Apakah bermanfaat membedakan antara religi dan Kristus? Bukankah ini sebenarnya hanyalah masalah istilah? Perlukah kita merasa bangga membaca hasil pengumpulan pendapat bahwa 85% orang Amerika sangat religius? Mungkin kita perlu berpikir sekali lagi berdasarkan fakta pada masa pelayanan Yesus; bukankah Dia justru dibenci oleh orang-orang religius yang fanatik?
Buku kecil ini ditulis berdasarkan asumsi bahwa ada perbedaan yang mendasar antara Kristus dan religi. Dan penelitian tentang kaum Farisi pada masa pelayanan Kristus dapat memberi kita pengertian, bukan saja tentang perbedaan ini, tetapi juga tentang hidup kita sendiri.
Orang religius seringkali mirip dengan tokoh Peppermint Patty dalam cerita komik Peanuts. Dalam salah satu episode, kartunis Charles Schultz menggambarkan Patty sedang berusaha mengerjakan tugas sekolah -- membuat laporan baca tentang buku Kamarazov Bersaudara. Yang menjadi masalah, ia belum membaca buku tersebut. Dengan pensil di satu tangan dan gagang telpon di tangan lainnya, ia menghubungi temannya, Charlie Brown, untuk menanyakan apakah ia dapat menceritakan isi buku tersebut. Chuck (nama panggilan Charlie) menjawab, "Nah, ada tiga orang bersaudara, dan...." Segera Patty menyela sambil menulis, "Oh, jadi ada tiga orang, ya? Terima kasih Chuck. Saya dapat merekayasa kelanjutannya."
Tentu saja Patty masih tetap sulit untuk menyelesaikan tugasnya, karena itu ia kemudian membicarakannya dengan Marcie, teman sekolahnya yang lain. Sambil merenung Patty berkata, "Misalnya aku belum membaca buku Kamarazov Bersaudara, dan misalnya aku juga tidak mengerjakan tugas itu, tetapi memberikan karangan bunga kepada ibu guru. Apakah karangan bunga itu akan dapat melunakkan hatinya?" Dengan sikap menyindir Marcie membalikkan badan dan menjawab, "Tentu saja tuan putri! Guru adalah orang yang bodoh. Rayuan dengan bunga akan dapat mengelabui mereka!" Patty menggerutu, "Sialan kamu, Marcie!"
Hidup bukanlah cerita komik, namun religi mirip dengan karangan bunga. Jika diberikan pada saat yang tepat dan sebagai ungkapan kasih, keduanya sangat bermakna. Namun bila bunga atau religi dimanfaatkan untuk mengelabui atau menyembunyikan kesalahan seseorang, keduanya merupakan suatu kepalsuan. Sebagaimana bunga tidak akan dapat menghapus kesalahan seorang murid atau penyelewengan seorang suami, demikian pula religi tidak dapat menghapus atau menutupi ketidaksetiaan kita kepada Allah.
Menurut Alkitab, neraka akan dipenuhi oleh orang-orang religius yang berusaha datang kepada Allah dengan cara mereka sendiri. Mereka percaya kepada Allah dan beribadah di gereja sepanjang hidup, tanpa menyadari perbedaan yang jelas antara religi dan Kristus.
Alkitab bercerita tentang orang-orang religius yang berusaha menyenangkan hati Allah dengan cara mereka sendiri. Religi menjadi seperti obat bius rohani yang membuat mereka tidak lagi peka terhadap kondisi mereka yang sesungguhnya semakin rusak. Para nabi telah menyatakan kepada bangsa Yahudi bahwa ibadah mereka sia-sia adanya. Yesus mengatakan kepada seorang guru agama Yahudi bahwa ia harus dilahirkan kembali. Paulus menangis untuk saudara-saudaranya, orang Yahudi yang giat melayani Allah, namun tidak memiliki hubungan pribadi dengan Kristus.
Sejak semula, yang dibutuhkan oleh manusia sebenarnya bukanlah religi, tetapi Juruselamat. Seseorang pernah berkata, "Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari dua hal: dosa dan religi. Sejauh ini, tugas yang paling sulit adalah menyelamatkan orang-orang religius, yang karena religi, mereka merasa tidak membutuhkan seorang Juruselamat".
Religi dan Kristus tidak bertentangan, namun keduanya sangat berbeda. Yakobus, salah seorang penulis Perjanjian Baru dan saudara Kristus, menulis, "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia" (
Kristus adalah Seseorang untuk dikenal dan dipercaya:
Yesus mengetahui bahaya-bahaya religi. Dia dibenci oleh orang-orang paling religius di Yerusalem. Sementara orang-orang berdosa dan terbuang dari masyarakat tertarik padaNya, orang-orang religius pada masa pelayananNya, yaitu orang-orang Farisi, ahli Taurat, Saduki, dan para Imam, dengan perkecualian kecil, menjadi musuh-musuh besarnya.
