You are heree-JEMMI No.31 Vol.08/2005 / Kehidupan dan Pekerjaan George Muller

Kehidupan dan Pekerjaan George Muller


George Muller, pendiri rumah piatu Ashley Down, di Bristol, Inggris, dilahirkan di Prusia, pada 17 September 1805. Pada masa mudanya, ia hidup dengan tidak mengenal Tuhan dan baru setelah berusia 21 tahun, ia bertobat dalam suatu persekutuan doa, yang diadakan di rumah seorang saudagar yang beriman. Tidak lama kemudian, ia pergi ke Inggris tanpa membawa surat-surat ataupun uang.

George Muller

Tidak ada orang yang mengenalnya di Inggris, dan ia hanya bisa sedikit bahasa Inggris. Apa sajakah yang dibawanya? Ia membawa Tuhan besertanya. Tidak lama sesudah ia tiba di Inggris, ia menulis dalam buku hariannya demikian: "Segenap hidup saya akan dipakai untuk melayani Tuhan yang hidup." Pendiriannya didasarkan semata-mata pada Alkitab. Dan, sepanjang hidupnya, ia berpegang teguh kepada Firman Tuhan. Tidak pernah ia meminta pertolongan kepada siapa pun dan tidak pernah ia menyatakan kepada seorang pun bahwa ia memerlukan pertolongan. Ia berharap semata-mata pada jawaban doanya yang disertai iman. Saat itu, lebih dari .500.000 sudah dikirim kepadanya untuk mendirikan panti asuhan itu (God`s Orphanage) serta keperluannya dan untuk usahanya mengabarkan Injil dan penyebaran Alkitab.

Di panti asuhannya, ada 10.000 anak piatu terlantar yang menerima pertolongan dan pendidikan. Anak-anak itu setelah menerima cukup pendidikan, mereka dikirim ke berbagai tempat. Pada hari-hari tuanya, ia sudah berjalan hampir 200.000 mil di 42 negeri dan memberitakan Injil kepada 3.000.000 pendengar.

Sesudah melayani Tuhan semasa hidupnya, maka seperti Musa, rohnya diambil Tuhan, pagi-pagi sekali, pada 10 Maret 1898, tatkala ia berada sendirian saja dalam kamarnya. Waktu itu, ia sudah mencapai umur 93 tahun.

"Hidup dimintanya dari pada-Mu; Engkau memberikannya kepadanya, dan umur panjang untuk seterusnya dan selama-lamanya." (Mazmur 21:5)

Jawaban Doa

Berikut ini adalah salah satu jawaban doa dari sekian banyak doa George Muller yang terjawab dan tertulis dalam catatan riwayat hidupnya di bawah ini.

28 Juli 1874:

Sudah berbulan-bulan saya mempunyai firasat bahwa Tuhan bermaksud membawa kami kembali kepada keadaan-keadaan yang telah kami alami selama lebih dari 10 tahun, yaitu dari Agustus 1838 sampai April 1849. Pada waktu itu, setiap hari dengan tidak putus-putusnya kami harus berharap, bersandar, dan berdoa kepada Tuhan bagi keperluan kami sehari-hari, bahkan tidak jarang pula sampai pada setiap jam makan, baik jam makan pagi, siang, maupun malam. Kesukaran-kesukaran yang kami alami sangatlah besar, sebab Panti Asuhan itu sekarang sudah menjadi 20 kali lebih besar daripada dahulu, jadi pengeluaran pun dengan sendirinya menjadi jauh lebih besar. Namun, pada saat itu, saya terhibur juga karena kami tahu bahwa Tuhan lebih dahulu mengetahui segala hal ini. Dan, jikalau hal ini adalah untuk kemuliaan nama-Nya, kebahagiaan jemaat-Nya, dan dunia yang belum bertobat ini, saya rela demi anugerah-Nya, berusaha untuk melaksanakannya sampai akhir hidup saya. Pengeluaran sehari-hari sangat besar, tetapi Tuhan Allah yang Mahakaya, yang mau memberi kepada kami dengan berkelimpahan itu senantiasa mencukupkan segala hal yang kami perlukan. Dan, kepastian inilah yang memberikan damai di hati saya.

