You are hereArtikel Misi / Penyegaran Latihan Penginjilan
Penyegaran Latihan Penginjilan
Saya telah mengamati, kebanyakan warga gereja, apa pun aliran mereka, memiliki reaksi yang sama terhadap penginjilan: "Terima kasih, itu bukan bagian saya." Anda hampir dapat mendengar bunyi pintu gerbang besi yang bergemerincing tertutup dalam pikiran mereka.
Ketika saya bertanya mengapa mereka tidak mewartakan Injil, saya mendengar jawaban: "Saya tidak senang memaksakan sesuatu terhadap seseorang." Atau, seperti seorang siswa Reed College menjawabnya dengan begitu ringkas, "Penginjilan adalah berapa banyak orang yang telah saya sakiti hatinya dalam minggu ini." Atau, satu dari favorit saya, "Kamu tahu, saya akan mewartakan Injil jika saya tidak begitu mencintai manusia."
Kebanyakan orang Kristen amat takut dicap sebagai bagian dari golongan pinggir yang fanatik sehingga mereka tidak berbicara apa- apa tentang iman mereka dan merasa aman berada di dalam penjara yang ramah di gereja. Setiap latihan penginjilan yang efektif mulai dengan menyadari bahwa manusia dibebani oleh rasa salah, rasa takut, dan sikap-sikap negatif, yang harus dikenali dan dilenyapkan lebih dulu sebelum kita melangkah untuk mencapai suatu keberhasilan.
Dari manakah sikap-sikap negatif ini muncul? Tidak satu pun kelompok Kristen merencanakannya secara sadar, "Marilah kita sepenuhnya menghancurkan individualisme mereka dan membasminya bagi Yesus." Inilah cara yang sering kita temukan: menahan orang dan memaksakan brosur kepada mereka.
Saya heran betapa tegarnya orang-orang Kristen memegang teguh alasan-alasan mereka untuk tidak menginjili. Dan alasan-alasan itu hampir selalu berupa pernyataan bahwa penginjilan bukanlah merupakan prioritas utama.
Sebagian besar orang Kristen secara intuitif mengetahui bahwa penginjilan semestinya tidak berada dalam bagian pemasaran, tetapi berada dalam konteks hubungan yang penuh kasih. Pikiran sehat menuntut kita untuk mewartakan Sabda dan menghayati dalam hidup kita di tengah masyarakat di tempat mana hidup kita berinteraksi secara alamiah. Jika penginjilan lebih mementingkan teknik dan strategi dan kurang memperhatikan kasih dan penghargaan terhadap masing-masing orang, maka kita pasti akan mendapatkan kesulitan.
Tetapi beberapa di antara kita telah melangkah terlampau jauh pada sisi yang lain, lebih mementingkan hubungan dan kurang memperhatikan pewartaan Injil secara jelas dan panggilan untuk memenuhi janji. Akibatnya hanya persahabatan belaka dan tidak ada penginjilan sama sekali.
Bagaimana kita menghindari sikap yang terlalu keras dan memperkuat suatu penginjilan yang Alkitabiah, penuh kasih dan penuh penghargaan terhadap individu? Saya mengusulkan tiga unsur yang perlu dimasukkan sebagai bagian dari pelatihan kita.
Dua unsur pertama telah diusulkan oleh Gabriel Fackre, yang mengatakan bahwa kita harus bercerita secara langsung dan membagikan cerita kepada orang lain. Saya mau menambahkan bahwa kita harus memahami ceritanya, yang berarti pelatihan harus memperdalam sumber-sumber rohani kita dan membangun ketrampilan dalam isi dan komunikasi.
Bercerita Secara Langsung
Kami di Barat hampir selalu berhasil menyampaikan kebenaran Kitab Suci melalui pedekatan-pendekatan teologis atau sistem bagan empat garis besar. Kami sekarang mulai menemukan apa yang selama ini telah dipahami oleh saudara-saudara kami di dunia Timur -- kebenaran juga dikomunikasikan dengan menceritakan kisah.