Yesus tidak memuji para pemimpin yang religius ini. Dia tidak menilai mereka sebagai orang baik yang kebetulan saja melakukan kesalahan. Yesus berkata bahwa jika mereka mengenal BapaNya, mereka akan mengenal Dia. Dengan terus terang Yesus menyebut mereka munafik, pemimpin buta yang memimpin orang-orang buta lainnya.
Kenyataan ini mungkin tidak diduga oleh banyak orang Kristen. Kita mungkin menduga bahwa musuh-musuh Yesus muncul dari antara orang-orang atheis, pemikir sekuler dan pelaku kriminal dalam masyarakat. Namun ternyata tidak demikian. Rakyat kecil justru tertarik kepadaNya. Orang-orang berdosa menjadi sahabat-sahabatNya. Bahkan Pilatus, gubernur Romawi untuk daerah Yudea yang tidak mengenal Allah, mau memberikan pertimbangan untuk menolak tuduhan-tuduhan terhadapNya. Namun, orang-orang Saduki dan Farisi religius di Yerusalem selalu berusaha mendiskreditkan Yesus. Mereka tidak memerlukan Dia, dan yakin bahwa dunia akan menjadi lebih baik tanpa Dia.
Pengamatan Lebih Dekat Terhadap Kaum Farisi.
Tidak semua orang Farisi jelek. Sebagian dari mereka disegani sebagai orang Yahudi yang dekat Allah dan tekun secara spiritual, mereka adalah:
Namun orang-orang Farisi melakukan penyimpangan dalam upaya mereka untuk menjadikan hukum-hukum Allah relevan dan praktis. Ketika mereka berusaha menunjukkan bagaimana firman Allah harus diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, penerapan-penerapan kongkret mereka berubah menjadi tujuan akhir. Segera mereka hanyut dalam cara pelaksanaannya, dan menurut Yesus, "ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia" (
Orang-orang religius menilai Yesus berbahaya. Dia menimbulkan kericuhan yang mengancam stabilitas religius dan kemantapan politik Israel. Dia banyak melakukan hal-hal yang sulit dijelaskan. Dia mengajar dengan kuasa dan mengalihkan perhatian dari hal-hal religi yang lahiriah kepada sikap hati yang mendalam. Dia mengajarkan bahwa Allah tidak mencari orang yang berbuat baik sesuai dengan tuntutan religi, melainkan orang yang:
Kristus lebih menerima hati yang hancur daripada religi yang sombong. Dia menjadi ancaman bagi orang-orang religius sebab siapa pun yang menerima Dia, tidak akan pernah lagi membutuhkan religi orang-orang Farisi. Sementara orang-orang Farisi sangat menekankan ketaatan hukum secara detil, Yesus mengajarkan bahwa Allah mau mengampuni orang-orang yang paling berdosa sekalipun. Bertahun-tahun kemudian Paulus, rasul Kristus yang dulunya orang Farisi, menyatakan bahwa hukum-hukum religi tidak pernah, tidak mampu dan tidak akan dapat menyelamatkan manusia dari dosa. Dalam surat-suratnya, Paulus menerangkan bahwa hukum Allah diberikan kepada kita untuk menunjukkan betapa kita memerlukan seorang Juruselamat yang lebih dalam segala hal dari religi.
Kristus lebih tinggi dari religi dari segala sisi:Inilah Pribadi yang meliputi segala hal, yang tidak dilihat oleh orang-orang Farisi. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Bagaimana mereka dapat menanti-nantikan kedatangan Mesias bersama orang-orang Israel, kemudian berusaha membunuhNya ketika Dia datang? Mari kita pelajari kata-kata Yesus sendiri tentang hal ini.
Dalam
Sebuah perusahaan kimia yang besar telah memasang sebuah iklan perbaikan citra, supaya masyarakat yakin bahwa perusahaan itu telah berwawasan lingkungan. Namun berita malam hari di televisi menayangkan adanya sekelompok pengunjuk rasa yang tidak percaya bahwa perusahaan itu telah memenuhi persyaratan lingkungan hidup. Salah seorang pengunjuk rasa membawa poster yang bertuliskan: "Kami tak dapat dikelabui. Perbaikilah tindakanmu, bukan penampilanmu".
Poster pengunjuk rasa itu mengingatkan saya pada kata-kata Yesus tentang orang-orang Farisi.
