You are hereArtikel Misi / Kata-Kata Tuhan dalam Bahasa Manusia
Kata-Kata Tuhan dalam Bahasa Manusia
"Jika Tuhanmu memang pintar, mengapa Dia tidak bisa berbicara dalam bahasa kita?" kata seorang Indian Cakchiquel kepada William Cameron Townsend. Komentar itu membuat Townsend merasa terbeban untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Indian Cakchiquel, satu suku yang cukup besar di Amerika Tengah. Namun, banyak orang menertawakan dia ketika ia menyampaikan gagasan itu. "Jangan bodoh! Harga orang-orang itu tidak sebanding dengan pengorbanan yang kamu harus berikan. Bahasa mereka yang aneh tidak mudah dipelajari untuk penerjemahan Alkitab. Apalagi, mereka tidak bisa membaca. Ajaklah mereka belajar bahasa Spanyol!" Tetapi, William Cameron Townsend tidak bisa melupakan orang Cakchiquel. Sekarang, ia dikenal sebagai seorang pelopor dalam upaya penerjemahan Alkitab di dunia misi. Organisasi Wycliffe Bible Translators dan Summer Institute of Linguistic yang didirikannya sudah mengutus orang-orang ke seluruh pelosok dunia untuk menemukan suku-suku "yang terlupakan" dan membawa firman Tuhan untuk mereka. Pada saat ini, Wycliffe Bible Translators merupakan organisasi misi terbesar di dunia yang memunyai lebih dari enam ribu utusan.
Lebih lanjut William Cameron Townsend berkata, "Kita tahu bahwa mereka [suku-suku] semua harus mendengar berita mengenai kasih Tuhan karena mereka sudah tercakup dalam Amanat Agung dan visi nubuatan mengenai kumpulan besar orang-orang yang ditebus, sebagaimana ditulis dalam Wahyu 7:9, "Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa, dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka." Visi ini bisa terpenuhi hanya jika orang-orang itu mendengar firman Tuhan dalam bahasa mereka sendiri. Jika tidak demikian, bagaimana mereka akan dapat diselamatkan?"
"Jika Tuhanmu memang pintar, mengapa Dia tidak bisa berbicara dalam bahasa kita?"
Firman Tuhan penting bukan hanya untuk penginjilan tetapi juga untuk pertumbuhan orang-orang yang sudah diselamatkan, seperti kata Paulus: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2 Timotius 3:16). Gereja tanpa Alkitab akan mudah sekali menyimpang atau menjadi korban ajaran sesat. Tanpa Alkitab, kesehatan rohani suatu gereja sangat terancam. Di samping itu, hanya Alkitab yang berkuasa mengubah hidup manusia dan memenuhi kebutuhan rohani orang-orang yang percaya dan menanggapinya. "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita" (Ibrani 4:12).
Tidak dapat disangkal, Alkitab sangat dibutuhkan oleh semua bangsa. Namun demikian, masih banyak suku/bangsa di dunia yang belum memunyai Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Alkitab yang tersedia hanya dalam bahasa perdagangan atau bahasa resmi yang mereka pergunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang luar, bukan dalam bahasa ibu mereka -- bahasa yang mampu menyentuh hati mereka. Bahkan, banyak juga suku yang tidak memunyai Alkitab [yang dapat mereka baca] sama sekali. Apalagi, mereka hanya berbicara dalam bahasa lisan karena mereka belum mengenal huruf atau tulisan. Pada saat ini, terdapat sekitar 6.529 bahasa di dunia. Dari jumlah tersebut, hanya 276 bahasa yang memunyai Alkitab lengkap. Sisanya sama sekali tidak memunyai Alkitab, atau hanya memiliki Perjanjian Baru atau salah satu kitab Perjanjian Baru. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut statistik, terdapat sekitar 669 bahasa daerah di Indonesia [10% dari seluruh bahasa di dunia, Red.], sebagian besar berada di pedalaman, misalnya di Papua. Karena keadaan geografi yang sulit ditembus transportasi, suku-suku di Papua itu saling terisolasi satu dengan yang lain. Keadaan ini menyebabkan pertumbuhan bahasa-bahasa suku itu berbeda untuk masing-masing suku.