Jikalau Tuhan menghendaki pelaksanaan satu pekerjaan yang memakan kurang lebih 2.000 setahun, dan saya dipilih pada masa tua saya ini untuk melakukan lagi apa yang telah saya lakukan dari Agustus 1838 hingga April 1849, bukan saja saya bersedia mengerjakannya bahkan lebih dari itu, dengan senang hati saya mau melaksanakannya. Saya bersedia melalui segala tantangan iman di dalam menghadapi kesukaran keuangan, asalkan dengan jalan itu Tuhan dapat dipermuliakan, dan hal itu berguna bagi Jemaat-Nya dan bagi dunia ini. Berulang-ulang hal yang terakhir ini timbul dalam pikiran saya. Saya anggap diri saya seperti sudah ada dalam suasana tidak mempunyai apa-apa sama sekali, karena:

  1. bukan saja harus memberi makan 2.100 orang, melainkan juga harus mencukupkan keperluan mereka yang lain, sedangkan segala persediaan telah habis
  2. perlu menyokong 189 pekabar Injil, tetapi tidak ada sesen pun yang tersisa
  3. menyokong kira-kira 100 buah sekolah, dengan lebih kurang 9.000 orang murid, tetapi tak ada uang datang
  4. kira-kira 4.000.000 traktat dan berpuluh-puluh ribu Alkitab harus dikirim ke mana-mana tiap-tiap tahun, padahal uang tak ada.

Akan tetapi, dengan iman yang teguh dan dengan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan saya, saya berkata kepada diri saya, "Tuhan, yang sudah memulai pekerjaan ini dengan memakai saya, yang telah setia memimpin saya dari tahun ke tahun untuk meluaskan pekerjaan ini, yang juga telah menyokong pekerjaan ini selama lebih dari 40 tahun, pastilah Ia juga yang akan tetap menolong saya, dan tidak akan membiarkan saya kecewa, sebab saya telah menaruh sepenuh harapan saya kepada-Nya. Saya telah menyerahkan segenap pekerjaan ini kepada-Nya; tentu Ia pun akan mencukupkan segala keperluan saya juga di hari-hari yang akan datang, sekalipun saya tidak tahu dari mana Ia akan mengirimkan semua yang diperlukan itu."

Dalam buku yang sangat mengharukan, yaitu "The Path of Prayer" (Cara Berdoa), Samuel Chadwick menulis suatu kejadian tentang kunjungan Dr. A.T. Pierson kepada Bapak Muller di Panti Asuhan anak-anak yatim piatu itu. Ia berkata, "Pada suatu malam, ketika semua petugas Panti Asuhan itu sudah tidur, George Muller mengajak Pierson berdoa bersama-sama dengan dia. Ia menceritakan kepada Pierson bahwa persediaan makanan sudah habis sama sekali dan tidak ada lagi makanan untuk dimakan keesokan harinya. Bapak Pierson mencoba menjelaskan dan mengingatkan dia bahwa semua toko telah tutup. Bapak Muller tahu semua itu. Akan tetapi, ia berdoa saja sebagaimana biasanya, dengan mengemukakan semua keperluannya kepada Tuhan. Akhirnya, keduanya berdoa bersama-sama -- George Muller berdoa, sedangkan Pierson mencoba berdoa. Sesudah itu mereka tidur, dan keesokan harinya ... makanan pagi untuk 2.000 anak yatim piatu telah tersedia dengan limpahnya seperti biasa. Baik Bapak Muller maupun Bapak Pierson, kedua-duanya tidak tahu dari mana dan bagaimana makanan itu datang. Bagaimana makanan itu datang, diceritakan oleh Simon Short dari Bristol pada keesokan harinya, dengan perjanjian agar dirahasiakan sampai si pemberinya meninggal dunia. Peristiwa ini memang sangat mengharukan, dan yang lebih mengherankan lagi dari segalanya ialah bahwa Tuhan telah menggerakkan hati orang itu pada tengah malam ketika ia sedang tidur dan menyuruh dia mengirimkan makanan pagi ke panti asuhan yang dibina Bapak Muller itu, padahal ia sendiri tidak tahu-menahu tentang kedua orang yang sedang berdoa itu. Dengan demikian, ia telah mengirim makanan yang cukup untuk menolong mereka selama satu bulan. Inilah kebajikannya Allah Elia; bahkan kebajikan Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.