Yesus menunjuk pada ritus mencuci tangan yang sangat teliti dan harus tepat pelaksanaanya oleh orang-orang Farisi sebelum duduk makan. Mereka membasuh tangan bukan dengan tujuan kebersihan, tetapi karena bangga dapat memenuhi tuntutan hukum. Tentu saja Yesus tahu bahwa "ritus pembersihan" dari religi orang-orang Farisi itu hanya di permukaan saja. Penampilan mereka baik, namun tindakan mereka jahat.
Religi tidak pernah mengubah pokok permasalahan. Ia berurusan dengan hal-hal lahiriah. Itu sebabnya pada kesempatan lain, Yesus mengajar seorang Farisi yang juga pemimpin orang-orang Yahudi, bahwa ia perlu dilahirkan kembali (secara rohani) jika ingin melihat dan menjadi bagian dari Kerajaan Allah (
Doa, perjamuan kudus, penguatan, baptisan atau aktif dalam kegiatan gereja mungkin nampak baik. Namun penampilan ini tidak dapat mengelabui Allah. Yesus berkata, "Apa yang dilahirkan dari daging adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah Roh" (
Sama seperti kelebihan-kelebihan lain, perhatian atas hal-hal detil dapat menjadi kelemahan jika tidak terus dikontrol. Yesus memberitahu tentang bahaya jatuh pada hal-hal detil ketika Dia menjelaskan kepada orang-orang Farisi bahwa kesalahan religi mereka adalah terlalu banyak mengurus hal-hal kecil. Dalam
Orang-orang Farisi adalah penganut Yudaisme yang ahli logika. Mereka menarik kesimpulan-kesimpulan logis dari hukum-hukum itu. Mereka bangga akan kemampuan mereka memikirkan sesuatu dengan sangat cermat. Jika mereka membayar persepuluhan, mereka memperhitungkan semua hal yang dapat mereka perhitungkan. Jika diharuskan memberikan sepersepuluh dari hasil panen, mereka akan memberikan kepada Allah sepuluh persen dari segala sesuatu, termasuk sayur-mayur mereka, walaupun hukum tidak menuntut sampai sejauh itu.
Kesediaan orang-orang Farisi untuk melakukan lebih dari yang dituntut tidaklah buruk. Kesalahan mereka adalah ketika memperhatikan sampai detil, mereka lupa untuk mengasihi. Menurut Yesus, mereka menjadi kehilangan jiwa dari hukum itu (
Orang-orang Farisi sama seperti seseorang yang pergi ke dealer untuk membeli mobil baru. Ketika di sana, ia tertarik pada beberapa asesoris untuk meningkatkan penampilan mobil barunya nanti. Satu jam kemudian, dengan tersenyum ia meninggalkan show room itu dengan membawa tempat kopi, kompas mobil, penjepit peta perjalanan dan sebuah gantungan kunci. Seperti orang-orang Farisi, ia membawa lebih dari yang direncanakan -- namun tetap kurang. Dengan tas di tangan, ia masuk ke dalam mobilnya yang lama dan pulang.
Religi, bagaimanapun baik dan perlu, dapat menjebak kita pada hal-hal detil yang dengan mudah menjadi pusat perhatian kita. Yang menjadikan masalah ini sukar diketahui, di dalam hal-hal yang baik seperti pemahaman Alkitab, doa atau memberi persembahan, nampak seolah-olah dapat menutupi segala hal -- padahal tidak. Tidak ada yang dapat menggantikan hati, kasih dan keadilan sebagai ekspresi persekutuan yang benar dengan Allah sendiri.
Beberapa tahun setelah Kristus, Rasul Paulus mengulangi pengajaran Yesus ketika ia menegur jemaat di Korintus. Ia menjelaskan bahwa karunia-karunia rohani, hikmat, iman dan pengorbanan diri tidak ada gunanya jika dilakukan tanpa kasih kepada Allah (
Religi dapat menjadi arena pameran ego yang terbesar. Adakah hal yang lebih baik daripada dikenal sebagai orang yang baik dan suci? Atau apakah yang paling mempengaruhi kita selain kepentingan diri dan kesombongan karena dikenal sebagai orang yang diperkenan Allah?
