You are hereArtikel Misi / Budaya dalam Kerangka Pikir Misiologi

Budaya dalam Kerangka Pikir Misiologi


MEMAHAMI BUDAYA

Setiap orang memiliki budaya dan tidak seorang pun dapat dipisahkan dari budayanya sendiri. Tantangan berat bagi para misionaris (baik dalam maupun luar negeri) adalah mengidentifikasi diri dengan orang-orang yang dilayani. Untuk itu, mereka dituntut memahami budaya kelompok masyarakat yang dituju.

Langkah pertama untuk belajar budaya-budaya lain adalah menguasai budaya sendiri. Apakah arti budaya itu? Budaya menurut para sarjana Antropologi adalah hal-hal yang bersangkutan dengan akal (Kuncaraningrat). Budaya adalah sejumlah kebiasaan yang saling berkaitan (Antropolog AS Boas Kroeber, Clinton, dll.). Budaya adalah organisasi sosial yang direfleksikan oleh keseluruhannya (Antropolog Inggris Malinowski, Raeliffie Brown). Lloyd E. Kwast menjelaskan: "Budaya memiliki empat lapisan yang terdiri dari tingkah laku, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan cara pandang dunia."

1. Tingkah laku: "Apa yang Dibuat atau Dikerjakan"

Lapisan yang paling luar adalah "tingkah laku", yang dapat diamati dengan mudah. Hal-hal yang dapat diamati adalah: kebiasaan-kebiasaan serta bahasa-bahasa dalam berbagai bentuk dan arti. Rangkaian antara bentuk dan arti menghasilkan suatu simbol: "Apa yang dikerjakan?" Pertanyaan tersebut melahirkan pertanyaan: "Apa artinya?"

Contoh: Acungan jempol, berjabat tangan, orang Barat berpelukan sambil mencium pipi, dan lain-lain.

2. Nilai-Nilai: "Apa yang Baik atau yang Terbaik?"

Tingkah laku kebanyakan bersumber dari suatu sistem nilai-nilai standar tingkah laku dan pertimbangan yang memberikan tuntutan ke dalam hal apa yang baik dan indah atau terbaik dan terindah. Sistem nilai biasanya tumpang tindih dengan budaya. Pertanyaan "Apa yang baik atau yang terbaik?" mencetuskan pertanyaan lain: "Apa yang dibutuhkan?"

Contoh: Di Irlandia jumlah penduduk lebih besar daripada persediaan makanan. Penduduknya sering mengalami kekurangan makanan yang amat dahsyat, dan itu sudah biasa bagi mereka. Oleh karena itu, ada kebutuhan yang nampak dan mendesak yaitu mengurangi jumlah penduduknya. Tetapi karena jumlah mayoritas penduduk adalah pemeluk agama Kristen yang menolak KB, maka jalan keluarnya adalah menyusun dan mengembangkan kebudayaan dengan suatu anjuran yang menyerupai keharusan. Setiap penduduknya diminta untuk tidak menikah sebelum berusia 30 tahun. Akhirnya, laju pertambahan penduduk bisa dikurangi karena adanya penundaan pernikahan.

Di India terjadi sebaliknya, pernah juga terjadi kelaparan yang sangat hebat sehingga rata-rata orang di sana hanya berusia 28 tahun. Hampir setengah dari anak-anak meninggal sebelum berusia 5 tahun, sehingga terjadilah kekurangan penduduk. Dengan demikian nampaklah suatu kebutuhan dan budaya yang harus dikembangkan sebagai jalan keluar dari masalah tersebut. Wanita-wanita di India diwajibkan untuk menikah pada usia 12 atau 13 tahun. Akhirnya terjadilah ledakan jumlah penduduk yang luar biasa sampai sekarang.

3. Kepercayaan-Kepercayaan: "Apa yang Benar?"

Nilai-nilai merupakan refleksi dari kepercayaan-kepercayaan. Sering kali, kepercayaan-kepercayaan dipertahankan secara teoretis tetapi tidak memengaruhi nilai-nilai atau tingkah laku. Sistem kepercayaan-kepercayaan berperan untuk memberikan tuntutan kepada masyarakat setempat dalam mengambil keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan.

