaknya airport di negara yang sudah maju.
"Selamat datang di Kamboja," kata Yanto dengan senyum yang memancar
pada wajahnya. Ia telah menanti kedatangan kami sejak pukul 10.00.
Memang Yanto dan keluarganya sudah hampir setahun ini tinggal di
Pnom Penh. Setelah itu kami menaikkan barang-barang ke dalam bagasi
taksi yang rupanya telah dipesan sebelumnya. Saya kagum dengan
kemajuan pembangunan bandara, dari yang kelihatan kusam sekarang
kelihatan wah, nampak kontras bila dibandingkan bandara kebanggaan
kita Cengkareng, yang walaupun luas dan besar tapi tidak berkesan
wah. Ironis memang, negara ini miskin tapi tidak ingin tengggelam
dengan kemiskinannya, seperti kata orang, "yang penting
penampilannya".
Memang kesan kumuh dan kotor yang pernah saya lihat beberapa tahun
yang lalu sudah mulai sirna. Saya meyaksikan sendiri pembangunan
gedung di sana sini, bahkan jalan-jalan pun sudah banyak yang
diaspal. Negara ini sudah menampakkan kestabilannya, kita tahu
kondisi negara ini beberapa tahun lalu dilanda kemelut perang
saudara. Mereka bertikai dan berusaha saling berebut kekuasaan, dan
peristiwa yang paling terkenal beberapa waktu yang lalu adalah
tragedi "killing field" yaitu ladang pembantaian. Konon kabarnya
akibat perang saudara terjadi pembunuhan massal dan hampir sekitar
sejuta jiwa melayang akibat pertikaian tersebut. Memang dalam dunia
politik tidak ada istilah kawan sejati, yang ada kepentingan sejati,
sejauh kepetingan atau tujuannya sama, masih bisa dianggap sebagai
teman, namun apabila tujuan berbeda tentunya sudah langsung menjadi
lawan.
"Stop ... stop kita sudah sampai," kata Yanto. Kami menginap di
sebuah guest house MCC, milik sebuah organisasi Kristen dari
Amerika. Dengan ramah kami diterima oleh sekretaris MCC, orang
setempat yang juga fasih berbahasa Inggris. Siang itu kami istirahat
karena cuaca di sana rata-rata sekitar 34 derajat celcius dan kalau
musim panas bisa sampai 37-39 derajat celcius, jadi bisa dibayangkan
kalau siang udaranya sangat panas sekali. Di Indonesia saja kalau
panas udaranya paling-paling hanya 32 derajat. Sekitar jam 12 siang
segala aktivitas kantor istirahat karena cuaca panas yang cukup
menyengat kepala. Belum lagi debu yang banyak bertebaran hampir di
seluruh kota, hal ini dapat dimaklumi karena begitu panasnya cuaca
di sana. Berbeda dengan Jakarta yang udara panasnya disebabkan oleh
polusi udara.
Selama di sana, waktu-waktu kami lalui dengan melihat, mengamati dan
mencari informasi, baik melalui orang-orang Indonesia yang tinggal
dan bekerja di sana dan juga beberapa orang asing yang kami temui.
Informasi ini sangat penting agar kami mendapat gambaran yang
seobyektif mungkin. Dunia pendidikan sangat berkembang pesat, banyak
sekolah-sekolah lokal yang menawarkan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan di sekolah-sekolah seperti Newton Thilay
Institut, American Institut dan universitas lain yang menawarkan hal
yang sama. Mungkin mereka sudah menyadari globalisasi sehingga
bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sangat dikembangkan,
walaupun sejauh pengamatan kami pengajarnya hanya orang lokal, bukan
native speaker. Sejauh ini di negara kita, universitas yang
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya adalah
Universitas Pelita Harapan di Jakarta dan Universitas Advent di
Cimahi. Di sana, seperti di Newton Thilay Institut, mulai dari anak
TK sampai yang lebih tinggi, jika pagi hari semua berkomunikasi
memakai bahasa Inggris dan siang memakai bahasa lokal yaitu Khmer.
Biaya pendidikan pagi hari lebih mahal karena memakai bahasa asing.
Kami juga mensurvei lembaga pendidikan yang dikelola orang Kristen
yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.
Keadaan pasar umumnya hampir sama dengan keadaan pasar tradisional
di negara kita. Yang membedakannya yaitu penggunaan uang, selain
memakai uang lokal yaitu reel, mereka juga memakai uang dolar
Amerika, jadi Betty sering memegang pecahan yang kecil seperti 1
dolar, 2 dolar dan terkadang ada yang 5 dolar dll. Sementara kalau
di negara kita belum tentu para pedagang tradisional memegang uang
dolar Amerika seumur hidupnya, yah inilah salah satu keunikannya.
Kebanyakan makanan di sini banyak yang tidak halal (menurut saudara
sepupu kita), hal ini dapat dimaklumi karena 95 % orang Kamboja
beragama Budha yang sudah tentu tidak asing dengan makanan yang
mengandung daging babi, yah hampir samalah kalau kita pergi ke Bali,
menjadi pemandangan biasa kalau kita melihat di Bali ada rumah makan
atau warung makanan yang banyak menyajikan menu daging babi. Saya
jadi teringat masa kecil dimana ayah saya sering membuat masakan
babi guling, karena kebetulan ayah saya suka memasak.