Tentu nampak lebih baik dikenal sebagai orang baik daripada sebagai orang jahat. Bukankah lebih baik dikenal sebagai imam atau pendeta daripada orang tak bermoral atau pelacur? Bisa jadi tidak. Yesus berkata bahwa jika tidak ada pertobatan, orang-orang Farisi juga akan dihukum di neraka bersama orang-orang jahat. Satu-satunya perbedaan, Yesus mengajukan kritik kepada orang-orang religius yang memanfaatkan reputasi rohani mereka untuk memperoleh perhatian dan kehormatan. Kepada mereka Yesus berkata: "Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar" (
Kita semua senang dikagumi oleh banyak orang. Kita senang didukung oleh mereka yang melihat sesuatu yang pantas dipuji di dalam diri kita. Itu tidak jelek. Yang jelek adalah jika dukungan orang lain menjadi lebih penting bagi kita daripada perkenan Allah. Yang berbahaya adalah jika pujian dan dukungan orang banyak menjadi seperti candu yang menumpulkan kepekaan akan kekurangan kita dalam hal kasih kepada sesama, kehadiran dan perintah Allah. Dan faktanya, penilaian orang terhadap kita sebenarnya jauh di atas kualitas kita.
Ketaatan pada ketentuan religi dapat membuat kita memperoleh pujian dari manusia. Namun ketaatan kepada Kristus merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh perkenan Allah. Prinsip ini masih tetap berlaku meskipun seseorang telah menerima Kristus dan pergi ke gereja. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita melayani orang banyak atau melayani Tuhan, terus-menerus menjadi tantangan kita.
Rasul Paulus tahu bagaimana rasanya menerima kecaman dan tolakan. Oleh karena itu ia menulis kepada orang-orang Kristen di Korintus yang mengritiknya, "Bagiku, sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi" (
Paulus belajar menerima kritik dengan lapang dada, bukan karena kritik itu tidak menyakitkan, tetapi karena ia mengerti bahwa pengakuan dan pujian manusia tidaklah penting (
"Hallo, nama saya Joe. Saya seorang peminum." Pengakuan ini merupakan dasar utama yang mengarah pada kesembuhan bagi peminum tersebut. Sayangnya, pengakuan seperti itu merupakan salah satu unsur kerendahan hati yang seringkali hilang dalam praktek religi. Salah satu perasaan yang paling sering dialami jemaat adalah perasaan kesendirian karena hubungannya dengan orang lain tidak sungguh-sungguh nyata. Mereka merasa saling bahu-membahu, namun sesungguhnya jauh dari orang-orang yang hanya mengenakan "pakaian Minggu" dan memasang "wajah Minggu" dalam kebaktian Minggu. Banyak orang senang berbuat demikian. Namun ada orang-orang yang menangis di dalam hati, "Nanti dulu, ini tidak benar. Ada yang tidak beres. Kita punya masalah. Mengapa kita tidak mau mengakui bahwa kita dalam kekuatiran, kemarahan, ketakutan, kedengkian, kepahitan, rasa malu dan dikuasai nafsu? Bukankah dengan pengakuan ini kita dapat mendukung, menghibur serta bertanggung jawab satu sama lain?"
Yesus mendukung hal ini. Dia berkata, "Celakalah kamu (orang-orang Farisi -- red), sebab kamu sama seperti kubur yang tidak memakai tanda; orang-orang yang berjalan di atasnya, tidak mengetahuinya" (
Cerita yang diambil dari The People's Almanac 2 ini dapat menggambarkan ketidakjujuran yang serupa: "Pada suatu hari raja Prusia, Frederick Agung, mengunjungi penjara Postdam. Setiap narapidana yang dijumpainya berkata bahwa mereka tidak bersalah. Akhirnya ia sampai pada seorang yang dijatuhi hukuman mati karena mencuri. Narapidana itu berkata, "Tuanku, saya memang bersalah dan pantas menerima hukuman." Raja Frederick berpaling kepada kepala penjara dan berkata, "Bebaskan orang jahat ini dan keluarkan dia dari penjara, supaya dia tidak merusak orang-orang baik yang ada di sini."
Dalam pandangan Allah, orang-orang religius bisa jadi sama seperti orang-orang hukuman itu. Keyakinan, ritus-ritus dan persekutuan dalam religi seringkali memberikan cara kepada orang-orang religius untuk tidak mengakui perasaan malu, perasaan bersalah dan kebutuhan mereka akan seorang Juruselamat. Religi bukannya mendorong orang untuk membuka diri akan ketidakmampuannya menyelamatkan diri, tetapi justru memberikan perlindungan dan topeng untuk menutupi masalah-masalah mereka yang tidak terselesaikan.
Upaya untuk memoles masalah-masalah kita dengan berbagai kegiatan religius merupakan reaksi perlindungan diri sejak permulaan sejarah manusia. Setelah manusia pertama jatuh dalam dosa, mereka menjadi malu atas ketelanjangannya. Mereka menggunakan dedaunan untuk menutupi tubuh dan menyusup di antara pepohonan untuk menyembunyikan diri dari Tuhan. Ketika Tuhan memasuki taman, Adam mengakui bahwa ia telah bersembunyi karena takut.