Contoh: Perang antara suku Madura dengan suku Dayak di Kalimantan Barat. Suku Dayak identik dengan kekristenan yang percaya bahwa tidak diperbolehkan membunuh manusia. Tetapi kebutuhan akan kelangsungan hidup dan kejayaan suku tersebut membuat mereka memilih membunuh daripada tetap mengikuti kepercayaannya.

4. Cara Pandang Dunia: "Apa yang Terjadi?"

Cara pandang dunia adalah keyakinan dasar seseorang yang berfungsi sebagai lensa tafsir terhadap kenyataan dan penuntun menuju suatu keputusan.

Contoh: Orang dari suku Jawa percaya ada hari-hari tertentu yang baik yang bisa mendatangkan kebaikan dan ada hari-hari tertentu yang tidak baik yang mendatangkan sial. Jika ada rumah tangga yang berhasil atau gagal sering ditafsirkan karena pengaruh hari perkawinannya.

Sifat Umum dari Budaya

1. Allah menciptakan budaya.

Para misiolog, khususnya yang berpaham injili, rata-rata percaya bahwa budaya adalah ciptaan Allah yang baik pada mulanya dan rusak bersama dengan jatuhnya manusia dalam dosa.

2. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk berbudaya.

Ini adalah satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain yaitu manusia sebagai makhluk yang berbudi dan berbudaya.

3. Budaya telah rusak bersama dengan rusaknya gambar dan rupa Allah dalam diri manusia.

Karena manusia tidak bisa dipisahkan dengan budayanya, maka penebusan sudah barang tentu meliputi budaya. Oleh karena itu, para misiolog perlu mengamati dan menghargai budaya-budaya lain, mengantisipasi karya Allah di dalam dan melalui budaya-budaya tersebut.

INJIL DAN BUDAYA

Injil di Balik Budaya

Dalam gerakan pemberitaan Injil yang dilakukan oleh para misionaris, pernah terjadi perbedaan yang tidak jelas antara Injil dan kebudayaan. Walaupun tidak mudah, perbedaan Injil dan budaya harus dibuat dengan jelas. Jika perbedaan antara kedua unsur tersebut kurang jelas, akan ada bahaya bagi pembawa Injil untuk membiarkan budayanya sendiri menjadi pesan Injil. Ada beberapa contoh "bagasi budaya" yang dijadikan bagian dari pesan Injil, seperti demokrasi, kapitalisme, bangku dan mimbar gereja, sistem organisasi, peraturan, pakaian resmi pada hari Minggu, dll.. Akhirnya, sering kali terjadi permasalahan terhadap budaya asing yang ditambahkan atau dilampirkan pada pesan Injil mengakibatkan penolakan terhadap kekristenan.

Injil vs Budaya

Ketika berhadapan dengan budaya, Injil sering menghadapi dua kemungkinan, yaitu Injil menelan budaya atau budaya menelan Injil. Kedua-duanya sama-sama mendatangkan kerugian. Jalan keluarnya adalah kontekstualisasi.

Beberapa contoh:

a. Orang-orang Kristen di Jawa tidak lagi mengurusi kuburan leluhurnya dan memanjatkan doa di sana sehingga kuburan-kuburan orang Kristen Jawa menjadi rusak, kotor, dan tidak terawat. Akibatnya orang-orang Jawa yang belum Kristen takut masuk Kristen karena takut kuburannya tidak terawat dan tidak dikirimi doa oleh kerabatnya.

b. Orang-orang Kristen di Afrika tidak lagi membersihkan sampah dan kotoran-kotoran yang menurut keyakinan sebelumnya dipakai sebagai tempat persembunyian roh-roh jahat; mereka tidak lagi takut dengan roh-roh tersebut. Akibatnya, sampah dan kotoran-kotoran tersebut menjadi sarang penyakit dan banyak mendatangkan kematian. Hal tersebut menghalangi orang lain untuk menjadi Kristen.

Orang-orang Kristen Indonesia yang beribadah di sebuah gereja dengan mimbar dan bangku, pakaian bagus, tata ibadah, paduan suara, seperangkat alat musik dan lain-lain lebih mencirikan budaya Barat daripada Injil, sehingga bagi orang-orang yang tidak bisa menerima budaya Barat dengan sendirinya menolak Injil.