Charles Inglis, seorang pekabar Injil kenamaan, menceritakan kejadian-kejadian yang mengherankan sebagai berikut:

Pendiriannya didasarkan semata-mata pada Alkitab. Dan, sepanjang hidupnya, ia berpegang teguh kepada Firman Tuhan.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Ketika saya pertama kali datang ke Amerika 31 tahun yang lalu dengan menyeberangi Lautan Atlantika, saya berkenalan dengan kapten kapal itu. Ia adalah seorang yang mempunyai iman yang besar, yang pernah saya kenal. Waktu kami berlayar menyusuri pantai Newfoundland, ia bercerita kepada saya demikian, "Pak Inglis, waktu saya terakhir kali berlayar di samudra ini 5 minggu yang lalu, terjadilah satu hal yang ajaib sekali. Kejadian itulah yang mengubah segenap hidup kekristenan saya. Waktu itu, bersama dengan kami di kapal, ada seorang hamba Tuhan bernama George Muller, dari Bristol. Telah 22 jam saya berjaga di dermaga tanpa dapat meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba, saya dikejutkan oleh seorang yang menepuk bahu saya. Orang itu adalah George Muller."

"Bapak Kapten", katanya. "Saya datang kepada Anda untuk memberitahukan bahwa saya harus berada di Quebec pada hari Sabtu sore". Hari itu hari Rabu.

"Mustahil", jawab saya.

"Baik! Kalau kapal ini tidak dapat membawa saya, Tuhan akan mengambil kendaraan lain untuk membawa saya. Sebab belum pernah saya tidak menepati satu janji pun selama 57 tahun ini."

"Saya bersedia menolong Bapak, tetapi apa yang harus saya perbuat? Saya tidak berdaya sama sekali."

"Marilah kita masuk ke kamar peta dan berdoa di sana," katanya. Saya menatap dia sambil berpikir dalam hati, "Dari rumah sakit jiwa manakah orang ini? Belum pernah saya mendengar ajakan seaneh ini."

"Pak Muller", kata saya, "Tahukah Bapak betapa tebalnya kabut ini?"

"Tidak", jawabnya, "Mata saya tidak memandang kepada betapa tebalnya kabut ini, melainkan kepada Tuhan yang hidup, yang senantiasa mengatur tiap-tiap segi hidup saya."

"Kemudian, ia bertelut lalu berdoa, satu doa yang sangat sederhana. Saya pikir, "Doa yang demikian hanya cocok untuk anak-anak yang berumur tidak lebih dari 8 atau 9 tahun." Adapun isi doanya itu begini, "Ya Tuhan, jikalau Engkau setuju dengan keberangkatan hamba, hilangkanlah kabut ini dalam waktu 5 menit. Tuhan tahu janji hamba, yaitu hamba harus berada di Quebec pada hari Sabtu. Hamba percaya bahwa inilah kehendak-Mu. Amin."

"Setelah ia selesai berdoa, saya pun hendak berdoa juga, akan tetapi ia meletakkan tangannya ke atas bahu saya dan mencegah saya.

"Pertama-tama," katanya, "Anda tidak percaya bahwa Tuhan mau mengabulkan doa kita. Kedua, saya percaya bahwa Ia sudah melaksanakan itu. Jadi, tidak perlu lagi Bapak berdoa untuk itu."

"Saya memandang kepadanya dengan heran. Lalu, George Muller berkata kepada saya, "Pak Kapten, saya sudah mengenal Tuhan saya selama 57 tahun, dan belum pernah satu hari pun Ia menolak saya datang menghadap kepada-Nya, Raja saya itu. Sekarang berdirilah, Pak Kapten, dan bukalah pintu, maka Bapak akan melihat, bahwa kabut sudah hilang." Saya berdiri dan membuka pintu. Benarlah, kabut itu sudah hilang. Dan, pada hari Sabtu sorenya George Muller benar-benar berada di Quebec.

Diedit dari Sumber:
Judul Buku : Sejam dengan George Muller
Judul Artikel : Kehidupan dan Pekerjaan George Muller
Pengarang : A. Sims
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1995
Halaman : 23 -- 24; 28 -- 34