Sejak itu, orang menyembunyikan diri di balik "pohon" kegiatan religius dan di balik "daun-daun" upaya. Bukannya merendahkan diri dan mengakui kebutuhan akan keselamatan melalui kematian Kristus, kita malah berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan religi untuk mengkompensasi dosa-dosa kita.
Dalam proses itu kita menyembunyikan diri dari Kristus, yang menawarkan anugerah hanya kepada mereka yang merendahkan diri, mengakui ketidakjujurannya serta membutuhkan belas kasihanNya.
Bayangkan seandainya hanya ada dua macam manusia di dunia ini: pemberi batu-bata dan pengangkat batu-bata. Setiap kali kita bertemu dengan mereka, sebuah batu-bata ditambahkan atau dikurangi dari kita. Yesus digambarkan sebagai pengangkat batu-bata dan orang-orang Farisi sebagai pemberi batu-bata. Fungsi religi menjadi jelas ketika Yesus menanggapi pertanyaan ahli Taurat dari kalangan Farisi (seorang ahli Taurat yang diandalkan orang Farisi dalam hal tafsir). Dia berkata, "Celakalah kamu juga, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jari pun" (
Yesus mengenal para pendengarNya. Para ahli religi ini menambahkan ratusan peraturan pada hukum Allah, namun mereka sendiri pandai menghindari kewajiban ini. Mereka bahkan memiliki trik-trik untuk melanggar hukum Sabat, yang melarang orang mengangkat beban pada hari itu. William Barclay mengutip tradisi Farisi yang berbunyi, "Orang yang membawa apa pun di tangan kanan, tangan kiri, dada, atau di pundaknya, dinyatakan bersalah. Namun orang yang membawa apa pun dengan belakang tangan, kaki, mulut, siku, rambut, tas uang yang dibalik, di antara tas uang dan baju, dalam lipatan baju, di sepatu atau sandal, tidak bersalah, sebab ia tidak membawanya dengan cara yang lazim."
Para pemimpin religi saat ini masih mempraktekkan seni "memberi batu-bata" sambil melakukan trik-trik untuk membenarkan diri dari peraturan yang dibebankan pada orang lain. Misalnya, banyak pemimpin religi yang mengajarkan bahwa ibadah keluarga sehari-hari merupakan suatu keharusan, sambil mengatakan bahwa mereka sendiri mempunyai alasan-alasan tertentu sehingga tidak dapat melakukannya. Ada banyak pemimpin religi yang mengajarkan bahwa orang Kristen hidup di bawah anugerah, sehingga tidak harus memenuhi hukum persepuluhan, namun harus mulai memberikan persembahan sebesar 10 persen dan masih menambahinya dengan persembahan-persembahan yang lain lagi. Pemimpin lainnya mengajarkan bahwa Allah melarang dan membenci perceraian dengan alasan apa pun. Namun sebenarnya mereka mengetahui bahwa Allah sendiri menceraikan Israel karena dosa mereka memuja berhala, dan mereka mengetahui bahwa Musa, pemberi hukum itu, mengijinkan perceraian oleh karena kekerasan hati mereka (
Sebaliknya, Yesus dengan konsisten memegang teguh jiwa dari hukum itu sambil membuat keputusan-keputusan yang penuh belas kasihan bagi orang-orang berdosa yang mau bertobat. Yesus memahami ketegangan yang sehat antara kekudusan dan kasih Allah ketika Dia berkata, "Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah-lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan" (
Yesus berkata bahwa orang Farisi membanggakan diri dalam memberi penghormatan dan membangun tugu-tugu peringatan untuk para nabi. Ironinya, ketika mereka bertemu dengan nabi yang sesungguhnya, mereka justru ingin membunuhNya. Barclay berkata, "Nabi-nabi yang mereka hormati hanyalah nabi-nabi yang telah mati. Jika mereka bertemu dengan nabi yang masih hidup, mereka berusaha membunuhnya. Mereka menghormati para nabi yang mati dengan kuburan dan tugu-tugu peringatan, namun mereka menghina nabi yang hidup dengan menganiaya dan membunuhnya."
Hal ini yang dimaksud oleh Yesus dalam
Orang-orang Farisi menipu dirinya sendiri. Mereka tidak memandang diri mereka sebagai pembunuh nabi atau Mesias. Mereka tidak menyadari bahwa religi mereka yang kosong menjadikan mereka sebagai musuh Allah. Kedagingan selalu berperang melawan Roh. Religi tidak berkuasa mengatasi obsesi edagingan yang berpusat pada pementingan diri sendiri dan cenderung membela diri. Untuk mengubah hati manusia, diperlukan Kristus yang hidup .
