You are heree-JEMMI No.52 Vol.05/2002 / Rahasia Memberi dengan Sukacita
Rahasia Memberi dengan Sukacita
Natal -- masa untuk memberi dan menerima hadiah -- sudah tiba. Sambil memikirkan kegiatan komersial yang tampaknya menjadi ciri dalam masa Natal, saya mulai berpikir apakah Alkitab menuliskan tentang hadiah dan memberi, yang mungkin dapat membantu.
Waktu saya membuka Alkitab, salah satu bagian dari Khotbah di Bukit tampaknya berhubungan erat dengan hal itu. Apabila kita ada di Bait Allah, kata Yesus, dan kita mau membawa persembahan kepada Tuhan, dan teringat bahwa ada seseorang yang membenci kita, maka kita harus menunda persembahan itu. Kita harus pergi dan berdamai dahulu dengan saudara kita, lalu kembali untuk memberikan persembahan kita kepada Tuhan; barulah Ia akan menerima persembahan kita dan memberkati kita. Rupanya Tuhan ingin mengatakan bahwa hubunganlah yang terutama; setelah itu baru pemberian.
Apabila hubungannya sudah benar, maka pemberian menjadi sangat berharga. Saya ingat pada suatu musim gugur, ayah saya menghabiskan waktu berminggu-minggu membuat hadiah Natal untuk saya -- sebuah tempat tidur boneka, lemari rias, dan lemari untuk barang pecah belah. Sampai hari ini saya dapat memejamkan mata dan melihat dengan jelas perabotan mini itu, dicat putih dengan tombol gelas pada laci dan pintu lemari. Tetapi alasan saya mengingatnya dengan penuh kasih dan dengan terperinci ialah karena hadiah itu mengungkapkan hubungan ayah dan anak yang akrab di balik itu. Perabotan yang dibuat dengan tangan itu seolah-olah menyatakan, "Ayah mengasihimu; engkau berarti bagi Allah -- cukup berarti bagi waktu dan usaha Ayah yang terbaik."
Hadiah seperti itu merupakan ungkapan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Apakah begitu juga dengan semua hadiah Natal yang kita berikan? Bukankah kadang-kadang kita menggunakan benda sebagai hadiah untuk menyembunyikan atau menutupi hubungan yang rusak? Atau -- yang lebih umum -- bukankah kadang-kadang kita mengambil sikap: "Saya memberi hadiah ini untuk Anda karena saya merasa harus memberi (karena Anda mengharapkannya, atau karena Anda mungkin akan memberi sesuatu kepada saya dan saya harus membalas, atau karena saya benar-benar tidak tahu bagaimana melepaskan diri dari tradisi bertukar hadiah yang membosankan dan tanpa sukacita ini)?"
Mungkin pada hari Natal ini kita sebaiknya memeriksa apakah dalam daftar hadiah kita ada pemberian yang termasuk dalam kelompok tersebut. Bila ada, mengapa tidak mencoba menjelaskan apa yang lebih dipentingkan Yesus dalam keadaan seperti ini: mula-mula berdamailah dahulu dengan saudara Anda, lalu berikanlah pemberian Anda.
Kita dapat mencobanya dengan satu orang. Waktu kita memeriksa daftar yang kita buat, apakah ada di antaranya yang selalu menimbulkan kesulitan bagi kita dalam menemukan hadiah yang sesuai? Apakah waktu berbelanja hadiah untuknya kita merasa marah? Apakah ada orang yang membuat kita merasa tidak enak, apa pun hadiah yang kita berikan? Ini merupakan ciri-ciri hubungan yang perlu diperbaiki.
Setelah kita memilih orangnya, langkah berikutnya adalah menyediakan waktu setiap hari untuk memikirkan dan mendoakan hubungan kita. Apakah orang itu tetangga kita atau rekan sekerja kita? Mungkin kita tidak pernah sungguh-sungguh menganggapnya sebagai seorang pribadi. Kita tidak cukup peduli untuk mencari tahu kebutuhannya atau kegemarannya. Jalan keluarnya bisa berupa janji untuk makan siang, kunjungan ke rumahnya, setengah jam percakapannya yang sungguh-sungguh. Apakah ada dendam yang lama disimpan tanpa disadari di antara kita atau dalam keluarga? Hubungan seperti ini dapat dipulihkan dengan sebuah surat, pertemuan empat mata, atau pengakuan yang tulus.
Hubungan apa pun yang kita pilih untuk diperbaiki dan langkah apa pun yang kita ambil untuk memperbaikinya, kita harus menunggu sampai kita puas bahwa apa yang kita lakukan sudah seperti yang dimaksudkan Tuhan. Setelah itu kita baru melanjutkan dengan memilih sebuah hadiah. Harga tidak menjadi masalah, karena bila diberikan dengan tulus, hadiah kita merupakan ungkapan kasih yang nyata. Apabila kita memberi dengan dasar kasih, maka kita benar-benar mempersiapkan diri untuk menyambut hari Natal, waktu kasih itu sendiri turun ke dunia. Maka bersama dengan orang-orang majus kita juga dapat berlutut di dekat palungan-Nya dan mengucap syukur atas hadiah terbesar yang diberikan-Nya.
Sumber: | ||
Judul buku | : | Kisah Nyata Seputar Natal |
Penulis | : | Catherine Marshall |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1998 |
Halaman | : | 205 -- 207 |
Sumber | : | e-JEMMi 52/2002 |
- Login to post comments
- 4959 reads