You are heree-JEMMi No. 08 Vol.17/2014 / Kejatuhan dan Kebangkitan Wang Ming Dao

Kejatuhan dan Kebangkitan Wang Ming Dao


Saat itu tahun 1949, dan jemaat Gereja Tabernakel Kristen di Peking (Beijing) sedang mempersiapkan diri menjelang berkuasanya pemerintah komunis. Wang Ming Dao, gembala gereja itu, adalah orang yang berpegang teguh pada Alkitab. "Orang Kristen," ujarnya, "Harus tunduk kepada pemerintah (Roma 13:1-7), tetapi jika pemerintah memerintahkan mereka untuk melawan Allah dan firman-Nya, orang Kristen harus lebih tunduk pada firman itu."

Wan Ming Dao tahu bahwa ancaman terbesar bagi gereja akan datang dari dalam. Seseorang bernama Wu Yaozong, orang yang pernah menjabat sebagai sekretaris YMCA, memiliki rasa simpati yang tinggi pada komunis dan berusaha meraih kesempatan bagi dirinya. Wu Yaozong mendekati Zhou Enlai, Perdana Menteri China pada waktu itu, dan dengan dukungan penuh dari sang PM dan Mao-Tse Tung (Mao Zedong), Wu menyusun "Christian Manifesto" yang berisi ajakan kepada gereja-gereja untuk memutuskan segala hubungan dengan imperialisme Barat dan dari segala hal yang berbau asing. Menurut manifesto itu, gereja harus mandiri dalam kepemimpinan, mandiri dalam finansial, dan mandiri dalam perkembangan. Sejak itu, muncul suatu gerakan yang disponsori oleh pemerintah dengan nama "Three-Self Patriotic Movement" (TSPM). Dengan ratusan ribu orang Kristen di seluruh China yang memberikan dukungan mereka kepada gerakan itu, karir Wu Yaozong pun melesat dalam sekejap.

Wang Ming Dao yakin bahwa gereja dan negara harus terpisah, apalagi ia dapat melihat tujuan yang sebenarnya dari gerakan TSPM, yaitu untuk menundukkan gereja di bawah kekuasaan negara. Lagi pula, gereja yang digembalakannya selalu mandiri dan tidak pernah bergantung pada bantuan atau sokongan negara Barat. Segala keyakinan dasarnya terusik dengan doktrin yang digembar-gemborkan oleh Wu Yaozong dan para pemimpin TSPM lainnya. Misalnya, seperti yang ditulis oleh Wu dalam artikelnya, "Inkarnasi Kristus, kelahiran dari anak dara, Trinitas, penghakiman terakhir, kedatangan Yesus yang kedua, dll. adalah keyakinan yang irasional, misterius, dan tidak dapat dipahami atau dijelaskan. Tak peduli bagaimana kerasnya saya mencoba, saya tetap tidak bisa menerima keyakinan semacam itu." Namun demikian, Wang Ming Dao tetap teguh untuk tidak bergabung dengan TSPM karena ia tahu, ia tidak bisa melakukan hal yang sebaliknya.

Dalam kurun waktu tiga tahun (1951 -- 1954), Wang Ming Dao menerbitkan banyak buku yang menyatakan Injil sekaligus menentang para modernis. Ia menyatakan bahwa pengkhotbah yang mengabarkan "injil sosial" telah mengabaikan karya penebusan Kristus atas diri manusia dan kuasa pengudusan-Nya dalam hidup ini. Menurut Wang, para pengkhotbah itu ingin mengubah masyarakat dan mendirikan "Kerajaan Allah" di bumi. Akan tetapi, ajar Wang, hal itu adalah "injil yang lain" (Galatia 1:9). Orang-orang semacam itu tidak akan menaruh pengharapan mereka di dalam Yesus, padahal setiap orang harus mengenal Injil yang sejati untuk dapat memperoleh keselamatan dan berkat yang abadi.