Sejarah akan terus berulang jika orang mengabdikan dirinya pada religi lebih dari Kristus -- sama seperti orang-orang religius yang dihadapi Yesus. Dengan bibir mereka menghormati Allah dan Alkitab, namun jika seorang anak atau temannya menerima Kristus sebagai Juruselamat, mereka menjadi marah.
Orang tua yang sangat religius seringkali marah jika anaknya merasakan sesuatu yang salah dengan religi dimana ia dilahirkan, dibaptis dan mengaku percaya. Para orang tua yang selalu beribadah di gereja sepanjang hidupnya, sering naik darah mendengar anaknya berbicara tentang "lahir baru" -- istilah yang digunakan Yesus ketika bercakap-cakap dengan seorang Farisi bernama Nikodemus (
Salah satu bahaya terbesar dari religi adalah menjadikan kita dalam keadaan bahaya, bukan saja bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Kepada seorang ahli Taurat yang sangat religius pada zamanNya, Yesus berkata, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu telah mengambil kunci pengetahuan; kamu sendiri tidak masuk ke dalam dan orang yang berusaha untuk masuk ke dalamnya kamu halang-halangi. Dan setelah Yesus berangkat dari tempat itu, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi terus menerus mengintai dan membanjiriNya dengan rupa-rupa soal. Untuk itu mereka berusaha memancingNya supaya mereka dapat menangkapNya berdasarkan sesuatu yang diucapkanNya" (
Di sini Yesus berkata bahwa orang-orang religius yang menentangNya telah mengambil "kunci pengetahuan" dari orang banyak. Apa maksudnya? Ada beberapa kemungkinan. Misalnya, orang Farisi mengambil kunci pengetahuan dari orang banyak dengan cara
Dengan kata lain, jika "pelita" seseorang (mata atau hatinya) benar, ia akan dipenuhi dengan pengetahuan akan Allah. Tetapi jika pelitanya ditutupi, orang itu akan dipenuhi oleh kegelapan (kosongnya cahaya dan pengetahuan tentang Allah).
Ketika Yesus mengajar kebenaran tentang pelita tubuh dan kunci pengetahuan, Dia diundang ke rumah seorang Farisi untuk makan malam. Seusai makan Dia melengkapi pengajaranNya di meja makan. Sebagai tamu orang Farisi, Yesus menunjuk kepada penghalang cahaya yang diletakkan oleh orang Farisi menutupi mata mereka sendiri (perhatian hati). Sang Guru menunjukkan bahwa dengan kerohanian mereka yang bersifat lahiriah, penekanan pada hal-hal yang remeh, kehausan akan pujian, kedok dari keegoisan, sifat legalis yang hanya menaruh beban pada orang lain dan sifat menipu diri, mereka bukan saja telah kehilangan terang bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Dengan demikian, mereka telah mengambil kunci pengetahuan.
Bayangkan kita menerima sebuah kunci dari seorang pemimpin rohani. Dengan kunci itu kita membuka pintu dengan label "kebahagiaan kekal," dan ketika membukanya, di dalamnya kita temukan api neraka. Orang Farisi menuntun para muridnya pada kejutan seperti itu. Dalam
Yesus mungkin menyebut para murid Farisi itu sebagai "penghuni neraka yang dua kali lebih jahat" karena seringkali para murid lebih bersemangat dalam imannya daripada orang-orang yang memang telah beriman sejak lahir. Mereka telah membuat perubahan hidup yang besar dan siap untuk mempertahankan dan memacunya dengan antusias. Mereka sadar bahwa mereka tidak dapat menjawab semua masalah, namun mereka percaya kepada pemimpin mereka yang dianggap lebih banyak tahu.
Kepercayaan ini membawa orang-orang -- yang bertobat karena mengikut orang Farisi -- ke bahaya yang sungguh-sungguh gawat. Karena Yesus menyebut orang-orang Farisi sebagai "orang buta yang menuntun orang buta" (
Yang menjadi masalah terpenting pada religi adalah ia memberikan harapan padahal sebenarnya tidak ada harapan. Dari sisi ini, seorang atheis atau agnostik mungkin lebih aman daripada orang yang memeluk suatu religi. Orang-orang seperti itu memang tidak mempersiapkan diri untuk berdamai dengan Tuhan. Sebaliknya, orang yang religius mempercayai hal yang salah, seolah-olah ia telah tahu apa yang harus dilakukan untuk masuk ke surga, atau menyenangkan hati Allah -- walaupun mungkin ia belum yakin benar bahwa ia sungguh-sungguh "berada di sana".