Baru-baru ini saya membaca bagaimana Lewis Alemen membagi warta lisan ke dalam tiga bagian:
menceritakan kisah Yesus -- drama tentang perbuatan-perbuatan Tuhan, khususnya tentang hidup, kematian dan kebangkitan Kristus,
menceritakan kehidupan saya -- yang bukan merupakan pesan Kitab Suci tetapi yang memberi contoh akan kekuatannya, dan
menceritakan kisah mereka -- bagaimana hidup Kristus berkaitan dengan orang yang kita layani.
Kesaksian yang sejati mengintegrasikan unsur ketiga kisah hidup itu. Tetapi saya menemukan bahwa kebanyakan orang membutuhkan bantuan khusus untuk belajar menceritakan kisah Yesus. Kita biasanya mampu menjelaskan Injil lewat bagan-bagan dan diagram-diagram. Tetapi mampukah kita berbicara tentang Yesus dengan suatu cara yang dapat membuatnya seolah-olah hidup? Dapatkah kita menceritakan kisah hidup-Nya dan perumpamaan dengan suatu cara yang sedemikian hingga orang lain dapat melihat relevansinya bagi hidup mereka.
Salah satu kegiatan yang saya lakukan dengan aktif sebagai seorang anggota staf Inter-Varsity adalah memberikan "obrolan asrama" yang bersifat penginjilan, yang di dalamnya saya berbicara dengan mahasiswa-mahasiswa yang selalu mempertanyakan ajaran-ajaran agama Kristen (biasanya berkenaan dengan pembelaan-pembelaan) dan kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang suasananya seringkali menggairahkan dan penuh tanggung jawab. Bahkan kami sering terlibat dalam perdebatan yang seru sampai larut malam.
Kemudian pada suatu hari saya mendengar seorang rekan saya dan seorang pembicara yang terkenal, Gene Thomas, mengadakan suatu "obrolan asrama" di sebuah perguruan tinggi di Washington. Saya terkejut bahwa dia dengan sederhana melukiskan seperti apakah Yesus itu sebagai pribadi dan hal-hal yang dihargai-Nya -- manusia, khususnya. Dia berbicara tentang kualitas hubungan yang Yesus dambakan dan membuat kita mampu untuk memilikinya. Ketika dia berbicara, hal pertama yang muncul dalam pikiran saya adalah, "Tetapi mereka perlu tahu bahwa hal itu benar dan logis." Hal kedua yang muncul adalah, "Jika Anda akan berbicara tentang Yesus, tidakkah Anda akan berbicara tentang salib?"
Ketika tiba saatnya untuk bertanya, para mahasiswa berbicara dengan jujur: betapa mereka merasa bersaing dan tidak aman, mereka amat membenci kepalsuan dan elitisme. Mereka melontarkan keterkejutan mereka bahwa Yesus mempunyai kaitan dengan hal-hal semacam itu. Ada pula pertanyaan-pertanyaan yang beralasan tentang kebenaran yang dituntut oleh Yesus, tetapi suasananya tetap indah dan semarak.
Pada saat kami berjalan keluar gedung, tiga orang senior menghampiri Gene dan berkata, "Selama kami berada di sini, menjadi anggota panitia ini dan itu dan mengikuti banyak pertemuan, tapi kami belum pernah mengalami suatu pertemuan seperti ini, di mana orang-orang begitu terbuka dan terdapat suasana yang penuh kasih dan penerimaan."
Gene sambil lalu berkata, "Oh, ya, itu karena Yesus ada di sini. Kita merasakan suasana seperti itu sebab seperti itulah Yesus itu."
Mereka memandang Gene dengan mata terbelalak penuh ketakjuban, dan saya menyadari bahwa dia telah menyelesaikan pewartaan Injil lebih banyak daripada pembicaraan asrama yang telah saya lakukan.