Semakin lama, TSPM semakin menancapkan taringnya. Para pemimpinnya benar-benar membenci pria yang dikenal sebagai "pilar besi yang tak tertaklukkan" itu. Akan tetapi, mereka tidak dapat melakukan apa pun selain melakukan serangan-serangan terhadap pribadi Wang. Pada tahun 1954, TSPM memerintahkan seluruh gereja di Beijing untuk mengirim delegasi mereka ke "Sidang Dakwaan" untuk melawan Wang Ming Dao. Leslie Lyall (OMF) menulis, "Sangat sulit untuk menemukan kesalahannya, karena ia melakukan apa yang dikhotbahkannya, yaitu menjalani kehidupan yang lurus dan disiplin."

Sepanjang sidang itu, Wang tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hukuman seumur hidup atau hukuman mati diusulkan. Jemaatnya duduk diam, tak bersuara, tetapi tak sedikit pula yang menangis. Namun, tak satu pun hukuman yang dapat dijatuhkan kepadanya.

Setelah peristiwa itu, Wang Ming Dao terus berkhotbah dan jemaatnya bertumbuh semakin besar. Pertemuan Injili yang diadakan pada Januari 1955 mungkin adalah "pertemuan yang paling menghasilkan buah," ujar Leslie Lyall.

Kemudian, para mahasiswa melakukan apa yang dapat mereka lakukan; memulai kampanye untuk menentang penganiayaan Wang Ming Dao. Kampanye itu menuai banyak dukungan dari seluruh pelosok China sehingga hal ini seakan membunyikan bel peringatan di lingkungan orang-orang berpengaruh karena rencana mereka untuk menundukkan gereja Allah di bawah kekuasaan komunis terancam.

"Rapat Dakwaan" untuk melawan Wang Ming Dao pun digelar di seluruh penjuru China. Namun demikian, dalam dua minggu, pengunjung ibadah di Gereja Kristen Tabernakel pada Juli 1955 melampaui rekor yang pernah ada. Artikel Wang yang penting, "We, Because of Faith" pun diterbitkan. Dengan logika yang kuat, ia menentang argumentasi para modernis. Ia juga menjelaskan bagaimana para musuh Kristus berusaha menggulingkan Alkitab dan Kristus yang alkitabiah. Dalam artikel itu, Wang Ming Dao juga bertanya kepada mereka, apakah ia dapat disebut sebagai orang yang tidak berbelas kasihan jika ia menyebut para modernis sebagai "orang-orang yang tidak percaya"?

Dipenjara

Tianfeng, majalah yang dikuasai "Three-Self Movement", melabeli Wang Ming Dao sebagai "kriminal bagi orang China, bagi gereja, dan bagi sejarah".

Pada tanggal 7 Agustus 1955, Wang berkhotbah untuk yang terakhir kalinya di gereja. Selama tiga puluh tahun, ia melayani tanpa lelah untuk menunjukkan kepada negaranya bahwa pengharapan mereka yang sejati hanya dapat ditemukan pada karya pengudusan oleh Kristus dan ketaatan kepada firman-Nya. Khotbahnya yang terakhir itu menunjukkan bahwa para pemimpin gereja TSPM telah mengkhianati Yesus di China.

Pada tengah malam, polisi mendatangi rumah Wang dan menjebloskannya ke penjara tanpa tuduhan apa pun, ia dipisahkan dari istrinya dengan tidak mengetahui bahwa istrinya juga dipenjarakan.

Pembebasan dan Penahanan Kembali

Pemerintah komunis memakai berbagai cara untuk mematahkan perlawanan pria yang menghalangi rencana mereka ini. Setelah selama setahun mengalami penganiayaan yang luar biasa, Wang mendapat informasi mengenai penangkapan besar-besaran atas orang-orang percaya yang setia kepada Alkitab dan bersimpati terhadapnya. Kemudian, datanglah kabar mengenai Jing Wun. Dikabarkan kepadanya bahwa Jing Wun juga ikut ditangkap dan tidak dapat makan karena keadaan kesehatannya. Berita itu menghancurkan sang "manusia besi" ini. Maka, ia pun "mengakui" kejahatan-kejahatan yang tidak pernah dilakukannya, bahkan bersedia bergabung dengan TSPM dan berkhotbah untuk mereka. Dan, setelah ia menandatangani dokumen yang menyebutkan bahwa ia adalah seorang kontra revolusioner, ia dan Jing Wun pun dibebaskan.

