17. BAHASA YANG BELUM PERNAH DITULIS
(Kepulauan Hawaii, 1820 - 1845)
Ciri-ciri kepulauan Hawaii ada banyak yang mirip dengan
ciri-ciri kepulauan Indonesia. Pepohonan dan buah-buahan yang tumbuh
di sana agak sama dengan pepohonan dan buah-buahan yang tumbuh di
sini.
Orang Hawaii, sama seperti orang Indonesia, adalah keturunan
bangsa pelaut. Berabad-abad yang lalu, nenek moyang mereka
berdatangan dari jauh ke pulau-pulau yang indah itu, dengan berlayar
dalam perahu-perahu besar. Bahasa mereka pun masih termasuk serumpun
bahasa Melayu. Jalan di sana disebut: alan. Langit disana disebut:
lani. Dan dalam bahasa Hawaii kuno malo adalah untuk cawat yang
dipakai oleh kaum pria agar mereka tidak merasa malu.
Namun selama berabad-abad bahasa Hawaii itu belum pernah
ditulis. Bahasa itu hanya dipakai secara lisan saja, . . . sampai ada
sebuah kapal layar yang berlabuh di kepulauan Hawaii pada tanggal 14
April 1820.
Pdt. dan Ibu Hiram Bingham, dengan dua belas utusan Injil
yang lain, berlayar ke sana dengan kapal itu selama hampir setengah
tahun. Begitu lama mereka menghabiskan waktu untuk mengarungi laut
dari Amerika Serikat ke kepulauan Hawaii. Konon, pada masa itu belum
ada kapal terbang atau pun kapal bermotor, belum ada radio dan radar
ataupun alat-alat modern lainnya yang menunjang kelancaran perjalanan
antar pulau dan benua pada masa kini.
Pdt. Bingham dan rekan-rekan sepanggilannya itu berlabuh,
lalu turun ke darat. Mereka menghadap Raja Liholiho dan minta izin
menetap di kepulauan Hawaii. Permohonan mereka itu diterjemahkan oleh
seorang pedagang yang berperan sebagai pengalih bahasa.
Raja Liholiho agak bingung. Rupa-rupanya ia sudah mendengar
sedikit tentang ajaran-ajaran agama Kristen. "Jika aku menerima
kalian," katanya, "dan jika ajaran-ajaran kalian mulai berlaku di
sini, itu berarti aku harus menceraikan empat dari kelima istriku
yang tercinta, dan selanjutnya aku hanya boleh beristri seorang
saja."
Untuk membujuk sang raja, rombongan utusan Injil itu
menghadiahkan kepadanya sebuah Alkitab bahasa Inggris yang bagus.
Baginda sangat menyukai Buku besar itu. Namun ia tidak dapat
membacanya. Pada hakikatnya ia tidak dapat membaca sepatah kata pun
dalam bahasa apa saja, karena bahasanya sendiri, bahasa Hawaii, belum
pernah ditulis.
"Memang di seluruh kepulauan ini," demikianlah Pdt. Bingham
menulis dalam sepucuk surat kepada temannya di Amerika, "tidak ada
buku, pena, attau pun potlot, untuk dipakai baik untuk kesenangan
maupun untuk urusan, baik untuk mendapat ilmu maupun untuk
menyampaikan pikiran."
Raja Liholiho bersikeras bahwa para utusan Injil itu harus
segera mengajarkan bahasa Inggris kepadanya. Pdt. Bingham dengan
senang hati melayaninya, dan tidak lama kemudian sang raja dapat
berseru dengan sangat nyaring: "How do you do! Aloha!" (Aloha adalah
kata salaman yang paling lazim di kepulauan Hawaii.)
Sang raja dengan seluruh pengiringnya diajak menikmati suatu
perjamuan di atas kapal, yang masih tetap menjadi tempat tinggal
sementara untuk para utusan Injil. Keesokan harinya, Raja Lihaliho
hendak membalas budi dengan mengundang rombongan orang asing itu ke
pesta makannya sendiri.
Namun mereka menolak undangan itu, karena harinya jatuh tepat
pada hari Minggu. Sang raja sangat murka. Tetapi kemudian ia diberi
pengertian bahwa hal berpesta pada hari Minggu itu dianggap kapu
(tabu) oleh umat Kristen. Maka undangan itu diundurkan sehari. pada
hari Senin seluruh rombongan utusan Injil turrun ke darat dan makan
bersama-sama dengan sang raja dan kelima istrinya.