Mereka belum bertobat, mereka belum memahami banyak pertanyaan yang belum terjawab, tetapi mereka sangat tertarik kepada Yesus. Ini merupakan suatu permulaan yang penting. Berikutnya ketika kami bertanya, "Apakah ada yang mau mempelajari pribadi Yesus yang diceritakan dalam Kitab Suci?" Mereka yang menyetujui luar biasa banyaknya. Pengalaman tersebut memperteguh apa yang sedang saya duga: saya perlu menemukan Yesus kembali dan dapat mengkomunikasikannya dengan cara-cara yang segar dan deskriptif agar penginjilan saya lebih efektif.
Beberapa bulan kemudian, saya ada di Harvard selama satu bulan untuk ceramah. Sebagai ganti ceramah yang banyak menggunakan otak sebagaimana yang telah saya rencanakan, saya memutuskan untuk mengikuti cara Gene dan berbicara tentang Yesus. Saya menceritakan kembali salah satu cerita Yesus sendiri, dalam hal ini perumpamaan tentang anak yang hilang.
Gerak-gerik kelompok itu mempesonakan. Saya berjalan memasuki suatu ruangan yang penuh sesak dengan mahasiswa-masiswa yang cerdas tetapi bimbang dalam iman. Beberapa kelihatan bersikap menentang, beberapa kelihatannya seperti habis melakukan olahraga yang berat. Banyak mahasiswa yang menggelosor di kursi mereka dengan tampang keheranan dan menunggu kesempatan untuk menyerang. Ketika saya mulai mengisahkan perumpamaan tersebut, saya melihat adanya perubahan. Mereka tidak dapat tidak terlibat dalam kisah itu. Mereka mengubah posisi duduk mereka: yang tadinya membungkuk, berubah menjadi tegak dan akhirnya bersandar dengan tegap di kursi mereka. Kemudian saya menggambarkan prinsip-prinsip teologi dan membuka kesempatan untuk bertanya. Pertanyaan-pertanyaan muncul tidak berbeda dari diskusi-diskusi asrama yang lain. Sikap mereka berubah dengan mengherankan -- dari sikap bermusuhan dan sombong berubah menjadi rasa tertarik, ingin tahu dan menunjukkan keterlibatan diri yang tidak dibuat-buat.
Hal ini mengajar saya, pertama, akan kekuatan suatu cerita yang bagus. Setiap orang menyenangi cerita, sebagian karena cerita menggunakan kedua sisi otak kita, yang memancarkan segi kreatif dan imaginatif kita dan juga bagian dari diri kita yang konseptual dan rasional. Dan Kitab Injil penuh cerita-cerita yang bagus, yang terbingkai dengan kebenaran teologis yang mendalam tentang Tuhan dan diri kita sendiri. Bagi seorang yang belum percaya yang tidak mempunyai kerangka teologis, ayat-ayat Injil yang lepas dari koteksnya mungkin tidak memberi makna apa-apa. Tetapi jika kita menceritakan kisah yang berhubungan dengan hidup -- seperti cerita- cerita Yesus -- dan karena hidup sudah menjadi suatu kerangka, makna cerita itu bisa merasuk dalam hati pendengar.
Lagi, saya tidak menganjurkan agar kita membuang kerangka Injil, gagasan-gagasan teologi dan apologetika. Saya semata-mata hanya mengatakan marilah kita menambahkan ke dalam latihan penginjilan kita kemampuan untuk berbicara tentang Yesus dengan cara-cara yang alamiah dan enak untuk menceritakan kisahnya secara spontan dan bebas.
Membagikan Cerita Kepada Orang Lain
Yesus nampaknya selalu melakukan dua hal: mengajukan pertanyaan dan bercerita. Orang Kristen nampaknya selalu melakukan dua hal yang lain: menjawab dan "berkhotbah".
Keempatnya diperlukan -- pada saat yang tepat dan di tempat yang tepat pula. Tetapi kita cenderung melupakan bahwa Allah yang dikisahkan dalam Injil adalah komunikator yang luar biasa; kita mengabaikan teladan Yesus ketika memulai suatu percakapan, dan kita cepat-cepat menyela dengan jawaban-jawaban yang tidak matang dan khotbah-khotbah kecil sebelum rasa ingin tahu para pendengar timbul.