Namun setelah itu, datanglah enam bulan tergelap di sepanjang hidup Wang Ming Dao. Sementara para pemimpin TSPM bersukacita atas permata yang tak lagi berharga untuk menghiasi mahkota gerakan mereka, Wang Ming Dao dicekam oleh rasa bersalah serta duka atas penyangkalannya terhadap Tuhan. Karena itu, Wang tak pernah menepati janjinya untuk bergabung dan berkhotbah bagi TSPM. Dengan kasih mesra yang sama, yang ditunjukkan-Nya kepada Petrus, Tuhan memberi waktu kepada Wang untuk kembali kepada-Nya melalui suatu periode penyakit.

Maka, Wang pun melapor kembali kepada pemerintah komunis bahwa ia tidak dapat bergabung dengan TSPM. Istrinya, Jing Wun, memberikan dukungan yang luar biasa bagi suaminya. Dan, tepat setelah tujuh bulan pembebasan mereka, pasangan suami istri ini pun kembali dipenjara.

Dipulihkan dalam Roh

Sampai tahun 1960, kebijakan-kebijakan Mao Tse Tung yang buruk, ditambah faktor alam, membuat jutaan penduduk China mengalami bencana kelaparan, kecuali para pejabat tinggi dalam pemerintahan. Namun demikian, para pejabat rendahan dipersalahkan atas kesalahan yang dilakukan Mao.

Sementara semua orang yang ditahan atas tuduhan kontra revolusi dibebaskan pada masa itu, Wang Ming Dao justru dipenjara seumur hidup. Sebelumnya, Pengadilan Rakyat Beijing telah membuat berbagai tuduhan terhadapnya, di antaranya: Wang dan istrinya telah melawan TSPM dan orang-orang Kristen di China, serta mencemari nama baik TSPM dengan mengatakan bahwa lembaga tersebut melakukan perzinaan dengan dunia.

Namun, pada saat inilah, Allah melawat Wang Ming Dao dan memulihkannya. Petikan Kitab suci yang telah dipelajarinya bertahun-tahun yang lalu diingatkan kembali oleh Roh Kudus: "Tetapi aku ini akan menunggu-nunggu TUHAN, akan mengharapkan Allah yang menyelamatkan aku; Allahku akan mendengarkan aku!" (Mikha 7:7)

Wang Ming Dao menghabiskan enam belas tahun setengah berikutnya dalam sel isolasi. Penyiksaan, kengerian, dan interogasi setiap hari selama lima bulan digunakan oleh pemerintah untuk mengorek pengakuan darinya. Akan tetapi, Tuhan selalu berdiri di sisinya dan memberinya kemenangan melalui firman-Nya; tak satu kali pun ia terjatuh lagi. Sekalipun suaranya dibungkam, kisah hidupnya justru berseru ke seluruh pelosok negeri.

Berkhotbah Lagi

Di seluruh tempat di China, terutama di Beijing, para pemuda yang bergabung dalam "Red Guards" diperintahkan untuk meneror para cendekiawan. Jika saja Wang Ming Dao masih di kota itu, ia tentu akan dibunuh. Tembok-tembok kuno diruntuhkan dan peninggalan-peninggalan kuno yang indah dihancurkan untuk mempersiapkan jalan bagi China yang baru di bawah pemerintahan Mao. Pada saat itu, bahkan TSPM pun berhenti berfungsi.

Mao Tse Tung meninggal pada tahun 1976 dan revolusinya pun mati bersamanya. Sejak saat itu, pintu-pintu penjara terbuka dan Wang Ming Dao -- yang saat itu berumur tujuh puluh sembilan tahun, hampir buta, dan sudah tuli -- dibebaskan kembali. Di rumahnya yang kecil, di Shanghai, ia terus mengingat kejatuhannya sambil mengkhotbahkan Kitab Suci yang sanggup memberi "hikmat yang menuntun pada keselamatan" (2 Timotius 3:15). Wang Ming Dao meninggal pada tahun 1991 sebagai saksi yang setia atas karya Juru Selamatnya. (t/Yudo)

Diterjemahkan dan diringkas dari:

Nama situs : EvangelicalTimes.org
URL situs : http://www.evangelical-times.org/archive/item/1023/Historical/The-Fall-and-Rise-of/
Judul asli artikel : The Fall and Rise of Wang Ming Dao
Penulis v : Georgina Giles
Tanggal akses : 14 April 2014