Akhirnya Raja Liloho mengambil keputusan bahwa para utusan
Injil itu boleh menetap di mana saja di kepulauan Hawaii, serta boleh
tinggal "selama satu tahun." Mula-mula Pdt. Bingham dan
kawan-kawannya agak bingung tentang batas waktu yang sedemikian
pendeknya. Namun "satu tahun" itu kemudian diperpanjang sampai
berpuluh-puluh tahun.
Pdt. dan Ibu Bingham menetap di pulau Oahu, sedangkan
kebanyakan rekan sepanggilan mereka menetap di pulau Kauai. Dalam
sepucuk surat yang dikirimnya ke Amerika, Pdt. Bingham menggambarkan
kesibukan mereka semua: "Kami bekerja keras untuk belajar bahasa
Hawaii. Kami pun berusaha menyusun sitem tulisan untuk bahasa itu
serta menyediakan buku-buku pelajaran, agar semua penduduk di sini
dapat belajar membaca secepat mungkin."
Memang hanya satu bulan setelah keluarga Bingham mendarat di
pulau Oahu, mereka berhasil membuka sebuah sekolah untuk anak-anak
Hawaii. Karena belum ada jam atau lonceng di kepulauan itu, anak-anak
disuruh berkumpul tiap hari pada saat matahari mencapai ketinggian
tertentu.
Tidak lama kemudian, Raja Liholiho menjadi kurang senang atas
berhasilnya sekolah itu dan mengancam akan menutupnya. "Nanti
anak-anak itu akan lebih cepat mnjadi pandai daripada aku sendiri!"
demikianlah omelannya. Tetapi utusan-utusan Injil dapat meredakan
kegeramannya dengan menjelaskan bahwa baginda sedang belajar bahasa
Inggris, yang jauh lebih sulit daripada bahasa Hawaii yang dipakai
oleh anak-anak sekolah.
Sementara itu, ada seorang raja bawahan di pulau Kauai yang
dengan senang hati menerima ajaran bahasa Inggris maupun ajaran
Alkitab. Tujuannya belajar bahasa asing itu ialah, justru supaya ia
dapat membaca Firman Tuhan. Maka ia menulis sepucuk surat kepada
badan zending di Amerika Serikat yang telah mengirim rombongan utusan
Injil kepadanya. Inilah saduran suratnya itu:
Kawan-kawan yang baik hati,
Biarlah kami menulis beberapa baris saja untuk
mengucapkan terima kasih atas Buku yang baik itu, yang
diberikan oleh Tuhan Allah supaya kami membacanya.
Mudah-mudahan seluruh rakyat kami dengan segera akan membaca
Buku ini.
Kami percaya bahwa semua patung berhala kami itu
kurang berguna, dan bahwa Tuhan Allah itulah satu-satunya
Allah yang benar, yang telah menciptakan segala sesuatu.
Patung-patung berhala itu telah kami buang; tiada
gunanya, kami merasa tertipu olehnya. Kami telah memberi
mereka kelapa, nanas, daging babi, dan banyak hal yang baik,
namun mereka menipu kami. Sekarang kami sudah membuang
semuanya.
Setelah kami belajar dari orang-orang yang baik yang
telah kalian kirim ke mari, maka kami akan mulai menyembah
Tuhan Allah yang disembah oleh kalian. Kami senang oleh
karena kalian telah mengutus orang-orang baik itu ke mari,
agar mereka dapat menolong kami. Kami mengucapkan terima
kasih karena mereka telah mengajar putra kami. Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang berada di
Amerika.
Terimalah ini dari sahabat kalian
Raja Kaumualii
Sementara itu, Pdt. Hiram Bingham dan seorang kawan
sekerjanya sedang membanting tulang menyusun abjad untuk bahasa
Hawaii. Mereka menemukan bahwa dua belas huruf saja sudah cukup untuk
menulis semua bunyi yang biasa dilafalkan dalam bahasa itu: kelima
huruf hidup, a, e, i, o, dan u, ditambah dengan tujuh huruf mati
saja, yaitu h, k, l, m, n, p, dan w.
