Jika seseorang ingin menyenangkan hati orang yang dikasihinya, maka ia akan berupaya untuk mengetahui apa yang ada di dalam hati sang kekasih dan dengan berbagai upaya memenuhi keinginan hatinya itu. Demikian halnya dengan sikap kita terhadap Allah, bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu yang ada di dalam hati Allah? Bahkan, di dalam hati-Nya yang terdalam dan terpendam sepanjang masa?
Ada tiga cara untuk mengetahui bahwa sesuatu itu ada, bahkan terpendam di dalam hati Allah sepanjang masa. Pertama, sesuatu itu haruslah telah ada di hati-Nya sejak lama. Sesuatu itu bukanlah hal yang baru muncul di hati-Nya dan dengan sekejap sirna, seperti Coca-cola atau 7-Up.
Kedua, untuk memenuhi atau menggenapkan sesuatu itu, maka Dia haruslah rela membayar harga yang sangat besar. Jika seorang pemuda rajin bekerja agar dapat menabung demi memeroleh sebuah rumah, maka kita tahu bahwa dia benar-benar membutuhkan rumah. Dari kerajinannya, kita tahu bahwa rumah itu ada di dalam hatinya.
Ketiga, ketika saat-saat penggenapan itu sedang berlangsung, maka sesuatu itu tetap harus diperoleh sekalipun harus menghadapi faktor kesulitan yang sangat tinggi (super sulit). Sekalipun edelweiss itu ada di pegunungan, tapi jika itu ada di dalam hati kekasih Anda, tentu Anda tetap berupaya memerolehnya, bukan?
Lalu pertanyaannya, hal apakah yang sungguh-sungguh merupakan isi hati Allah? Untuk dapat menemukan jawabannya, tentu ketiga hal di atas harus dapat dijadikan ukurannya. Dan dengan menggunakan ketiga hal tersebut, maka jawabannya adalah: Misi! Ya, hati Allah adalah misi.
Mengapa "misi"? Misi berarti pengabaran Injil secara lintas budaya. Pengabaran Injil itu sendiri berarti menyampaikan pribadi dan karya Yesus Kristus kepada orang lain. Itu berarti Yesus harus hadir dahulu di atas muka bumi ini jika kita ingin dapat menceritakan-Nya kepada orang lain.
Sejak lama, kehadiran Yesus di atas bumi itu sendiri tidak terjadi secara instan atau seketika, melainkan sudah direncanakan "jauh-jauh" hari sebelumnya, yaitu sejak Kejadian 3:15. Bahkan sebelum ayat itu diucapkan-Nya, yaitu sejak Allah mulai memikirkannya "di dalam hati-Nya". Ayat itu berbunyi, "Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya." (Kejadian 3:15). Kemudian ayat tersebut digenapi dalam Yohanes 3:16. Dengan demikian, "misi" memenuhi kriteria pertama -- sudah ada di dalam hati Allah sejak lama, kurang lebih empat ribu tahun sebelum kelahiran Kristus.
HARGANYA MAHAL
Dalam masa penantian yang sangat panjang itu, Allah tidak berdiam diri atau berpangku tangan saja. Dia terus berinteraksi dengan umat-Nya di zaman Perjanjian Lama. Mukjizat yang dilakukan-Nya, nabi yang dihadirkan-Nya, serta firman/perintah/nubuat yang diucapkan-Nya, semuanya tidak boleh bertentangan, bahkan harus berpusat dan mengarah kepada kehadiran Yesus Kristus.
Ini tentu bukan hal yang mudah. Dia harus secara terperinci memertimbangkan setiap mukjizat yang akan dilakukan-Nya, memerhatikan perilaku para nabi yang dipilih-Nya, dan kata-kata yang diucapkan-Nya sepanjang Perjanjian Lama. Bahkan harga yang paling mahal adalah ketika menghancurkan kepala si ular dan memulihkan hubungan manusia yang sudah jatuh dalam dosa, Dia harus mengutus Anak-Nya sendiri!
SUPER SULIT
Untuk dapat menghancurkan kepala si ular itu, Yesus harus mati di atas kayu salib dan bangkit dari kematian. Untuk itu, Dia harus menjelma menjadi manusia. Jika kita tahu betapa besar penderitaan-Nya ketika Dia harus menempuh cara demikian, maka kita tahu pula bahwa dalam keberadaan-Nya sebagai manusia, Dia sudah membayar harga yang sangat mahal! Cara demikian adalah cara yang "super sulit".
Bukan hanya itu saja, harga yang mahal juga harus dibayar-Nya ketika Dia harus meninggalkan budaya kehidupan yang selama ini telah dijalani-Nya bersama dengan "Kedua Pribadi Allah Tritunggal" di surga. Budaya itu adalah kasih, kehormatan dan kemuliaan, serta kesucian. Kini Dia harus masuk dalam budaya manusia yang penuh dengan iri hati, pengkhianatan, dan egosentrisme. Ya, inkarnasi Yesus memang bersifat "lintas budaya". Dengan demikian, "misi" memenuhi ketiga kriteria tentang isi hati Allah. Misi adalah hati Allah.
Lalu bagaimana tanggapan kita? Apakah kita rindu dikenal sebagai seorang yang berupaya memerhatikan isi hati Allah dan terlibat di dalam-Nya? Misi-Nya masih harus diteruskan kepada segenap suku bangsa di seluruh muka bumi secara lintas budaya! Kapan? Menunda adalah tindakan yang tidak mencerminkan kasih yang kuat.
Diambil dan diedit seperlunya dari: | ||
Judul buletin | : | MISSION.COM No. 6/Tahun ke-2/2005 |
Penulis | : | Tidak Dicantumkan |
Halaman | : | 12 -- 13 |