Saya sering meminta peserta suatu rapat untuk bercerita kepada saya sejauh perjuangan mereka dalam bersaksi. Jawaban mereka terbagi dalam tiga kategori:
2 persen mengatakan bahwa mereka berjuang dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang tidak dapat mereka jawab;
1 persen menyatakan bahwa mereka berjuang dengan metode-metode (bagaimana saya membimbing seseorang kepada Kristus); dan
97 persen mengatakan bahwa mereka membutuhkan pertolongan untuk ketrampilan mereka dalam berkomunikasi (bagaimana saya mengalihkan percakapan sekuler ke percakapan rohani dengan cara yang alamiah? Bagaimana saya menolak atau tidak ikut serta dalam suatu kegiatan tanpa kelihatan 'munafik'? Bagaimana saya dapat tetap menjadi diri saya sendiri di saat saya merasa bahwa dunia mempersulit karya saya?).
Tampaknya ironis bahwa begitu banyak latihan penginjilan zaman sekarang begitu berfokus pada ketrampilan-ketrampilan yang berkenaan dengan isi pada saat dimana orang-orang tampaknya mengatakan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak pertolongan untuk ketrampilan berkomunikasi. Kita memang perlu mengetahui apa yang harus disampaikan, tetapi kita perlu juga mengetahui bagaimana cara menyampaikan.
Proses komunikasi begitu kompleks dan memiliki banyak segi sehingga mudahlah untuk merasa bosan. Kunci untuk semua komunikasi yang baik adalah kemampuan untuk mengasihi sebagaimana Kristus telah mengasihi. Yesus terus-menerus mengajarkan bahwa jika kita ingin menjadi pengikut-pengikut-Nya, hidup kita harus membawa meterai kasih yang begitu besar -- kepada Tuhan dan kepada sesama kita. Hidup kita harus dikuasai oleh cinta-Nya, bukan semata-mata oleh kegiatan keagamaan. Bagaimana kita bertingkah laku terhadap sesama merupakan tanda yang paling jelas bagi mereka untuk mengenal seperti siapakah Tuhan itu. Tidak seorang pun mau dijadikan proyek penginjilan seseorang. Orang ingin dicintai dan diterima dengan sungguh-sungguh.
Saya mengenal orang Kristen yang telah melanggar hampir setiap aturan komunikasi, namun demikian mereka tetap bisa menjadi penginjil-penginjil yang efektif sebab mereka mengasihi dengan tulus orang yang mereka ajak bicara. Akhirnya, kasih adalah segalanya.
Setelah meletakkan cinta Kristus sebagai dasar komunikasi, kita dapat menganalisa model komunikasi kita sendiri, sambil menemukan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan kita: Apakah kita malu- malu dan takut? Sulitkah bagi kita untuk memulai percakapan, terlebih lagi membawanya kepada Tuhan? Apakah kita gagal mengungkapkan kebutuhan orang lain? Apakah kita telah mendengarkan dengan baik?
Saya telah menyadari bahwa amat bergunalah memikirkan latihan- latihan yang saling berkaitan dengan ketrampilan-ketrampilan komunikasi khususnya yang saya coba ajarkan: ketrampilan mendengarkan, ketrampilan menegaskan, mengatasi selisih paham, menolak tanpa menyakiti hati, dan lain-lain.