Akibatnya sangat tragis. Orang-orang religius, sama seperti orang Farisi dan para pengikutnya, diperhadapkan pada akhir yang pahit. Yesus meyakinkan kita tentang hal ini ketika Ia berkata, "Maka Aku berkata kepadamu: jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga" (
Cobalah bergabung dengan kelompok pengikut religi yang salah arah. Kita akan merasa seolah-olah telah terpilih sebagai orang baik. Kita akan melihat kesalahan orang-orang yang tidak membuka hatinya bagi Allah. Kita akan merasa kasihan terhadap orang-orang yang melalui perbuatannya menggadaikan kekekalan demi kesenangan sementara. Mereka merasa sudah memilih yang lebih baik: mempunyai pendeta, imam atau rabi yang disukai. Mereka percaya kepadanya, dan yakin bahwa ia adalah orang baik yang tidak akan pernah menjadi musuh Allah. Mereka merasa senang jika ia memimpin acara-acara kebaktian yang menolong mereka untuk merasa semakin dekat dengan Allah dan merasa diri lebih baik. Namun ketika ia memberikan kunci untuk membuka pintu yang bertanda "kebahagiaan kekal", semuanya telah terlambat.
Ada sekitar enam ribu orang Farisi pada zaman Kristus. Seperti telah diketahui, mereka terkenal hebat dalam diskusi tentang "perbuatan-perbuatan baik" seperti, apakah diperbolehkan memakan telur yang keluar pada hari Sabat.
Saul dari Tarsus (yang kemudian dikenal sebagai Rasul Paulus) mewarisi tradisi religius ini. Ia menyatakan dirinya sebagai seorang Farisi dan seorang anak Farisi (
Setelah bertobat, ia merumuskan hubungannya dengan Allah secara berbeda. Yang berharga baginya kemudian adalah hubungannya dengan Kristus. Ia memandang penting iman kepada Kristus, memancarkan kasih Kristus bagi orang lain, dan tetap percaya bahwa semua orang akan bertanggung jawab secara pribadi kepada Kristus Tuhan.
Bila sampai pada pesan Alkitab yang dapat diperdebatkan, Paulus tidak lagi dipengaruhi oleh hukum-hukum dari para ahli Taurat. Sebaliknya, ia menghimbau anggota jemaat Allah supaya tidak saling menghakimi satu sama lain untuk hal-hal yang belum pasti. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, ia menulis, "Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain?....Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah. Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!" (
Banyak di antara kita masih perlu belajar dari pandangan Paulus setelah menerima ia Kristus. Demi menghindari kompromi, kita telah mengambil sikapnya sebelum ia menerima Kristus. Dengan memakai cara-cara orang Farisi, kita telah membuat daftar petunjuk tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh murid Kristus. Masalahnya, ada orang-orang yang berusaha menaati daftar itu dengan ketat, masih saja tidak dekat dengan Allah. Orang dapat secara "religius" menolak alkohol, musik rock, rokok, berjudi ataupun nonton di bioskop, namun ia tetap mengalami kekosongan. Orang dapat beribadah di gereja, memberi persembahan, berdoa dan membaca Alkitab, sambil masih marah-marah, cerewet dan bersikap kasar.
Namun yang paling penting adalah yang datang dari Roh, bukan dari daging. Sikap mengasihi seperti Kristus sangat berbeda dengan kecenderungan alamiah kita, karena sikap kasih itu mendekatkan kita pada Kristus untuk memperoleh hikmat, kemampuan dan jaminan yang baru akan pengampunan. Hidup dengan prinsip-prinsip yang tidak dapat kita penuhi, namun mendekatkan kita pada Kristus, adalah lebih baik daripada memenuhi formalitas religi dan sekaligus kehilangan Dia.
Banyak di antara kita yang percaya bahwa pemahaman Alkitab harus disertai dengan pertanyaan: "Apa perubahan yang terjadi pada diri saya setelah mempelajari Alkitab kita?" dan "Bagaimana penerapannya dalam hidup saya?" Kita telah melihat bahwa generasi-generasi sebelum kita dapat mempelajari Wahyu, Daniel dan nabi-nabi kecil dengan tekun tanpa sampai kepada masalah-masalah yang membuat mereka gelisah, hirarkis, kompetitif, mati perasaan, menuntut, cerewet, kasar dan tamak.
Menang baik bergumul dengan pertanyaan, "Bagaimana kebenaran ini akan terwujud dalam hidup saya?" Demikian pula yang dilakukan oleh generasi-generasi dulu dengan daftar tentang bagaimana saharusnya sikap seorang Kristen. Mereka tidak merokok (kecuali jika sedang marah), tidak minum minuman keras (kecuali jika mereka mulai ketagihan kopi), tidak berpesta pora (kecuali jika di situ ada kesempatan bergosip). Dalam hal-hal inilah orang-orang Farisi didapati sangat ahli.