Namun mereka merasa sangat bingung pada waktu mereka mulai
berusaha menerjemahkan Alkitab. Bagaimanakah nama Raja Daud itu dapat
ditulis tanpa huruf D? Bagaimanakah nama Rut dapat ditulis tanpa
huruf R maupun huruf t? Sama parahnya juga nama suami Rut, Boas,
kalau harus ditulis tanpa huruf B maupun huruf s!
Maka mereka memutuskan untuk menambah sembilan huruf lagi
pada abjad bahasa Hawaii, khusus agar dapat menulis nama-nama di
dalam Alkitab. Namun kesembilan huruf itu tidak segera diajarkan
kepada seseorang yang buta huruf. Biarlah dia belajar dulu kedua
belas huruf yang cukup untuk melafalkan semua kata asli dalam bahasa
ibunya. Kemudian ia baru akan diajarkan huruf-huruf tambahan.
Pada tanggal 7 Januari 1822, sebuah mesin cetak tiba di
kepulauan Hawaii, sesuai dengan permintaan Pdt. Hiram Bingham. Raja
Liholoho datang untuk melihat "alat ajaib" itu. Ketika satu halaman
telah dizet dengan kata-kata dalam bahasa Hawaii, Pdt. Bingham
membiarkan sang raja sendiri menekan pengukit mesin cetaknya. Baginda
tersenyum lebar ketika ia melihat kertas putih itu yang diisi penuh
dengan kata-kata yang dapat dibacanya sendiri.
Penggunaan seni cetak itu mengobarkan hidup baru dalam
gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen di kepulauan Hawaii.
Beberapa minggu kemudian, sudah terdaftar lima ratus pelajar baru.
Pada saat Raja Liholiho pergi melawat ke seluruh wilayah kerajaannya,
hadiah-hadiah yang dibawa sertanya bukan lagi jubah-jubah kebesaran
yang terbuat dari bulu burang yang berwarna-warni, melainkan
buku-buku pelajaran mengeja.
Pdt. Bingham telah menerjemahkan beberapa lagu rohani ke
dalam bahasa Hawaii. Orang-orang Hawaii sangat menyukainya, serta
menyanyikannya dengan penuh semangat dalam gedung-gedung gereja
mereka yang terbuat dari rumput kering.
Pada tanggal 4 Agustus 1828, Pdt. Bingham mencatat bahwa ia
sudah tidak usah lagi menggunakan seorang pengalih bahasa pada saat
berkhotbah. Hari Minggu yang berikutnya, Raja Lihaliho dan ibunya
datang mendengar Pdt. Bingham berkhotbah. Mereka naik sebuah gerobak
yang ditarik oleh manusia, karena belum ada kuda maupun lembu di
seluruh kepulauan Hawaii. Setelah kebaktian biasa, Pdt. Bingham juga
menikahkan pengabar Injil bangsa Hawaii yang pertama. Pengantinnya
yang cantik itu adalah seorang lulusan sekolah putri. Sang permaisuri
begitu terharu menyaksikan pernikahan Kristen itu sampai-sampai ia
menangis dengan suara nyaring selama ia berada di gereja.
Beberapa hari kemudian, Raja Liholiho menulis sepucuk surat
kepada Raja Mahina di kepulauan Tahiti. Sengaja ia memakai bahasa
Inggris, agar saingannya itu dapat mengetahui kepandaiannya yang
baru. Demikianlah bunyinya surat sang raja itu:
O Mahina,
Kami sedang menulis pesan ini kepadamu. Kami merasa
terharu oleh karena putramu sudah meninggal. Kami mengirim
salam kasih kepadamu dan kepada seluruh kaum bangsawan di
kepulauanmu.
Kami sedang mempelajari Palapala [Alkitab]. Kalau
kami sudah pandai, kami akan datang ke tempatmu untuk
mengunjungimu. Semoga engkau akan diselamatkan oleh Yesus
Kristus.
Liholiho
Ibunya Raja Liholiho baru minta dibaptiskan pada saat
menjelang kematiannya. Sang permaisuri itu pun menyuruh putranya
menghadap dia, lalu memesan kepadanya sebagai berikut: "Peliharalah
baik-baik kepulauanmu itu dan bangsa ini. Lindungilah para utusan
Injil. Ikutlah jalan yang lurus. Ingatlah dan kuduskanlah Hari Sabat.