Truong ... botsdam ... botsway ... chop ... itu sebagian aba-aba
atau perintah dalam bahasa Khmer yang kami hafal selama di sana
(terus ... belok kanan ... belok kiri ... stop). Memang perintah ini
sangat penting karena transportasi yang banyak sekali dipakai
masyarakat adalah ojek, tapi uniknya ojek di sana bisa memuat 4
orang dewasa termasuk tukang ojeknya, lagi-lagi tukang ojek pun juga
sudah terbiasa menerima uang dolar Amerika. Di sana ada juga becak
yang sama dengan negara kita, ada juga taksi tapi sangat mahal.
Rupanya penyerapan tenaga kerja belum maksimal sehingga peluang
kerja yang cukup terbuka lebar saat ini adalah menjadi tukang ojek.
Hampir di mana-mana banyak sekali tukang ojek. Angkot belum ada saat
ini, tapi bis antar kota sudah ada dan cukup memadai.
Orang Indonesia yang tinggal di seantero Kamboja berjumlah sekitar
300 orang, "itu yang tercatat," kata salah seorang staf kedutaan
Indonesia yang pernah kami temui, ketika sedang makan pecel lele di
rumah makan Bengawan Solo yang saat ini dikelola oleh Mas Suyatno
bersama keluarganya. Namanya Pak Tamel asli Sumatra Utara dan sudah
3 tahun bertugas di Kamboja, "Saya selalu rindu tanah air", katanya.
Oleh sebab itu hampir setiap makan siang beliau mencari menu masakan
Indonesia, terkadang pesan ayam bakar, ikan balado, pempek palembang
dll. Dan rupanya banyak orang kedutaan yang pesan makanan di warung
Mas Suyatno selain beberapa orang Indonesia yang tinggal di sana dan
juga ada orang asing, "rasanya enak dan harga bersaing" itu motto
yang dipakai oleh Mas Suyatno. Sebab di sana juga ada restoran
Indonesia lainnya yaitu Kafe Bali, yang lokasinya dekat istana
kerajaan dan Sungai Mekong yang membelah kota Phnom Phen. Tapi kata
orang, menu makanan di Kafe Bali harganya lebih mahal ketimbang
rumah makan Bengawan Solo, kepunyaan Mas Suyatno.
"Nama saya Joko", demikian yang diucapkan saat berkenalan dengan Mas
Joko yang asli dari Jawa, beliau sudah cukup lancar bahasa Khmer,
karena sudah 2 tahun tinggal di sana. Selain itu beliau juga tinggal
dengan pemuda-pemuda Khmer sekitar 16 orang. Mereka menyewa sebuah
rumah model ruko berlantai 3 yang sewa sebulannya sekitar 280 $ US.
Kebanyakan orang Khmer yang tinggal dengan Mas Joko bukan orang yang
percaya, ada yang sudah bekerja, sebagian mahasiswa yang kebanyakan
mereka berasal dari luar kota Phnom Penh. Saya melihat ada batas di
sana sehubungan "going to the lost" menjangkau yang terhilang.
Melalui persahabatan dan interaksi yang wajar, beberapa di antaranya
menjadi orang percaya dan bertumbuh dalam pengenalan akan Dia.
Rupanya model seperti ini cukup efektif untuk membagikan dan
mendemonstrasikan "Kabar Baik" secara wajar. "Saya banyak berdoa dan
menggumulkan di hadapan Dia," kata Mas Joko.
Ada salah seorang yang sudah percaya, mulanya orang ini membawa
semua Kitab Suci dari berbagai agama dan semuanya dibaca dan
dipelajarinya, sampai mengalami frustrasi selama berbulan-bulan,
karena belum mendapatkan apa yang sedang dicarinya. Sampai pada
suatu saat ada kesempatan mendengar Kabar Baik itu dan akhirnya
dia menerima-Nya. Bahkan menjadi salah seorang yang cukup bertumbuh
dalam pengenalan akan Dia. Memang, ladang sudah menguning dan siap
untuk dituai. Tuaian banyak sekali di sana karena saat ini mereka
sangat terbuka dengan "Kebenaran" yang sesungguhnya. Masalahnya
siapa yang akan mengabarkan Kabar Baik itu?
"Sila kencangkan tali kedar ...." Tepat pukul 11.00 siang pesawat
Malaysian Airlines yang kami tumpangi lepas landas dari Bandara
Pocentong Kamboja menuju Cengkareng. Sambil memandang ke bawah dari
kaca jendela pesawat, tampak dari ketinggian, negara Kamboja yang
begitu menawan seperti sedang menantikan pembawa Kabar Baik itu
datang kembali.
Bahan diambil dari sumber:
Judul Buletin: Utusan, Volume 9, Tahun 4, Mei - Agustus 2005
Judul Artikel: Tuaian Terus Menantang
Penerbit : Dept. Pengutusan Lintas Budaya (DPLB), Para Navigator
Halaman : 21 - 23
e-JEMMi 05/2006
|
|