Jika peraturan-peraturan terapan ala orang-orang Farisi di atas menjadi prinsip kita, dan jika perbuatan telah menggantikan sikap hati, maka mungkin sekali kita telah menyerahkan diri pada religi yang menggantikan tempat Kristus, bukan kepada religi yang melayani Dia.
Kristus melakukan banyak hal yang tidak dapat diberikan oleh religi kepada kita. Misalnya:
Ada banyak hal dalam Alkitab yang memiliki dua sisi. Hal ini juga berlaku pada religi. Agar memperoleh pandangan yang seimbang, penting bagi kita untuk belajar menerima dua hal yang nampak bertentangan.
Religi itu penting. Alkitab penuh dengan praktek religi yang (1) menunjuk pada Allah atau (2) menyediakan jalan untuk mengekspresikan persekutuan kita dengan Dia. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru penuh dengan hukum-hukum, prinsip-prinsip, kepercayaan dan ritus-ritus religi. Jika kita memandang religi sebagai sikap dan tindakan untuk menunjukkan kepercayaan, menunjuk pada Allah atau keinginan menyenangkan Allah, maka tentu religi akan memberikan:
Religi itu tak berguna. Religi tidak ada gunanya, jika kita menggantungkan diri pada tindakan-tindakan lahiriah untuk membenarkan hubungan kita dengan Allah. Baik sebelum diselamatkan atau sesudahnya, tidak ada pengetahuan atau tindakan religi yang dapat menyelamatkan kita. Pengetahuan dan tindakan hanya merupakan cara untuk mengekspresikan iman kita di dalam Kristus. Dalam pengertian ini, kita harus menghindari:
Religi itu berbahaya bukan karena buruk, tetapi karena seringkali nampak cukup baik untuk mengalihkan kepercayaan kita dari Kristus. Kita cenderung untuk menggantikan ketergantungan kita pada karya Kristus dengan hasil usaha kita sendiri.
Marilah membayangkan bahwa kita mengajukan lamaran untuk masuk surga. Daftar kualifikasi apa yang akan kita buat untuk itu?
Saya berharap sekarang kita telah menyadari bahwa jika kita bermaksud membuat sebagian atau seluruh daftar di atas sebagai lamaran untuk masuk ke surga, berarti kita belum memahami kesia-siaan religi.
Satu-satunya lamaran yang diterima untuk masuk ke surga adalah kualifikasi sebagai berikut:
Inilah yang diyakini Rasul Paulus untuk membedakan religi dengan Kristus. Ia menulis, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya" (
Kristus | = | Pribadi yang kedua pada Allah tritunggal yang telah menjadi manusia, hidup dalam dunia yang berdosa, disalibkan dan bangkit dari kematian untuk menyelamatkan semua orang yang menaruh percaya kepadaNya. |
Perjamuan Kudus | = | Upacara simbolis dengan roti dan anggur untuk mengingatkan orang-orang percaya akan kematian Kristus bagi mereka. |
Salib | = | Bentuk eksekusi yang dengannya Kristus telah menderita dan mati menggantikan kita dan menebus dosa-dosa kita. |
Iman | = | Keyakinan pribadi yang, jika dipusatkan kepada Kristus, membentuk jiwa dari religi yang benar. |
Pembenaran | = | Dinyatakan "benar". Dalam penyelamatan, Allah memberikan status benar di dalam Kristus bagi semua orang yang percaya kepadaNya. |
Legalis | = | Orang yang percaya bahwa hukum dapat menggantikan peran yang hanya dapat dilakukan oleh Kristus. |
Religi | = | Sistem pemikiran dan tindakan yang mengekpresikan kepercayaan kepada Allah. |
Orang Religius | = | Orang yang percaya bahwa religi dapat menggantikan peran yang hanya dapat dilakukan oleh Kristus. |
Pertobatan | = | Perubahan pola pikir yang ditandai dengan perubahan tingkah laku. |
Kebangkitan | = | Tindakan dimana Kristus bangkit secara tubuh dari kematian, menunjukkan pentingnya penyelamatanNya dan kemampuanNya untuk hidup di dalam orang-orang yang percaya kepadaNya. |
Keselamatan | = | Tawaran kasih Allah untuk menyelamatkan manusia dari akibat dosa masa lalu, saat ini dan masa depan. Anugerah ini berlaku bagi orang yang menaruh imannya pada Kristus. |
Dosa | = | Segala pelanggaran terhadap hukum moral Allah; yang membawa manusia pada kematian kekal. |
Baptisan air | = | Upacara simbolis yang merupakan pernyataan lahiriah dari kepercayaan kepada Kristus. |