Layanilah Tuhan Allah. Indahkanlah Firman Allah, agar engkau berhasil
baik dan akan bertemu kembali dengan ibumu di surga kelak."
Kepada kaum bangsawan, permaisuri yang sedang menghadapi
ajalnya itu berpesan: "Lindungilah guru-guru yang telah datang ke
tempat orang-orang yang berhati gelap ini; indahkanlah ajaran-ajaran
mereka. Sekali-kali jangan mengingkari perintah-perintah Tuhan.
Dialah Allah yang baik. Dewa-dewa kita yang lama itu sia-sia belaka."
Pada bulan Nopember tahun 1828, sang raja dan para bangsawan
menerbitkan undang-undang yang pertama untuk seluruh kepulauan
Hawaii. Polanya? Sepuluh Hukum Tuhan. Pada minggu yang sama itu,
halaman pertama dari Kitab Injil Lukas dalam bahasa Hawaii berhasil
dicetak di kota Honolulu. Naskah-naskah terjemahan Kitab-Kitab Injil
Matius, Markus, dan Yohanes sudah lebih dahulu dikirim ke Amerika
untuk dicetak di sana.
Dalam tahun-tahun yang berikutnya, ada bagian-bagian dari
Kitab Perjanjian Lama yang diterbitkan, dan terjemahan Kitab
Perjanjian Baru itu pun mengalami beberapa perbaikan. Baru pada tahun
1839, setelah ia berkhotbah, belajar, dan mengajar di kepulauan
Hawaii selama sembilan belas tahun, Pdt. Hiram Bingham dapat
melaporkan: "Seluruh Alkitab sudah selesai!" Selesainya terjemahan
lengkap dari Firman Allah itu benar-benar membawa pengaruh: Ribuan
orang lagi berbondong-bondong memasuki gereja.
Sudah timbul suatu generasi baru di antara bangsa Hawaii,
yang dibesarkan menurut ajaran-ajaran Alkitab. Mereka itu insaf bahwa
masih banyak perubahan dan perbaikan yang perlu diadakan di tanah air
mereka. Maka pada tahun 1839 sistem hukum mereka disempurnakan, dan
pada tahun 1840 mereka menetapkan undang-undang dasar.
Ada raja baru yang masih muda, yaitu cucu Raja Liholiho. Ia
menempuh suatu masa perjuangan yang panjang, bergumul dengan
negara-negara asing agar daulat dan kemerdekaan kepulauan Hawii itu
tetap dihormati. Dalam rangka usaha itu, pada tahun 1841 Pdt. Hiram
Bingham pergi ke Washington, ibu kota Amerika Serikat. Kepada
Konggres (DPR) di sana ia mempersembahkan sebuah salinan Alkitab
lengkap dalam bahasa Hawaii. Dengan maksud tujuan yang sama, raja
Hawaii yang masih muda itu pergi ke negeri Inggris dan bertemu dengan
Ratu Victoria yang tersohor.
Pada tahun 1845, DPR Hawaii berkumpul di kota Honolulu untuk
mendengar suatu pidato penting yang disampaikan oleh raja mereka.
Inilah sebagian dari pidato baginda pada kesempatan itu:
Kemerdekaan negara kita telah diakui oleh Amerika
Serikat, Inggris Raya, Perancis, dan Belgia. Kami ingin tetap
memelihara hubungan perdamaian dan persahabatan dengan segala
bangsa.
Kami pun insaf betul bahwa Firman Tuhan merupakan
batu penjuru negara kita. Melalui pengaruhnya, bangsa kita
telah diperkenalkan ke dalam keluarga besar negara-negara
yang merdeka di seluruh dunia. Oleh karena itu, kami akan
berusaha terus-menerus untuk menjalankan pemerintahan kami
dengan sikap takut akan Allah; untuk mengimbangi kebenaran
dengan belas kasihan dalam menghukum kejahatan; dan untuk
memberi imbalan yang sepatutnya kepada rakyat yang rajin
berbuat baik.
Demikianlah pengaruh Alkitab terhadap suatu bangsa yang hanya
satu generasi sebelumnya belum mempunyai bahasa yang ditulis!
TAMAT