Misalnya, para teoritis informasi berkata kepada kita bahwa untuk berkomunikasi dengan efektif kita harus mengenali metode-metode kita sendiri terhadap mereka yang kita ajak bicara. Maka saya mengembangkan latihan ini: saya berkata, "Menghadaplah kepada orang di sebelah Anda. Anggaplah dia seorang rekan Kristen. Saya harap salah satu dari kalian menyapa, 'Hai, bagaimana acara akhir minggumu?' Lalu orang yang satu lagi menjawab, di mana ia menghabiskan akhir minggunya dan satu hal yang ia pelajari selama akhir minggu itu." (Langkah pertama)
Setelah beberapa menit, saya berkata, "Sekarang bergantian. Sekarang orang yang satu menyapa, 'Bagaimana acara akhir minggumu?' dan Anda menjawab. Tetapi sekarang Anda tahu bahwa orang yang bertanya itu bukan seorang Kristen." (Langkah kedua)
Perbedaan menyolok dalam reaksi pada langkah pertama dan langkah kedua tidak kaku lagi. Dalam langkah pertama, setiap orang bercakap- cakap dengan suasana santai. Namun pada langkah kedua yang muncul adalah suasana hening, lalu keluhan, gelak tawa yang gugup, dan ketidaknyamanan. Setelah itu saya meminta mereka untuk bercerita kepada saya bagaimana perasaan mereka ketika berpindah dari langkah pertama ke langkah kedua. Jawabnya selalu sama: "Saya merasa enak dan santai pada langkah pertama tetapi merasa sangat tidak menyenangkan pada langkah kedua. Saya tahu bahwa mereka tidak akan tertarik. Saya tahu mereka akan berpikir bahwa saya orang tolol. Saya sakit hati dan tidak tenteram."
Kemudian kami menyelidiki mengapa itu terjadi dimana mereka menyimpulkan bahwa orang merasa tidak enak, meski mereka tidak mengetahui banyak fakta tentang orang itu, kecuali fakta kalau dia bukan orang percaya. Apakah itu adil? Mengapa mereka melakukan hal itu? Bagaimana kesimpulan mereka itu mempengaruhi kemampuannya untuk berkomunikasi? Jika itu adalah sikap dasar mereka terhadap setiap orang tidak percaya yang mereka temui, tak perlu diragukan lagi bahwa mereka akan merasa tidak damai dalam memberikan kesaksian.
Kemudian kami mulai mengembangkan sikap-sikap mental yang beda untuk berhenti menghakimi orang lain dengan tidak adil sebelum kami benar- benar mengetahui duduk permasalahannya. Keuntungan latihan-latihan ini adalah bahwa cara ini melibatkan orang-orang dalam proses belajar. Pikiran kita mungkin bisa menerima konsep, tetapi dengan sederhana dibutuhkan latihan untuk membuat tingkah laku kita sesuai dengan pikiran kita.
Memahami Ceritanya
Akhirnya, tahap demi tahap kita harus diubah oleh Sabda Allah itu sendiri. Kita tidak hanya mewartakan Injil -- kita sendiri adalah Injil itu.
Ketika Wesley ditanya, "Mengapa orang banyak tampaknya begitu terpesona pada Bapak?" Dia menjawab, "Baik, Anda tahu bahwa jika Anda menceburkan diri ke dalam api, mereka hanya berminat untuk datang dan melihat Anda terbakar."
Begitulah penginjilan: bukan suatu program melainkan api yang ada di dalamnya.
Mereka akan terpesona oleh kehangatan api Tuhan yang ada di dalam diri kita walaupun barangkali pada mulanya kita harus terus-menerus menyalakan dan menghidupkan api tersebut. Diri kita diubahkan oleh kehadiran Kristus melalui doa, pembacaan Kitab Suci, kepekaan yang kian mendalam terhadap Roh Kudus, dan belajar berjalan dalam Roh, bukannya menurut keinginan daging. Semua itu adalah suatu bagian dari sumber-sumber yang membuat kesaksian kita menjadi sangat kuat dan menusuk.
[Rebecca Manley Pippert adalah seorang yang mengkhususkan diri dalam penginjilan. Dia bekerja sama dengan Inter-Varsity Christian Fellowship dan tinggal di Tel Aviv, Israel.]
Diedit dari Sumber:
Judul Jurnal | : | Kepemimpinan, Volume 19/Th.V |
Judul Artikel | : | Penyegaran Latihan Penginjilan |
Penulis | : | Rebecca Manley Pippert |
Halaman | : | 44 - 49 |
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 7596 reads