ANALISA BUDAYA

Agar tidak terjadi kekeliruan, para utusan Injil harus menganalisa budaya sesuai dengan tahapan-tahapannya, sehingga ada peluang untuk membuka pintu masuk bagi Injil.

Tahap Fenomenologis

Tahapan ini hanya melihat fenomena dari permukaan saja. Dalam ilmu alami kita menyelidiki fenomena dari pengalaman panca indra. Para ilmuwan sosial (anthro, sosio, psiko) memandang dari "pendekatan orang dalam" ("pendekatan emic") terhadap realita. Kita menyelidiki bagaimana orang dalam memandang sesuatu, sebab ini merupakan kerangka untuk kita mengerti kepercayaan dan tingkah lakunya.

"Pendekatan orang dalam" ini menolong kita mengerti orang dari kebudayaan lain dari sudut pandang mereka. Tetapi pendekatan ini tidak disertai dengan pemikiran kritis. Penjelasan tentang suatu fenomena diterima sebagai suatu kebenaran. Jadi, kalau mereka berkata bahwa penyakit cacar disebabkan oleh suatu roh atau karena kutukan nenek moyang, maka jawaban itu akan diterima sebagaimana adanya. "Pendekatan emic" akhirnya hanya akan menghasilkan pikiran naif dan relativisme kebudayaan. Tidak ada yang mutlak atau benar secara universal.

Tahap Ontologis

Pada tahap ini kita berusaha menggali fenomena lebih dalam lagi untuk mengetahui "realita yang sebenarnya". Pada tahap ini kita mengevaluasi berbagai teori; kita menerima teori yang lebih dapat menjelaskan realita dan menolak yang lain. Pada tahap ontologis kita menegaskan bahwa ada suatu realita yang benar yang didukung oleh teori-teori, dan bahwa ada "penyebab" absolut atas segala sesuatu.

Dalam ilmu antropologi pendekatan ontologis disebut sebagai "pendekatan etic". "Pendekatan etic" berarti kita mengembangkan suatu sistem untuk membandingkan dan mengevaluasi berbagai kultur untuk mencapai suatu teori universal. Misalnya, kita mengambil konklusi bahwa malaria di seluruh dunia disebabkan oleh nyamuk. Atau, gerhana matahari disebabkan oleh bulan melintas di bawah matahari.

Tahap Misiologis

Dalam pelayanan lintas budaya kita harus menghadapi perbedaan antara pendekatan emic dan etic. Misalnya ada kultur yang membenarkan pembunuhan anak, tetapi berdasarkan Alkitab kita menegaskan perbuatan itu sebagai dosa. Hitler membenarkan pembunuhan orang Yahudi, sebagai orang Kristen kita kutuk perbuatan itu sebagai dosa.

Dalam hubungan kita dengan masyarakat non-Kristen kita perlu memulai dengan kepercayaan dan praktik mereka. Misalnya, kepada orang yang beragama lain yang menolak pembunuhan segala sesuatu, kita jelaskan obat luka sebagai "obat membersihkan luka", bukan "obat pembunuh kuman'". Atau, di masyarakat yang masih percaya kepada dukun kita mungkin bisa menawarkan alternatif baru daripada menantang jawaban yang lama, seperti obat sebagai ganti dukun.

Bahaya memakai pendekatan emic ialah kita menguatkan kepercayaan mereka. Ada bagian-bagian dalam setiap kebudayaan yang tidak dapat diterima oleh Injil, dan bagian ini perlu ditantang. Ketika Injil tidak menantang kultur, melainkan mendukungnya, maka akan timbul suatu aliran kepercayaan.

Supaya kita menghasilkan orang Kristen dewasa, maka kita harus menantang kepercayaan palsu dan memperkenalkan kebenaran alkitabiah. Artinya, kita harus memperkenalkan standar dan kepercayaan eksternal. Oleh karena itu pendekatan misiologi yang baik adalah yang menggabungkan pandangan emic dan etic, dan rela bekerja dalam ketegangan yang akan timbul di antaranya.

Diambil dan disunting dari:

Judul diktat : Perubahan Budaya dan Kontektualisasi
Penyusun : Imanuel Sukardi
Penerbit : Tidak dicantumkan
Halaman : 9 -- 15

e-JEMMi 34/2010