Meskipun tampaknya penerjemahan Alkitab sekadar memindahkan kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lain, namun proses tersebut sama sekali tidak mudah. Bahasa suatu suku tidak terpisah dari kebudayaan, adat istiadat, dan cara pandang dunia masyarakat itu. Bahasa juga berkaitan dengan keadaan alam tempat tinggal suku itu. Bagaimana orang Irian dapat mengerti bahwa Yesus adalah Anak Domba Allah jika mereka tidak pernah melihat domba? Atau bagaimana mereka dapat memahami pentingnya Yesus sebagai "roti hidup" jika mereka tidak pernah melihat gandum apalagi roti! Yesus dalam bahasa satu suku di pedalaman Papua bukanlah "roti" hidup, melainkan "sagu" hidup, yakni makanan pokok mereka. Dan Ia tidak mengetuk pintu "hati" manusia, melainkan pintu "tenggorokan" manusia, sebab menurut orang Papua, semua perasaan manusia berada di dalam "tenggorokan."
Tantangannya bukan sekadar menyangkut peristilahan, melainkan lebih mendasar menyangkut perbedaan cara pandang dunia. Utusan Injil Don Richardson sangat tercengang ketika suku Sawi di Papua menganggap Yudas sebagai tokoh pahlawan karena ia berhasil mengkhianati Yesus! Di dalam budaya suku itu, seseorang yang berhasil berkhianat tanpa diketahui temannya, ia dianggap seorang yang hebat. Don Richardson dan istrinya berdoa memohon hikmat Tuhan selama berbulan-bulan. Cerita sang penerjemah ini berakhir bahagia ketika Tuhan memperlihatkan konsep "anak perdamaian", yaitu anak dari satu suku diserahkan kepada suku lain sebagai tanda perdamaian. Yesus adalah Sang Anak Perdamaian, dan perbuatan mengkhianati Anak Perdamaian merupakan tindakan yang sangat tercela. Namun, meskipun manusia telah melakukan perbuatan tercela itu, Allah tetap mengasihi manusia. Sejak saat itu, Injil tersebar di antara suku Sawi dan hingga saat ini gereja senantiasa tegak di tengah mereka.
Tantangannya akan semakin bertambah sulit jika suku-suku itu tidak bersedia belajar membaca. Orang Tunebos menganggap kertas dan tulisan sesuatu yang tabu karena tidak berasal dari allah mereka dan dianggap menjadi penyebab sakit-penyakit. Para penerjemah dituntut untuk mampu bersikap sabar sepenuhnya. Menurut statistik, waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan Perjanjian Baru kira-kira 8 sampai 34 tahun, bergantung pada keadaan daerah setempat.
"Sampai kapan mereka harus menunggu untuk dapat menikmati firman Tuhan dalam bahasa mereka?"
Selain itu, ada pula tantangan untuk berkurban dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang sangat sederhana -- tanpa lampu, air bersih, terancam penyakit malaria, dll.. Penyesuaian diri dengan kondisi setempat kadang-kadang terasa lucu. Di suatu pedalaman, kira-kira 1.500 km dari perbatasan Amerika Serikat, kulit tubuh seorang Amerika digosok-gosok oleh penduduk setempat karena mereka ingin mengetahui apakah "kulit yang putih" itu jika terkelupas akan memperlihatkan dia benar-benar "manusia". Tidak jarang, pendaratan para penerjemah dengan helikopter dianggap "roh" yang kembali dari dunia orang mati, sehingga [kulit] mereka tidak "berwarna" (berkulit putih). Namun, semua tantangan dan kesulitan yang menghadang tidak sebanding sukacita yang didapat ketika melihat pertobatan banyak orang dan gereja mulai bertumbuh.
Sekarang, apa yang kita bisa lakukan? Yang utama tentu saja, doakan mereka dan pekerjaan penerjemahan Alkitab. Jika William Cameron Townsend memulai pekerjaannya dalam usia yang relatif muda, 23 tahun, bukan mustahil bahwa Tuhan juga memanggil kita untuk pelayanan unik ini. Tuhan menyediakan keselamatan dan berkat untuk seluruh umat manusia. Meskipun Ia memilih Abraham, Ishak, dan Yakub, tampak jelas Tuhan mengatakan bahwa seluruh bangsa di dunia akan diberkati melalui mereka (Kejadian 12:3). Banyak suku/bangsa "tersembunyi" masih belum diberkati dengan firman Tuhan.
Sumber asli:
"The Word that Kindles," oleh George M. Cowan
"Come by Here," Wycliffe Bible Translators
"Peace Child," Gospel Film
"Target Earth," ed. Frank Kaleb Jansen
"Tribes, Tongues, and Translation," oleh William Cameron Townsend
"Translation Statistics," Pulse, 13 Agustus 1993
Diambil dari:
Judul artikel | : | Kata-Kata Tuhan dalam Bahasa Manusia |
Judul majalah | : | HARVESTER, Edisi Januari/Februari, Tahun 1994 |
Penulis | : | Esther I. Tjandrakusuma |
Penerbit | : | Indonesian Harvest Outreach |
Halaman | : | 18 -- 19 |
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 9321 reads